Masuk国のための道具として力を搾取され続けた聖女マリアンヌ。結果、彼女を待ち受けていたのは婚約者と家族からの無慈悲な裏切りだった。 「偽りの聖女め!」 絶望の淵で全てを失った彼女の前に、隣国の王子ヘンリーが跪く。 「僕があなたを奪うこと、お許しください」 甘く包み込むような彼の愛に戸惑いながらも、マリアンヌは国を出る。 隣国で出会ったのは、不思議な猫の精霊ルナ。ルナに導かれて、真の力と自らの手で掴む幸福を取り戻していく。 絶望から始まるハッピーエンドの物語。
Lihat lebih banyakMaya memutar tubuhnya di depan cermin ruang tamu untuk kesekian kalinya. Blazer krem yang membalut tubuhnya masih sama elegannya seperti saat pertama ia beli dua tahun lalu, meski sekarang terasa sedikit lebih longgar. Enam tahun, bisiknya dalam hati. Enam tahun, dan tubuhnya malah makin kurus, bukannya tambah berisi... seperti yang seharusnya.
"Wah, cantik sekali, Bu." Pak Karyo muncul dari arah dapur, membawa secangkir teh hangat. Asisten rumah tangga yang sudah mengabdi sejak mereka pertama menikah itu tersenyum tulus. "Kayak foto pengantin yang di sana itu." Ia menunjuk ke figura yang tergantung di dinding—foto pernikahan Maya dan Irwan. Maya tersenyum tipis. "Ah, Pak Karyo bisa aja." Ia menerima teh yang disodorkan, menyesapnya perlahan. Aroma melati yang familiar bikin tubuhnya agak rileks. "Yang, dasi aku miring nggak?" Irwan keluar dari kamar, masih berkutat dengan simpul dasinya. Maya letakkan cangkir tehnya, lalu hampiri suaminya. "Sini." Dengan lembut ia membenarkan dasi Irwan. Dari jarak sedekat ini, ia bisa mencium aroma aftershave yang familiar—masih sama seperti enam tahun lalu. "Sudah." "Maya..." Irwan menangkap tangannya yang hendak menjauh. "Kamu oke?" Matanya menatap cemas. Maya mengangguk, meski keraguan jelas di matanya. "Cuma... nervous. Biasa." "Bu Maya, Pak Irwan," Pak Karyo berdeham pelan. "Udah jam setengah tujuh." "Oh iya," Irwan melepaskan tangan Maya, mengambil kunci mobil dari meja. "Kita harus berangkat sekarang kalau nggak mau telat." Maya mengambil tas tangannya, mengeluarkan lipstik untuk sentuhan terakhir. "Pak Karyo, tolong jaga rumah ya. Kita pulangnya mungkin agak maleman." "Siap, Bu." Pak Karyo mengikuti mereka ke teras depan rumah. Langit Jakarta sudah gelap, tapi udara masih terasa hangat. "Selamat ulang tahun pernikahan. Semoga Allah selalu memberkahi." Di mobil, Maya mengeluarkan ponselnya, mengecek alamat restoran untuk terakhir kali. Mereka memilih tempat Indonesia yang cukup berkelas di Menteng—tidak semewah hotel bintang lima, tapi cukup untuk menjaga gengsi keluarga besar mereka. "Siap?" Irwan remas tangannya lembut sebelum nyalakan mesin. Maya tarik napas panjang, ngerasain jemarinya gemetar. Dia tau banget apa yang nunggu mereka malam ini—tatapan penuh tanya, bisikan yang nggak keucap, harapan yang belum terpenuhi. "Siap," jawabnya, lebih buat yakinkan diri sendiri. Dua puluh menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan restoran. Bangunan kolonial yang direstorasi itu tampak hangat dengan pencahayaan taman yang lembut. Maya bisa melihat beberapa mobil familiar sudah terparkir—keluarga mereka sudah mulai berdatangan. Maya merasakan genggaman Irwan mengerat. Mereka berdua tahu apa yang menanti di balik pintu kayu berukir itu—dua keluarga besar dengan ekspektasi yang lebih besar lagi. Ruangan VIP itu dirancang mengikuti konsep pendopo modern—luas dan elegan dengan sentuhan Jawa yang halus. Dua meja bundar besar dengan lazy susan kristal mendominasi ruangan. Aroma rempah dan bunga melati bercampur di udara, menciptakan atmosfer mewah yang tetap akrab. Di meja pertama, keluarga Maya sudah berkumpul. Papanya lagi diskusi serius sama Om Hadi soal harga properti di BSD, sementara Mamanya dan Tante Mira bahas rencana umroh tahun depan. Sepupunya, Andi, sibuk dengan iPad-nya—paling lagi closing another deal, pikir Maya. Typical keluarganya—bisnis nggak pernah berhenti, bahkan di acara keluarga. Di meja satunya, keluarga Irwan mulai berdatangan. Mama mertuanya langsung hampiri Maya, peluk dia dengan kehangatan yang terasa sedikit beda dari biasanya. "Selamat ulang tahun pernikahan ya, Nak. Enam tahun... masya Allah, nggak kerasa ya?" Justru kerasa setiap detiknya, Maya membatin, bales pelukan mertuanya dengan senyum profesional yang biasa dia pake di meeting. Percakapan ngalir ke berbagai topik. Om Hadi dan Papa balik tenggelam dalam diskusi properti mereka. Di sisi lain meja, Tante Astrid lagi cerita dengan antusias soal gallery batik barunya di Kemang. Mama Irwan sesekali nimpal, tapi Maya bisa ngerasain tatapannya yang sesekali arah ke blazer krem yang bungkus tubuh rampingnya. "Oh iya, Dik Linda udah masuk bulan ketujuh ya, Bu?" Tante Astrid beralih ke Mama Irwan. "Anak kedua..." Maya merasakan jemarinya mencengkeram garpu lebih erat. Linda, adik Irwan, baru menikah dua tahun lalu. Tapi sudah hamil anak kedua, sementara dia.... "Alhamdulillah," Mama Irwan senyum bangga. "Semoga lancar kayak yang pertama." Matanya lirik sekilas ke arah Maya. "Sekarang tinggal..." "Eh, soto konro-nya enak ya," Irwan motong cepat, tangannya di bawah meja remas lembut jari Maya yang mulai gemetar. "Tante mau tambah?" "Eh, nanti dulu," Tante Astrid senyum, matanya beralih ke Maya. "Maya sendiri gimana? Udah coba program lagi?" Maya merasakan jemarinya semakin dingin dalam genggaman Irwan. Ia memaksakan senyum profesional yang biasa ia gunakan saat presentasi sulit di kantor. "Lagi fokus kerja dulu, Tante. Project baru..." "Aih, kerja melulu." Tante Mira dari seberang meja ikut nimbrung. "Lihat Linda tuh, baru dua tahun nikah udah anak kedua. Padahal dia juga kerja." Maya teguk air putihnya pelan, berusaha tenangkan diri. Blazer krem yang tadi terasa pas kini kayak mencekik lehernya. Dari sudut matanya, dia bisa lihat Mama Irwan yang mulai gelisah dengan arah pembicaraan ini. "Maya ini emang kebanyakan mikir," Papa coba cairkan suasana. "Semua mesti direncanain detail. Iya kan, Wan?" "Iya, Pak." Irwan ngangguk, tangannya masih genggam erat jemari Maya di bawah meja. "Tapi bagus kan? Lihat aja pemilihan menu malam ini, semua—" "Ah, menu mah gampang diatur," potong Om Hadi, "tapi ada hal-hal yang nggak bisa diatur pake Excel sheet. Iya kan, Maya?" Tawa kecil menyebar di meja. Maya tersenyum tipis, merasakan keringat dingin mulai mengalir di punggungnya. Enam tahun, dan komentar-komentar seperti ini masih bisa menusuknya sedalam hari pertama. "Bu Maya," pelayan datang di saat yang tepat, "hidangan utamanya udah siap. Rendang atau ayam bakar?" Maya hampir menghela napas lega dengan interupsi ini, tapi Tante Astrid rupanya belum selesai. "Nanti coba tanya Linda ya, Maya. Dia pake dokter bagus di Menteng. Katanya ada program khusus buat... yang agak susah." Kali ini, Maya merasakan tangan Irwan yang gemetar dalam genggamannya. "Rendang saja," Maya menjawab pelan, bersyukur bisa mengalihkan pandangannya dari tatapan penuh arti Tante Astrid. Hidangan utama disajikan dengan elegan di atas piring porselen putih. Maya menatap rendang di hadapannya, aroma rempah yang biasanya menggugah selera kini terasa mencekik. Dia bisa denger percakapan di sekitarnya mulai beralih ke topik lain—bisnis properti Om Hadi, rencana umroh Mama, gallery batik Tante Astrid—tapi telinganya masih berdenging dengan komentar soal Linda... "Maya," Om Hadi tiba-tiba manggil dia dari seberang meja, suaranya yang berat bikin beberapa kepala noleh. "Kalo mau cepet hamil, kuncinya tuh posisi sama durasi." "Om Hadi..." Maya usaha senyum, tapi jarinya yang gemetar hampir jatuhin garpu. "Irwan ini kebanyakan kerja sih," Om Hadi nyendok rendangnya santai, matanya lirik penuh arti. "Minimal mesti tiga jam sehari, posisi yang tepat. Biar gravitasi bantu." Dia kedip mata. "Kalo cuma lima menit sebelum tidur, ya mana bisa?" Bisikan tawa tertahan terdengar di sekitar meja. Maya merasakan wajahnya terbakar, teringat rutinitas malam mereka yang memang hanya berlangsung singkat—Irwan selalu terlalu lelah setelah lembur. "Dan jangan lupa, posisinya harus yang dalem," Om Hadi lanjut dengan nada sok tau, seolah-olah dia ahli fertilitas. "Kalo cuma missionary standar gitu, susah nembus. Harus yang..." Dia bikin gerakan pake tangannya yang bikin Mama Irwan kesedak tehnya. Maya menunduk, tangannya mencengkeram garpu semakin erat. Di sampingnya, ia bisa merasakan tubuh Irwan menegang, keringat mulai membasahi telapak tangannya yang menggenggam jemari Maya. Mereka berdua tahu persis semua yang disebutkan Om Hadi adalah kebalikan dari rutinitas intim mereka yang singkat dan mekanis. Irwan berdeham keras. "Om Hadi, soal properti di BSD tadi—" "Oh iya, Maya," Mama Irwan motong, suaranya melembut dengan cara yang bikin Maya pengen nangis. "Mama denger di Malaysia ada treatment baru. Temen Mama sukses setelah lima tahun nyoba. Mau Mama minta kontaknya?" Maya merasakan pandangan semua orang tertuju padanya. Blazer kremnya yang sudah terasa longgar kini seolah menyusut, mencengkeram tubuhnya seperti tangan-tangan yang menuntut jawaban. "Makasih, Ma." Maya denger suaranya sendiri jawab, tenang dan terkontrol kayak pas dia mimpin rapat direksi. "Nanti kita omongin." Mama Irwan mengangguk, tapi Maya bisa melihat kekecewaan samar di matanya. Enam tahun, dan mereka masih menunggu. Enam tahun, dan setiap pertemuan keluarga masih berakhir dengan tatapan yang sama. Sisa makan malam berlalu dalam gerakan-gerakan mekanis. Maya mengiris rendangnya menjadi potongan-potongan kecil yang nyaris tidak ia sentuh. Irwan di sampingnya berusaha keras menjaga percakapan tetap pada topik-topik aman—politik, bisnis, cuaca—apa saja selain bayi dan kehamilan. Ketika hidangan penutup disajikan—es teler premium dengan kelapa muda Australia—Maya sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Setiap suapan terasa seperti abu di mulutnya. "Udah jam sembilan," Irwan akhirnya umumkan, lirik jam tangannya. "Maya besok ada meeting pagi." "Ah, masih sibuk aja," Tante Mira senyum penuh arti. "Padahal harusnya—" "Iya, meeting sama client dari Singapore," potong Maya cepat, bangkit dari kursinya. Blazer kremnya yang longgar dia rapetin kayak armor. "Makasih semuanya. Maaf kita harus duluan." Pelukan dan ciuman perpisahan terasa seperti siksaan. Setiap pelukan disertai bisikan "Sabar ya", "Jangan stress", "Coba konsul ke..." yang Maya tanggapi dengan senyum profesionalnya. Di mobil, Maya melepas sepatunya dengan gerakan lelah. Irwan menyalakan mesin dalam diam, membiarkan AC mobil mengisi keheningan di antara mereka. "Yang..." Irwan akhirnya ngomong setelah mereka keluar dari area parkir. "Jangan sekarang," Maya potong pelan, matanya terpejam. "Please." Irwan mengangguk, tangannya menggenggam kemudi lebih erat. Enam tahun, dan mereka masih belum menemukan kata-kata yang tepat untuk saat-saat seperti ini.全てを白く染め上げていた光が、ゆっくりと収まっていく。 最初にマリアンヌが感じたのは、耳に届く穏やかな風の音だった。恐る恐る目を開けると、空を覆っていた黒紫色の瘴気は完全に消え去り、どこまでも澄んだ青空が広がっている。黒く汚染されていた大地には、うっすらと緑の若芽が芽吹き始めていた。 かつて厄災の核があった場所には、天を突くほど巨大で、美しい水晶の樹が立っていた。救済された無数の精霊たちの、純粋な感謝の心が結晶化したものだった。太陽の光を浴びて七色に輝き、穏やかで清浄な力を周囲に放っている。 その水晶の樹の根本で、マリアンヌはまぶたを開けた。隣にはヘンリーが穏やかな寝顔で眠っている。浄化の光によって、彼の肩の傷は跡形もなく消えていた。「良かった。無事で……」「マリアンヌ」 そこへ元の愛らしい白猫の姿に戻ったルナが、歩み寄ってきた。「終わったわ。全部ね」「ええ」 ルナは多くを語らず、ただマリアンヌの手にそっと頭を擦り付け、その永い役目が終わったことを示す。 やがてヘンリーが目を覚ました。目の前のマリアンヌの無事な姿を認めると、力強く彼女を抱きしめた。二人は互いの温もりを確かめ合う。長い戦いが終わったことを実感した。 時は流れる。世界はゆっくりと、確実に再生へと向かっていた。「ダナハイムの奇跡」の報は世界中を駆け巡り、水晶の樹は「再生の樹」と呼ばれて、新たな聖地とされた。 マリアンヌとヘンリーは、世界を救った英雄としてリーンハルト王国に凱旋。民衆から熱狂的な歓迎を受けた。 祝賀の喧騒が過ぎ去った、静かな夜。離宮のバルコニーで、マリアンヌはヘンリーと寄り添って立っていた。「きれいな月」 夜空を見上げるマリアンヌの横顔は、どこまでも美しい。儚げな立ち姿ながらも、強い意思に満ちあふれている。 かつてダナハイムの神殿で、悪夢と疲労に苛まれながら泣いていた少女の面影は、もうどこにもない。苦しみの聖務から解放され、愛する人の隣で、一
聖剣ルナリスはマリアンヌの手の中にあって、陽光と月光のきらめきを放っている。 聖女アリアの想い。永い時を生きたルナの心。彼らの想いに応えた、精霊たちの願い。(負けられない) 強大な聖剣を手にして、マリアンヌは厄災を振り仰いだ。 聖剣の刀身がさらに複雑な輝きを増した。 ――王国に安寧を。 ――ダナハイムに永遠の平和を。 耳に馴染んだ祈りに、マリアンヌははっと耳を澄ます。祈りは聖剣から聞こえてきた。(そうか……この祈りは、代々の聖女のもの。ダナハイムの誤った伝承の元、虐げられてきた聖女たちの……) 伝承も最初は正しく伝わっていた。大いなる厄災を真に癒やす者の出現を信じて、結界で封じていた。 それがいつしか歪んでしまった。国の利益だけを追い求めて、聖女たちは搾取されるようになった。 歴代聖女たちの祈りは純粋で、それだけに強い。 マリアンヌは一人では支えきれず、よろめいた。そのか細い肩に、温かい手が重ねられる。「一人で背負うな、マリアンヌ。僕も共に」 負傷した身を押して立ち上がったヘンリーが、マリアンヌの手に自分の手を重ねる。彼の精霊使いの血が聖剣の力と共鳴し、二人の魂が同調する。 聖剣の光は、マリアンヌの白銀の輝きとヘンリーの森のような緑の輝きを帯び、より一層強く、そして安定した光を放ち始めた。 二人で聖剣を手に取って、厄災の中心へと進む。 生半可な攻撃が通じないと悟った厄災は、その本質である「絶望」そのものを、二人に叩きつけてきた。それは、厄災を構成する無数の精霊たちが味わった、裏切りと苦痛、憎悪の記憶の濁流だった。「――っ!」 マリアンヌの世界が暗転する。目の前に広がったのは、ダナハイム王国の冷たい謁見の間。軽蔑と嘲笑を浮かべたジュリアス、アニエス、そして父が、幻影となって彼女を取り囲んでいた。『偽りの聖女め!お前のような欠陥品が、私の妃にふさわしいと思ったか!』『やはり傍流の血では荷が重かったのですわ
ダナハイム王国の王都は、今や人の気配が完全に消え失せた無人の廃墟と化していた。崩れ落ちた城壁、瓦礫に埋もれた街路。瘴気に蝕まれ黒く変色した建物群。そこにあるのは、風が廃墟を吹き抜ける不気味な音と、大地から響く精霊の嘆きだけだった。 その悲惨な光景の中心、かつて王宮があった場所。巨大なクレーターから具現化した厄災の本体が、姿を現す。定まった形を持たない、黒紫色の影と嘆きの集合体。無数の精霊たちの苦しむ顔が浮かび上がっては消え、存在自体が周囲の希望を吸い尽くすような、どす黒い絶望のオーラを放っていた。 厄災から、無数の闇の触手や嘆きの怨霊たちが津波のように押し寄せてくる。「マリアンヌ、ルナ、聖剣の準備を! 僕が時間を稼ぐ!」 ヘンリーは彼女の前に立ち、剣を抜いた。祖先である精霊使いの力がその身に宿り、剣が森のような緑の光を放つ。彼はその剣で、迫りくる怨霊を切り払い、触手を的確にいなしていく。勇猛果敢な戦いぶりは、彼がただの王子ではなく、厄災と戦う宿命を背負った戦士であることを如実に示していた。 しかし、厄災はただの力任せの獣ではなかった。ヘンリーが前方の敵に集中している隙を突いて、背後から凝縮された絶望の槍をマリアンヌめがけて放つ。 その殺気にヘンリーは気づくが、振り返って防御していては間に合わない。「マリアンヌッ!」 一瞬の迷いもない動きだった。ヘンリーはマリアンヌを突き飛ばし、自らがその一撃を受ける。絶望の槍は彼の肩を深く抉り、激しく地面に叩きつける。傷口に邪悪な瘴気が食い込んで、彼の生命力を蝕んでいった。「ヘンリー様!」 マリアンヌが悲痛な叫び声を上げた。駆け寄る。自分のために彼が戦い、傷ついた。その事実が心を苛んだ。 だが、それも一瞬だけのこと。ヘンリーの苦しむ姿と、厄災から響く精霊たちの終わらない悲鳴が、彼女を奮い立たせる。(ここで負けていられない。私は、私たちは必ず未来を掴む!) マリアンヌは立ち上がり、厄災をまっすぐに見据えた。 それから胸の前で指を組み、祈り始めた。 だがそれは、ダナハイムで強いられてきた自己犠牲の祈りではない
最初の手がかりの地を目指して旅立ってから、早半年。 古文書の謎と聖女の足跡を追う旅は、終盤に入ろうとしていた。 とうとうマリアンヌたちは、雲海に隠された天空の遺跡――「聖地」にたどり着いた。 そこは人の手では作り得ない、巨大な水晶と石で構成された荘厳な場所だった。空気は清浄な力に満ちている。だが同時に、訪れる者の覚悟を問うような、静寂と威圧感とが漂っている。遺跡の中央には、固く閉ざされた巨大な祭壇が鎮座していた。 マリアンヌがアリアの血を引く者として遺跡の中心に足を踏み入れた瞬間、聖地全体が共鳴するように光を放ち、地面が激しく震え始める。祭壇の周囲の岩石や水晶が意志を持ったように集結し、巨大な守護ゴーレムを形成していく。それは悪意のない、純粋な「試練」としての存在だった。「マリアンヌ、僕の後ろへ!」 ヘンリーが即座に剣を抜き、ゴーレムに斬りかかるが、魔力で強化された身体には傷一つ付かない。マリアンヌが精霊に呼びかけても、ゴーレムは心を持たない魔法生命体。共鳴の力は全く通じなかった。 このままでは試練を乗り越えられない。 絶体絶命の中、ヘンリーが祖先の文献にあった記述を思い出し、叫んだ。「この試練は、力ではなく信頼を問うものだ! ゴーレムが最大の攻撃を放つ一瞬、胸のコアが無防備になる! マリアンヌ、君を信じる!」 その言葉に、マリアンヌの覚悟が決まる。彼女は自らの危険を顧みず、ゴーレムを引きつける「囮」となった。巨大な腕が振り下ろされる直前、彼女はヘンリーを信じ切って身を翻す。その一瞬の隙を突き、ヘンリーの剣がむき出しになった魔力コアを正確に貫いた。 轟音と共にゴーレムは崩れ落ち、沈黙した。 崩れ落ちたゴーレムの背後で、床が動いた。祭壇への道が開かれる。 地下への階段を下っていけば、やがて祭壇の間にたどり着いた。壁が淡く発光し、地下とは思えない不思議な雰囲気を描いている。 マリアンヌはヘンリーと視線を合わせると、祭壇に向かって手を伸ばす。彼女の指が触れた途端、アリアが遺した思念が心に直接流れ込んできた。 目の前に、初代聖女アリアの姿が浮かび上がる。