Selena baru selesai berganti pakaian saat mendengar ketukan keras di pintu kamarnya "APA?!" Selena berteriak, melepaskan amarahnya ketika pintu terbuka dan menampilkan sosok Matthias "Kau bilang tak akan mengganggu selama tinggal di sini."
“Kau menciumnya?” katanya dengan suara rendah dan mengancam.
“Hah? Apa?” Selena menatapnya bingung, dia berusaha menjaga jarak saat Matthias mendekat. Namun Matthias tetap melangkah maju mendekatinya “Kau ini kenapa? Bisakah bertingkah seperti kita orang asing saja" suara Selena terdengar lelah, hampir bosan dengan sikap Matthias yang terus mengganggunya.
"Kau mencium bajingan itu?" tanyanya, suaranya tegas, penuh tuntutan, mengabaikan respon Selena
“Kau membicarakan dirimu sendiri?” Balas Selena dengan mencemooh
Matthias berhenti sejenak, matanya menyipit, menatap Selena dengan tajam. “Jangan bermain-main denganku, Selena" ucapnya, suara rendah penuh ancaman. “Pria itu, kau menciumnya?” Sambungnya
“Mark maksudmu?” Selena berdiri tegak, menatap Matthias "Aku merasa tak perlu menjelaskan apapun padamu, dia kekasihku dan kau tahu itu" jawabnya dengan suara tak kalah datar, meskipun hatinya berdebar ketika Matthias terus maju dan memojokkannya
“Oh ya?” Suara Matthias menggantung, tajam seperti pisau yang mengiris keheningan di antara mereka. Dia berhenti hanya beberapa inci dari Selena, cukup dekat hingga dia bisa merasakan napas hangatnya
Sebelum Selena sempat mengatakan apa pun, Matthias sudah membungkuk, mengangkat tubuhnya dengan mudah.
"Matthias! Apa-apan kau! Keluar dari kamarku, sialan! Woy gila!" Selena meronta, tangannya memukul-mukul bahu pria itu. Namun Matthias tetap diam, wajahnya gelap dengan ekspresi keras yang tidak bisa diganggu gugat
Pria itu memaksanya masuk ke dalam kamar mandi, berjalan ke bawah pancuran dan dengan satu gerakan tajam, menyalakan air dingin. Selena terpekik saat semburan air dingin langsung membasahi tubuhnya, membuat bajunya melekat di kulit.
"Apa kau gila?!" teriak Selena, mencoba meraih keran untuk mematikan air, tapi Matthias menahannya di tempat. Air terus mengalir, membasahi mereka berdua. Matthias sama sekali tidak bergerak, hanya menatap Selena dengan intensitas yang membuatnya semakin gugup.
"Jawab aku" katanya pelan, suaranya nyaris terkubur oleh suara air yang mengalir, tapi penuh ancaman yang tidak bisa diabaikan. "Kau menciumnya?"
Selena menggigil, bukan hanya karena dinginnya air, tetapi juga karena tatapan Matthias yang menusuk. "Apa pentingnya bagimu, Matthias?" jawabnya, suaranya bergetar, meskipun dia mencoba terlihat kuat. "Apa yang aku lakukan bukan urusanmu!"
"Itu urusanku!" bentak Matthias, nadanya kasar, meski tangannya yang menahan Selena tetap lembut, memastikan dia tidak terjatuh
“Aku akan menembakmu jika kau macam-macam Matthias!” Selena berusaha untuk melawan, mengepalkan tangannya dengan keras, siap untuk bertindak. Matanya yang penuh amarah bertemu dengan tatapan Matthias yang tak bergeming, penuh kendali. Namun, Matthias tidak mengindahkan ancamannya..
Pria itu mundur selangkah, membiarkan Selena tetap berada dibawah pancuran air
“Bersihkan dirimu” perintah Matthias dengan suara rendah, namun penuh kuasa. “Aku tidak suka ada aroma lain pada milikku.”
“Apa yang kau maksud dengan itu?” suara Selena mulai terdengar tajam, penuh kekesalan. “Milikmu? Kau pikir aku seperti barang milikmu?”
Matthias memandangnya datar “Kau sudah mulai melupakan tempatmu, Princess?” tanyanya dengan tenang.
Selena menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah yang semakin membara “Bajingan” umpatan itu terdengar pelan, mata Selena berair, dia merasa dilecehkan.
“Bersihkan dirimu. Sekarang!” bisiknya dengan nada tajam.
Rasa marah Selena memuncak. “Kau benar-benar keterlaluan!” ujarnya “Keluar sana!” usirnya, meski tidak ada niat untuk benar-benar mengikuti perintah Matthias untuk membersihkan diri
Matthias menatapnya satu detik lagi, matanya menyiratkan ketegasan yang tak terbantahkan, sebelum akhirnya berjalan keluar dari kamar mandi.
“Ck Bastard! Bajingan sialan! Terkutuklah kau Matthias Walton!” Makian itu terlontar dengan ringannya saat Selena berdiri beberapa saat di bawah aliran air. Tubuhnya terasa kaku, pikirannya bergejolak antara amarah dan kebingungannya atas perlakuan Matthias. Pria itu memang berubah, tapi perubahannya justru membuat Selena lebih sengsara dibanding masa kecil mereka “Aku sungguh tak suka dia!”
Setelah beberapa saat, Selena akhirnya menutup kran air dan keluar dari kamar mandi, merasa lelah dan tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Dia membungkus tubuhnya dengan handuk, mengusap tubuh dengan gerakan lambat, seolah mencari ketenangan di tengah kekacauan yang terjadi. Untunglah Matthias sudah tak ada di kamarnya, jadi dia bisa menghela napas lega untuk sejenak.
Selena tak mau keluar dari kamar. Suasana tegang yang dipicu oleh Matthias masih terasa di sekelilingnya, tetapi rasa lapar yang datang tak bisa diabaikan. Akhirnya, dengan langkah ragu, dia membuka pintu kamar dan keluar.
Saat ia melangkah ke dapur, pandangannya langsung tertuju pada Matthias yang sedang sibuk memasak di atas kompor. Sungguh pemandangan langka jika dibandingkan dengan kelakuan pria itu beberapa saat lalu
‘Andai dia memiliki sikap gentle sedikit saja, mungkin aku bisa lupa dengan kejadian dulu’ batin Selena
“Kemarilah” panggil Matthias tanpa menoleh.
Selena tetap diam, tak bergerak atau bahkan bersuara. Ia menatap Matthias yang masih memotong sayuran tanpa mengalihkan perhatian dari pekerjaannya.
Matthias akhirnya mengangkat wajahnya, menangkap pandangan Selena. “Kemari Selena” panggilnya lagi.
“Tidak mau” tolak Selena cepat
Netra abu itu menghunus tajam, menatap Selena yang berdiri di perbatasan antara dapur dan ruang tamu. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia melangkah cepat menuju Selena, lalu dalam gerakan yang begitu tiba-tiba, Matthias mengangkat tubuh Selena dengan mudah dan menempatkannya di meja pantry yang ada di dapur.
"Hey!" Selena terkejut dan mencoba melawan, tangannya mendorong dada Matthias, namun tidak banyak berarti. "Bisa tidak berikan aba-aba sebelum mengangkatku!"
“Kau lebih baik duduk dan tenang. Aku akan menyelesaikan ini” katanya, suaranya rendah namun penuh kekuasaan.
Selena mengernyitkan dahi, mencoba meronta, tapi semakin melawan, semakin kuat cengkeraman Matthias. Dia duduk dengan paksa di meja pantry, tepat disamping Matthias yang memasak
“Kau memang keterlaluan” ujarnya dengan nada kesal, meskipun dia tahu Matthias tidak akan peduli "Kau tahu, kau tidak perlu bersikap seperti ini."
Matthias menoleh sekilas ke arahnya, ekspresinya tetap datar, tapi ada tatapan tajam yang menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Aku melakukan ini karena kau mulai melupakan tempatmu, Selena. Jangan buat aku mengulangnya" katanya dengan suara serak, penuh ancaman yang samar namun terasa nyata.
Selena mengernyitkan dahi, mencoba menenangkan diri. Suasana di dapur semakin terasa panas, seolah-olah setiap detik yang berlalu semakin menambah ketegangan yang mengikat dirinya dan Matthias.
“Buka mulutmu” titahnya
Selena menghela napas, menahan dorongan untuk melontarkan komentar tajam dan membuka mulut saat Matthias menyendokan Risotto padanya
Selena merasa risotto yang masuk ke mulutnya memiliki rasa yang luar biasa, meskipun situasi saat ini membuatnya sulit untuk menikmatinya sepenuhnya. Dia mengunyah perlahan, mencoba mengalihkan perhatian dari tatapan Matthias yang masih mengawasinya dengan intensitas yang membuatnya tak nyaman.
“Enak, kan?” tanya Matthias, suaranya sedikit lebih lembut, tapi tetap dengan nada yang membuat Selena merasa seperti sedang diuji.
Selena mengangguk tipis, meski enggan mengakui. “Lumayan” jawabnya singkat, sambil meneguk air untuk menyembunyikan wajahnya.
Matthias tertawa kecil, namun nada tawanya mengandung kepuasan. “Syukurlah, tak sia-sia aku mempelajari resep ini, Aunty Lumia bilang kau paling suka Risotto”
Selena tak tahu harus merespon seperti apa, perubahan pria itu terlalu mendadak "Emm.. Hiri belum pulang?" Selena bertanya, berusaha mengalihkan pembicaraan agar dirinya tidak terlalu terpancing emosi. Suaranya terdengar lebih ringan dari sebelumnya, meskipun hati kecilnya berdebar.
"Dia tak pulang malam ini" jawab Matthias sambil melanjutkan memotong jamur untuk ia tumis dengan tangannya yang terampil.
"Huh?" Selena merespon dengan kebingungan. Pikiran di benaknya mulai berputar, mencoba mengonfirmasi apa yang baru saja dia dengar.
"Dia akan kembali besok" Matthias menambahkan dengan santai, seolah-olah itu adalah hal yang biasa saja. Suaranya begitu tenang, tidak ada tanda-tanda bahwa dia menyadari betapa tidak nyamannya Selena saat ini
Seketika, gelombang kekhawatiran menerjang benak Selena.
Tunggu sebentar, apa ini berarti dia hanya akan tinggal berdua dengan Matthias malam ini? Tidak mungkin! Dia tidak ingin terjebak dalam situasi seperti ini, terutama setelah apa yang baru saja terjadi diantara mereka.
Selena berdiri di depan ruang ganti, tangannya masih terlipat di dada. Ia bisa mendengar Matthias bergerak di dalam, mungkin sedang mengganti pakaiannya.“Matthias?” suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Dari dalam terdengar suara Matthias. “Hm?”Selena menekan senyumannya. “Aku masuk.”Ia tidak menunggu jawaban sebelum membuka pintu dan menyelinap masuk.Matthias, yang hanya mengenakan kemeja putih yang belum dikancingkan sepenuhnya, menatapnya dengan satu alis terangkat. “Tidak sabar melihatku, huh?”Selena tidak menggubris godaannya. Ia melangkah mendekat dan dengan santai melingkarkan dasi di leher Matthias, menariknya sedikit hingga wajah mereka lebih dekat.Matthias tampak sedikit terkejut, tapi kemudian seringai itu kembali muncul. “Oh? Sekarang kau ingin membantuku berpakaian?”Selena tersenyum manis, tapi matanya penuh niat jahat. “Tentu saja&rd
Pernikahan itu berjalan begitu cepat—tanpa pidato panjang, tanpa perayaan meriah, hanya sumpah yang diucapkan di bawah tekanan waktu dan emosi yang masih menggantung.Matthias tidak memberi kesempatan pada siapa pun untuk menunda lebih lama. Begitu mereka berdiri di altar, suaranya tegas saat mengucapkan janji pernikahan, matanya tak sekalipun beralih dari Selena.“Dengan ini, kalian resmi menjadi suami istri”Matthias tidak menunggu aba-aba untuk mencium Selena. Bibirnya langsung menekan bibir Selena, mendominasi, menegaskan kepemilikannya di depan semua orang yang hadir.Sorakan kecil terdengar dari beberapa tamu, tetapi Matthias tidak peduli. Dia hanya menarik Selena lebih dekat, menyalurkan emosi yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.Begitu mereka masuk ke dalam mobil, keheningan menyelimuti mereka. Matthias duduk di sampingnya, tangannya tidak pernah lepas dari tubuh Selena—entah menggenggam jemarinya atau sek
Selena menatap dirinya di cermin, jantungnya berdebar tidak karuan.Gaun putih itu terasa begitu indah di tubuhnya, tetapi berat di hatinya. Bukan karena dia tidak ingin pernikahan ini terjadi, tetapi karena semuanya masih terasa seperti mimpi yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Pintu ruang rias terbuka, dan Lumia masuk dengan senyum lembut."Sayang..." suara ibunya penuh kasih, tetapi ada sedikit kegelisahan di dalamnya. "Sudah waktunya."Selena menelan ludah, mencoba mengatur emosinya."Kau baik-baik saja?" tanya Lumia, mengulurkan tangan untuk menggenggam jemari putrinya.Selena menatap tangan mereka yang bertaut, lalu mengangguk pelan. "Aku... aku tidak tahu, Mom."Lumia tersenyum kecil. "Pernikahan tidak pernah mudah, Selena. Tapi yang perlu kau tanyakan pada dirimu sendiri hanyalah satu hal—apakah kau ingin hidup tanpanya?"Selena mengangkat wajahnya, menatap bayangannya sendiri di cermin.Apakah dia bisa h
Kesalahan Dylan adalah tak mengenalkan dunia mereka pada putrinyaKesalahan Lumia adalah tak memberitahu identitasnya pada SelenaDan kesalahan Matthias adalah melecehkannya bahkan mengenalkan Selena pada dunia dengan cara yang keliru.Selena seharusnya tahu sejak awal.Seharusnya dia mengerti bahwa dunia tempatnya hidup bukanlah dunia normal.Dunia mereka gelap. Kotor. Berdarah.Tidak ada keadilan di sini, hanya kekuasaan dan kelangsungan hidup.Tapi Dylan ingin melindunginya.Lumia ingin menjaganya.Dan Matthias... Matthias ingin memilikinya.Selama ini, semua orang mengambil keputusan untuknya. Mereka membungkusnya dalam kebohongan manis, berpikir itu akan membuatnya aman. Tapi justru itu yang membuatnya semakin rapuh.Selena menatap Matthias yang masih memeluknya erat di dapur.Pria itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.Dan pada saat yang sama, satu-satunya tempat dia bisa berpulang."Matthias" gumamnya pelan."Hm?""Aku ingin mati saja..."Matthias membeku.Tubuhnya yang
Brak“Putramu itu gila, Caid!”Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Dylan begitu dia tiba di markas Oletros, tepat diruang berkumpul yang mana Caid sedang duduk di kursinyaCaid terkekeh “Jika tak gila tentu saja bukan putraku” Jawab CaidDylan mengusap wajahnya dengan frustrasi, sementara Caid hanya menatapnya dengan senyum kecil penuh hiburan.“Ini pertama kalinya aku melihatmu kacau, Dylan” Enid mengucapkan dengan santainya sementara Dayn, kembaran Dylan hanya terkekeh“Kau tak tahu saja karena hanya memiliki anak lelaki” Seru DaynEnid mendengus kesal, melirik Dayn dengan tajam. “Kau pikir punya anak lelaki lebih mudah? Tunggu sampai salah satu dari mereka membawa pulang masalah sebesar Matthias.”Dayn terkekeh, menyilangkan tangan di dadanya. “Masalahnya, Matthias tidak sekadar membawa masalah. Dia adalah masalah itu sendiri.”Caid mengangg
Selena tak benar-benar dibiarkan pergi. Nyatanya, saat dia dan Daddynya tiba di bandara, tidak ada satu pun maskapai yang menerima kepergiannya.“Apa maksudnya tidak ada penerbangan?” Dylan menekan telepon di tangannya, berbicara dengan seseorang dari pihak bandara. Wajahnya mengeras. “Kami sudah memesan tiket sejak tadi malam.”“Maaf, Tuan, tetapi semua penerbangan Anda telah dibatalkan.”Dylan meremas gagang ponselnya erat. “Oleh Walton?” Tanya DylanPetugas di ujung telepon terdengar ragu sebelum menjawab. “Kami tidak bisa memberikan informasi itu, Tuan.”Dylan menoleh ke Selena, yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi yang tak kalah frustrasi.Matanya langsung menyipit. “Matthias.”Selena menghela napas panjang, menatap papan informasi keberangkatan yang kosong untuk mereka.Tentu saja.Tentu saja Matthias tidak akan membiarkannya pergi semuda