“Kenapa, Mas? Kok buru-buru?” tanyaku saat kami sudah di mobil.
Sebenarnya aku penasaran dengan pria tadi. Aku ingin mendapat informasi dari Mas Bayu. Ingin memancingnya, tapi dari raut mukanya, sepertinya dia enggan menjawabnya.
“Sudah malam, Ra. Besok aku berangkat pagi-pagi. Kamu juga harus kerja, 'kan?” sahut Mas Bayu seperti mengelak membahasnya.
Aku hanya bisa mengangguk.
Ah, Mas Bayu banyak juga rahasiamu. Sepertinya memang banyak hal yang aku tak tahu tentangmu.
Apakah karena kamu malu memiliki istri seperti aku? Apa aku tak pantas menjadi pendampingmu? Atau aku memang tak layak menjadi orang yang kamu percaya?
Kenapa menjadi sesak begini dada ini, saat menyadari posisiku yang tak berarti di depan Mas Bayu.
--
Pagi-pagi, Mas Bayu sudah rapi.
“Mas, kamu keluar kota pakai mobil?” tanyaku saat melihat Mas Bayu meletakkan tasnya di bagasi mobil.
Biasanya Mas Bayu pergi keluar kota dengan pesawat. Jadi, dari rumah ia berangkat dengan taksi. Tetapi, hari ini kenapa dia menggunakan mobil?
Mas Bayu terlihat sedikit gugup. Tapi, aku pura-pura tak melihat perubahan wajahnya itu.
“Nanti bareng temen, Ra. Aku titipin di rumah teman mobilnya,” terangnya dengan nada datar. Meski di balik itu, aku bisa membaca dia sedang menutupi sesuatu.
“Kalau begitu, jangan lupa bawa kunci rumah cadangan ya, Mas. Khawatir pas kamu pulang aku masih di rumah Ayah,” ujarku mengingatkan.
Meskipun sebenarnya dia sudah biasa membawa kunci rumah sendiri. Aku hanya khawatir saat aku tidak ada, dia tidak bisa masuk rumah.
Mas Bayu menatapku sambil menunjukkan kunci yang ada di laci mobilnya.
Sebelum dia menaikkan kaca mobil di bagian kemudi, tak lupa aku mendekatinya dan membungkukkan badanku, lalu memintanya mencium pipiku sekali lagi.
"Tumben," ujarnya seraya tersenyum hangat, setelah memberiku kecupan. Mungkin, ini adalah ciuman yang terakhir untukku.
Segera kulambaikan tangan ketika dia mulai menjalankan mobilnya. Kupandangi kepergian Mas Bayu hingga mobilnya menghilang di tikungan.
Aku segera masuk ke dalam rumah untuk bersiap-siap.
Hari ini jadwalku mengambil visa di kedutaan. Selain itu, aku juga harus berpamitan ke teman-teman kantor. Hari ini hari terakhirku karena besok aku harus mengurus persiapan keberangkatan.
Aku memang sengaja menunggu Mas Bayu berangkat ke luar kota untuk mempersiapkan semuanya. Tidak mungkin aku menyiapkan koper ukuran besar dan mem-packing-nya saat ada Mas Bayu. Bisa-bisa rencanaku gagal jika dia curiga.
Semua dokumen penting kumasukkan ke dalam tas. Aku tak berniat membawa dokumen apapun milik Mas Bayu. Bahkan, buku rekening pemberiannya sengaja kutinggalkan.
Aku mempersiapkan koper ukuran lebih kecil. Besok pagi-pagi aku berniat terbang ke kota kelahiranku, untuk menemui Ayah dan ibu, serta menceritakan semuanya. Aku berharap, mereka memberi restu akan kepergianku.
Aku juga mempersiapkan kata-kata terbaik untuk menceritakan semuanya, agar Ayah dan ibu tidak terluka, ataupun marah pada keluarga Mas Bayu. Aku ingin keluargaku bisa menerima semuanya dengan lapang dada.
--
Hari kedua kepergian Mas Bayu.
Dia tidak menghubungiku sama sekali. Mungkin dia sibuk.
Biasanya juga begitu. Kami hanya saling menghubungi jika ada hal yang sangat penting. Kecuali satu dari kami sedang iseng, baru kami akan menanyakan kabar. Jika tidak, kami hanya akan berkabar jika diperlukan.
Aku tiba di Yogya pukul sembilan pagi. Rencanaku, aku ingin menghabiskan waktu dua hari di di kota ini sebelum pergi meninggalkan Indonesia.
Seperti janjiku, aku mengabarkan pada Mas Bayu kalau aku sudah di Yogya, karena dia yang akan menelpon Ayah dan ibu.
“Apa Bayu sibuk sekali sampai dia tak bisa mengantarmu?” ujar Ayah usai menutup telepon dari Mas Bayu.
Aku menghela nafas. Mempersiapkan energi untuk menceritakan hal terberat dalam hidupku.
“Sebenarnya Mas Bayu mau mengantar, Ayah. Tapi, Ira ada sesuatu yang ingin Ira sampaikan sebelum Mas Bayu menyampaikan sesuatu ke Ayah.” Hati-hati aku berkata.
Pagi itu juga aku menceritakan apa yang kulihat dan dengar, meskipun aku tak punya bukti yang dapat aku tunjukkan pada kedua orang tuaku.
Mungkin setelah kepergianku nanti, aku bisa menunjukkan kenyataannya kepada ayah dan ibu.
"Ira sudah nggak sanggup, Ayah!" Kaca-kaca di mataku yang sejak tadi aku tahan, akhirnya meleleh juga.
Ibu yang sedari tadi turut menyimak, segera mendekat dan memberikan pelukan. Beliau seolah mengerti dengan apa yang kurasakan. Pedihnya tidak menerima cinta seutuhnya saat kita berusaha mencintai, tapi akupun tak bisa berbuat apa pun. Bukankah cinta tak bisa dipaksakan?
Selama ini, aku memang tak pernah menceritakan kondisi keluarga yang aku bina dengan Mas Bayu. Aku pikir, semua butuh proses. Dan nanti juga semua akan baik-baik saja. Tapi, belakangan melihat Mas Bayu menutup-nutupi sesuatu, hatiku berkata, cukup!
“Kalau kamu mau, Ayah dan Ibu bisa menyelesaikan sebelum semuanya terlanjur,” ujar Ayah.
EPILOG Setelah beberapa bulan ikut bekerja di tempat Pak Ahmad, Bayu akhirnya memberanikan diri membuka sendiri usaha pencucian motor di dekat kampus tempat Fahira bekerja. Bayu terlebih dahulu meminta izin pada mantan atasannya itu. Dia juga melakukan pengembangan dengan ide-ide yang dimilikinya. Beruntung, Pak Ahmad tidak keberatan. Malah dia merasa bangga ada anak buahnya berhasil mengembangkan idenya. Bahkan Pak Ahmad mengijinkan tanpa harus memberi bagi hasil apapun terkait ide bisnis tersebut. Bayu menyewa tempat di dekat kampus Fahira. Dia pun merekrut para mahasiswa yang memang merupakan ide awal bisnisnya. Dia ingin membantu para mahasiswa yang membutuhkan uang tambahan dengan memberi kesempatan sistem part time. Bayu memberi kelulasaan waktu bekerja meskipun ada jadwal dan insentif khusus, yang membuat bisnisnya tetap berjalan, tanpa terganggu dengan sistem yang dia bangun. Pada awalnya memang sepi. Bayu harus memutar otak untuk memberikan promo-promo di awal pembukaan
"Mas Bayu! Mas! Bangun, Mas!" pekikku saat kulihat dia tergeletak di karpet. Sementara tangan kanannya mengenggam erat sebuah buket bunga. Segera kuletakkan Nayla di atas karpet. Kulepas juga kain gendongan Nayla dari tubuhku.Kutepuk-tepuk pipi Mas Bayu. Aku langsung meraba nadinya. Nafasnya masih teratur. Hanya wajahnya pucat sekali. Aku teringat dengan kejadian di Belanda saat itu. Segera jendela ruang depan ini aku buka lebar agar udara segar masuk. Lalu kuambil minyak angin. Bantal kuletakkan untuk menyangga kepala Mas Bayu. Tak lama matanya dia mulai mengerjap. “Ra…”panggilnya. Alhamdulillah, tak henti-hentinya aku bersyukur. Mas Bayu sudah sadar. “Minum, Mas…” Aku sudah menyiapkan segelas air putih di dekat Mas Bayu. Kulihat dia langsung menegak habis minum itu setelah aku membantunya untuk duduk. “Aku lupa alamat rumah ini. Aku kemarin habis kerja, beli ini.” Mas Bayu menunjukkan buket bunga dan memberikannya padaku.Seketika aku terharu. Buket bunga yang cantik. Entah
Aku terduduk di depan depot yang masih tertutup itu sambil menggendong Nayla. Untungnya, Nayla tidak rewel. Wajah imutnya dan damai, membuatku makin teriris saat memandanginya. Maafkan Mamamu ini, Nak. Yang tak mampu menjaga papamu untuk terus bersamamu, gumanku. Sudut mataku tak sadar mengeluarkan air mata. Hatiku makin nelangsa. Namun, aku segera tersadar. Aku nggak boleh lemah. Jika iya, Nayla pun akan turut menjadi lemah. Dia harus tumbuh menjadi anak yang kuat. Biasanya, akhir pekan aku pulang ke rumah orangtuaku. Awalnya, aku pun berencana ke sana jika Mas Bayu sudah pulang. Pasti Ayah dan Ibu akan senang jika tahu Mas Bayu kini sudah bekerja. Meski bekerja apa saja, aku rasa, orang tuaku tak akan pernah mempermasalahkan. Tapi, justru kini ia kembali menghilang.Ada apa denganmu, Mas? Gumanku. Kembali ponselku bergetar. [Ndhuk, kamu nggak ke sini?] Rupanya pesan singkat dari Ibu.Aku tahu, ibu pasti cemas karena aku sama sekali tidak memberinya kabar kalau tidak ke sana. [N
“Di minum, Mbak…” ujar si ibu penjual es kelapa.Aku mengangguk. Pandanganku tetap tak lepas pada lelaki itu.“Bu, saya nitip sebentar,” ujarku.Tanpa menunggu persetujuannya, aku menyeberang mendekat ke depot cucian motor itu. Sayangnya, belum sempat aku mendekat. Pria yang hendak kudekati menyadari kehadiranku. Diletakkannya alat pembersih yang ada di tangannya. Lalu dia berlari ke dalam. Aku hanya diam mematung di depan depot itu, hingga seorang pria berusia empat puluhan dengan perawakan tambun mendekat ke arahku. “Mencari siapa, Mbak?” sapa pria itu menyentakkan lamunanku. “Mas…ee…Mas tadi yang lagi nyuci…yang masuk ke dalam…” ujarku sedikit gelagapan. Pria itu tersenyum simpul, lalu bertanya penuh selidik.“Mbak saudaranya?”Aku menghela nafas. Ada degup jantung penuh harap dengan pertanyaan pria itu. Aku berharap dia betul Mas Bayu. “Apakah dia bernama Bayu?” Aku mencoba meyakinkan sebelum menjawab pertanyaannya. Pria itu mengangguk, lalu mengajakku menjauh dari depotnya,
Kutanyakan ke tetangga sebelah dan depan rumah, adakah yang melihat Mas Bayu. Semua menggeleng. Meskipun Mas Bayu hanya di rumah, setiap sholat lima waktu selalu ke masjid. Tentu saja tetangga banyak yang tidak asing dengannya. Aku pun bertanya pada marbot masjid, katanya sejak sholat dhuhur sudah tidak ke masjid. Deg! Kemana Mas Bayu? Kususuri jalanan di sekitar perumahan tempat kami tinggal hingga sekitar kampus di mana aku mengajar. Tiga bulan lamanya kami tinggal di kota ini, aku jarang mengajak Mas Bayu jalan-jalan. Sesekali setiap akhir pekan aku hanya mengajak Mas Bayu dan Nayla pulang ke rumah orang tuaku. Jadi, mustahil Mas Bayu kenal baik daerah sini. Apalagi, dia tak punya teman di sini. Pikiranku menjadi kalut. Kemana Mas Bayu pergi? Kalau dia tidak tahu jalan, bagaimana? Karena Mas Bayu sekarang bukanlah Mas Bayu yang dulu. Mas Bayu yang baik-baik saja. Belakangan, setelah kepergian Mama Mertua, Mas Bayu hanya banyak diam dan melamun. Tak bisa disebut normal jik
“Mas, kamu sudah sadar?” Fahira mendekatkan wajahnya ke wajah Bayu saat mendengar lenguhan suara suaminya itu. Orang tua Fahira beserta kakaknya langsung pulang. Hanya Fahira yang berjaga. Baju milik Fahira dan Bayu sudah dibawakan saat mereka datang membezuk. Sementara Nayla diasuh oleh Wulan di rumah Bayu. Terlalu kecil untuk di bawa ke rumah sakit. Bayu membuka matanya. Raut wajahnya menunjukkan penolakan atas kehadiran Fahira. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada kakaknya di sana “Mas, hanya aku yang di sini. Aku yang akan merawatmu. Bukan Mbak Wulan,” ujar Fahira seolah tahu isi pikiran Bayu. Fahira menggenggam tangan Bayu. Punggung tangannya terbalut verban. Bayu menatap Fahira. Matanya berkaca-kaca. Lalu ia berkata, “Ra, kamu tidak seharusnya di sini. Aku tak pantas buatmu.” Suara itu terdengar lirih dan putus asa. Fahira menggeleng. “Siapa bilang kamu tak pantas. Justru, seharusnya akulah yang mengurusmu. Bukan Mbak Wulan. Aku berhutang banyak pada Mbak Wulan. Mbak Wulan