Share

Bab 3 Modal Baru Om Haryadi

"Kau mau berapa lama lagi ingkar, Haryadi?!" Pekik seseorang di balik telepon.

"I ... iya, Boss!!" jawab Haryadi dengan gemetar. "Bagaimana bisa orang ini tahu nomor ponselnya yang terbaru?" pikir Haryadi.

"Jadi kapan?" tanya orang itu lagi.

"Satu minggu, Boss?" tawar Haryadi.

"Tiga jam dari sekarang, kau harus sudah melunasinya. Jangan kabur!! Anak buahku tidak akan segan-segan untuk menyeretmu kemari, dan aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!!" Telepon pun ditutupnya.

Haryadi memandang ponselnya yang sudah diputus itu, "Sialan!!" ucapnya dengan marah.

"Arrgghh! Bagaimana aku bisa dapat duit sebanyak itu dalam waktu 3 jam?" Disisirnya rambutnya dengan jari tangannya. Pikirannya kacau, matanya melanglang buana ke segala arah. Dilihatnya lukisan karya Affandi milik almarhum kakaknya yang dulu dibeli dengan harga mahal, "Sepertinya laku untuk dijual."

Haryadi naik ke atas kursi, kemudian menurunkan figura lukisan dari dinding. Diambilnya lap, dan dengan hati-hati membersihkannya dari debu. Kemudian dilihat lagi, kira-kira barang apa lagi yang bisa dijual.

Haryadi mengambil vas guci, TV layar lebar, "Sepertinya masih kurang, andai kak Helena menyimpan sertifikat rumah ini, seharusnya cukup."

Haryadi bergegas, masuk ke kamar Helena, kamar yang bersih, dengan kasur ukuran besar, dimana pada bagian tembok terdapat lemari baju besar milik almarhum kakaknya dan milik Helena, "Ini namanya rejeki nomplok, kak Helena tidak membawa kuncinya," ucapnya sambil tersenyum.

Dibuka lemari milik kakak iparnya itu. Lemari itu berisi berbagai macam baju yang digantung dengan bagian bawahnya berisi koper-koper yang ditumpuk-tumpuk. Pada bagian sisi yang lain, terdapat sekat untuk menyimpan baju yang dilipat dengan alas koran.

Pada bagian antar sekat, terdapat sebuah laci yang terkunci, "Kuncinya dimana ya?" dicarinya pada bagian bawah tumpukan baju yang dilipat, semua baju ditaruhnya di atas kasur, tetapi terjatuh sebagian, "Oh di balik kertas koran," ujarnya sambil membuka kunci laci. Laci pun terbuka.

Didalamnya terdapat file folder, kemudian dibukanya. Ada berkas mengenai akta kelahiran, akta kematian, hingga dokumen yang dicarinya, sertifikat tanah, "Ini dia," ucapnya dengan tersenyum.

Haryadi hendak menutup laci, tapi matanya melihat kotak berwarna merah. Diambilnya kotak merah itu dan dibukanya, "Hahaha ... terima kasih kakak ipar!!" teriak Haryadi. Dia mengambil semua perhiasan yang ada di dalam kotak merah itu dan dimasukannya ke dalam sebuah tas.

"Haryadi!!!" teriak seseorang dari ruang tamu.

Segera saja, Haryadi tanpa sempat membereskan kembali lemari yang dia keluarkan, dia berlari ke pintu ruang tamu untuk menemui orang yang berteriak. Pintu pun dibuka.

"Oh, Boss mana?" tanya Haryadi basa-basi.

Orang yang paling depan, dengan tubuh besar berotot, kepalanya diikat kain berwarna hitam, menarik kerah baju hingga leher Haryadi terangkat sampai mendekat muka dengan muka, "Boss bilang, waktumu sudah habis, bayar hutangmu!" jawabnya.

"Tenang ... tenang, Sobat! Aku akan bayar!" ujar Haryadi berusaha tersenyum dan bersikap tenang.

Orang itu melepaskan kerah baju Haryadi, dan Haryadi mengembalikan bajunya agar lebih rapi. Namun orang itu tidak sabar dengan gaya Haryadi yang memperlambat pekerjaannya.

Dipukulnya pintu rumah dengan sekali hentakan, "Cepat!" perintahnya.

Haryadi kaget, "Ini! Ini adalah sertifikat rumah ini, hutangku beserta bunga-bunganya lunas! Catat itu! Lunas!" jawab Haryadi.

Orang itu memeriksa dokumen yang diberikan Haryadi, dan memastikan sertifikatnya benar atas rumah yang dia datangi, "Baik! Kau boleh pergi dari rumah ini! Sertifikatnya akan aku berikan pada bos," jawab orang itu.

"Sobat, keponakan aku sedang berada di rumah sakit, jadi bagaimana kalau kalian datang lagi besok? Dia harus membawa barang-barang pribadinya bukan? Lagian kalian dapat datang kapan saja karena aku akan memberikan kunci rumah ini pada kalian," ucapnya.

Orang itu berpikir, dia meminta pendapat kedua temannya, "Oke! Besok kita akan kembali kemari untuk meminta keponakanmu untuk mengosongkan rumah ini," jawabnya, kemudian menyuruh teman-temannya pergi, "Ayo!"

"Aku juga harus segera pergi," ucapnya dengan bersenandung, diambilnya selembar kertas dan menuliskan surat. Dilipatnya surat itu dan di taruh di atas ranjang milik kakak iparnya, "Maafkan aku kak Helena, aku terlalu takut untuk mati, kuharap, aku bisa sukses di luar sana, dan pasti aku akan berterima kasih dengan membawamu sejumlah uang," ucapnya sambil menutup pintu kamar.

Dicarinya kunci mobil milik almarhum kakaknya, kemudian dinyalakan, "Kak, aku pinjam buat modal ya mobilnya, lagian kakak ipar belum tentu bisa pakai selama dia sakit," ucapnya seolah-olah mobil itu adalah kakaknya.

Dibuka bagasinya, lalu membawa barang-barang yang sudah dia kumpulkan dan dimasukannya ke dalam mobil, hingga mobilnya penuh dengan barang.

"Selamat tinggal kak Helena, selamat tinggal keponakanku yang cantik, Sarah! Doakan om-mu ini kaya! Hahaha," ujarnya dengan senang.

"Hutangku lunas, dan sekarang aku punya modal." Haryadi mengeluarkan mobil dari garasi, kemudian menutup gerbangnya dan melajukan mobilnya pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status