FAZER LOGIN[21+] Jessica Louisa, seorang gadis cantik yang mencoba memulai hidup barunya setelah dikhianati oleh orang yang dia cintai. Gadis itu tak sengaja bertemu dengan pria asing saat ia mabuk dan tidak sadarkan diri, pria itu membawa Jessica ke apartemennya. "Aku harap kamu tidak hamil," ucap pria itu yang berhasil membuat tangisan Jessica pecah. Apakah kehidupan gadis itu lebih hancur lagi? Atau...
Ver mais“Fandra, duduklah,” ujar seorang wanita yang kisaran usianya pertengahan enam puluh tahun. Tangannya yang sudah keriput menunjuk sofa di depannya.
Altafandra Alatas, pria yang baru saja turun dari lantai dua rumahnya itu hanya menoleh sekilas lalu menurut, duduk di sofa.
“Katakanlah jika ada yang ingin Nenek katakan, aku ada urusan,” kata Fandra. Dia sepertinya tahu apa yang akan dibicarakan.
Menarik napasnya, sang nenek sudah menduga Fandra akan mengatakan itu. Maka tanpa kata sang nenek, wanita keturunan China itu menyodorkan beberapa lembar foto ke hadapan Fandra. Pria itu melihatnya, memperhatikan beberapa potret gadis.
“Pergilah kencan buta,” titah sang nenek sembari mengambil gelas tehnya.
Tidak hanya sang nenek di sana, tapi juga ada ayah serta ibu, dan sang adik satu-satunya.
“Sudah berapa kali aku bilang tidak akan pernah melakukan itu. Tidakkah Nenek mendengarnya dengan jelas?” kata Fandra dengan nada suara yang meninggi. “Aku sudah muak dengan ini!” tegasnya sambil mengatupkan mulutnya rapat.
“Fandra!” Sang ibu menegur putranya.
Neneknya hanya menatap Fandra dingin, sedikit tidak peduli.
“Lantas, kapan kekasihmu itu kembali? Tidakkah kau sadar bahwa dia telah berbohong padamu?” Nenek mengingatkan.
Fandra mengarahkan tatapan tajamnya pada wanita yang menjadi ratu di mansion itu kemudian dia mendesis.
“Bukankah aku sudah mengatakannya ribuan kali kalau aku tidak akan memaksanya untuk menikah dalam waktu dekat denganku. Dia masih butuh waktu ….”
“Waktu!” Nenek menyela dengan suara yang meninggi. Menaruh cangkirnya dengan kasar.
Tatapannya nyalang tertuju pada Fandra yang terbungkam. Semua orang yang melihat itu sempat terperanjat, khawatir penyakit sang ratu kambuh.
“Tidakkah kau tahu berapa lama waktu yang telah dia habiskan untuk persiapan? Kau buta Fandra!”
Tangan Fandra mengepal mendengar perkataan sang nenek.
“Benar. Aku buta karena terlalu menginginkannya. Lantas, Nenek akan terus mendesakku untuk menikah dengan gadis yang sama sekali tidak aku cintai? Sungguh ironis sekali. Tidakkah kalian ingin aku bahagia? Maka bahagiaku adalah –”
“Gadis itu!” sela sang nenek.
Dada Fandra naik turun, wajahnya memerah menahan amarah.
“Sekalipun gadis itu kembali. Aku tidak akan sudi kalian menikah!” tegas sang nenek tanpa perasaan sekalipun.
“Apa maksud Nenek?” Fandra tak percaya mendengarnya.
“Dia sudah tidak memenuhi syarat untuk menjadi bagian keluarga ini lagi! Jadi, kau harus menikah sebelum usiamu genap tiga puluh lima tahun!”
Tatapan tak percaya itu mengarah pada wanita tua yang masih tampak anggun dengan rambut tersanggul rapi. Meskipun usianya sudah mulai senja, tapi masih tampak segar bugar.
“Kau, harus menikah dengan pilihan kami!” tegas nenek tanpa bisa diganggu gugat membuat Fandra kehilangan kata-kata.
“Nenek keterlaluan!” balasnya.
“Apa yang lebih keterlaluan daripada gadis itu yang mengkhianatimu tapi kau terlalu buta untuk sadar,” balas neneknya tak mau kalah. “Pokoknya kau harus menikah tidak peduli dengan siapapun itu untuk keberlangsungan keluarga ini,” lanjutnya tidak mempedulikan tatapan Fandra yang marah.
“Nenek terlalu memikirkan kerajaan sialan ini dibanding perasaanku.”
“Apa yang perlu dipertahankan dari perasaan picik itu, hah? Tidakkah kau tahu Fandra apa yang di lakukan gadis itu?”
“Aku tidak akan percaya selama aku tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri!”
“Cukup!” Sang nenek membentak. Matanya nyalang menatap Fandra yang mulai terbawa emosi. “Aku tidak mau mendengar apa pun lagi. Kau harus menikah!”
“Aku tidak akan menikah selain dengan Sheila, titik! Itu keputusanku!” tegas Fandra tak terbantahkan lagi. Dia bangun dari duduknya lantas pergi meninggalkan ruang keluarga yang cukup luas itu.
“Fandra. Altafandra!” Sang ibu memanggil tapi tidak digubris oleh Fandra yang mempercepat langkahnya untuk pergi dari rumah yang bagai neraka baginya.
Di tempat duduknya, Sang nenek berusaha untuk tenang, tapi tetap saja, dadanya sesak tak tertahankan, rasa nyeri itu menghantamnya membuat wanita yang sesungguhnya renta itu tak bisa menahannya lagi, dan pada akhirnya tumbang.
“Ibu!” Panggilan panik dari putra dan menantunya terdengar samar.
“Cucuku ….” Sebelum akhirnya kesadaran wanita tua itu menghilang.
***
“Kau harus menemukan pasangannya tidak peduli apapun itu, Sayang,” katanya penuh permintaan.
Pria itu terbaring tak berdaya di atas ranjangnya dengan sang istri duduk di sampingnya.
“Di mana aku harus menemukannya, dan alasan apa kau memintaku untuk menemukannya?” tanya sang istri tidak mengerti dengan permintaan sang suami yang di ambang kematian.
Dokter menjelaskan kalau waktunya tidak akan lama karena beliau sudah tidak bisa bertahan menghadapi sakit yang di deritanya.
“Kau harus, menemukannya. Dan, Fandra … menikah, sebelum tiga puluh lima tahun. Kumohon, temukan kalung itu, kau, akan mengerti permintaanku, sayang,” ucap sang suami. “Hanya itu permintaanku padamu untuk cucu kita,” lanjutnya terbata.
Dengan tangan yang menggenggam erat seolah tidak ingin kehilangan belahan jiwanya. Air mata menggenang di pelupuk, sekuat tenaga dia bertahan agar tidak tumpah di hadapan sang suami.
“Jangan menangis,” ucap pria itu tampak tersenyum kecil. Tangannya terangkat menyentuhkannya ke pipi wanita yang di nikahinya beberapa puluh tahun lalu. “Maaf, meninggalkanmu dengan banyak beban, dan permintaanku yang banyak. Sayang, kau, adalah satu-satunya wanita yang akan kucintai hingga akhir,” lanjutnya mengusap lembut wajah ayu itu.
Mendengar penuturan itu, sang istri tak mampu untuk menahan air matanya, tumpah ruah membasahi tangan suami tercintanya yang mulai dingin. Tidak ada kata, cukuplah apa yang metreka lakukan menjadi perpisahan yang menyedihkan.
Ketika sang istri mencium punggung tangan sang suami tercintanya dengan penuh penghargaan, penghormatan, dan rasa cinta yang begitu dalam, saat itulah malaikat datang untuk menjemput sang tuan yang telah menjadi raja untuk keluarganya.
“Sampai jumpa lagi, sayang. Tunggu aku di pintu akhirat. Aku janji akan melakukannya, melihat Fandra bahagia dengan pilihanmu, maka aku akan menyusul dengan tenang,” ucapnya menatap wajah itu yang tak lagi bernyawa.
***
Mata tua yang keruput itu mengerjap pelan, air mata membasahi sudutnya. Wanita tua yang merupakan nenek Fandra itu menangis dalam tidurnya.
“Ibu?” Sang menantu menyambut dengan cemas.
Tatapan wanita itu mengarah padanya, memandang lembut sang menantu yang selalu ada untuknya. Senyuman perlahan hadir dengan lemah.
“Ibu baik-baik saja, sayang,” jawabnya.
Menantunya mengembuskan napas pelan tapi tak mampu mengenyahkan kecemasannya.
Nenek teringat akan mimpinya, dan meminta menantunya untuk mengambil sebuah kotak di dalam laci tak jauh dari ranjangnya. Dia kemudian membuka kotak biru tua itu dan tampaklah sebuah kalung dengan bandul berbentuk bulan sabit berhiaskan batu safir biru di tengahnya. Tanda cinta miliknya dengan mendiang suaminya.
Pasangannya dari kalung ini dengan pola-pola serupa pancaran sinar matahari, yang di sekelilingnya bertahtakan permata. Tepat di bagian tengahnya, tertanam batu safir biru. Dia menggambarkan bentuk kalung dari yang dipegangnya. Tentu saja dia masih ingat dengan benda itu.
Memperhatikan kalung itu, dan mengusap permukaan batu safirnya dengan tersenyum kecil. Wanita tua itu kemudian menatap sang menantu.
“Ayahmu, memintaku untuk mencari pemilik pasangannya. Kalung ini memiliki dua jiwa yang tak terpisahkan. Sebelum meninggal, dia mengatakan kalau telah memilih seorang gadis untuk Fandra,” ungkapnya.
Mata ibu dari Fandra itu melebar begitu melihat kalung sambil mendengar ungkapan sang ibu mertua.
“Maksud Ibu ….”
Nenek tersenyum penuh arti, matanya berkaca menatap sang menantu, membenarkan apa yang dipikirkan menantunya itu yang tak percaya mendengarnya.
“Benar. Fandra sudah punya calon pilihan kakeknya.”
Kalung itu berkilau indah. Apakah sudah saatnya mempertemukan dua jiwa asing itu?
Apakah, Fandra akan menerimanya? Ibunya bertanya ragu dalam hatinya sembari menatap kalung itu. Mengenal sifat Fandra, itu akan sulit baginya.
“Ibu tahu ini tidak akan mudah. Tapi, kita harus mencarinya, dan membawanya ke sini lebih dulu.”
“Tanpa persetujuan Fandra?”
“Kamu mengenalnya, sayang. Tidak mungkin Fandra akan menerimanya. Ibu akan mencobanya, mencari pemilik kalung itu lebih dulu.” Nenek sudah memutuskan, dan itu tidak bisa diubah.
Maka wanita yang telah melahirkan Fandra itu hanya terdiam, berpikir keputusan apa yang diambilnya.
“Aku ikut denganmu, Bu. Mencari pemilik kalung itu,” putusnya kemudian.
Jelas. Senyum nenek semakin mengembang mendapat dukungan dari menantu kesayangannya. Namun, siapakah pemiliknya itu?
Hangat sinar mentari pagi mengisi seluruh ruang tidur Adisty, terdapat lengan Albert yang tengah memeluk erat tubuh Adisty, mereka masih tertidur pulas. Dering ponsel Albert terdengar sangat nyaring, waktu menunjukkan pukul 07.15.Albert segera terbangun untuk mematikan alarm dan segera melepaskan pelukannya, matanya menatap wajah Adisty yang masih tertidur. Terlihat sangat cantik dan menggemaskan, pikirnya."Mau bagaimanapun, ternyata aku masih menyimpan perasaan ini untukmu, Adisty." gumam Albert.Sebelum Albert pulang, ia sempat membuatkan sarapan untuk Adisty yang sudah menjadi kebiasaanya bersama gadis itu yang tak lupa meninggalkan secarik kertas bertuliskan, ' Jangan lupa sarapan wanita cantikku' yang membuat Adisty selalu tersenyum setelah membacanya.Sesampainya di rumah ponsel Albert berdering, Hansen menelponnya."Kamu dimana?" tanya Hansen."Di rumah, kenapa?" Albert bertanya balik."Di rumah siapa? Saya semalam ke rumah kamu, bahkan tadi saya ke rumah kamu tapi kamu tidak
"Ada siapa disana, Hansen?" teriak Jessica dari kamarnya. 'kenapa lama sekali,' batin Jessica."Bukan siapa-siapa!" Jawab Hansen."Jessica! Aku mau bicara! Tolong keluar, Aku mau menjelaskan sesuatu kepadamu!" teriak Albert. Hansen merasa kesal dengan sepupunya itu, apa Albert masih tidak mengerti apa yang baru saja dia katakan padanya."Minggir! Aku mau bertemu Jessica!" "Aku tak mengijinkannya!" tegas Hansen."Kau pikir kau siapa menghalangiku! cepat menyingkir lah selagi aku masih berbaik hati padamu, Hansen!"ucap Albert yang sedang mencoba masuk, namun sialnya Hansen tetap menahan dirinya.Albert melayangkan tinju kepada wajah Hansen, dia sangat kesal sekarang dengan tingkah sepupunya itu."Hansen!" teriak Jessica melihat Hansen tersungkur lemas. "Apa yang kamu lakukan, Albert!"Je-Jessica? Aku tak sengaja memukul Hansen, dia menghalangiku terus" ujar Albert.Sedangkan Jessica segera mebantu Hansen berdiri, "Apa yang kamu lakukan disini!" teriak Jessica kesal melihat Albert."Ak
"Siapa perempuan itu?" tanya Jessica."Perempuan yang mana?" Jawab Hansen bingung.Jessica memutar pandangannya melihat mobil yang sangat dia kenal, dalam hatinya terus bertanya siapa perempuan yang bersama Albert itu. sementara Hansen kebingungan dengan sikap Jessica."Kamu lihat siapa?" Mendengar perkataan Hansen, Ia segera mengalihkan pandangannya, "Ah, sepertinya aku salah lihat, Hansen."'Aku harus segera menanyakan ini kenapa Albert' batin Jessica.Albert tidak mempunyai adik perempuan, dia juga tidak mengatakan apapun hari ini. Jadi wajar saja jika Jessica merasa bingung."Kamu sedang memikirkan apa, Jessica?" Hansen menyadari kalau gadis itu sedang memikirkan sesuatu, siapa perempuan yang dia maksud, pikir Hansen."Nanti aku ceritakan."_________________"Kenapa dia tidak menghubungiku" Jessica menatap layar ponsel penuh harap, berharap Albert mengirim pesan untuknya siang ini. Namun sayangnya tak ada kabar apapun dari lelaki itu, membuat Jessica semakin gelisah."Baiklah, d
Albert kini sudah berada di dalam mobil hitam miliknya, ia sengaja memilih waktu saat jam kerja untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkannya terjadi.Ia memakai kemeja berwarna coklat muda dipadukan dengan celana jeans yang terlihat senada namun sedikit lebih gelap yang membuat kulit putihnya terpancar lebih cerah dari biasanya.Sebuah pesan singkat dari Adisty. 'Aku sudah melihat mobilmu, tunggu sebentar.'Albert melihat ke sekelilingnya, mencari keberadaan Adisty yang sudah membuat janji dengannya di depan sebuah minimarket. Namun matanya tidak menemukan adanya tanda-tanda keberadaan Adisty, di mana dia?Laki-laki itu mendesis kedinginan setelah merasa pipi sebelah kirinya mengenai sesuatu yang terasa menusuk kulitnya.“Halo, kau sudah lama menunggu?”Ternyata itu Adisty.Ia menyodorkan Abert sebuah minuman dingin di tangan sebelah kanannya, “Ini untukmu, sebagai ucapan terima kasih karena sudah ma
'Halo, si cantik yang ‘lumayan’ pintar berbohong! Karena besok adalah hari terakhir kita masuk kerja, bagaimana kalau nanti biar kujemput kau di tempat biasa?' sebuah pesan singkat dari Hansen.Jessica mengerjapkan matanya berkali-kali, sebuah pesan dari ponselnya membuatnya kembali teringat dengan perkataan sahabatnya tadi pagi.“Pasti Ivy hanya sedang membuatku geer, lihat saja, ia begitu mudah menggoda seorang perempuan seperti ini!”Belum sempat jemarinya membalas, terdengar sebuah bunyi pesan masuk dari pemilik nama yang sama.'Tidak ada jawaban berarti setuju, bukan? oke, anggap saja begitu. Aku menunggumu pukul delapan di halte bus, tolong jangan terlambat apalagi mengatakan bahwa kau sudah hampir sampai di kantor, ya!'Jessica mengela nafasnya, bagaimana bisa seorang Hansen yang dulu terlampau cuek kepadanya mendadak berubah menjadi sangat posesif seperti ini?Jessica mengerti, bahwa berurusan dengan Hansen ki
Jessica mengaduk-aduk jus alpukat miliknya, masih memikirkan perkataan Ivy beberapa jam lalu yang sempat membuatnya hampir tidak percaya. Namun, melihat ekspresi Ivy yang terlihat sangat serius dan tidak berniat untuk berbohong itu terlihat menguatkan seluruh kenyataannya. “Ada apa, Jessica?” tanya Albert yang sedari tadi memperhatikan Jessica seperti orang yang sedang banyak pikiran. Jessica menggeleng cepat, “Ti-tidak, aku tidak apa-apa.” “Tetapi kau terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.” ucapnya mengutarakan apa yang ia rasakan. “Adakah sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Lagi-lagi Jessica menggeleng, “Tidak, Albert. Aku hanya... sedikit pusing karena kerjaan di kantor yang cukup menumpuk.” elaknya. “Sungguh? aku tidak percaya bahwa masih ada kantor yang memberi pekerjaan sama banyaknya pada hari sabtu, kurasa sebaiknya kau pindah dari sana,” saran Albert, tidak ingin membuat kekasihnya itu kelelahan apalagi sampai sakit.












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comentários