LOGINNADIA
- 3 Sendirian Walaupun memejam, Nadia belum bisa terlelap. Ia ingat saat menunjukkan testpack pada suaminya. Bukan bahagia, tapi Davin terlihat kecewa. Melihat istrinya hamil, seharusnya bersuka cita, tapi malah berduka. "Jangan khawatir. Aku akan merawatnya sendiri kalau kamu nggak suka, Mas. Dia juga nggak akan memanggilmu papa," ucap Nadia dengan suara bergetar penuh penekanan, lalu meninggalkan Davin yang masih diam. Kehamilan Nadia memang bukan sesuatu yang diinginkan. Sejak saat itu rumah mereka terasa semakin dingin. Davin sering pulang terlambat dan jarang berbicara. Siksaan batin Nadia semakin terasa sejak trimester pertama. Nadia menjalani kehamilannya sendirian, meski punya suami. Ia muntah-muntah sendirian. Meringkuk sendirian saat tubuhnya terasa lemas. Dia tidak tahu apa itu ngidam. Sama sekali tidak pernah merasakan keinginan aneh seperti perempuan hamil pada umumnya. Mungkin karena hatinya sudah terlalu sakit untuk menginginkan hal-hal yang manis. "Kalau Mas nggak ingin aku hamil, harusnya kamu yang hati-hati. Bukankah Mas sendiri yang melarangku pakai kontrasepsi, takut kalau aku membohongimu." Adakalanya Nadia mengomel. "Nggak hanya kamu saja yang bisa marah, Mas. Aku juga bisa. Kenapa Mas teledor sampai aku hamil. Aku nggak bisa buang anak ini. Dia nggak berdosa. Dia nggak terlahir dari hubungan gelap. Dia hadir dalam pernikahan yang sah. "Dahlah, aku capek ngomong sama orang yang nggak bisa ngomong." Dengan jengkel, Nadia meninggalkan Davin di ruang makan. Setiap hari Nadia yang memasak. Mereka memiliki ART paruh waktu yang hanya datang seminggu tiga kali untuk bersih-bersih rumah. Davin tidak pernah menanyakan, apa Nadia menginginkan sesuatu atau tidak. Justru setiap kali mama dan papa mertuanya datang berkunjung, selalu membawakan makanan dan menanyakan kabar. Mereka tahu hubungan anak dan menantunya kurang harmonis. Tapi tidak tahu kalau separah itu. Nadia masih menutupi kemelut dalam rumah tangganya. Sebab dua bulan ini, papa mertuanya mulai sakit-sakitan. Dia juga tidak cerita pada ibunya sendiri. Agar ibunya tidak sedih. "Nad, kamu pingin apa? Mau dimasakin apa? Nanti Mama bawain dari rumah," tanya mama mertuanya saat datang ke rumah membawakan ayam kecap pedas kesukaannya. Nadia menggeleng. "Nggak pengen apa-apa, Ma." "Ngidam apa? Bilang saja, jangan sungkan. Davin sangat sibuk, mungkin nggak sempat mampir-mampir," ujar papa mertuanya sambil tersenyum hangat. Mereka yang justru menyambut dengan suka cita tentang kehamilannya. "Alhamdulillah. Nggak ngidam apa-apa, Pa," jawabnya. Padahal hatinya menginginkan banyak hal. Ia ingin ditemani. Dipeluk saat tubuhnya lemah. Ditemani ke dokter kandungan untuk periksa. Ingin ada seseorang yang mengusap punggungnya ketika ia muntah hingga susah untuk berdiri. Ia ingin Davin peduli meski hanya sebentar. Tapi tak pernah suaminya melakukan hal itu. "Kapan periksa ke dokter?" tanya Davin suatu pagi. Disaat kehamilannya sudah tujuh bulan. Dan itu kali pertama dia bertanya. "Sudah dua hari yang lalu," jawab Nadia datar sambil menyiapkan sarapan. Tidak peduli pada Davin yang menatapnya lama. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, Nadia tidak ingin tahu. Tekadnya hanya satu, cerai setelah melahirkan. Ada satu malam yang tak pernah ia lupakan. Saat nyeri mendera di usia kehamilan sembilan bulan. Saat itu jam delapan malam dan ia sendirian di rumah. Davin belum pulang. Sambil menahan perut besarnya yang nyeri, Nadia membawa tas yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari keluar rumah. Kemudian menelepon taksi. Dalam perjalanan baru menghubungi ibunya. Namun sayangnya telepon tidak dijawab. Akhirnya ia menelepon Wiwin. Dan temannya langsung ke klinik bersalin. Padahal saat itu Wiwin baru menikah seminggu sebelumnya. Petugas klinik sempat bingung karena Nadia datang sendirian. Akhirnya dia menunjukkan perlengkapan surat-suratnya. Mulai dari KTP, KK, buku nikah, KIA, dan sejumlah uang di tasnya. "Saya punya uang, Mbak. Tolong saya untuk lahiran." Wiwin datang dan langsung menemaninya di ruang bersalin. Wiwin juga yang menelepon Bu Isti. Ibunya Nadia. Wanita itu menangis. Baru tahu tentang penderitaan putrinya. Namun ia tetap sabar saat Davin datang ke klinik jam sepuluh malam. Davin kebingungan karena Nadia tidak ada di rumah. Akhirnya ia memeriksa rekaman CCTV dan melihat Nadia pergi membawa tas dan naik taksi. Makanya ia langsung pergi ke bidan tempat Nadia sering periksa. Tapi istrinya tidak ada di sana. Bidan itu bilang ke Davin kalau ia pernah menyarankan Nadia melahirkan di Klinik Harapan Bunda. Dan Davin langsung pergi ke klinik yang dimaksud. Ternyata Nadia memang di sana. "Kamu keluar saja, Mas. Aku nggak ingin kamu temani," ucap Nadia dingin meski sambil menahan nyeri. "Aku ingin di sini." "Nggak usah. Kamu keluar saja. Kalau perlu pulang." Nadia bicara tanpa menatap suaminya. Davin masih bertahan dan Nadia berteriak mengusirnya. Bu Isti menghampiri sang menantu dan membujuknya supaya menunggu di luar. Namun Davin kembali masuk ruangan jam dua belas malam dan menemani Nadia melahirkan. Jam satu malam setelah penuh perjuangan, akhirnya Nadia melahirkan bayi laki-laki. Air mata Nadia berderai saat mengingat momen itu. Luka kembali menganga. Ia memandang ke samping. Adam tidur pulas, memeluk guling kecil bergambar dinosaurus. Namun setelah itu, Nadia kembali memaafkan karena Davin sedikit berubah. Ia masih berharap memiliki keluarga kecil yang bahagia. Perlahan mungkin akan membuat Davin mencintainya. Betapa naifnya dirinya waktu itu. Ternyata diam-diam Davin masih bersama Selina. Setiap ia ingin mundur, mama mertuanya membujuk dengan lembut. "Bersabarlah sebentar lagi, Nadia. Davin sebenarnya hanya berteman dengan Selina" Teman seperti apa jika sudah melampaui batas. Dan puncaknya setahun setelah papa mertuanya tiada. Davin dengan sadar, memilih Selina. Nadia mengusap pipinya yang basah. Kemudian berusaha untuk tidur. Besok pagi, ia harus bangun dengan jiwa yang lebih tegar. Pernikahannya memang penuh luka dan air mata. Namun hidupnya tidak akan berhenti di sana. Ia masih punya masa depan dan masih punya Adam. Satu alasan terbesarnya untuk terus bangkit. 🖤LS🖤 "Kamu nggak apa-apa pergi ke sana sendirian?" tanya Bulek Sari saat Nadia pamit sekalian menitipkan Adam di rumah wanita itu. Sebab Nadia akan mengambil sesuatu yang ketinggalan di rumah Davin. Sedangkan ibunya belum pulang mengajar. "Nggak apa-apa, Bulek. Mungkin dia belum pulang dari rumah sakit." "Terus bagaimana kamu masuk ke rumahnya?" "Hari ini ada ART yang beres-beres di sana." "Baiklah. Hati-hati, ya." "Iya, Bulek." Nadia melangkah pergi mumpung Adam sedang tidur. Semoga Davin memang belum pulang dari rumah sakit. Next ....NADIA- 8 Kecewa "Pergi saja nggak apa-apa untuk yang terakhir kalinya. Ajak Adam," ujar Bu Isti saat malam itu Nadia menemuinya di kamar."Buatlah perpisahan itu indah, Nadia. Meski sesakit apapun hatimu. Biar Davin tahu, dia telah melepaskan perempuan yang paling ikhlas mencintainya. Kelak Adam akan bahagia memiliki Mama yang begitu kuat dan hebat.""Ibu, percaya pada Davin yang akan membawa kami keluar?" Nadia memandang mamanya."Ibu percaya sama kamu, bukan pada dia. Kamu anak Ibu yang kuat." Bu Isti tersenyum pada putrinya. "Aku belajar dari, Ibu. Yang begitu tangguh." Nadia menatap mamanya lekat-lekat. Setelah pemergian ayahnya, sudah berapa pria yang berusaha mendekati dan mengajaknya berumah tangga. Namun Bu Isti menolak dengan tegas. "Maaf, saya tidak ingin berumah tangga lagi. Saya ingin menghabiskan sisa usia untuk melihat anak dan cucu saya bahagia."Padahal bisa dibilang, usia ibunya masih muda. Belum genap setengah abad saat itu. Dia juga kelihatan jauh lebih muda dari
NADIA- 7 Sudah Terlambat Davin tidak menemukan yang dicarinya. Bahkan ia tidak melihat Wiwin yang memperhatikan dari kejauhan, dibalik pohon besar. Wanita itu memang sengaja bersembunyi. Kalau ketemu Davin, ia khawatir tidak akan bisa mengontrol mulutnya.Sudah berapa taman yang didatangi, ia tidak menemukan Nadia dan Adam. Apa harus kembali ke rumah mereka saja? Tapi malam ini ada janji ketemuan dengan keluarga Selina.Solusinya cuma satu. Mamanya. Davin melaju ke rumah orang tuanya. Saat itu Bu Septa sedang menyiram bunga. Davin duduk di teras samping rumah."Kamu dari kantor?" Bu Septa menghampiri dan duduk di samping putranya."Iya, Ma.""Ada apa?"Davin diam beberapa saat. "Aku ingin membatalkan perceraian."Bu Septa terkejut dan menegakkan duduknya. Dipandangi sang anak dengan dahi mengernyit tajam. "Apa maksudmu? Tinggal tiga hari saja sidang ikrar talak kalian. Kenapa baru sekarang kamu punya pikiran demikian?""Bantu aku, Ma.""Bantu apa?" Bu Septa menegakkan duduknya."Ban
NADIA- 6 Rahasia "Nadia nggak di rumah, Nak Davin. Dia ngajak Adam keluar jalan-jalan." Bu Isti memberitahu Davin saat sore itu datang ke rumahnya. Ia mempersilakan calon mantan menantu duduk di teras."Kira-kira ke mana, Bu?""Biasanya ke taman."Wajah Bu Isti begitu teduh menerima dengan baik lelaki yang sudah menghancurkan dan mengkhianati putrinya. Menatap Davin dengan mata lembut yang sangat kontras dengan kondisi batin menantunya yang sedang berkecamuk. Davin merasa serba salah. "Bu, saya mohon maaf sudah menyakiti Nadia dan Ibu.""Nggak apa-apa," sahut Bu Isti cepat. "Semoga kalian masing-masing mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi setelah ini."Davin tidak bisa berkata-kata. Banyak yang ingin disampaikan, tapi lidahnya kelu. Sepertinya Bu Isti pun sudah tidak ingin memberikan kesempatan lagi. Meski dia tetap bersikap ramah dan sabar.Ibu mana yang tidak sakit hati jika anaknya diperlakukan sekejam itu. Cucunya tidak diinginkan. Walaupun terlihat sekarang ini Davin perh
NADIA- 5 Di Pinggir Jalan "Dasar, kalian memang keterlaluan. Nggak tahu diri banget. Sama-sama gilanya," ujarnya dalam hati sambil terus melangkah menuju jalan raya. Dia tadi memang sengaja tidak naik motor.Saat menoleh ke belakang, mobil mewah Selina masih terparkir di depan rumah Davin."Sudah tepat keputusanmu untuk bercerai. Lelaki yang selingkuh, dia akan mengulanginya suatu hari nanti. Jarang yang benar-benar bertaubat," kata Wiwin.Ah, ternyata menikah dengan orang yang dicintai itu belum tentu membuat bahagia. Wiwin benar, lebih baik dicintai daripada mencintai. Nadia ingat percakapan dengan temannya. Dulu ia memutuskan menerima perjodohan itu, disaat Nadia baru lulus kuliah. Belum punya pengalaman. Dia bukan gadis rumahan, tapi bukan juga gadis liar. Dia aktif di luar dan berorganisasi. Namun belum pernah pacaran. Jatuh cinta juga baru pada Davin yang dulu dikenalnya sebagai putra dari teman almarhum ayahnya. Sang ayah meninggal beberapa bulan setelah Nadia menikah.Di ma
NADIA - 4 Kembalikan "Jika pada akhirnya aku menyerah, aku tidak akan menyesali keputusan itu. Karena aku sudah berusaha sekuat hati untuk bertahan dan memperjuangkan pernikahan ini." Davin membeku membaca satu paragraf di layar laptopnya. Tadi dia menemukan flashdisk hitam tanpa gantungan di laci paling bawah meja rias. "Ini punya siapa?" Karena penasaran, akhirnya dia menyalakan laptop dan memasukkan flashdisk. Hanya ada satu folder di sana. NADIA YANG HEBAT. Saat dibuka folder itu berisi satu file dokumen saja. NADIA YANG CANTIK. Membuat Davin semakin penasaran dan ia klik judul itu. Dan terbukalah semuanya. Tentang luahan hati istri yang sebentar lagi akan menjadi mantan. Tiap kalimat menamparnya begitu hebat. Semakin menambah deretan penyesalan yang dalam. Ternyata sejahat itu dia pada seorang Nadia yang sangat mencintainya. Dalam catatannya, Nadia menulis tanggal dan jam kapan ia mengetik. Hampir semuanya ditulis disaat dirinya sedang bekerja. Ternyata begitu lama ia menj
NADIA - 3 Sendirian Walaupun memejam, Nadia belum bisa terlelap. Ia ingat saat menunjukkan testpack pada suaminya. Bukan bahagia, tapi Davin terlihat kecewa. Melihat istrinya hamil, seharusnya bersuka cita, tapi malah berduka. "Jangan khawatir. Aku akan merawatnya sendiri kalau kamu nggak suka, Mas. Dia juga nggak akan memanggilmu papa," ucap Nadia dengan suara bergetar penuh penekanan, lalu meninggalkan Davin yang masih diam. Kehamilan Nadia memang bukan sesuatu yang diinginkan. Sejak saat itu rumah mereka terasa semakin dingin. Davin sering pulang terlambat dan jarang berbicara. Siksaan batin Nadia semakin terasa sejak trimester pertama. Nadia menjalani kehamilannya sendirian, meski punya suami. Ia muntah-muntah sendirian. Meringkuk sendirian saat tubuhnya terasa lemas. Dia tidak tahu apa itu ngidam. Sama sekali tidak pernah merasakan keinginan aneh seperti perempuan hamil pada umumnya. Mungkin karena hatinya sudah terlalu sakit untuk menginginkan hal-hal yang manis. "Kalau







