Share

Bab 7

Author: Anna Smith
Seminggu kemudian, akta cerai itu tiba.

Aku sudah resmi bukan lagi istri Dario. Setidaknya di atas kertas.

Belum ada yang tahu. Tidak Dario. Tidak saudara-saudaranya. Tidak juga para pemangsa yang mengelilingi kami di kalangan sosial. Hanya Tiana yang tahu. Untuk semua orang lain, aku masih Nyonya Mahardika. Tapi bagiku, semuanya sudah berakhir. Aku menghitung hari, melipat hidup lamaku ke dalam koper yang tak seorang pun sadar sudah mulai kupersiapkan untuk pergi.

Tepat ketika aku menarik risleting terakhir, terdengar ketukan di pintu. Asisten Dario berdiri di sana, membawa gaun adibusana. Pesan itu jelas. Aku diharapkan hadir di acara keluarga. Sekali lagi, pertunjukan terakhir.

Aku menatap gaun itu dan hampir tertawa.

Secara hukum, aku bebas. Secara emosional, aku sudah pergi. Namun, malam ini, aku tetap akan mengenakan status sebagai istrinya. Karena Tiana, ibunya, selalu memperlakukanku dengan baik, dan masih ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan sebelum benar-benar menghilang.

Ruang pesta bersinar dengan lampu gantung emas dan tawa yang tipis seperti kaca rapuh. Anggur berkilau di gelas kristal, janji-janji hancur setiap kali bersulang. Dan Arisa berdiri di tengah semuanya, memesona, dikagumi, tak tersentuh.

Para sosialita mengepungnya seperti ngengat pada api.

"Arisa, Dario pasti terobsesi sama kamu," kata salah satu dengan kagum.

"Kalung zamrud itu dibeli langsung dari Satheby. Dia memperjuangkannya habis-habisan."

"Dan ingat waktu di sekolah? Dia menunggumu setiap hari. Saat kamu mengabaikannya seminggu, dia hampir gila, minta saran ke semua orang hanya untuk mendapatkanmu kembali…"

Tawa mereka bergema seperti pecahan kaca.

Dan aku berdiri di sana, tak terlihat, memegang rahasiaku, yaitu akta cerai yang tersembunyi, pengetahuan bahwa aku akan segera menghilang, meninggalkan mereka semua.

Aku berdiri di pinggir, tak terlihat, mendengarkan orang asing menceritakan pengabdian suamiku pada wanita lain.

Aku mengeluarkan ponsel, menghitung waktu menuju penerbangan. Tiga jam. Jika aku berangkat sekarang, aku bisa sampai tepat waktu.

Namun, keheninganku justru membuat mereka melihatku seperti orang lemah. Tak lama kemudian, Serina dan rombongannya mendekat, senyum mereka manis tetapi penuh sindiran.

"Viona." Serina bersuara manis. "Bertahun-tahun menikah dengan kakakku, apa yang bisa kamu tunjukkan? Berdiri di sini, melihat dia bersama wanita yang benar-benar dicintainya."

"Jangan menipu diri sendiri deh. Dia menikahimu hanya karena Arisa pergi. Kamu hanya pengganti, penutup luka yang hanya bisa disembuhkan Arisa."

"Kamu seharusnya pergi bertahun-tahun lalu."

Aku berbalik pergi. Tak ada waktu untuk melayani kebiadaban mereka. Namun, salah satu dari mereka mendorongku dengan keras.

Dunia berputar.

Aku menabrak menara gelas anggur di belakang. Pecahan kaca berdering, cairan emas tumpah ke gaun, serpihan menoreh kulit. Dingin anggur bercampur dengan panas darah.

Desahan terkejut terdengar di kerumunan.

Dari panggung, mata Dario langsung tertuju padaku. Matanya membelalak, lalu beberapa detik kemudian, dia sudah di sisiku, menahan tubuhku seolah aku bisa hancur begitu saja.

"Viona!" Suaranya serak, panik. "Siapa yang menyentuhnya?!"

Tak seorang pun berani menjawab.

Amarahnya membara di seluruh ruang pesta. "Panggil dokter. Sekarang!" Genggamannya padaku tak goyah. Seolah bisa menambatkanku pada dirinya dengan paksa. Tangannya bergetar di kulitku yang berdarah, rahangnya menegang menahan amarah. Sesaat, aku hampir percaya dia peduli padaku. Bahwa di dalam hati pria ini, mungkin masih ada tempat untukku.

Hingga seorang pengawal berlari masuk, terengah-engah.

"Tuan Dario, Nona Arisa kesakitan. Katanya perutnya sakit. Dia menangis hebat."

Dario membeku. Tangannya menegang menahanku.

"Apa parah?"

"Dia hampir tidak bisa berdiri," kata pengawal itu.

Matanya melompat-lompat antara aku yang berdarah di pelukannya, dan Arisa yang rapuh dan sedang menangis di ruangan lain.

"Viona, aku..."

Aku tahu apa yang akan dia katakan sebelum kata itu keluar.

Aku melepaskan diri, suaraku tenang dan menusuk.

"Pergi. Dia rapuh. Selalu begitu. Dan kamu selalu memilihnya."

Dia terhenti, ketenanganku menghantamnya lebih keras daripada kemarahan apa pun.

"Viona…"

"Jangan khawatir. Aku bisa mengurusnya."

Dan seperti biasa, dia melakukan yang selalu dia pilih. Dia memilih Arisa, meninggalkanku berdiri di pecahan kaca, mendengar janji setengah hati, "Aku akan menebusnya nanti," sebelum berlari ke sisi Arisa.

Kerumunan hanya melihat satu hal, yaitu aku yang ditinggalkan lagi.

Bisik-bisik mereka lebih menyakitkan daripada luka di kulitku.

"Kasihan, ya. Bertahun-tahun, Dario tak pernah mencintainya."

"Dia seharusnya bersyukur Arisa ke luar negeri. Kalau tidak, dia takkan pernah memakai cincin itu sama sekali."

Aku meminjam ruang tunggu untuk membersihkan darah dan membalut lukaku.

Tak seorang pun memperhatikan saat aku menyelinap pergi.

Di vila, aku mengemas barang terakhir. Di meja makan, aku menaruh dua benda, yaitu surat perceraian yang sudah ditandatangani, dan akta cerai yang menandakan semuanya selesai.

Koperku sudah menunggu di pintu. Tanganku menyentuh perut dan aku berhenti sejenak.

Tiga bulan.

Anak di dalam perutku tak akan pernah merasakan sentuhan ayahnya. Dan Dario tak akan pernah tahu bahwa malam ini dia sudah kehilangan lebih dari sekadar seorang istri.

Saat aku membuka pintu, Serina muncul, terengah-engah.

"Kakakku mengirim obat untukmu. Jangan tanya kenapa. Seharusnya dia bersama Arisa, tapi dia menyuruhku mencarimu. Aku cari ke mana-mana..." Dia memutar mata bergumam, "Sejujurnya, ini tidak masuk akal. Seharusnya dia peduli sama Arisa, bukan kamu. Kenapa dia…?"

Gumamnya berhenti saat matanya melihat koperku.

"Apa yang kamu lakukan?"

"Jelas, 'kan?" jawabku dengan tenang. "Aku pergi. Kakakmu sudah punya Arisa. Dia tak butuh aku lagi."

Dia meraih lenganku, panik. "Tidak… tidak, kamu bercanda, 'kan? Kamu terlalu mencintainya. Ini pasti trik, 'kan? Dia takkan membiarkanmu pergi!"

"Serina." Aku menoleh ke meja. "Kalau gitu, lihat surat ini."

Matanya tertuju pada akta cerai. Warna memudar dari wajahnya. Dia tergagap mundur, bergumam, "Tidak… ini tidak mungkin. Kamu… kamu tak mungkin benar-benar pergi…"

Aku melangkah melewatinya, roda koper bergesekan dengan marmer.

Lima tahun lalu, aku meninggalkan mimpiku demi Dario Mahardika.

Malam ini, aku akan mengambilnya kembali.

Aku tersenyum. Aku merasa ringan, bebas, tanpa beban.

"Aku akan menjalani hidup yang hanya milikku," kataku. Lebih untuk diri sendiri daripada siapa pun.

Vila itu menjulang di belakang dan penuh dengan kenangan. Namun, aku tak menoleh.

Tidak pada rumah itu.

Tidak pada wajah terkejut Serina.

Tidak pada pria yang akan terlambat menyadari apa yang telah hilang.

Dan begitu saja, aku menghilang ke kegelapan malam.

Meninggalkan nama, pernikahan, dan rahasia yang suatu hari akan sangat disesalinya.

Beberapa jam kemudian, Dario kembali. Jas digantung di lengan, mengharapkan rutinitas yang sama, yaitu suaraku, sandal di pintu. Namun, yang menyambutnya hanyalah keheningan.

"Viona?" Panggilannya bergema di seluruh rumah.

Tak ada jawaban. Pelayan kebingungan. Salah satu menunjuk lemah ke meja makan dengan surat yang sudah menunggu di atasnya. Dario melangkah cepat, meraihnya.

AKTA CERAI.

Tandatangannya sendiri, yang tidak ingat kapan dia bubuhkan. Sertifikat resmi yang sudah final.

Rahangnya mengeras. "Tidak mungkin."

Lalu matanya menangkap folder kedua. Map polos dengan tulisan klinik.

Dia membukanya. Huruf hitam itu bertuliskan RSIA Florance. Pasien: Viona Nandita. Minggu keberapa, perkiraan tanggal lahir, catatan pengawasan ketat.

Hamil. Viona telah membawa anaknya. Dia pergi bukan hanya sebagai istri, tetapi sebagai ibu dari kehidupan yang bahkan belum Dario ketahui.

Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, tangan Dario bergetar.

"Viona…" bisiknya menggores udara kosong.

Rumah itu tak memberi jawaban.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 15

    Kehamilan membawa iramanya sendiri. Mual di pagi hari, mengidam di jam-jam tak masuk akal, dan tekad Dario yang tak pernah surut untuk selalu hadir di setiap momennya. Dia tak pernah mengeluh. Jika aku ingin pasta saat fajar, dia belajar membuatnya. Jika aku terbangun di tengah malam, gelisah dan merasa berat, dia akan mengusap punggungku perlahan hingga aku kembali tertidur.Putri kami begitu bahagia mendengar kabar itu. Dia menempelkan kedua tangannya yang mungil di perutku, seolah bisa merasakan detak jantung adiknya. "Bayi," bisiknya pelan, lalu menatap Dario dengan wajah serius. "Ayah, jaga Ibu, ya."Dan dia melakukannya. Setiap hari.Ada kalanya aku tanpa sadar mengujinya. Menunggu untuk melihat apakah dia akan lelah, apakah pria yang dulu kukenal akan muncul kembali dengan jarak dan dinginnya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dia mengecat dinding kamar bayi sendiri, memadukan warna biru muda dan krem hangat, bersenandung sumbang sementara putri kami ikut membantu dengan ku

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 14

    Setengah tahun berlalu dalam irama yang aneh. Dario dan aku seperti dua planet yang saling mengitari, tak pernah benar-benar bertabrakan, tetapi juga tak pernah benar-benar melepaskan.Dia tak pernah memaksa, tak pernah menuntut. Sebaliknya, dia hanya tetap ada, muncul di saat yang tepat, mempelajari diamku, mengenal tawa putriku.Menjelang Desember, hubungan rapuh kami perlahan tumbuh menjadi sesuatu yang lebih. Natal tahun itu, hujan menyelimuti kota. Aku mendapati diriku menyiapkan makan malam kecil, menata tiga piring di meja.Ketika Dario tiba di depan pintu dengan membawa pohon di satu tangan dan senyum miring di wajahnya, aku tidak mengusirnya."Tinggallah," kataku, bahkan aku sendiri terkejut mendengarnya.Cahaya di matanya seolah menandakan bahwa aku baru saja memberinya seluruh dunia. Dia menggantung hiasan pohon bersama putriku, membiarkan gadis kecil itu duduk di bahunya untuk menaruh bintang kertas di puncak pohon.Tawa putriku memenuhi ruangan, dan ketika dia memanggilnya

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 13

    Di dalamnya, semuanya terasa… terlihat.Ruang tamu itu sederhana dan lembut, sinar matahari menumpuk di atas karpet wol berwarna hijau muda seperti buih laut. Warna yang pernah kukatakan padanya bisa membuatku merasa tenang.Di atas meja dapur, ada tumpukan rapi buku sketsa kesukaanku dan batang-batang arang gambar. Di dalam kulkas, kaldu, roti segar, buah yang sudah dicuci, serta sebotol zaitun dari toko kecil di Saslia yang dulu sering kudatangi menjelang senja. Tidak ada makanan laut. Tidak ada bawang putih.Kamar putrikulah yang membuat pertahananku runtuh.Rak-rak buku rendah agar dia bisa menjangkaunya sendiri. Sebuah karpet bergambar rasi bintang, lampu malam berbentuk bintang yang memantulkan galaksi di langit-langit, seprai berwarna merah muda pucat dan salem tanpa satu pun sentuhan warna merah menyala.Di atas meja rias, ada boneka kelinci putih berbulu lembut. Kembaran dari yang pernah dia peluk erat di rumah sakit.Di meja makan, selembar catatan tunggal tertulis dengan tul

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 12

    Aku terbangun oleh bunyi klik lembut dari monitor dan keheningan antiseptik khas ruang rumah sakit. Tenggorokanku terasa perih, paru-paruku nyeri setiap kali bernapas. Asap memang punya cara untuk tetap tinggal di dalam tubuh, bahkan setelah apinya padam.Ada sesuatu yang hangat dan ringan di sisiku. Putriku bulu matanya masih basah karena air mata, pipinya kemerahan karena tertidur bersandar pada gaunku.Dario ada di sana.Bukan di pintu, bukan berdiri jauh seperti orang asing, tetapi di sisiku, menemani dengan kesabaran yang tak bisa dipalsukan. Dia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung hingga siku.Di meja, segelas air hangat menunggu, dengan seiris lemon tipis mengapung seperti koin pucat tanpa madu, karena dia ingat aku tidak suka rasa manis di pagi hari.Dia menaikkan sandaran tempat tidur perlahan sedikit demi sedikit, sampai rasa nyeri di dadaku mereda."Pelan-pelan," katanya dengan suara serak. "Sedikit saja."Dia tidak terburu-buru. Tidak berusaha menambal kehe

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 11

    Setelah pameran itu, Dario tidak berhenti.Setiap hari, selalu ada sesuatu yang dikirim ke vila. Bunga, buku, mainan untuk putri kecilku. Kadang-kadang dia berdiri di seberang pagar besi, menunggu sampai anakku melihatnya.Begitu dia berlari menghampiri, tawanya memenuhi udara. Dario akan berjongkok, meniru setiap gerakannya, tangannya mengikuti permainan si kecil melalui sela-sela besi yang dingin.Aku berusaha mengabaikannya, mengingatkan diriku pada tahun-tahun penuh ketidakpedulian dan pengkhianatan itu. Namun, setiap kali melihat wajah putriku bersinar bahagia saat melihat ayahnya… ada sesuatu di dalam diriku yang perlahan melunak. Sesuatu yang selama ini kupaksa untuk tetap tertutup rapat.Saat putriku tidak ada di rumah, Dario tidak lagi bersembunyi di balik hadiah atau permainan. Dia akan mengetuk gerbang, suaranya rendah dan terdengar rapuh tidak seperti biasanya."Viona, aku minta maaf."Aku menolak membukakan pintu, tetapi entah bagaimana dia selalu menemukan cara untuk berb

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 10

    Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, setelah lulus nanti, aku akan menggelar pameran tunggal pertamaku. Dan kini, saat itu akhirnya tiba. Setiap kanvas telah digantung, setiap lampu sorot disesuaikan, setiap undangan telah dikirim.Ketika temanku menyerahkan daftar tamu terakhir, mataku tertumbuk pada satu nama. Dario.Sesaat, dadaku terasa sesak. Kupikir aku akan panik, ingin bersembunyi dan lari dari semua ini.Namun, ternyata tidak. Tidak ada rasa sakit yang tajam, hanya ketenangan yang sunyi.Aku sendiri terkejut. Bertahun-tahun lalu, membayangkan bertemu dia saja sudah cukup untuk membuatku hancur. Sekarang, aku tahu… aku benar-benar telah melepaskannya.Galeri mulai ramai, udara dipenuhi percakapan dan denting gelas sampanye. Aku berkeliling di antara para tamu sambil tersenyum, memperkenalkan setiap lukisanku.Dan kemudian aku merasakan kehadirannya sebelum aku melihatnya. Aura yang dulu begitu kukenal, menekan halus di kulitku."Viona."Suara itu membuatku membeku sejenak.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status