“Zahra!” Marc bingung antara mengikuti tubuh Zahra yang berada di atas bangsal itu, atau mencari jawab dari dokter.
“Tenang anak muda!” Dokter itu memegang pundah Marc. Lelaki dengan mata bulat itu mulai tenang.
***Meyyis***
“Bagaimana, Dokter?” tanya Marc.
“Kami sudah mengambil proyektilnya. Sebaiknya Anda melapor ke kantor polisi.” Marc mengangguk dia segera beranjak untuk pergi ke kantor polisi terdekat. Kali ini Marc sedikit santai. Dia akan melaporkan kejadian yang baru saja dialaminya.
“Saya mau membuat laporan,” ucap Marc.
“Silakan!” Marc menceritakan kejadian itu. Laporan Marc sudah di proses. Dalam prosesnya, ada kejadian yang membuat dirinya naik pitam.
“Ini kalau mau cepat diprose ya harus ada pelicinnya, ini.” Seorang polisi tambun yang melayaninya menggosok
“Terima kasih, Sayang. Kau sudah hadir dalam hidup, Papa.” Ah, manis sekali karena Jelita mulai memanggil Marc dengan sebutan papa. Marc merasakan kebahagiaan yang tiada terkira. Berulang kali dia mencium puncak kepala gadis kecil itu***Meyyis***Di belahan daerah lain, Raehan sedang menampar para kaki tangannya yang sudah melukai mantan istrinya. “Goblok! Gue tidak mau polisi sampai mencium semuanya. Enyah kalian dari kota ini.” Raehan memberikan sejumloah uang untuk bekal mereka kabur dari kota itu setelah tahu bahwa Zahra telah terluka karena mereka menembaknya.“Duh, kurang ajar mereka. Bagaimana bisa? Kalau ditelusuri akan jadi bencana ini.” Raehan menyesap kopi hitam yang sudah dibuatkan oleh istrinya. Dia menyemburkan ketika kopinya tersebut terasa asin.“Zoya!” Wanita modis itu datang dengan gaya berlenggak-lenggok.“Ada apa
“Ogah, ya. Aku tidak mau miskin. Kalau mau miskin, miskin aja sendiri.” Zoya meninggalkan Raehan. Lelaki itu mengembuskan napas lelah. Dia bangkrut juga karena gaya hidup Zoya yang suka belanja barang brended dan jalan-jalan ke luar negeri.***Meyyis***Sementara Raehan sedang mendalami penyesalannya, maka Marc sedang menuai kebahagiaannya bersama Jelita walau di rumahs akit itu sedang harap-harap cemas. Sebab Zahra belum juga siuman setelah dua jam.“Marc, kau harus makan.” Zubaedah mengambilkan nasi untuk Marc. Lelaki itu menyuapi Jelita dengan sesekali dia menyuap ke mulutnya sendiri.hati Zubaedah menghangat. Dalam jiwanya dia berdoa untuk kebaikan Zahra dan Marc. Dia meminta semoga keduanya berjodoh.“Ma, nggak liat Zahra? Tapi dia belum siuman.” Zubaedah mengangguk. Dia menyelesaikan makannya. Marc seperti menemukan sebuah keluarga utuh. Hatinya tiba-tiba merasa ikhlas. Jik
“Sayang, aku sangat khawatir. Kau tidak bangun-bangun.” Zahra membiarkan saja Marc mengegenggam jari-jarinya. Lelaki itu menempelkan tangan tersebut ke pipinya.“Kau sudah sahur, Marc.” Lelaki bule itu mengangguk disambut senyum Zahra.***Meyyis***“Marc tawaranmu tempo hari, apakah masih berlaku?” tanya Zahra. Seakan mendapat durian runntuh, Marc membelalakkan matanya.“Yang mana, Za?” Marc memastikan saja,karena saking tidak percaya yang dikatakan Zahra.“Mau menghalalkanku.” Marc mengeratkan genggaman tangannya.“Tentu saja masih. Apa kamu sudah menerimaku?” Zahra menelan air ludahnya sangat payah. Seakan tenggorokannya terdapat duri-duri yang etronggok di sana.“Ada banyak hal yang belum kamu ketahui, Marc. Seperti traumaku.” Zahra berusaha duduk, sehingga Marc memb
“A-ada, Bu. Te-tapi ....” Zahra tahu ada sesuatu di dalam sana. Zahra hanya tersenyum kemudian melenggang ke ruangan suaminya. Dada Lina terasa mau lepas. Zahra menurunkan knop pintu. Wanita itu membelalakkan matanya melihat kejadian did epan matanya. Jantungnya terasa berdetak demikian hebat. Kepalanya datang serangan pening. Air matanya tidak lagi dapat dihentikan.***Meyyis***“Apa yang kalian lakukan?” Zahra menutup matanya melihat suaminya dan Zoya sahabatnya saling melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Baju mereka sudah awut-awutan tidak karuan. Dengan posisi sekarang Zoya dipangku oleh Raehan. Zoya terlihat cuek saja dengan kedatangan Zahra. Berbeda dengan Raehan yang coba bangkit dan menghempaskan Zoya.“Ma, kami hanya ... mama salah paham. Duduk dulu.” Raehan mempersilakan Zahra untuk duduk.“Duduk? Untuk melihat kemesraan kalian? Mas, aku bukan wani
Zahra hampir saja menabrak mobil di depannya jika dia tidak segera sadar. Untung saja, kesadarannya kembali. Dia langsung mengerem sebelum sampai mencium bemper belakang mobil di depannya. “Ya Allah, selamatkan aku setidaknya sampai di rumah.” Zahra melaju kembali dengan lebih hati-hati. Dia sudah tidak menangis lagi. Emosinya sudah lebih stabil.***Meyyis***Zahra sudah sampai di depan rumah. Terlihat Jelita berlari menyusulnya. Anak itu seperti mengerti bila ibunya menangis. Dia menarik baju ibunya dan mengusap sisa air matanya.“Mama jangan menangis.” Demikian tangan mungilnya mengatakannya, walau Zahra masih terbata mengeja yang dikatakan putrinya tersebut.“Terima kasih, Sayang.” Zahra menggendong bocah itu masuk ke rumah. Hari ini Zahra menjadi pemalas. Dia hanya duduk diam saja, semua dikerjakan oleh pembantu. Wanita yang menjadi asisten rumah tangga itu menawari Zahra ma
“Kenapa nggak, Mas? Bukankah menolong orang itu hukumnya wajib? Kita mampu, kenapa tidak?” Raehan tersenyum kecut dengan kata-kata sang istri tersebut. Ah, lagi-lagi itu luput dari pantauan Zahra. Raehan merasa sedikit gelisah dengan kedatangan wanita itu.***MEYYIS***Malam itu, wanita itu merintih karena perutnya terasa sakit. Zahra membawanya ke rumah sakit. Saat dini hari tiba, Zahra dan seluruh anggota keluarga termasuk pembantunya juga ikut. Kecuali Jelita dan pengasuhnya.“Dok, apa yang terjadi?” tanya Zahra pada dokter.“Wanita ini mengalami keguguran, Nyonya. Bayinya tidak bisa diselamatkan lagi.” Zahra menganga menutup mulutnya karena kaget ternyata wanita itu dalam keadaan hamil. Maka dilakukan prosedur untuk membersihkan janinnya. Semua beres malam itu. Pagi harinya, wanita itu sudah boleh di bawa pulang. Zahra dengan seluruh kebaikan hatinya merawa
Raehan selalu tidak bisa menolak jika sudah seperti ini. Dia memejamkan mata menikmati haru tubuh wanita itu. Lelaki itu terbuai lagi dan lagi. Maka terjadi interaksi pertemuan antara bibir dan bibir yang tidak terelakkan lagi.“Mbak Zoya ....” Zahra datang saat itu. Dia sangat kaget.***Meyyis***Zoya dan Raehan refleks saling melepaskan tautannya mendengar suara Zahra. “Mas Raehan? Kamu ke sini lagi?” Zahra kaget karena suaminya kembali lagi.“Ah, itu anu. Aku mencarimu. Tadi Jelita menanyakanmu.” Zahra memang terlalu polos. Dia percaya dengan alasan dari Raehan.“Zoh, benarkah? Anak kita sangat baik. Dia pasti mengerti. Baiklah, mungkin Bibi saja suruh ke sini, ya?” Zahra memberikan alternatif.“Tidak usah, Mbak Zahra. Saya sudah lumayan sehat. Biarkan saya sendiri.Mbak Zahra kalau mau pulang juga tidak apa-apa
“Seandainya aku bisa keluar dari masalah pelik ini?” Raehan masih terus menganiaya dirinya dengan menjambak rambutnya untuk meredakan rasa pusing yang mendera. Setidaknya itu menurut perasaannya.***MEYYIS***Hari-hari berjalan normal. Kini Zoya sudah sembuh. Atas ijin Zahra, Zoya kerja dikantor. Di sinilah belang mereka terungkap. Bahwa semua perselingkuhan itu terungkap dengan ijin Allah. Zahra menemukan semua nota dan juga bekas tanda cinta berwarna merah di leher suaminya. Awalnya, Zahra mengira hanya perasaannya saja. Nota-nota itu juga hanya nota restoran. Dia mengira hanya suaminya ingin makan direstoran saja. Sampai semakin lama, tingkah laku Raehan berubah.“Pa, kamu membeli parfum baru?” tanya Zahra saat bercengkarama dengan Raehan.“Ha, oh ... iya-iya aku membeli parfum baru, kenapa?” Raehan terlihat gugup.