Share

Bab 6A

“Kenapa, Mas? Kok buru-buru?” tanyaku saat kami sudah di mobil. 

Sebenarnya aku penasaran dengan pria tadi. Aku ingin mendapat informasi dari Mas Bayu. Ingin memancingnya, tapi dari raut mukanya, sepertinya dia enggan menjawabnya.

“Sudah malam, Ra. Besok aku berangkat pagi-pagi. Kamu juga harus kerja, 'kan?” sahut Mas Bayu seperti mengelak membahasnya.

Aku hanya bisa mengangguk.

Ah, Mas Bayu banyak juga rahasiamu. Sepertinya memang banyak hal yang aku tak tahu tentangmu.

Apakah karena kamu malu memiliki istri seperti aku? Apa aku tak pantas menjadi pendampingmu? Atau aku memang tak layak menjadi orang yang kamu percaya? 

Kenapa menjadi sesak begini dada ini, saat menyadari posisiku yang tak berarti di depan Mas Bayu. 

--

Pagi-pagi, Mas Bayu sudah rapi. 

“Mas, kamu keluar kota pakai mobil?” tanyaku saat melihat Mas Bayu meletakkan tasnya di bagasi mobil. 

Biasanya Mas Bayu pergi keluar kota dengan pesawat. Jadi, dari rumah ia berangkat dengan taksi. Tetapi, hari ini kenapa dia menggunakan mobil?

Mas Bayu terlihat sedikit gugup. Tapi, aku pura-pura tak melihat perubahan wajahnya itu. 

“Nanti bareng temen, Ra. Aku titipin di rumah teman mobilnya,” terangnya dengan nada datar. Meski di balik itu, aku bisa membaca dia sedang menutupi sesuatu. 

“Kalau begitu, jangan lupa bawa kunci rumah cadangan ya, Mas. Khawatir pas kamu pulang aku masih di rumah Ayah,” ujarku mengingatkan. 

Meskipun sebenarnya dia sudah biasa membawa kunci rumah sendiri. Aku hanya khawatir saat aku tidak ada, dia tidak bisa masuk rumah. 

Mas Bayu menatapku sambil menunjukkan kunci yang ada di laci mobilnya.

Sebelum dia menaikkan kaca mobil di bagian kemudi, tak lupa aku mendekatinya dan membungkukkan badanku, lalu memintanya mencium pipiku sekali lagi. 

"Tumben," ujarnya seraya tersenyum hangat, setelah memberiku kecupan. Mungkin, ini adalah ciuman yang terakhir untukku.

Segera kulambaikan tangan ketika dia mulai menjalankan mobilnya. Kupandangi kepergian Mas Bayu hingga mobilnya menghilang di tikungan. 

Aku segera masuk ke dalam rumah untuk bersiap-siap.

Hari ini jadwalku mengambil visa di kedutaan. Selain itu, aku juga harus berpamitan ke teman-teman kantor. Hari ini hari terakhirku karena besok aku harus mengurus persiapan keberangkatan. 

Aku memang sengaja menunggu Mas Bayu berangkat ke luar kota untuk mempersiapkan semuanya. Tidak mungkin aku menyiapkan koper ukuran besar dan mem-packing-nya saat ada Mas Bayu. Bisa-bisa rencanaku gagal jika dia curiga.

Semua dokumen penting kumasukkan ke dalam tas. Aku tak berniat membawa dokumen apapun milik Mas Bayu. Bahkan, buku rekening pemberiannya sengaja kutinggalkan.

Aku mempersiapkan koper ukuran lebih kecil. Besok pagi-pagi aku berniat terbang ke kota kelahiranku, untuk menemui Ayah dan ibu, serta menceritakan semuanya. Aku berharap, mereka memberi restu akan kepergianku. 

Aku juga mempersiapkan kata-kata terbaik untuk menceritakan semuanya, agar Ayah dan ibu tidak terluka, ataupun marah pada keluarga Mas Bayu. Aku ingin keluargaku bisa menerima semuanya dengan lapang dada. 

--

Hari kedua kepergian Mas Bayu.

Dia tidak menghubungiku sama sekali. Mungkin dia sibuk.

Biasanya juga begitu. Kami hanya saling menghubungi jika ada hal yang sangat penting. Kecuali satu dari kami sedang iseng, baru kami akan menanyakan kabar. Jika tidak, kami hanya akan berkabar jika diperlukan. 

Aku tiba di Yogya pukul sembilan pagi. Rencanaku, aku ingin menghabiskan waktu dua hari di di kota ini sebelum pergi meninggalkan Indonesia. 

Seperti janjiku, aku mengabarkan pada Mas Bayu kalau aku sudah di Yogya, karena dia yang akan menelpon Ayah dan ibu. 

“Apa Bayu sibuk sekali sampai dia tak bisa mengantarmu?” ujar Ayah usai menutup telepon dari Mas Bayu. 

Aku menghela nafas. Mempersiapkan energi untuk menceritakan hal terberat dalam hidupku.

“Sebenarnya Mas Bayu mau mengantar, Ayah. Tapi, Ira ada sesuatu yang ingin Ira sampaikan sebelum Mas Bayu menyampaikan sesuatu ke Ayah.” Hati-hati aku berkata.

Pagi itu juga aku menceritakan apa yang kulihat dan dengar, meskipun aku tak punya bukti yang dapat aku tunjukkan pada kedua orang tuaku.

Mungkin setelah kepergianku nanti, aku bisa menunjukkan kenyataannya kepada ayah dan ibu. 

"Ira sudah nggak sanggup, Ayah!" Kaca-kaca di mataku yang sejak tadi aku tahan, akhirnya meleleh juga. 

Ibu yang sedari tadi turut menyimak, segera mendekat dan memberikan pelukan. Beliau seolah mengerti dengan apa yang kurasakan. Pedihnya tidak menerima cinta seutuhnya saat kita berusaha mencintai, tapi akupun tak bisa berbuat apa pun. Bukankah cinta tak bisa dipaksakan?

Selama ini, aku memang tak pernah menceritakan kondisi keluarga yang aku bina dengan Mas Bayu. Aku pikir, semua butuh proses. Dan nanti juga semua akan baik-baik saja. Tapi, belakangan melihat Mas Bayu menutup-nutupi sesuatu, hatiku berkata, cukup! 

“Kalau kamu mau, Ayah dan Ibu bisa menyelesaikan sebelum semuanya terlanjur,” ujar Ayah. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
siti fauziah
sesak bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status