All Chapters of Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia : Chapter 121 - Chapter 130

Malam turun tanpa hujan. Bumi duduk di kursi kayu, lampu meja kerjanya temaram. Di hadapannya, laptop terbuka. Ia melanjutkan draft novel dan film yang diminta Franz. Lagu-lagu lawas yang menjadi hits pada masa kuliahnya dulu mengalun dari pengeras suara laptopnya. Di luar jendela, suara serangga bercampur samar suara motor. Malam Bandung seperti biasa: dingin, tapi tak terlalu sunyi. Bumi menyesap kopi hitam yang masih panas. HP-nya bergetar sekali. Ia tak langsung meraihnya, tapi getaran kedua membuatnya menoleh. Layar ponsel menyala — Sita Respati. Pesan pertama terbaca: > “Tuh kan bener, aku bilang wajah Mas itu tak asing buat aku. Ternyata bener, ini Mas Bumi yang kulihat bersama temanku di yutub NatGeo 🤣” Di bawahnya ada foto yang dikirim. Bumi membuka pelan. Sebuah screenshot video — thumbnail YouTube NatGeo. Ad

“Jangan-jangan kamu menulis kisah pengkhianatan ini karena kamu sendiri merasa dikhianati?”Ucapan Mutia meluncur begitu saja, suaranya datar, matanya menatap Bumi di seberang meja panjang dari kayu jati tua. Bumi hanya tertawa kecil, menunduk, memutar gelas air mineral di depan laptopnya.Di luar, angin Dago Atas berhembus dingin menembus celah jendela besar. Rumah Rio berdiri di lereng bukit, bertembok putih dengan pilar kayu, jendela kaca lebar, dan rak-rak buku di hampir semua sudut ruang.Rio muncul bersama seorang pelayan dengan dua cangkir kopi dan dua bungkus martabak telur. Ia menaruhnya di tengah meja, duduk di samping Mutia, menepuk bahu istrinya pelan.“Kalau pengkhianatan yang dirasakan itu melahirkan karya seperti ini, biarkan saja rasa itu tetap ada haha," kata Rio, terkekeh, memandang Bumi dengan sedikit memicingkan mata, separuh bercanda separuh sungguh-sungguh.Bumi terta

Sepulang dari tempat Kinanti, Bumi tak langsung pulang. Ia membuka HP dan memastikan janji dengan Pandu untuk bertemu di kafe kopi. Ia melihat jam di layar HP. Belum cukup malam, jam sembilan kurang. Ia segera memesan ojek online menuju kafe yang dimaksud.Di sudut dekat jendela, Bumi duduk santai dengan punggung menempel ke sandaran kursi. Asap rokok dari batang rokok di jari tangan kanannya menari dan menyatu dengan kepulan uap kopi dari cangkir di atas meja.Ia menatap keluar jendela. Di bangku yang sama, seminggu yang lalu, Sita duduk di hadapannya. Berbincang akrab setelah meminjam korek untuk menyalakan rokok. Keakraban yang aneh, tidak ada kecanggungan meski baru berkenalan.Bumi memandang ke luar jendela, tepat ke seberang jalan. Rumah Sita. Rumah besar dengan halaman luas yang asri. Sepi.Pintu kaca di belakang Bumi berderit pelan, membawa angin dingin, aroma malam, dan suara tawa Pandu yang tertaha

Ruang kerja Franz di Berlin tak bisa dibilang kecil. Ruangannya luas dan penuh dengan kelengkapan-kelengkapan yang saling menunjang. Siang itu, di antara rak-rak buku film, poster-poster festival Eropa yang membingkai tembok, segelas kopi hitam di meja menjadi penanda betapa serius obrolan di ruangan itu.Bumi duduk di kursi kayu, menatap Franz yang berdiri di depan whiteboard yang penuh skema produksi. Di sana tertulis: Bubat Film Production Timeline. Garis-garis merah menghubungkan blok-blok kata: Casting — Pre-Production — Shooting — Post.Franz menulis sesuatu dengan spidol, kemudian berbalik, menatap Bumi.“Jadi begini, Bumi. Untuk proyek ini, aku tak mau kompromi. Sutradara utama akan aku bawa dari sini, juga kru kunci: DOP, Art Director, Line Producer. Semua orangku. Orang-orangku bekerja cepat, profesional, tidak main-main.”Bumi mengangguk, mencoba mencatat poin-poin di buku catatan keciln

Pesawat yang ditumpangi Bumi mendarat di Soekarno–Hatta pada sore yang lembap. Langit Jakarta berwarna kelabu, hujan tipis menempel di kaca jendela bandara, dan aroma tanah basah seakan menyambutnya pulang. Perjalanan dari Berlin terasa seperti mimpi yang baru saja pecah: gedung-gedung museum, cahaya lampu kota asing, dan obrolan singkat dengan orang-orang yang tak akan ia temui lagi. Semua itu kini berganti dengan hiruk-pikuk bahasa yang familiar, dengan suara pengumuman bandara yang lebih akrab di telinganya.Malam itu, setelah menempuh perjalanan dari Jakarta ke Bandung, Bumi tak sanggup ke mana-mana. Ia hanya merebahkan diri di kamarnya, menatap langit-langit yang dulu pernah ia hapal tiap retaknya. Udara tanah kelahirannya masih sama, dingin tetapi nyaman, membawa ingatan masa lalu yang berdesakan satu sama lain.Ia tertidur lebih cepat dari biasanya. Lelah badan dan perjalanan jauh membuatnya terbenam dalam mimpi yang tak jelas, hanya baya