Share

Temukan Dia

Sean menoleh ke belakang, “Ini kan ....”

“Pak, kita udah ditunggu di dalam,” ucap Bima yang mengajak Sean untuk segera masuk.

“Oh iya. Ayo kita masuk.”

Sebelum melangkah masuk menuju ke ruang briefing, Sean menyempatkan diri untuk menoleh lagi sejenak ke belakang. Dia mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang sepertinya dia kenal.

Indra penciuman Sean mendapati sesuatu yang tampak sangat dia kenal. Aroma wanita malam itu tercium di sekitar Sean berdiri saat ini.

Sayangnya, terlalu banyak orang di lobby kantor yang cukup luas itu dan tidak ada wajah mereka yang mampu menggetarkan hati Sean. Pria muda nan tampan itu memutuskan untuk mengabaikan perasaan yang baru saja melintas di benaknya.

Sean masuk ke dalam ruang briefing dan duduk di barisan paling depan. Dia mulai mendengarkan paparan dari pemberi materi briefing hari ini, yang kebetulan akan membahas tentang proyek besar mereka berikutnya.

Tapi entah mengapa pikiran Sean hari ini tidak ada di ruang briefing itu. Pikirannya seolah sedang tertinggal di luar ruangan yang kini dipenuhi oleh karyawan perusahaan yang dipimpinnya itu.

‘Parfum itu. Aroma itu sama persis dengan wanita malam itu. Apa dia ada di sini?’ ucap Sean dalam hati.

‘Tapi parfum itu pasti tidak hanya dia aja yang punya. Kemeja yang dia pake aja, harganya murah. Pasti parfum itu juga bukan parfum eksklusif. Dia pasti bukan orang di sini.’ Sean kembali meyakinkan dirinya.

Sean kembali teringat akan aroma tubuh wanita yang dia nikmati malam itu. Aromanya sangat khas dan belum pernah dia rasakan selama ini. Aroma parfum ditambah dengan aroma sabun bercampur keringat si wanita, membuat perpaduan yang membuat hasrat Sean makin naik.

Sean kembali berkonsentrasi mendengarkan materi. Dia juga harus memberikan penilaian sebelum acara ini berakhir nanti.

Ellena datang sedikit terlambat. Dia jalan mengendap-endap untuk kembali duduk di tempat duduknya tadi. Sayangnya ketika dia datang, Sean sedang berdiri di atas mimbar. Tatapan tajam Sean menangkap sosok Ellena yang sedang berjalan sambil membungkuk.

“Heh, kamu! Kenapa jam segini baru datang!” panggil Sean dengan suara sedikit lantang dan menyita perhatian semua orang.

Sontak saja semua orang yang ada di ruangan itu menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari siapa orang yang dimaksudkan oleh pimpinan mereka. Tidak terkecuali Ellena yang juga tampak bingung karena beberapa pandangan rekan kerjanya tengah tertuju kepadanya.

Ellena memberanikan diri untuk berdiri dan melihat ke arah Sean, “Maaf Pak, saya sedikit terlambat,” jawab Ellena dengan perasaan takut.

“Kamu berani datang terlambat? Dari mana kamu?!” tanya Sean tegas.

“Maaf Pak, saya tadi ke toilet dulu sebentar,” jawab Ellena dengan sedikit takut.

“Ke toilet? Kenapa kamu ke toilet waktu briefing udah dimulai. Kenapa nggak pergi ke toilet waktu kamu baru datang. Atau kamu emang datang telat, terus alasan ke toilet.” Sean semakin menyerang Ellena.

“Enggak Pak, saya nggak datang telat kok. Tadi Saya bahkan ketemu sama bapak di lift, waktu Bapak datang. Tapi saya kan nggak mungkin juga Pak menolak yang namanya panggilan alam. Nggak lucu Pak, kalau nanti saya malah kebobolan di sini.” Ellena geram karena dia sudah merasa dipermalukan oleh Sean.

“Alasan aja kamu! Kali ini kamu saya peringatkan, tapi lain kali kalau kamu kelihatan terlambat lagi mengikuti briefing, saya nggak akan segan untuk kasih hukuman ke kamu,” tegas Sean.

“Baik, Pak,” jawab Ellena pelan menahan geram di dadanya.

Ellena berjalan sambil membungkukkan badannya. Dia berusaha kembali ke tempat duduknya yang ada di tengah ruangan.

Setelah duduk kembali, tanpa sengaja tatapan mata Ellena bertabrakan dengan mata tajam Sean, yang tampaknya sejak tadi mengikutinya. Tentu saja Ellena langsung menundukkan wajahnya lagi, karena dia masih belum memiliki kekuatan besar menentang Sean.

“Kasar banget jadi orang. Pantes aja sampe sekarang gak dapet pasangan. Kerjaannya cuma kerja ama marah-marah aja,” gerundel Ellena pelan sambil meremas jari-jarinya sendiri.

Sean memang dikenal di kantor ini sebagai jomblo. Pria muda tampan dan kaya raya itu disinyalir terlalu pemilih untuk mencari pasangannya. Tapi gosip beredar, pria itu sangat suka menghabiskan malam bersama dengan wanita-wanita yang memujanya.

Tentu saja hal itu sangat jauh dari kriteria pria idaman Ellena. Dia bahkan sudah kecewa berat ketika Sean memaksanya untuk menyerahkan kehormatannya bahkan itu adalah bibit kebencian di hati Ellena untuk Sean. Ellena hanya mengagumi sikap pantang menyerah Sean dalam bekerja.

***

Tiga hari sudah Sean terus terganggu dengan sosok wanita misterius yang hanya ada di pikirannya itu. Meskipun dia sudah memaksa otaknya untuk mengingat wajah wanita yang dia nikmati malam itu, tapi tetap saja dia tidak mendapatkan bayangan itu meskipun hanya sekilas.

Sean sedang memainkan kancing kemeja yang dia temukan di kamar itu. Dia yakin kalau kancing kemeja itu adalah salah satu dari kancing kemeja milik si wanita.

“Selamat pagi, Pak,” sapa Bima yang masuk ke ruang kerja Sean dengan membawa beberapa berkas di tangannya.

“Berkas apa itu?” tanya Sean.

“Ini ada laporan keuangan bulan lalu dan juga laporan tentang penilaian akhir dari karyawan yang mendapat promosi. Saya harap Bapak bisa memeriksanya dan menilai, apakah mereka lulus dalam kualifikasi kita.” Bima meletakkan berkas di tangannya di atas meja kerja Sean.

“Ya udah, kalau gitu nanti saya periksa.”

“Baik, Pak. Kalau gitu saya permisi dulu.” Bima berpamitan.

“Tunggu dulu!” cegah Sean sebelum orang kepercayaannya itu pergi.

Bima melihat ke arah atasannya lalu duduk kembali, “Iya Pak, ada yang bisa saya bantu.” Bima selalu siap menerima tugas dari atasannya.

Sean sedikit ragu untuk menceritakan kepada Bima tentang apa yang selalu mengganggu pikirannya beberapa hari ini. Tapi tidak bisa dipungkiri juga, kalau pria yang ada di hadapannya itu seringkali membantunya untuk menyelesaikan tugas yang dia berikan.

“Saya ada tugas buat kamu,” ucap Sean.

“Tugas? Apa itu, Pak?” Bima tampak serius karena atasannya mengubah mimik wajahnya menjadi lebih serius.

“Tugas ini rahasia. Kerjakan diam-diam.”

“Saya siap, Pak.” Bima sudah biasa menerima tugas pribadi seperti ini dari Sean.

Sean menyodorkan kancing kemeja yang dia temukan itu ke arah Bima. Sang asisten pribadinya itu pun melihat dengan aneh ke arah kancing tersebut.

Bima melihat kancing baju di tangannya itu dengan saksama. Dia kemudian melihat ke arah atasannya itu dengan pandangan penuh tanya.

“Kancing baju. Milik siapa ini, Pak?” tanya Bima ingin tahu.

“Temukan siapa pemiliknya dan bawa dia kemari!” perintah Sean dengan tegas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status