幼馴染の颯太と大地が過ごす小学生最後の夏休み中の秘密。 ケイタは朱塗りの神楽殿がある異界に迷い込むが……。 三人の子供たちの成長。
Voir plusNamaku Levia Aliani, biasa dipanggil Levi, anak kedua dari dua bersaudara, dan saat ini aku hidup Sendiri jauh dari orang tua. Aku juga punya orang tua angkat dan kakak angkat yang lebih Menyayangiku dari pada kakakku sendiri, namanya Deren, dia satu-satunya orang yang aku percaya untuk menjaga diriku tentang apa pun itu. Aku merantau di kota lain dan aku bekerja di salah satu Perusahaan bidang jasa. Aku hanya seorang karyawan baru, bahkan aku tidak mengenal siapa pun Saat hari pertama masuk kerja.
Langit sore tampak bersahabat, menemani aku yang tengah duduk sendirian di pinggiran pantai. Menunggu matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Deburan ombak dan angin laut yang menyapu rambutku menjadi beterbangan semakin membuatku merasa nyaman. Ditambah langit oren dan dipadu dengan birunya laut semakin membuat aku kagum dengan ciptaan Tuhan. Aku berharap jika kedatangan dan memilih kota ini untuk bekerja dan belajar memulai hidup yang baru tidak akan mengecewakan, setelah hampir seharian penuh aku memulai bekerja dan beradaptasi dengan lingkungan baru membuatku sedikit pening dikepala aku memutuskan pulang mampir ke pantai, kebetulan jarak tempat kerja, pantai dan kos tempat aku tinggal berdekatan. Hari makin gelap matahari sebentar lagi juga menenggelamkan diri sepenuhnya, namun suasana pantai sungguh memanjangkan diriku sampai malas untuk pulang.
Sungguh kesepian yang benar-benar dapat aku rasakan, tidak ada teman bahkan tidak ada satu pun orang yang aku kenal, sedangkan handphone juga masih setia berdiam tanpa ada notifikasi sejak tadi siang, ini adalah malam kedua aku tidur di sini sejak kedatanganku dari kemarin sore. Bahkan hanya untuk memulai tidur sangat sulit, mungkin aku setuju dengan pepatah yang mengatakan bahwa, penyebab orang sulit tidur adalah rasa kesepian.
Hari semakin malam, namun aku masih sulit untuk memulai tidur. Seperti biasa saat merasa suntuk, resah ataupun kesepian aku memutar suara hujan, gemericik air atau suara alam yang lainnya. Bagiku suara alam yang natural adalah alunan tersendiri yang membawa aku lebih tenang dan damai. Perlahan-lahan mataku mulai tertutup hingga terbawa kealam tidur.
Rasanya baru saja aku memejamkan mata namun suara alarm sudah berbunyi pertanda pukul sudah menunjukkan jam empat pagi, sambil mengumpulkan nyawa aku melihat pesan di handphoneku, seperti biasa bang Deren selalu menanyakan kabarku, memastikan kesehatanku, bahkan hal terkecil kadang juga dipertanyakan. Bagiku kedatangan bang Deren dalam hidupku adalah anugerah paling indah dari Allah, Dulu pertama kali aku bertemu bang Deren adalah saat aku dibawa kekasihku ke rumahnya karena ada acara natal dan kumpul dengan keluarga masing-masing. Namun semua telah berakhir meskipun aku saling mencintai namun kami beda keyakinan, bahkan keluarga saling dekat tetapi sekuat apa pun tuhan kami sudah berbeda, satu amin dua iman, sudah jelas bukan sebaik-baik cinta ke hambanya ia akan lebih baik jika cinta ketuhanannya.
Aku juga tidak ingin merusak kepercayaan masing-masing, hingga akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan, namun pada saat itu ada kejadian yang tidak bisa dijelaskan hingga akhirnya aku diangkat anak oleh pamannya mantan kekasihku, dan itu ayahnya bang Deren, meskipun kami beda keyakinan, itu bukan suatu masalah. Bahkan aku selalu diajarkan untuk selalu menerima perbedaan dalam segi apa pun.
Setelah membalas pesan bang Deren aku bergegas ke kamar mandi membersihkan diri dan berlanjut sholat, tidak lupa selepas sholat dikir kemudian memohon kebaikan kepada Allah. Aku memohon kemudahan dan dilancarkan urusanku. Dan aku berharap hari ini jauh lebih baik dari hari kemarin. Setelah semua beres segera aku berangkat ke kantor, mungkin perjalanan lima menit ke kantor dari, oleh karena itu memilih perjalanan kaki, oh ya aku bekerja di pelabuhan divisi Pelayanan keuangan.
“Halo, levi ya?” sapa seorang perempuan.
“Iya kak, maaf kakak siapa ya?”
“Aku dewi, panggil saja Dewi tidak usah pakai kak biar lebih akrab.”
“Iya kak, eh Dewi maksudku.”
“Selamat bekerja ya. Kita satu devisi kok, semoga betah.”
“Iya, terima kasih.”
Hampir sehari penuh berhadapan dengan layar monitor dengan angka-angka yang membuat pening seisi kepalaku, beruntung sesekali dibantu teman yang lain yang sekaligus mengajakku kenalan, meskipun sebatas kenal dan masih canggung aku bersyukur setidaknya aku mengenal satu dengan yang lainnya.
“Sudah beres?” tanya Aryan.
“Sudah kak, terima kasih atas bantuannya tadi.”
“Iya sama-sama, kalau ada kesulitan jangan sungkan minta bantuan ke aku, Dewi ataupun lainnya, kita memang harus saling membantu” jelasnya padaku.
Jam sudah kerja sudah hampir habis, syukur pekerjaanku sudah beres meskipun hampir menguras otak dan tenaga, segera aku membereskan barang-barangku dan pulang, rasanya sudah tidak sabar aku ingin tidur, baru saja aku melangkahkan kakiku keluar dari ruangan namun badanku sudah oleng akibat ditabrak orang yang berlawanan denganku.
“Aduh bagaimana sih jalannya,” kesalku sambil berusaha berdiri dengan kaki yang terluka.
“Aduh maaf mbak tadi aku buru-buru, sekali lagi maaf mbak sampai mbak terluka begini, ayo mbak biar saya bantu,” katanya sambil membantuku berdiri namun segera kutepis karena terlanjur kesal “Iya tapi minggir dikit bisa kan mas, saya mau pulang ini,” kesalku.
“Kenapa Lev, kok kakimu berdarah begini?” tanya Dewi yang tiba-tiba datang dari belakangku.
“Jatuh Wi, tidak apa-apa luka dikit nanti sampai rumah diobati juga langsung sembuh” jelasku pada Dewi yang terlihat panik.
“Ya ampun, ini itu luka parah Lev, lihat darah berceceran begini, bengkak lagi kakimu,” panik Dewi.
“Maaf, tadi tidak sengaja aku tabrak, terus mbaknya terjatuh sampai kakinya terbentur ujung pintu,” jelasnya seseorang yang baru saja menabrakku
“ Lagian kamu selalu kebiasaan kalau jalan lari Ndre, lihat ini anak orang baru saja baru masuk kerja sudah kamu bikin celaka saja,” ketusnya Dewi
“Sudah Wi jangan di ributkan, lagian tidak sengaja dan aku baik-baik saja kok,” selaku agar tidak terjadi keributan.
“Iya sudah kamu pulang bareng Aryan saja Lev, Aryan searah kok sama kos kamu, nanti biar aku yang bilang. Dan kamu Ndre bawa Levi ke tanggung jawab kamu, tapi kalau Levi nya kenapa-kenapa aku lempar sekalian kamu ke dasar laut,” ancam Dewi lalu pergi.
Dengan langkah kaki yang begitu ngilu aku dibantu berjalan, tidak ada percakapan sedikit pun sampai dia bersihkan luka sekaligus mengobatinya, aku pun hanya diam sambil menahan sakit “Sudah,” katanya sambil berdiri.
“Makasih” jawabku singkat
“Maaf tadi aku tidak sengaja tabrak kamu, sampai bikin kamu terluka begini, perkenalkan aku Andre kamu siapa?”
“Levi.”
“Kapan kamu mulai bekerja, aku tidak lihat kamu sebelumnya,” tanyanya.
“Kemarin”
“Boleh aku nomor handphone kamu?”
“Nggak,” jawabku dengan sedikit membentak, jika saja kakiku mudah buat jalan kupastikan aku sudah pulang duluan sejak tadi dan istirahat dari pada duduk tidak jelas begini.
Setelah beberapa saat aku menunggu pintu terbuka, terlihat Aryan yang baru saja masuk sudah mengerti semua sama yang telah terjadi, mungkin Dewi sudah cerita semua.
“Sakit buat jalan, perlu aku bantuin?” tanya Aryan.
“Iya, tapi masih bisa jalan sendiri, terima kasih,” jawabku, lalu kulangkahkan kaki pergi meskipun terseok-seok, yang kupikirkan saat ini lebih baik aku cepat pulang dan cepat beristirahat. Selama perjalanan pulang sama sekali tidak ada percakapan, mungkin karena aku juga yang hanya menjawab pertanyaan dengan seadanya sehingga jadi canggung hingga akhirnya sampai.
“Terima kasih sudah diantar pulang.”
“Iya, semoga cepat sembuh,” katanya yang hanya kutanggapi dengan senyuman, lalu pergi.
Setelah selesai membersihkan diri sekaligus sholat segera kuhempaskan diriku ke kasur sambil main handphone, karena bingung iseng aku stalking akun mantan, padahal dia sudah bahagia dengan yang lain, tapi malah cari infonya, sungguh contoh manusia yang pintar cari penyakit hati sendiri bukan. Dan parahnya aku melihat foto berdua pamer kemesraan, tapi bukannya aku berhenti stalking malah aku lihat foto satu persatu sampai tidak sengaja aku malah kasih like fotonya. Dengan cepat aku batalkan like, bisa-bisa ketahuan stalking, entah dia tahu atau tidak yang penting aku batalkan. Rasanya aku ingin menceburkan diri ke dasar laut sekarang juga, malu ketahuan stalking iya, sakit hati iya.
Karena tidak ingin sakit lebih aku lebih memilih tidur, baru saja aku memejamkan mata tiba-tiba ada yang telepon, “sialan pasti mantan mau hina karena ketahuan gue masih suka kepoin” batinkui. Tanpa melihat siapa yang telepon aku angkat begitu saja.
“Apa telepon?” ketusku karena kesal
“Kenapa sih bocah tiba-tiba mengamuk tidak jelas begini?”
“ Eh, maaf aduh bang Deren ya kirain siapa gitu. Ada apa bang?”
“Makanya besok-besok kalau angkat telepon baca dulu, main angkat melulu, bagaimana kalau yang telepon atasan kamu, atau nggak calon mertua, mampus.”
“Mertua apa mertua, aduh bang aku itu lagi pusing, bete pokoknya aku lagi benci, benci banget malah jadi tolong peka sedikit kenapa,” omelku.
“Apanya yang peka orang tiba-tiba marah, lagi pms?”
“Bukan ya, aduh sumpah Levia lagi pusing, duh pusing aduh duh pusing banget ini, gimana ya?” kataku sambil mendramatis keadaan.
“Geli dengarnya dek, ada apa coba jangan muter-muter, aku mati in teleponnya,” ancamnya.
“Jadi tadi itu kerajaannya banyak banget sampai aku keteteran tidak sempat istirahat, mana mau minta bantuan masih canggung lagi, terus pas pulang itu capek lemes banget pengen cepet-cepet bobok eh malah dengan bodohnya aku ditabrak orang, mana badannya gede tinggi ya aku yang kecil kaya kurcaci jatuh sampai kaki berdarah sama terkilir. Terus akhirnya ditolong diantar pulang juga sama seseorang. Tapi sampai kos tidak bisa ke mana-mana karena gabut stalking mantan, dan tahu tidak bang katanya dia pengen sendiri tapi ternyata ada yang lain selain aku, eh fotonya malah keliru aku like, aduh pokoknya aku mau hapus hari ini, malu-maluin banget bang hiksss,” jelas ku.
“Kok bisa ditabrak, terus kenapa stalk mantan segala, kangen?”
“Ya orangnya saja yang salah masa aku jalan sudah benar ditabrak, sudah bang kayaknya kalau curhat ke kamu bukannya beres malah kaya menghadapi polda metro jaya, tanya mulu.”
“Dasar bocah, curhat nanggung banget namanya juga curhat ya tanya dan menanggapi lah, terus kaki kamu bagaimana masih sakit atau ada sakit yang lainnya?”
“Masih, kalau tidak aku mau keluyuran mumpung hati sedang tidak baik.”
“Biar sembuh dulu baru boleh keluyuran.”
“Benar aku boleh keluyuran di sini, yeahhh abang aku memang terbaik,” kataku girang.
“Boleh asal jaga diri baik-baik, satu lagi jangan pernah kecewakan dan merusak kepercayaan abang ke kamu.”
“Levi tidak janji, tapi Levi akan berusaha tidak pernah merusak kepercayaan abang.”
“Bagus, Levi sudah dewasa sudah tahu mana yang baik dan yang buruk, kuharap mengerti. Sudah malam sudah, cepat istirahat.”
“Iya terima kasih bang, selamat malam” tutupku lalu kumatikan teleponnya.
Seperti biasa aku selalu kesulitan memulai tidur, Semua kenangan buruk selalu datang saat mulai tidur, bahkan sering sekali menangis hingga badan gemetaran karena ketakutan jika mengingat semua memori buruk yang terjadi. Jika sudah begitu dua hal yang bakal terjadi, tidak bisa tidur sampai pagi atau bangun dalam keadaan sakit.
Sudah seminggu lamanya aku bekerja, rasa canggungku sudah mulai hilang, jika kemarin aku diajak bicara jawab seperlunya, sekarang sudah mulai akrab. Kakiku sembuh, bahkan kalau berangkat atau pulang kerja aku selalu nebeng Aryan, meskipun jarak kosku dan kantor tidak jauh Aryan memaksa bareng karena juga searah dengan kosnya. Bilangnya tidak enak dilihat orang karena naik motor sendiri searah tapi temannya dibiarkan jalan kaki sendirian.
“Sudah kelar Lev kerjaan kamu” tanya Aryan datang yang datang tiba-tiba
“Belum, tinggal dikit beres ini”
“Sini aku selesaikan, kamu beres-beres biar cepat pulang,” katanya sambil menggeser tempat dudukku.
“Masih setengah jam lagi Ar jam pulang, aku tidak mau ya kena mara.”
“Tidak ada yang mau marah, lihat komputer sudah pada mati tinggal punya kamu, tapi ini tinggal dikit beres, tinggal matikan juga.”
“Ok, terserah kamu, aku ngikut aja.”
Setelah beres aku hanya mengikuti kemana Aryan pergi, kebetulan semua juga sudah terlihat beres.
“Lev ke tempat penyeberangannya yuk?” ajak Aryan.
“Mau ngapain, enggak mau di sana banyak orang Ar” kataku memelas
“Tenang saja Lev, ada aku juga. Sekali-kali kamu lihat yang diluar masa mau yang di dalam ruangan terus,” katanya menenangkanku, sampai akhirnya aku mengikutinya dari belakang.
Hening, begitu sulit rasanya aku melalui hari-hariku, mungkin bukan karena hal aku jauh dari orang tua yang membuat aku merasa sulit, karena sejak kecil sudah di didik untuk mandiri dan terbiasa jauh dari orang tua. Tapi mungkin aku belum terbiasa dengan dunia kerja, dan belum terbiasa. Aku yang kemarin masih sekolah berbeda dengan yang sekarang baru merasakan bekerja, aku yang kemarin ada banyak teman dan aku yang sekarang masih sendiri belum ada teman, meskipun aku sudah percaya cepat atau lambat aku akan mempunyai teman yang baru untuk menemani hari-hariku.
“Levia,” bentak Aryan yang mengagetkanku
“Kenapa Ar?”
“Aku ajak ngomong dari tadi, tapi malah melamun.”
“Sudah kebiasaan.”
“Lev kamu tahu tidak kalau perempuan itu ibarat pelabuhan?”
“kok pelabuhan sih Ar, jangan mengada-ada kamu.”
“Iya perempuan itu pelabuhan tempat berlabuh hati, sejauh apa pun kapal berlayar ia akan kembali di mana ia tempat berlabuh sama halnya manusia jika ia adalah tempatnya berlabuh sejauh apa pun pergi pasti akan kembali,” jelas Aryan
“Apa kamu sekarang sedang berlayar dan akan kembali?”
“Aku berlayar tapi belum ada tempat berlabuh.”
“Dasar buaya.”
“kok buaya sih Lev, baru kenal sudah mengatai nih,” elak Aryan tidak terima.
“Biarin, aku mau pulang atau aku pulang sendiri?”
“Iya-iya kita pulang”
“Aku dan kamu bukan kita,” tegasku
“Iya, bebas kamu mah, asal bahagia.
Hari demi hari terlewati dari aku yang terbiasa hidup di kos sendiri, aku yang mulai akrab dengan orang sekitar, teman bekerja dan mulai mempunyai teman dekat. Terutama Aryan, di mana dia adalah seorang tempat aku cerita, mengeluh saat lelah bekerja, bahkan mengeluh saat kesepian setelah pulang bekerja, dia adalah orang pertama yang aku cari untuk aku ganggu biar aku tidak merasa kesepian. Bagi aku mengganggu ketenangan Aryan adalah sebuah kesenangan tersendiri bagiku, meskipun pada akhirnya aku akan kena marah dan nasihat sok bijak dan tidak jelas alurnya. Selain aku merasa dekat karena dia berasal dari kota yang sama denganku karena Aryan juga yang membantu aku saat awal aku mulai bekerja, dia orang pertama yang mengarahkan dan membimbing aku saat bekerja, meskipun dengan sikapnya yang selalu berubah-ubah kenyataannya jam bekerja yang berantakan, pekerjaan yang tidak sesuai bidangku, bahkan sudah hampir dua bulan bekerja aku tetap merasa keteteran sama yang aku kerjakan, namun aku beruntung bertemu dengan seorang teman-teman yang selalu siap membantu. Dengan semangat yang telah kumpulkan aku melangkah kan kakiku, terlihat handphone berdering, kulihat Aryan meneleponku.
“Halo,” sapaku, tumben pagi begini Aryan sudah meneleponku.
“Al cepat bersiap ya, aku disuruh jemput kamu sama teman lain, ada meeting katanya. Jangan sampai telat nanti,” jelasnya padaku.
“Iya,” jawabku singkat, langsung kumatikan teleponnya tanpa bilang apa pun. Sudah kupastikan Aryan sedang mengomel tidak jelas atau bahkan mengumpat karena ulahku, namun aku tidak peduli Karena yang aku pikirkan sekarang hanya datang ke kantor tepat waktu agar tidak terkena sanksi dan pastinya agar Aryan tidak perlu menungguku.
“Cie semakin akrab ini iya ceritanya Levi sama Aryan,” celetuk Dewi saat aku baru datang dikantor bersamaan dengan Aryan.
“Namanya juga teman kerja Wi, kamu juga dekat sama Andre, apa bedanya Coba? Aku bareng Aryan kalian juga tadi yang menyuruh” elakku pada teman kerja yang lain, sedangkan Aryan sudah terbiasa dengan sikap batunya yang tidak mau ngomong apa pun dan tidak peduli, kecuali terpaksa, bahkan saat diancam ditabok pun iya hanya diam sambil menunjukkan sikap dingin dan songongnya.
“Siapa yang suruh sih Lev? Itu hanya alibi Aryan doang biar bisa dekat sama kamu. Atau mungkin takut kamu hilang karena diam-diam ada yang culik kamu, padahal kalau diculik pasti juga Ketahuan penculiknya, siapa, iya kan Ndre?” kata Dewi sedangkan Andre hanya menanggapi perkataan Dewi dengan senyuman saja.
“Terserah kalian, kalau bercanda ingat kerja, tahu sendiri kan si ketua sedikit- sedikit marah melulu kerjanya.”
Tidak terbayang jika aku sekarang diposisi ini, sekarang aku punya sahabat seperti Dewi yang cerewet, Andre yang banyak maunya, kadang manja kadang suka marah tidak jelas dan Aryan si es batu dan playboy yang suka membuat aku jengkel dan membuat jiwa usilku selalu bangkit.
Entah apa yang telah terjadi, perasaan untuk berhenti dan mengundurkan diri sering datang akhir-akhir ini, kadang merasa sulit, kadang tidak tenang, kadang merasa bersalah dan perasaan buruk lainnya yang mengganggu dan mengusikku.
Sore itu cuaca terlihat, dengan cepat aku menyelesaikan pekerjaanku, ingin rasanya cepat pulang lalu pergi ke pantai untuk menikmati senja, senja yang selalu kurindukan sejak pertama aku menginjakkan kakiku di tempat ini, di mana aku bisa menikmati kesendirianku tanpa seorang pun
※ ※ ※ ※ ※〈再び颯太〉老婆が出てきて、ガラス窓の中の、バケツの水を捨てて、残った大ぶりの白い花で、大きな花束を作る。その花束を老婆自身で持つと、颯太たちに「さあ、店じまいだ。もう二度と迷い込むんじゃないよ」 下垂した上瞼をピクリと上げて、悪そうな顔になって言う。「じゃあ、行こうか。キヌエちゃん」 壬申が、老婆の横に立つ。「今夜はキヌエちゃんを迎えに来たから、君たちをあちらまで送っては行けない。その機器に」 颯太のスマホを指して壬申が「君の行きたい場所を告げれば、また案内してくれるだろう」 アドバイスをくれる。「ありがとう」 頷いて、颯太は店を出た。颯太が自宅の住所をスマホに向かって言うと、ナビが矢印の方向を定める。シャッターを閉じるガラガラという大きな音に、颯太が目をやると、壬申と、小花柄のレトロなワンピースを着た女の子が、大きな花束を持っていた。「行こう、キヌエちゃん」 壬申が女の子の手を取った。 颯太のナビの方向とは、真逆に壬申と女の子が歩いてゆく。 立ち止まって、それを見ていた颯太に気づいた二人も、店がある方を向く。「ぼくたちも、いつか壬申がああやって、最後は迎えに来るのかな」 感傷的に呟いた颯太に「かもなー」と大地が吞気に同意した。「帰ろう」 颯太は言って、三人は薄明るい闇の中をナビが示す方角へ、共に歩き出す。「目的地周辺です」 スマホのナビが、音声で告げる。 気づくと浅賀家の前の通りまで来ていた。街灯の明かりが周辺を照らしていて、もうすっかり日が暮れている。 今ごろになって、颯太は膝が震えている。それを隠したくて、大地、景汰に「家に早く着いた人がお母さんに花を渡そう!」 と声をかけて、三人で浅賀家を目指して走り出す。 早く、早く、早く。気が急いている。 颯太は玄関のドアを開けて、台所へ直行した。あとから、二人が息を切らせて、入ってくる。 三人を待ち構えたように、夏美が仁王立ちしていた。「どこに行ってたの! 三人ともスマホの電源、落としてたでしょ! 通話が繋がらないし、遅くなるなら、どこに行くのかくらい、連絡して。もう少し遅かったら、警察に相談しよう、ってお父さんと話していたところよ!」 壁の時計を見ると、夜の七時半、少し前だった。「ごめん……」 肩を落として、三人で謝
※ ※ ※ ※ ※〈大地〉 『キヌエ生花店』の看板がかかっている店先を覗く。昭和レトロな作りの木造の建物で、床はコンクリートで固めている。 三人は恐る恐る足を踏み入れた。「いらっしゃい」 皺枯れた声がして、振り向くと、小柄な老婆が立っている。 ガラス窓の中には白い大ぶりの切り花が、アルミのバケツに生けられていた。 老婆の得体が知れず、大地は気味悪くなった。『五秒後の景色』も、この店に入ってから、見えてこない。「子供だけかい?」 老婆ではあるが、腰は曲がっておらず、ピンと背筋が伸びている。こちらの警戒にも構わず、老婆は話しかけてくる。「どうやら、あんたらがこの店の最後の客だね」 最後の客? この店、閉店するのか? 大地の頭に疑問符がいろいろ浮かぶ。「おや? あんたら、痣持ちかい?」 三人の額を順番に見ながら、老婆が好奇心を隠さずに言う。「えっ?」 思わず大地が反応してしまう。「どうして痣のことを知っているの?」 老婆が喉の奥で笑った。「あたしも痣持ちだよ。ほら」 額にかかっていた白髪を手で持ち上げて、見せてくる。「大変な人生を背負わされた子が、あの世界から帰ってくると、できる痣さ。道理で、この店まで、あんたらが来られたわけだ」 老婆が独り言のように頷く。「今夜は、お迎えが来るんでね、早いとこ、決めておくれ。と言っても、もう売る花は一種類しかないがね」 白髪から手を降ろし、ガラス窓を指した。「この花しかないが、いいかい?」 三人をぐるりと見て、老婆が聞いてくる。大地と景汰は、颯太を見て、どうする? と目線で伺う。こっそり颯太が、景汰に耳打ちしている。「これ、買わないと、ここから出られないの?」「……たぶん、そう」 景汰の答えに、しばらく迷うように颯太が目線を彷徨わせる。そると老婆が「なんだって、花が欲しいんだい?」と訊ねてくる。「人に贈りたいから……」 意を決して、颯太が老婆に言う。すると、老婆は、カカカッ、と笑い「あんたら、誰に花を贈りたいんだ?」 最初は、怖かった老婆が、そんな恐ろしいものではない、と大地は本能的に察した。『五秒後の景色』が見えないということは、この店の中では不幸は起こらない、ということだろう。「さっさと答えな」 とても接客する態度とは思えないが、老婆はこちらが、子供だか
※ ※ ※ ※ ※〈景汰〉 翌日の学校で、三人で作った秩父神社の模型が、自由研究の金賞に選ばれていた。教室前の廊下に並べられていた同級生たちの自由研究の中でも、ひときわ目を引く模型の前で、三人で、こっそり、グータッチする。学校活動は、なるべく目立たないように、他の児童から浮かないようにしていたが、転校してきたばかりの景汰は「都会者」として注目されている。だから、こっそりと嬉しさを共有する。 転校してきて、颯太、大地と同じクラスになれたのは、おそらく颯太の両親の口添えか、何かしてくれたのだろう。 転校初日こそめずらしさに、机の周りに児童が集まっていたが、颯太と大地と、もともと友達だと知ると、景汰を自然に受け入れてくれた。そして颯太、大地の友達と話しをするようになった景汰だが、交友関係をあまり広げたくない、と考えていた。 どこから転校前の景汰の噂が入ってくるか、わからない。とても胸を張れるようなお金の稼ぎ方をしてこなかった自分のせいだ。今後、景汰の人生を左右してしまうような事態もあるかもしれない。それでもこれからは誠実に生きていくと、決めた。景汰を下宿させてくれている浅賀家や、颯太や大地に、累が及ぶことのないように。 決めたんだ。下校のチャイムが鳴り、競うように教室を出てゆく児童に混じって、景汰たちは校門を出る。大地がいったん、自宅に帰りランドセルを置いて、颯太の家に来るまで待ってから、三人で花屋を検索する。すると五百メートル圏内に一件、ヒットした。「花屋に行くって初めてだ、こんなにお店がないものなの?」 景汰が首をかしげる。「都会っ子め」と大地がからかう。「いまの言い方、良くないよ、大地」 颯太が注意した。 さっそく、颯太が「行くよ」と声に出して、スマホに向かって言う。「徒歩でルート案内して」 スマホの画面に地図と、目的地を示すピンと矢印が表示される。三人は浅賀家を出発する。 颯太が「あれ?」と声をあげた。「どうした?」 景汰は気にかけて、立ち止まる。颯太が首をかしげる。「矢印の方向がおかしい。本当にこっちで合ってんの? いや、こんな道、ここにあったっけ?」 周囲を見渡している颯太に、景汰は眉をひそめる。大地も異常を察したらしい。 景汰は少し不安になる。歩ても歩ても目的地の花屋に着かない。 九月初旬の夕暮れが
『後日談』 ※ ※ ※ ※ ※〈颯太〉台所の壁掛けカレンダーが九月に変わっていた。颯太は、九月八日に赤丸がつけられていることに、気がついた。祝日でもなんでもない。何かあったけ? と十秒ほど考えてから、母の夏美の誕生日だ、と思い出す。父も颯太も、記念日的なものを覚えていられないタチなので、去年も確か、夏美が同じように壁掛けカレンダーに赤丸をつけて、こっそりアピールしていたことも、ついでに思い出した。去年、何をしてたっけ?去年は父が、ダサいブランドのバッグをアウトレットあたりで買ってきて、夏美の不興を買っていたな……と、いうのも思い出してしまった。プレゼントをあげなければならないのか?子供の小遣いで買えるプレゼントが思い浮かばない。しばらく壁掛けカレンダーの前で考え込んで立ち尽くしていると、景汰が二階から降りてきて、台所に顔を出す。颯太を見て「どうしたの? 渋い顔して」と声をかけてくる。「これ……」 壁掛けカレンダーの赤丸を指す颯太に不思議そうに「なにか大事な用でもあるの?」と聞いてきた。「お母さんの誕生日」 颯太が答えると「えっ、明日だよ? なにかしないといけないよね? どうするの?」 景汰のほうが慌てている。「それがさ、いま、プレゼントを買えるかどうかを悩んでいる」「あー……いま、颯太はお小遣い、いくら残ってる?」 景汰が尋ねる。「うーん……二千円ちょっと……かなぁ?」「ぼくも二千円くらい」 景汰がため息をつく。「……」 颯太は思案して黙り込む。景汰がそっと遠慮がちに提案してきた。「一緒に買う? 四千円あれば、少し贅沢なチョコレートとか、買えそうじゃない?」「あー……でも、都会と違って、少し贅沢なチョコレートなんて、気軽に売ってないんだよ、秩父は。池袋まで電車で行かないと、お店がないから。二人分の交通費がかかちゃう」 颯太の言葉に、景汰も考え込んでしまった。「秩父でも買える大人にプレゼントしても喜ばれるものかぁ……」 景汰が呟く。「難しいよね」 颯太は腕を組んで俯いて、考える。遠くから、聞き慣れた自転車のタイヤの音が聴こえた。「大地が来るから、一応、聞いてみよう。三人寄ればなんとかのの知恵」「文殊ね」 景汰が答えた。 居間に大地が来たのは、それから三分後で、インターフォンを押さずに入ってきた
第三十一話「祝福」 すると父親がヘラヘラと笑いながら「なにイキってんの、文句ある?」 と言いながら、自分がイキり散らかす。冷静に尊が応じる。「アルコール臭いですね、お車でご来社ですか?」 と、さらに追い込む。「ちげぇよ、なに? 因縁つける気? この人」 平然と噓を並べる父親に、景汰がワゴン車のナンバーを正確に言う。すると父親の顔つきが変わる。「は? 知らねえし。口出してくんじゃねぇよ、クソガキが」 父親の矛先が景汰に向かう。尊がすぐさま、スマホで電話をかける。 どうやら警察だと、父親が気づいて逃げようとした腕をがっちり、尊が掴む。「酒気帯び運転でのご来社がありましたので、よろしくお願いします。はい、それと一緒にいらしたお子さんへの暴言暴行もありましたので、そちらもお願いします」 話し終えて、尊が通話を切り、五分も経たたずに、パトカーが静かにやってきて、男女二人の制服の警官が境内にやって来た。 夫婦揃って警官に事情を聞かれているあいだも、自分たちは悪くない、昨日の酒が残っていただけでわざとじゃない、だの、子供に対しても躾の一環だった、だの、暴力ではない、だのと言い訳ばかりに終始して、尊を睨みつけていた。 その様子を少し離れた場所から見ていた尊がため息をつく。「いやになりますね」 女性の警官が、両親から距離を置いて、泣きじゃくる女の子の話を聞いている。 見守っていた大地と颯太、景汰に尊が微笑む。「子供は親を選べませんからね。子供から向けられる愛情に応えられないなら、親になるべきではないです」 尊が言い終わるころ、家族がパトカーに乗せられていく。 頭を押さえられてパトカーに乗り込む直前に、父親が、悔しそうに尊を振り返り、大声で言い放つ。「おまえの顔、忘れねぇからな」 捨て台詞を吐いたのを警官に注意され、パタンとパトカーのドアが閉まり、去っていく。「逆恨みされたようです」 尊が困ったように口にした。「ごめん、尊さん」 なんとなく後味も胸糞も悪い顛末に、大地は思わず謝る。「平気です、自分の身は自分で守れるくらいには、武道を嗜んでいますから」 そういえば、あの父親が逃げようとしたときに、腕を掴んだのに、尊の体幹がぶれていなかった。小柄な見た目とは裏はらに尊の芯の強さを垣間見えた。「返り討ちにしますよ」 穏やかに言って
第三十話「子育ての答え合わせ」颯太の家に着くと、自転車を庭に停めて、インターフォンを鳴らす。颯太は出てこないので、勝手に家に上がる。居間で景汰と颯太が話している姿が、頭の中の景色で見えた。颯太はすでに黒のカラコンとメガネをかけて、出かけられる準備はできているようだった。直接、居間に行く。「おはよう、颯太、景汰」「おはよう、大地」 二人が楽しそうな笑顔で迎えてくれる。テーブルの角の位置に大地は座る。 颯太の家に来る前の景汰は、こんなに楽しそうな表情をしなかったから、よほど浅賀家に馴染んでいるのだとわかる。「何を話していたの、楽しそうだけど」 すると颯太が悪そうな顔で「大地がうちに来る自転車の音を拾って、ぼくが実況中継していたんだ」 あっさり白状する。「げ。人が悪いな、全部、聞えていたの?」「うん、車を避けて先に行かせてたでしょう?」「そんな音まで拾えるの?」「そうだね、何かを回避したなー、って」「そこまでわかってんなら、そんなに楽しそうに人をネタにしないでくれ」「違う違う、ネタじゃなくて、大地が無事にうちに来られるように、福笑いしていたんだよ」「ああ、正月にやるやつか」「で、無事に大地が到着して安心したの」 颯太と会話していた大地の顔を見て、景汰が安堵した様子で「良かった」と大地に爽やかな笑みを向ける。「ま、眩しい。眩しすぎるよ、景汰」 冗談で大地が景汰の前に手をかざして、顔を背けて目を細める。 ひとしきり笑いあっていると、颯太の母の夏美が、冷たい麦茶を持って来てくれる。「あ。ありがとうございます」 意外と喉が乾いていたので、大地は一気に冷えた麦茶を飲み干す。 夏美が三人を急かすように両手を前に押し出す仕草をした。「いつまでじゃれあってるの。今
Commentaires