Selena menatap bingung pria di hadapannya yang masih berdiri mematung.
“Ace? Kau kenapa? Wajahmu pucat sekali.” Ace memaksa tersenyum. Senyum tipis itu lebih mirip topeng daripada ekspresi ramah. “Tidak apa-apa,” ucapnya pelan, serak. Tapi dalam dadanya, badai telah mulai berputar liar. Detik itu juga, ia ingin pergi. Tapi ia menahan diri. Ellise—wanita itu—wanita yang ia benci seumur hidupnya—masih bisa tersenyum kepadanya seolah tak bersalah. “Ayo, duduklah, Nak. Selena sudah memesankan makanan untukmu juga,” ucap Ellise ramah. “Ayo duduk, Ace.” Selena mengulangi, menarik kursi di seberangnya. Dengan langkah berat, Ace menduduki kursi itu. Dadanya terasa sesak, napasnya menyesak di tenggorokan. Tapi ia berusaha tetap tenang. Ia ingin tahu… sejauh mana kesabarannya mampu menahan diri dari ledakan emosi di depan wanita yang telah menghancurkan keluarganya. “Apa saja yang diceritakan Selena tentangku kepada Anda?” Ace kembali memasang wajah hangat saat menatap Ellise. Ellise tersenyum kecil. Selena, yang duduk di samping ibunya, refleks menunduk, wajahnya memerah. “Dia bilang kau pria paling tampan yang pernah ia temui. Dan setelah bertemu langsung… ternyata memang benar.” Ellise tertawa ringan sambil melirik putrinya. “Kau membuatnya gelisah sepanjang malam. Sampai memecahkan gelas karena terus melamunkanmu.” “Ibu! Yang itu tidak usah disebutkan!” seru Selena malu, menyenggol lengan ibunya. Ellise tertawa puas. Ace ikut tertawa. Tawa palsu. Hambar. Tertelan bersama rasa mual yang makin menyesak. “Apa hanya itu yang diceritakan Selena?” tanyanya lagi. Selena buru-buru memotong. “Sudahlah, Ace. Nanti ibu malah bicara yang aneh-aneh.” Tapi Ace menatapnya, matanya menyipit dengan senyum kecil yang anehnya membuat suasana jadi tegang. “Kenapa? Aku hanya ingin tahu… sejauh mana kau mengenalku.” “Benar, Selena,” timpal Ellise. “Ace pasti senang kalau tahu kau banyak bercerita tentangnya.” Ace mengangkat satu alis, menyembunyikan amarahnya di balik sikap tenang. “Apa dia juga bercerita soal latar belakangku?” “Tentu saja. Hobimu, pekerjaanmu, keluargamu....” “Keluarga?” ulang Ace datar. Jemarinya perlahan menggenggam sumpit yang baru saja diantar pelayan bersama sepiring sushi. “Ya. Katanya ayahmu adalah pemilik perusahaan Shirohige Group. Kalau tidak salah namanya... Tuan Edward Newgate, bukan?” ujar Ellise dengan senyum lebar yang bagi Ace tampak menjijikkan. Darah pria itu mulai naik ke kepala. “Jadi... Anda tahu, ya....” gumamnya dengan suara nyaris tak terdengar. Dahinya mengkerut, urat-uratnya mulai menegang. Wanita sialan ini... Masih bisa bersikap seolah-olah kagum, padahal ia tahu betul siapa Ace. Dan siapa ayahnya. Ia pernah merayu pria yang sudah beristri. Ibu Ace. Dan sekarang dengan muka tebal, ia pura-pura baru mengetahui itu semua. Jika sumpit ini adalah kepala Ellise... Pasti sudah hancur di tangannya. “Dan ibumu... mendiang Nyonya Riyuka,” lanjut Ellise enteng. “Aku pernah baca tentang beliau di sebuah majalah. Dia wanita hebat, sangat menginspirasi. Seperti ayahmu.” Ace menunduk, menahan napas. Genggamannya semakin kuat. “Begitu, ya...” suaranya datar, nyaris dingin. “Jadi Anda sudah tahu siapa saya. Tapi—” KRAK!! Sumpit di tangan Ace patah jadi dua. Suara retaknya membelah udara. Selena dan Ellise terkejut. Dari ujung sumpit yang patah, darah mengalir dari telapak tangan Ace. “Ace!” pekik Selena panik. Ia buru-buru meraih tisu dan mengusap darah itu dengan cemas. “Tanganmu terluka!” Ellise ikut berdiri dengan ekspresi syok. “Astaga… Kau tidak apa-apa, Nak?” Tapi perhatian itu hanya menambah rasa jijik di hati Ace. Ia menatap Ellise sekilas, lalu berpaling. Sebuah senyum pahit terulas di wajahnya. “Sudahlah, tidak apa-apa. Ini cuma luka kecil,” ucapnya pelan, sambil menahan tangan Selena yang terus mengusap. “Kau kenapa, sih? Pegang sumpit saja bisa sampai patah! Sekarang tanganmu berdarah, dan kau bilang ini cuma luka kecil?” ujar Selena cemas, nyaris menangis. Ace terkekeh pelan, mengusap bahu wanita itu. “Sungguh. Ini tak seberapa. Aku juga sering terluka saat latihan tinju.” “Aku tahu hobimu ekstrem. Tapi kau harus tetap hati-hati.” “Maaf. Aku tidak fokus… akhir-akhir ini pekerjaan yang padat cukup menyita pikiranku.” Ellise menyahut, wajahnya mulai resah. “Apa kami mengganggu pekerjaanmu, Ace?” “Kau bisa menolak permintaanku kalau memang sibuk,” timpal Selena, khawatir. “Aku tidak ingin membebanimu.” Ace menghela napas panjang, lalu tersenyum palsu. “Bagaimana mungkin aku menolak pertemuan dengan ibu dari kekasihku?” katanya, bersandiwara. Tapi di balik kata-kata manis itu, dadanya terasa seperti terbakar. Ia nyaris tak sanggup melanjutkan kebohongan itu. “Tapi karena kita sudah bertemu... kurasa aku sudah bisa kembali ke kantor,” ucapnya, tetap menjaga nada sopan. “Tentu, Nak. Maafkan kami karena membuatmu repot. Tanganku sendiri gemetar melihat tanganmu sampai berdarah begitu,” kata Ellise dengan senyum lemah. Ace menatapnya. Lama. Lalu ia berbisik pelan, “Luka ini tak seberapa… dibanding luka saat kehilangan ibuku.” Ia berharap kalimat itu menyadarkan Ellise—bahwa kehadirannya dalam kehidupan Edward Newgate bukan tanpa akibat. Bahwa wanita yang kini berlagak polos itu adalah salah satu alasan mengapa Riyuka—ibu Ace—jatuh sakit... dan akhirnya pergi. Tapi tidak. Wajah Ellise tetap tenang. Tak ada penyesalan. Tak ada rasa bersalah. “Kalau begitu, aku permisi.” Ace berdiri cepat. Tak menatap siapa pun. Tak berkata apa-apa pada Selena. Ia hanya ingin pergi dari meja itu. Begitu masuk ke mobil, Ace duduk diam. Napasnya terengah. Matanya kosong menatap dashboard. Lalu— DUAK! Tinju Ace menghantam setir. “Sial…” desisnya, penuh amarah. Ia murka. Bukan hanya karena masa lalunya, tapi karena hari ini ia terpaksa menahan diri di hadapan wanita yang sangat dibenci seumur hidupnya. *** "Jadi bagaimana? Apa kau sudah melakukannya dengan baik?" Suara Viola terdengar ceria dari seberang telepon, menyapa Felisha yang tengah menikmati makan siangnya di kafetaria kantor. Sambil menyeruput susu kotak rasa stroberi kesukaannya, Felisha menjawab dengan semangat menggebu. "Sudah, dong! Dan itu berhasil! Sekarang dia tidak menampakkan dirinya lagi. Hihihi!" Felisha cekikikan, tangan menutupi mulutnya agar tak terlalu mencolok di ruangan umum. Viola terdengar takjub. "Sungguh? Aku tak menyangka akan berhasil secepat ini." "Apa kau tahu bagaimana reaksinya tadi pagi saat aku memberi salam kepadanya? Dia tercengang seperti orang bodoh!" "Oh, ya? Seandainya aku bisa melihat reaksinya. Pasti lucu sekali." "Suara tawa kita akan mengguncang seluruh isi bumi!" "Hahaha! Kau benar! Bisa-bisa kita diusir satpam." "Sekali lagi terima kasih ya, Viola. Saranmu sudah menyelamatkanku. Aku bisa bekerja dengan tenang sekarang." "Hm!" Viola mendengus bangga. "Siapa dulu ahlinya. Kalau ada yang mengusikmu lagi, laporkan kepada kakakmu ini, ya. Senior Viola pasti akan membantumu." "Siap!" balas Felisha mantap, lalu mendesah pelan. "Andai kau kerja di sini juga… aku pasti tdak akan merasa kesepian." "Kau tahu, aku tidak cocok dengan pekerjaan seperti itu." "Setidaknya jadi barista di kafetaria ini. Kita bisa bertemu setiap jam makan siang." "Bagaimana dengan teman satu timmu? Mereka tidak mengajakmu makan siang bersama?" "Tidak usah bicarakan mereka." "Sudah kuduga, tidak mudah bagimu untuk berinteraksi dengan mereka. Apalagi kau masih baru. Tidak usah dipaksakan. Yang penting kau bekerja dengan benar saja." "Mereka juga anggota baru semua, kok. Tapi gayanya sok senior. Padahal cuma masuk lebih dulu beberapa hari. Mereka bahkan mengasingkanku karena hanya aku satu-satunya perempuan di tim Tuan Vista." "Dasar, bocah-bocah itu. Mereka harusnya dijitak satu per satu." "Biarkan saja. Aku tidak peduli dengan sikap mereka, selama tidak mengganggu pekerjaanku," Felisha tersenyum getir, lalu bangkit dari kursi kafetaria dan berjalan santai menuju ruang kerjanya. "Hei, sudah dulu, ya. Nanti kita sambung lagi. Jam istirahatku sudah habis," lanjutnya. "Baiklah kalau begitu. Aku juga harus menyiapkan pesanan. Hari ini pelanggan cukup ramai," Viola mengakhiri panggilan. Felisha tersenyum damai. Dalam hati, ia merasa beruntung memiliki teman seperti Viola. Mereka memang tak lagi bekerja di tempat yang sama, tapi hubungan keduanya tetap erat. Viola tak pernah menunjukkan rasa iri ketika Felisha diterima di perusahaan terkenal ini. Tidak seperti kebanyakan pertemanan sesama wanita yang kadang dibalut persaingan tersembunyi. Apalagi seperti ketiga pria di timnya ini, yang belum saling mengenal dekat, tapi tatapan mereka sudah menyiratkan rasa tidak suka. Haruto, Eric, dan Vero melirik kedatangan Felisha dengan malas, seolah berkata: “Kenapa kau masih di sini?” Namun Felisha pura-pura tak peduli. Ia langsung duduk di kursinya yang bersebelahan dengan Eric, membuka dokumen yang tadi sedang ia kerjakan. Ia tak akan membuang waktunya hanya untuk menanggapi tatapan tidak penting. Vista belum kembali ke ruang kerja. Dalam keheningan yang mulai membosankan, tiga pria itu malah memilih mengobrol ringan tentang tugas ilustrasi yang diberikan Vista kemarin. "Hei, kau sudah dapat ide ilustrasi?" tanya Haruto pada Vero, sambil menyender santai di kursinya. Vero menggeleng pelan dengan wajah datar. "Belum, nih. Sial, otakku sepertinya lagi eror." "Haha, parah!" Eric terkekeh, nada suaranya menyebalkan. "Aku juga sama." "Tapi sepertinya Tuan Vista tidak akan mengingatnya. Buktinya, tadi pagi dia tidak membahas soal itu," ujar Haruto, seakan meyakinkan dirinya sendiri. Felisha mendengarnya dengan diam, lalu menghela napas panjang. Bisa-bisanya orang-orang seamburadul ini lolos seleksi. Padahal Felisha sendiri sudah menyiapkan bahan ilustrasi sejak pulang dari kantor kemarin siang. Bahkan kini ia tengah mengerjakan satu ide baru karena bayangan visual terus mengalir di kepalanya. "Bagaimana denganmu, anak baru?" suara Haruto mendadak menyentak telinganya. Felisha menoleh dengan pandangan tajam. Ia tak suka disebut begitu. Tapi sebelum sempat menjawab, Eric memotong dengan nada gurauan. "Hei, panggil namanya dong. Dia kan punya nama juga." Vero terkikik mengejek. Haruto pura-pura menyesal. "Sorry. Siapa tadi namamu? Aku lupa." "Felisha! Namanya Felisha! Payah banget," Eric menimpali sambil tertawa terpingkal-pingkal. Entah apa yang lucu dari itu. Felisha sungguh tak habis pikir. "Ah iya. Felishaaa~," ucap Haruto dengan senyuman tidak tulus. Suaranya terdengar seperti rayuan lelaki yang tengah mabuk di bar murahan. "Aku sudah menyelesaikannya," jawab Felisha dingin, matanya tak sudi menatap mereka. Tawa Haruto langsung terhenti. Ia menatap Felisha, lalu duduk lebih tegak. Wajahnya berubah. Dingin. Terluka. Felisha tahu. Ia baru saja menginjak ego pria itu. Eric pun menambah api dengan tawa palsunya. "Wahaha, dia udah selesai ternyata! Hebat banget, ya." Vero menyeringai. "Kita bisa dimaki Tuan Vista nih kalau gitu." "Kalau kita semua mengaku tidak mengerjakannya, mungkin lebih aman, benar kan?" Eric membuka saran dengan suara rendah namun bermaksud buruk. "Ya, memang seharusnya begitu. Bukankah tim itu harus kompak?" sahut Vero, seperti anak kecil yang menyusun rencana bohong ke guru. Felisha yang kepalang kesal, lantas bangkit. "Kenapa aku harus ikut-ikutan kalian?" gerutunya. Haruto mengernyit. "Apa maksudmu?" "Daripada cari alasan, kenapa tidak kalian kerjakan saja sekarang?" "Mencari alasan, katanya..." Haruto menggumam pelan. Tangannya terkepal di atas paha. Eric dan Vero saling pandang. Mereka tahu betul: Haruto itu kasar. Sangar. Dan bukan orang yang tahu batas. Tapi sebelum ketegangan meledak, Vista akhirnya masuk dan langsung menagih tugas setelah jam istirahat. "Tolong kumpulkan ide ilustrasi yang sudah kalian buat," ucapnya tenang, namun cukup untuk memecah ketegangan. Pria berkumis tebal itu menunggu di balik meja kerjanya. Haruto menggaruk kepala, bingung. Eric dan Vero tertunduk, tak tahu harus bagaimana. Sementara Felisha dengan percaya diri menyerahkan file berisi ilustrasi yang telah ia rancang sebaik mungkin. Vista tampak terkesan. Bahkan lebih dari biasanya. "Sempurna," seru Vista bangga. Matanya tak berkedip menatap file milik Felisha. Felisha membuat ilustrasi sepiring pancake yang terlihat menggiurkan, lengkap dengan gambar bahan-bahan segar. Seolah rasa manis dan gurihnya bisa dirasakan hanya dengan melihat gambar tersebut. "Ide darimu memang selalu fresh! Aku akan pertimbangkan ini untuk proyek iklan mendatang. Akan kuajukan segera ke kepala divisi," ujar Vista. Felisha tersenyum kecil. "Terima kasih, Tuan," sahutnya sungkan. Sejujurnya, hingga detik ini, ia masih tak percaya desain buatannya bisa membuat orang dari perusahaan sebesar ini terpukau sampai segitunya. "Tidak. Terima kasih untuk usahamu," balas Vista pula sungguh-sungguh. Sementara itu, Haruto, Eric, dan Vero hanya bisa duduk mematung, tanpa file, tanpa persiapan, dan penuh rasa malu. Setelah Felisha duduk kembali, Vista menatap mereka bertiga yang masih belum berdiri. Ia menunggu, namun mereka tetap tertunduk lesu. "Mana punya kalian?" tanya Vista. "Ka-kami… ada kendala," gumam Eric gugup. "Kendala apa?" "Hm... bagaimana menjelaskannya ya..." "Apa instruksiku masih kurang jelas?" nada suara Vista sedikit naik. "Bukan begitu, Tuan..." Vista mendesah pelan—tapi cukup dalam untuk menusuk perasaan siapa pun yang mendengarnya. "Dengar. Aku bukan atasan yang senang membuat suasana jadi tegang. Tapi saat ini situasi kita sedang mendesak. Kompetensi sudah di depan mata. Dua bulan lagi. Itu bukan waktu yang lama. Bahkan bagiku masih belum cukup untuk merancang proyek periklanan yang akan diseleksi ke ajang penghargaan tingkat Asia. Dan sekarang kalian bertingkah seperti anak SMA. Jika kalian sudah diterima di sini, berarti kalian sudah dipercaya. Dan kepercayaan itu harus dijaga. Ini bukan saatnya bermain-main!" Ketiganya diam. Seperti anak sekolah yang baru dimarahi guru BP. Felisha, yang awalnya ingin menahan senyum, tiba-tiba terdiam. Kata-kata Vista tadi—dua bulan—mengingatkannya akan hal lain: tenggat pembayaran utang ayahnya. Hadiah dari kompetisi ini bisa menyelamatkan hidupnya. Tapi… bisakah ia mengandalkan tim seperti ini? Tatapannya kosong menatap layar. Tapi pikirannya tak lagi di kantor. Frustrasi diam-diam menyelinap, menggerogoti semangat yang tadi sempat tumbuh. *** Seharusnya siang itu Ace berada di kantor. Entah itu bersantai di ruang kerjanya sambil ngopi dan ngobrol santai dengan Theo, atau mungkin—jika sedang cukup beruntung—mengajak Felisha makan siang bersama. Walau gadis itu pasti akan menolak, tetap saja Ace selalu punya alasan untuk menggoda dan mempermainkan emosinya. Namun, siang itu berbeda. Alih-alih kembali ke kantor setelah mampir ke mall, Ace berbelok menuju barnya sendiri, tempat yang hanya diketahui oleh beberapa orang dekatnya. Di belakang bar, terdapat ruang olahraga yang lengkap dengan ring dan peralatan tinju. Tanpa mengganti pakaian, Ace melangkah masuk ke dalam ruangan itu dengan masih mengenakan kemeja modis dan celana panjang berpotongan rapi. Di hadapannya berdiri sebuah samsak tinju yang tergantung kokoh. Ace menatap benda itu lekat-lekat—namun bukan samsak itu yang sebenarnya ia lihat. Dalam pikirannya, samsak itu telah berubah rupa. Wajah Ellise. Dan wajah ayahnya. Dua orang yang telah menghancurkan hati ibunya. Dua sosok yang ia benci setengah mati. Bugh! Satu pukulan keras menghantam samsak itu hingga bergoyang liar ke belakang. Bugh! Bugh! Bugh! Belum sempat kembali ke posisi semula, samsak itu dihantam bertubi-tubi, penuh emosi tak terkendali. Suara pukulan yang nyaring dan penuh tenaga itu menggema di seluruh ruangan dan akhirnya menarik perhatian Deuce yang saat itu sedang mengawasi bar. Ia menyusul dengan cepat. Begitu melihat Ace di atas ring, memukuli samsak seperti ingin membunuhnya, ia langsung tahu: ini bukan latihan biasa. Deuce melompat ke dalam ring dan dengan refleks menahan samsak dari belakang, menghentikannya sebelum menerima pukulan berikutnya. "Ace!" serunya pelan tapi tegas. Ace berhenti. Nafasnya terengah, bahunya naik turun, matanya menatap Deuce dengan tajam dan kosong sekaligus. Tak ada senyum ramah seperti biasanya. "Apa yang kau lakukan?" tanya Deuce hati-hati. “Kalau kubiarkan, bisa-bisa kau menghancurkan samsak ini.” Ace tak bergeming. “Biarkan saja. Aku memang berniat menghancurkannya.” Nada suaranya dingin. Bukan gaya santai dan menggoda khas Ace. Ini... sesuatu yang lain. Deuce menghela napas pendek. “Apa yang terjadi, Ace? Apa yang membuatmu semarah ini?” Ace tak langsung menjawab. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sudut ring, duduk di lantai dengan satu kaki terangkat, siku bertumpu di lutut, sementara tangan lainnya mengusap keringat di wajah. Napasnya masih memburu, rambutnya basah, matanya menatap kosong lantai di depannya. Beberapa detik hening. Lalu ia bergumam dengan suara serak: “Aku bertemu wanita sialan itu.” Deuce mengerutkan kening. Ucapan itu terdengar asing keluar dari mulut seorang Ace—penakluk wanita, pria yang biasanya menyebut wanita dengan kata manis atau lelucon genit. Bukan “wanita sialan.” “Siapa?” tanya Deuce pelan. “Siapa wanita yang bisa membuatmu begini?” Ace menatap Deuce dengan mata yang kini terlihat lebih gelap. Pertanyaan temannya itu membawa Ace ke kilasan masa lalu. Tepatnya saat ia berumur 12 tahun."Ahhhh!" Felisha dan Viola sama-sama menghembuskan napas panjang, merasa lega sekaligus lelah, begitu tubuh mereka akhirnya menyentuh kasur yang hangat dan nyaman. Setelah melakukan berbagai aktivitas menyenangkan, tubuh mereka akhirnya menuntut haknya untuk beristirahat. "Gila… aku belum pernah merasa sekenyang ini," gumam Viola sambil mengusap perutnya yang sedikit kembung. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar Felisha yang dihiasi tempelan bintang glow in the dark. Meski ia hanya tidur di bawah, beralaskan kasur lipat, suasananya tetap membuatnya merasa nyaman. Sementara itu, Felisha yang berbaring di kasur single di atasnya, ikut menatap bintang-bintang kecil itu. Cahaya lembutnya terlihat lebih indah saat lampu kamar dipadamkan. "Enak, kan? Ramen super pedas buatanku, plus sekotak penuh ayam goreng yang kita beli seberang apartemen," kata Felisha, mengenang makan malam mereka yang penuh tawa sekitar satu jam lalu. "Ngomong-ngomong… film yang kita tonton tadi serem bang
Pukul empat sore, suasana lobi gedung Shirohige Group mulai ramai dipenuhi karyawan yang bersiap pulang. Beberapa di antara mereka tampak terburu-buru, sementara yang lain masih sibuk berbincang santai. Ada juga yang menahan langkah, terpaksa menetap di kantor demi lembur. Untungnya, Felisha bukan termasuk golongan yang harus bekerja hingga larut malam hari ini.Namun, meski pulang tepat waktu, Felisha tetap tampak lelah. Energinya habis terkuras oleh kejadian meresahkan yang selalu menerornya di sela jam kerja.Di lantai dua gedung itu, Ace tengah berdiri di samping jendela besar di ruangan kakaknya, Marco. Tirai putih yang sedikit disingkapnya memberinya pandangan langsung ke lobi di bawah. Pandangannya penuh harap, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan benar saja, di antara kerumunan karyawan yang bergegas pulang, Ace menangkap sosok Felisha. Gadis itu berjalan dengan langkah gontai, wajahnya muram, matanya sayu seperti menahan beban yang tak seorang pun tahu. Ace
Ace terpaksa menghentikan langkahnya menuju kantor ketika tanpa sengaja berpapasan dengan Elise di lorong rumah sakit itu. Waktu seolah berhenti bagi Ace. Dadanya bergemuruh hebat—amarah yang selama ini dipendam demi ibunya mendidih di balik ketenangannya. Melukai hati Selena masih belum cukup. Rasa itu belum terbayar. Ia ingin melihat wanita licik ini menderita. Ia ingin Elise merasakan rasa sakit yang sama seperti yang pernah dirasakan Riyuka."Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini, ya?" gumam Elise dengan nada sinis yang dibungkus senyum tipis. Suaranya lembut, tapi bagai pisau tipis yang mengiris ke dalam. "Atau... jangan bilang kau kemari untuk menjenguk putriku yang sudah kau sakiti semalam?"Ace mengangkat alis. Tatapannya tetap dingin dan tak tergoyahkan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya," jawabnya datar, nyaris malas. "Bahkan aku tidak peduli."Kata-kata itu menghantam Elise bagai tamparan telak. Sesaat ia terdiam, menelan ludah demi menjaga wibawanya, sebelum ak
Pagi itu, suasana ruang rapat di lantai tertinggi gedung Shirohige Group terasa sunyi dan tegang. Jam dinding menunjukkan pukul 09.52—delapan menit menjelang pertemuan penting yang telah diumumkan Ace sebelumnya. Rapat yang akan membahas bahan proyek untuk kompetisi kali ini hanya melibatkan para kepala tim kreatif. Mereka adalah : Vista, Izo, Atmos, dan Curiel.Di antara mereka, baru Vista yang sudah hadir lebih dulu. Ia duduk di sisi kanan meja panjang, sementara Ace duduk di kursi paling ujung, dengan punggung tegak tapi mata gelisah. Tangannya memainkan bolpoin berulang-ulang, seolah berusaha mengalihkan diri dari badai pikiran yang tak kunjung reda.Ia tampak tidak fokus. Bahkan ketika suara pintu sedikit berderit karena angin AC, Ace hanya menoleh sekilas sebelum kembali menatap bolpennya, seperti seorang pria yang sedang menunggu kabar penting dari seseorang—dan tak kunjung mendapatkannya."Apa Felisha sudah menerima hadiah dariku?" tanya Ace pada Vista kemudian, dengan suara p
BUK! BUK!Samsak tinju terayun keras, terpental jauh oleh pukulan beruntun yang dilayangkan Ace. Napasnya memburu, keringat mengucur deras dari pelipis. Di balik sorotan lampu sasana yang redup, amarah dan kebimbangan bergelora dalam dadanya. Sejak makan malam bersama Felisha berakhir kacau, hanya ini pelampiasan yang bisa ia lakukan-menyalurkan amarah, rasa bersalah, dan... kekalahan.Namun bukan kemarahan Felisha yang menyiksa pikirannya. Bukan pula tamparan keras yang mendarat di pipinya. Yang benar-benar membuatnya muak adalah dirinya sendiri."Kenapa aku harus melibatkan dia dalam semua ini?" gerutunya dalam hati.Seharusnya, ia bisa saja memilih wanita lain untuk berpura-pura di depan Selena. Bukankah ia punya segudang relasi untuk sandiwara seperti itu? Tapi entah kenapa, pesona Felisha justru membelenggunya. Ia terlalu menantang. Terlalu nyata. Terlalu... istimewa.Dan saat gadis itu berbicara tentang Riyuka-dengan nada penuh luka dan ketegasan-Ace seolah ditampar ribuan kali.
Waktu yang ditentukan telah tiba.Felisha menatap pantulan dirinya di cermin dekat pintu masuk apartemen. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar dengan langkah yang penuh oleh keterpaksaan.Ia tidak berdandan berlebihan. Tidak pula tampil sembarangan. Kemeja putih berlengan pendek dengan aksen renda menghiasi tubuhnya, memberi kesan sederhana tapi tetap anggun. Rok denim panjang membentuk siluet tubuhnya dengan pas, tanpa kesan menggoda. Ia tahu, seseorang seperti Ace bukanlah tipe pria yang mengajak wanita ke tempat murahan seperti warung pinggir jalan. Tapi Felisha juga tidak mau terlihat terlalu berusaha—ia tidak ingin Ace mengira dirinya sedang mencoba menarik perhatian.Dan seperti yang dijanjikan, Ace sudah menunggu.Sebelum Felisha menuruni tangga menuju pekarangan apartemen, sosok pria itu sudah berdiri gagah di samping mobilnya. Tubuh tegap, wajah teduh yang menawan, mengenakan kemeja hitam longgar dan celana dasar cokelat muda. Simpel, tapi tetap terlihat mewah ber