แชร์

Kepergian

ผู้เขียน: Goresan Pena93
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-02 08:24:05

Aku lemas di depan makam ibu. Ibu pergi tanpa ada aku di dekatnya. Tetangga bilang, mereka menemukan ibu dalam kondisi duduk di dekat telepon, saat dipanggil tidak menyahut padahal pintu terbuka lebar di depan.

"Ayu, kita pulang saja, ya! Hari sudah mulai mendung. Khawatir hujan nanti," ucap Mas Ali sembari membantuku berdiri.

Meskipun masih berat meninggalkan makam ibu, aku tidak menampik ucapan suamiku itu karena memang benar kalau mendung semakin menghitam.

Aku dan dia pulang dengan berjalan kaki karena jarak rumah dan pemakaman tidak terlalu jauh. Dia terus menggenggam tanganku sampai kami tiba di rumah.

"Makasih, Mas. Udah bantuin semuanya." Aku terduduk lemas di kursi ruang tamu. Masih dengan tatapan bayangan ibu. Tak pernah kusangka ibu pergi begitu cepat.

"Sudah kewajibanku, Yu, sebagai suami kamu. Oh ya, maaf aku mau bilang kalau ibuku tidak bisa datang."

Begitu Mas Ali mengatakan hal itu, aku mendadak ingat sesuatu. Ibu meninggal di kursi dekat telepon. Dengan cepat, aku langsung berlari ke arah di mana telepon berkabel ada di sana. Sampai membuat Mas Ali kaget.

"Ayu, kamu mau ke mana?" Dia panik lalu mengejarku.

Aku tidak menjawab pertanyaan pria berbaju hitam itu. Melainkan langsung memeriksa panggilan terakhir di sana. Dan, betapa terkejut saat melihat deretan nomor telepon yang tertera.

"Mas, ini nomor rumah kita, kan?" Aku menatap Mas Ali.

Dia mengernyit sambil memastikan. "Iya. Ini nomor rumah kita, Sayang. Memangnya kenapa?"

Aku ternganga lalu merem4s kepala sambil histeris. Tangisku pecah lagi karena kecurigaanku mengarah pada mertuaku sendiri.

"Ini nomor yang terakhir telepon, Mas! Berarti ibu kamu yang telpon ke ibu tadinya." Aku mendorong tubuh Mas Ali karena pikiran kacau.

"Maksud kamu apa, Yu? Aku enggak ngerti."

"Jangan-jangan karena ucapan ibumu, ibuku jadi langsung kena serangan jantung, Mas! Paru-parunya kambuh lagi."

"Cukup, Ayu! Ibumu meninggal karena sudah takdir! Jangan mencari kambing hitam di balik kejadian ini! Aku kecewa sama kamu, Yu! Kamu menuduh ibuku mengatakan apa? Sampai membuat ibumu meninggal!"

"Bisa saja ibumu bilang kalau kamu akan menikah lagi dengan Dinda! Padahal aku saja mewanti-wanti agar ibu tidak mendengar kabar itu."

"Enggak mungkin! Jangan mengada-ada, Ayu!"

Aku menatapnya dengan heran. "Terserah, Mas! Yang jelas siapa lagi yang bisa menelpon dari nomor itu kalau bukan ibumu? Tadinya kita kan ke toko. Di rumah pasti hanya ada ibumu."

"Cukup! Sejak ibu mengatakan keinginannya itu, aku tau sejak itu juga kamu benci dengan ibuku. Tapi, bukan begini juga kamu menjadikan ibuku sebagai pelampiasan atas musibah ini."

"Aku tidak melampiaskan musibah ini pada beliau. Tapi ...."

"Sudahlah! Aku tidak suka kamu menuduh ibuku seperti itu. Aku tau bagaimana sakitnya kamu saat aku diminta menikahi Dinda. Tapi tidak dengan cara begini kamu menyalahkan ibu!" Dia memotong ucapanku dengan argumennya yang panjang lebar.

Setelah perdebatan itu, aku dan dia sama-sama saling bungk4m. Aku dan dia tidak lagi bicara malam itu. Tepat pukul delapan malam, ada tamu yang mengetuk pintu. Aku yang tadinya masih berbaring di kamar pun langsung bangkit.

Tapi, kudengar Mas Ali yang membukakan pintu. Ada suara wanita di luar sana. Siapa? Siapa yang datang?

"Ayu, ada tamu." Mas Ali masuk ke kamar, memintaku keluar.

Aku tidak menjawab, melainkan langsung keluar. Setelah keluar dari kamar, kulihat seorang wanita dengan dres selutut sudah duduk di kursi tamu. Dia berbincang-bincang dengan Mas Ali.

"Yu, ada Dinda. Dia ikut bela sungkawa katanya," ucap Mas Ali sambil menatapku yang duduk di kursi tunggal sendirian. Sementara dia duduk di kursi panjang di sebelahnya ada Dinda yang mengulas senyuman padaku.

"Iya, Yu. Aku ikut berduka cita ya. Semoga ibumu diterima di sisi Allah," lanjut Dinda.

"Makasih." Kujawab dengan singkat. "Kalian ngobrol aja duluan. Aku mau ke dapur sebentar." Sebagai tuan rumah, tidak pantas membiarkan tamu tanpa suguhan.

Membuat teh saja aku sambil melamun. Rasanya masih tidak percaya atas kepergian ibu. Setelah selesai membuat secangkir teh, aku kembali ke depan. Namun, pemandangan apa yang kulihat membuat dada ini kembali membara.

"Mas, kamu yang sabar, ya. Semoga mertuamu sudah bahagia di sana. Kita sama-sama kehilangan." Dinda memegang tangan suamiku dengan percaya dirinya. Padahal dia tahu, aku sudah berdiri di ambang pintu dapur yang menghadap ke arah ruang tamu.

Sementara Mas Ali dengan bod8hnya diam saja. Kukira dia paham agama. Bersentuhan dengan yang bukan mahram tahu hukumnya. Tapi, ini malah terlihat seperti menikmati saja.

"Ini Din minumnya." Aku menyodorkan secangkir teh tadi ke depannya.

"Makasih, Yu." Setelah mengatakan itu, dia dengan santainya kembali beralih pada Mas Ali. Seolah tidak menganggapku ada. "Aku akan selalu ada untukmu, Mas, jika kamu butuh bantuan. Keluargamu sudah sangat baik padaku."

Dengan rasa sakit yang luar biasa, aku langsung menyahut, " Dinda-Dinda. Belum juga selesai masa Iddahmu, kamu sudah berani sekali menggoda suami orang. Aku kira kamu sahabat terbaikku. Nyatanya yang dekat itu yang berbahaya."

Dia langsung mendelik menatapku. "Apa maksudmu, Yu?"

"Tidak usah berlaku lugu! Kamu tau enggak, kamu sama suamiku itu bukan mahram. Ngapain kamu genggam tangan suamiku sampai begitunya? Aku tau, kamu sebentar lagi bakal menikah dengannya. Tapi, apakah pantas kelakuanmu seperti ini? Aku yakin, almarhum suami kamu pasti sangat sedih melihat ini."

"Ayu ...." Mas Ali menggeleng kepalanya.

"Kenapa, Mas? Aku sudah hancur. Enggak usah tanggung-tanggung lagi. Aku tidak mau hancur sendirian. Kalau calon istri kedua kamu itu tidak tau tata krama bertamu atau berteman, maka aku sendiri yang akan mengajarinya."

"Ayu, jangan mulai lagi. Aku lelah bertengkar terus. Aku mohon, mengertilah keadaan Dinda. Dia juga baru saja kehilangan suaminya. Jika ada salah dari dia, maafkanlah. Aku minta maaf juga kalau sikapnya padamu tidak membuatmu nyaman," ujar suamiku itu.

"Hebat kamu, Mas, bisa-bisanya membela wanita lain di hadapan istrimu sendiri. Kamu bisa ngertiin dia, tapi tidak bisa ngertiin aku. Kamu bisa memberikan segalanya pada dia, termasuk perhatian, tapi tidak bisa memberikan perhatian sedikit saja pada istri sendiri. Kalian memang cocok sekali. Silakan lanjut obrolan romantisnya, aku tunggu kata talak darimu, Mas, daripada harus hidup dengan pria sepertimu. Oh ya, maafkan aku juga. Aku tidak bisa menjadi seperti Dinda. Wanita yang kamu puja-puja itu."

Kutinggalkan mereka berdua di ruang tamu. Lalu pergi ke kamar dengan luka hati yang begitu dalam. Jika aku diberikan kesempatan untuk memilih, lebih baik aku hidup sendirian daripada harus tersiksa batin hidup dengan pria yang belum selesai dengan masa lalunya.

"Ayu!" Mas Ali menggedor pintu. "Yu, dengarkan dulu! Kenapa sih kamu sekarang itu mudah marah sekali? Enggak mau mendengarkan penjelasanku dulu. Buka, Yu, buka pintunya!"

"Pulanglah ke rumah ibumu, Mas! Antar calon istrimu itu pulang! Aku tidak ingin melihat kalian di rumah ibuku lagi!" teriakku dengan perasaan hancur.

bersambung....

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Cinta Pertama Mas Ali    Sebuah Kejujuran

    "Selamat, Pak, ibu Anda sudah mengalami kemajuan yang pesat." Seorang dokter menyalamiku saat aku baru saja datang ke rumah sakit malam itu. Sengaja kubiarkan ibu istirahat di rumah sakit karena saat di rumah, sepertinya ada yang aneh. Ibu pasti sering demam, drob kadang dan sampai aku pulang, tidak ada yang membawa ke rumah sakit atau merawat. Herannya lagi, Dinda seolah tak acuh. Apalagi pembantu yang hanya kerja parub waktu terkadang. "Alhamdulillah, Dok, terima kasih. Ibu saya sudah bisa apa saja, Dok? Maaf, saya terlalu sibuk di kantor. Ibu tidak ada yang jaga di rumah. Ada sebenarnya tapi, saya kurang percaya saja." Aku menunduk sedih mengingat semua itu. "Lebih baik, Bapak, sewa perawat saja untuk menjaga ibu Anda di rumah. Oh ya, ibu Anda sudah bisa sedikit lancar bicaranya. Saya sarankan untuk terus diterapi agar lebih cepat pulih," kata dokter itu lagi. "Insyaallah, Dok. Terima kasih banyak atas saran dan pertolongannya. Apakah, ibu sudah bisa saya bawa pulang?" "Bisa,

  • Cinta Pertama Mas Ali    Bertemu Lagi Denganmu

    Ayu? Kenapa dia ada di sini? Sepertinya dia tidak sakit. Tapi, siapa pria itu? Aku mencoba mengingat karena rasanya, seperti tidak asing dalam ingatanku. Ah, sekarang aku baru ingat, dia kan dokter yang merawat Ayu waktu itu. Apakah mereka sekarang makin dekat? Dadaku sakit melihat mereka mengobrol akrab. Aku masih tak rela Ayu dengan pria lain. Padahal kamu sudah resmi bercerai. Tapi, seharusnya Ayu di rumah saja. Kenapa dia kelayaban ke mana-mana? Ah, si4l! Aku baru ingat, dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi juga. Dia pasti kerja. Tapi, apa dia kerja dengan dokter itu? Kerja apa lagi dia? Astaga, rasanya aku tidak bisa mengendalikan diriku lagi ingin menghampiri mereka dan memarahi Ayu karena mereka terlalu dekat. "Al ...." Ibu mendongak, menatapku dengan lisan terbata-bata. "Iya, Buk. Kita masuk sekarang." Aku kembali mendorong ibu masuk ke dalam rumah sakit untuk terapi. Segala macam usaha sudah kulakukan agar ibu kembali sehat dan normal. Aku pun membawa ibu bertemu deng

  • Cinta Pertama Mas Ali    Bersamanya

    "Akhirnya kamu kembali ke sini tanpa mikirin lakimu itu lagi, Yu." Mita tertawa saat aku sudah kembali kerja di toko tempat pertama kali kami bertemu. "Bisa aja, Mit. Jangan gitu, ah! Enggak enak didengar orang nanti. Aku mau fokus kerja sekarang. Mumpung enggak ada beban lagi," balasku."Nah, bagus tuh. Tinggal gue yang cariin lu calon nanti. Tenang aja, Yu!" Dia tertawa terpingkal-pingkal. "Calon apaan dulu, nih? Calon pembeli, gas deh kalau gitu." Aku meliriknya lagi. "Calon suami, Bestie." Dia kembali tertawa dan seketika itu pemilik toko muncul dan melihat kami tengah bercanda. "Ayo-ayo, kerja! Malah gosip." Mang Ujang, pria sekitaran usia 40 an itu membuat kami terdiam seketika. "Iya-iya, Mang. Kami kan juga butuh asupan candaan, biar makin semangat kerjanya. Oh ya, Mang, hari ini pesanan kue sama roti banyak banget. Bagian dapur kayaknya lagi keteteran, tuh," terang Mita, aku tahu dia sebenarnya hanya ingin mengalihkan perhatian Mang Ujang saja agar kami tidak kena sindir

  • Cinta Pertama Mas Ali    Penyesalanku

    Mondar-mandir menunggu dokter keluar dari ruang periksa ibu rasanya sudah membuatku stres. Aku pergi hanya mengenakan kaus biasa dan celana panjang saja. Rasanya udara dingin di sini pun membuatku merasa meriang. "Mas, duduk dulu! Tenangkan dirimu! Ibu pasti baik-baik saja," ucap Dinda yang saat itu masih setia menemaniku. "Iya, Din. Makasih." Aku duduk seperti apa yang dia minta. Dia tersenyum melihatku sudah bisa tenang. Dan tak lama, dokter keluar dengan raut wajah yang tidak bisa dijelaskan. Aku sudah menduga bakal ada kabar buruk yang akan dikatakan oleh pria berjas putih itu. "Gimana keadaan ibu saya, Dok?" tanyaku setelah berdiri. "Maaf, Pak, saya sudah periksa. Tapi, belum bisa mengambil tindakan karena saya hanya dokter jaga dan bukan ahli bidan syaraf. Tapi, sedikit saya tau kalau ibu Anda mengalami ciri-ciri seperti terkena struk," terang dokter berjanggut panjang itu. "Ya Allah." Aku langsung lemas dan terduduk lagi. Disaat hati sedang tidak baik, pikiran kacau, jan

  • Cinta Pertama Mas Ali    Tuduhan Darimu

    "Ayu, kamu enggak apa-apa?" tanya Mas Ali setelah aku duduk di tepi ranj4ng yang sudah lama tidak kusentuh. "Seperti yang kau lihat saat ini, Mas." Aku menunduk setelah menjawab. Kepalaku kembali pusing. Aku segera menoleh ke belakang, menata bantal, lalu merebahkan diri di sana. "Istirahatlah, Sayang! Aku akan menjagamu," katanya lagi. "Enggak usah. Mas keluar aja, aku akan tidur sebentar." Akhirnya, dia keluar. Aku langsung memejamkan mata untuk menenangkan pikiran. Berusaha menerima takdir yang memang akan aku lalui. Akan aku jalani. Yaitu, menyaksikan suamiku menikah lagi sebentar lagi. Namun, aku tak bisa tidur juga. Pikiranku selalu saja tertuju pada Dinda. Sepertinya dia bahagia sekali sampai-sampai lupa kalau aku adalah istri Mas Ali, sabahatnya sendiri. Apa yang ada di dalam pikirannya sekarang? Karena tenggorokan terasa kering, aku bangun lagi. Tidak ada air putih di sini. Terpaksa harus keluar mencari sendiri. Badan yang baru sehari agak enakan ini kubuat jalan ke dap

  • Cinta Pertama Mas Ali    Perdebatan

    Aku langsung masuk ke dalam ruangan di mana Ayu dirawat. Dia terbaring lemas dengan cup oksigen terpasang. Padahal, tadi tidak pakai itu. Dadaku panas membara saat melihat di dalam sana, Ayu ditemani oleh dokter yang beberapa jam lalu memeriksanya itu. Seakan mereka terlihat sangat dekat. Membuatku makin kesal saja. "Maaf, apakah istri saya baik-baik saja?" tanyaku sambil menahan rasa cemburu. Dokter bercambang tipis itu berdiri dari kursi dekat ranjang Ayu, lalu berkata, "Dia drob lagi tadi. Dia harus istirahat. Silakan tunggu di luar saja! Biarkan dia tidur!" Aku tahu, dia pasti hanya alasan saja. "Tapi, kenapa Anda di sini?" "Saya kan dokter yang menangani dia. Siapa lagi kalau bukan saya? Dokter jaga juga tidak banyak malam-malam begini. Apakah Anda keberatan, saya memberikan penanganan?""Maaf, tapi saya rasa Anda terlalu jauh, Dokter. Dia istri saya, butuh saya dan bukan Anda. Kenapa Anda tadi seolah memaksanya untuk bercerita?" Aku tak tahan lagi. "Maaf, saya sebagai dokt

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status