แชร์

Bab 2 – Kos Sempit, Hati Luas

ผู้เขียน: perdy
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-04-08 08:29:21

Kamar itu hanya seukuran 3x4 meter. Lantainya dari keramik kusam yang sebagian sudah retak di sudut-sudutnya. Dindingnya lembab, dengan bercak kehitaman yang tumbuh di pojok atas, pertanda jamur dan kebocoran bertahun-tahun. Bau apek mengambang samar di udara, bercampur aroma minyak kayu putih dan sabun mandi murah yang belum mengering.

Suara tetesan air dari kamar mandi kecil di pojok ruangan tak henti-henti, menjadi latar belakang permanen yang mengusik keheningan. Lampu neon yang tergantung di langit-langit berkedip beberapa kali sebelum menyala stabil, memberi penerangan pucat yang dingin.

Di tengah ruangan, sebuah ranjang kayu tua berderit saat Nayla menaruh tas ransel kecilnya. Spontan, tangannya menyentuh permukaan kasur yang terasa tipis, hampir tak ada pegasnya. Di atas kasur itu hanya ada satu bantal lusuh dan selimut tipis yang warnanya telah pudar.

Namun mata Nayla tidak menunjukkan kekecewaan. Ia mengedarkan pandangan, menyentuh benda-benda seadanya dengan hati-hati. Ada meja lipat plastik di pojok dengan dua gelas melamin, sebuah kipas angin kecil yang hanya bisa diarahkan satu arah, dan rak buku dari triplek yang mulai melengkung di tengah.

Di tengah ruangan yang sempit dan jauh dari kemewahan, Nayla malah tersenyum.

“Maaf ya, sayang… Belum bisa kasih kamu yang mewah. Tapi aku janji, suatu hari nanti kamu akan tinggal di apartemen lantai atas gedung pencakar langit,” kata Galan, berdiri canggung di pintu dengan tangan di belakang kepala, mencoba tertawa. Tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan rasa minder yang menyelinap diam-diam.

Nayla menoleh. Ia berjalan pelan ke arah Galan, lalu menggenggam tangannya yang kasar dan hangat.

“Aku tidak mencintaimu karena gedung pencakar langit, Galan. Aku mencintaimu karena kamu mau berusaha membangunnya,” ujarnya lembut.

Tatapan Galan melunak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memeluk Nayla erat-erat. Pelukannya tak sempurna—tangannya gemetar sedikit, mungkin karena lelah, mungkin karena takut tak cukup. Tapi di dunia yang tak memberi jaminan apa pun, pelukan itu adalah satu-satunya hal yang membuat Nayla yakin: ia telah memilih dengan benar.

**

Hari-hari awal di kos itu bukan hal mudah bagi Nayla. Air panas tak tersedia. Untuk mandi, ia harus memanaskan air dengan kompor kecil gas portable yang sering rewel. Cucian baju dilakukan dengan tangan, dan menjemur pun bergantung pada matahari yang sering enggan muncul karena musim hujan.

Ia belajar menyesuaikan diri. Menyapu lantai setiap pagi, merapikan ranjang, mencuci piring dengan sabun cuci seadanya. Bahkan membeli beras dan telur di warung kecil depan gang menjadi pengalaman baru yang membuatnya merasa lebih ‘manusia’.

Malam pertama mereka tidur berdua di kasur tipis itu, hujan turun deras. Air rembes dari pojok plafon menetes ke lantai dan membentuk genangan kecil. Nayla tak mengeluh. Ia mengambil ember dan menampung tetesan itu, lalu duduk di samping Galan sambil bersandar di bahunya.

“Dulu aku pikir hidup miskin itu menakutkan,” gumamnya. “Tapi ternyata, yang lebih menakutkan adalah hidup kaya tanpa arah dan tanpa cinta.”

Galan menatapnya. “Kalau kamu menyesal, kamu boleh kembali. Aku nggak akan tahan kalau tahu kamu menderita.”

Nayla menggeleng. “Aku nggak menyesal. Kamu tahu kenapa?” Ia menatap wajah Galan dalam-dalam. “Karena setiap pagi aku bangun dengan seseorang yang tahu cara mencintai dengan tulus. Itu cukup.”

**

Galan bekerja serabutan. Kadang jadi kurir ojek online, kadang membantu di bengkel temannya, kadang ikut proyek pemasangan banner. Penghasilannya tak menentu, tapi ia selalu berusaha membawa pulang sesuatu—entah makanan sederhana atau sekadar kopi sachet dua gelas.

Nayla, yang dulu terbiasa dengan pengacara pribadi dan rapat bisnis, mulai mencari pekerjaan daring: menulis artikel, mengedit dokumen, menjadi admin toko online. Upahnya tak besar, tapi cukup untuk menambah uang makan dan membeli sabun yang lebih wangi.

Setiap malam, mereka duduk di lantai, berbagi makanan sederhana—kadang hanya mie instan dengan telur dan potongan sosis murah. Tapi tawa mereka tulus. Obrolan mereka penuh mimpi: tentang membuka kedai kopi kecil, tentang Galan yang ingin kuliah lagi di bidang teknologi, tentang Nayla yang ingin membuka tempat pelatihan kerja untuk perempuan kurang mampu.

“Kalau nanti kedai kopi kita buka, kamu mau jadi barista atau bagian marketing?” tanya Galan suatu malam sambil menggambar sketsa kasar di buku catatannya.

“Aku bagian yang bikin nama dan logo. Tapi bagian menyeduh kopi… tetap kamu. Soalnya kamu satu-satunya lelaki yang bisa bikin aku jatuh cinta sama kopi hitam,” jawab Nayla sambil tertawa kecil.

“Kalau begitu, aku akan belajar jadi barista paling handal,” balas Galan sambil mengangkat tangan seolah bersumpah.

**

Namun, tak semua hari manis. Suatu malam, Nayla mendapat pesan dari sepupunya, Aileen. Singkat, tapi menusuk:

“Katanya dulu cewek pintar dan paling elegan. Sekarang tidur di kasur tua dan hidup dari upah kurir. Hebat juga kamu bisa jatuh sedalam itu.”

Nayla membaca pesan itu berulang-ulang. Tangannya gemetar. Ia menaruh ponselnya di meja, lalu menatap kosong ke dinding.

Galan yang melihatnya terdiam, lalu duduk di samping Nayla. “Pesan dari keluarga?” tanyanya hati-hati.

Nayla mengangguk.

Galan tak bertanya lebih lanjut. Ia tahu. Ia tahu betapa sakitnya dihina oleh orang yang dulu bersulang bersamanya di pesta ulang tahun mewah. Tapi ia hanya memegang tangan Nayla, menguatkan tanpa kata.

“Apakah aku terlalu bodoh?” bisik Nayla lirih. “Terlalu gegabah? Aku kadang ragu... apa ini semua salah?”

Galan memeluknya dari samping. “Kalau ini salah, biar aku juga ikut salah. Asal kamu tetap di sisiku, aku rela dianggap gila oleh dunia.”

Air mata Nayla jatuh, bukan karena sedih—tapi karena tahu, dalam keterbatasan ini, ada cinta yang tak bisa dibeli.

**

Beberapa minggu kemudian, Nayla mulai menulis blog. Ia menulis kisahnya: tentang meninggalkan kemewahan, tentang kos kecil, tentang belajar hidup dengan tangan sendiri. Tanpa menyebut nama asli, ia menceritakan sisi manusia dari perjuangannya.

Tak disangka, tulisannya mulai dibaca orang. Beberapa mengirim pesan:

“Terima kasih sudah menulis ini. Aku juga sedang berjuang dari nol.”

“Kamu membuatku percaya bahwa cinta tak harus mewah untuk bermakna.”

Nayla membaca setiap pesan dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa hidupnya kembali punya makna. Bahwa bahkan dalam kesempitan, hatinya masih bisa memberi ruang untuk orang lain merasa ditemani.

**

Suatu sore, saat mereka duduk di depan pintu kos sambil minum teh hangat, Galan berkata, “Kamu tahu nggak, Nay… kamar ini sempit, tapi aku merasa dunia kita luas.”

Nayla menoleh. “Kenapa?”

“Karena selama kamu di sini… rasanya setiap mimpi punya tempat untuk tumbuh.”

Nayla tersenyum. “Kalau begitu, mari kita rawat mimpi itu. Meski dalam kamar sempit, asal hati kita cukup luas, kita bisa membangun langit di dalamnya.”

Dan mereka tertawa. Bukan tawa orang yang sedang menang, tapi tawa orang yang tahu: mereka berjalan ke arah yang benar, bersama-sama.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 299

    “Apa yang sebenarnya ada di basement itu?” tanya Nayla langsung kepada Marcus Chen lewat sambungan telepon aman yang diatur oleh Agent Sarah.“Saya tidak bisa memastikan sekarang,” jawab Marcus dengan suara hati-hati. “Tapi waktu saya masih terlibat dalam perencanaan dua tahun lalu, Kozlov merancang beberapa tingkat bawah tanah untuk ‘fasilitas penyimpanan khusus’. Dia sangat tertutup soal itu—bahkan kepada mitra bisnis terdekatnya.”“Penyimpanan untuk apa?”“Secara resmi, dokumen sensitif dan sistem cadangan keamanan. Tapi ada desas-desus di kalangan pekerja konstruksi tentang ruangan-ruangan yang didesain menyerupai... semacam fasilitas penahanan yang sangat aman.”Dada Nayla bergetar oleh rasa dingin yang familiar. “Fasilitas penahanan? Untuk siapa?”“Saya tidak tahu pasti. Bisa saja untuk saksi yang bekerja sama dengan pihak berwenang dan perlu perlindungan. Atau bisa juga...” Marcus berhenti sejenak.“Bisa juga apa?” desak Nayla.“Atau bisa juga tempat untuk menahan orang-orang y

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 298

    Nayla menatap foto training center yang dikirim Viktor Kozlov dengan perasaan campur aduk. Dari luar, kompleks itu terlihat seperti universitas bergengsi: gedung-gedung modern, fasilitas lengkap, taman yang rapi. Tapi pagar tinggi dan peralatan keamanan yang ketat membuatnya terasa lebih seperti markas militer ketimbang lembaga pendidikan.“Alternative proposal…” gumam Nayla sambil memperbesar foto. “Apa maksudnya dia dengan itu?”Arvino, yang terbangun karena suara notifikasi, duduk di samping Nayla di tempat tidur hotel. Ia ikut melihat pesan itu.“Dia sedang berjaga-jaga,” kata Arvino tenang. “Kalau kemitraan resmi dengan pengawasan PBB terasa terlalu mengekang, dia sudah siapkan rencana cadangan: tetap memberikan kamu sumber daya, tapi dengan fleksibilitas lebih besar—dan mungkin, kendali lebih banyak untuk dirinya.”“Jadi bisa jadi peluang… atau jebakan.”“Persis. Dan fakta bahwa dia menghubungi kamu diam-diam jam tiga pagi menunjukkan satu hal: dia ingin melompati jalur resmi, m

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 297

    “Orang tua saya hilang?” suara Nayla tercekat. Dunia seolah berputar. “Sejak kapan? Bagaimana bisa—”“Bu Kusuma, mohon tetap tenang,” jawab Detektif Rahman di ujung telepon. “Kami sedang melakukan segala upaya untuk mencari mereka. Tapi ada sesuatu yang perlu Anda ketahui.”“Apa maksudnya?”“Safe house tempat orang tua Anda tinggal… tidak ada tanda-tanda penyerangan atau kekerasan. Sepertinya mereka pergi secara sukarela bersama seseorang yang mereka kenal.”Agen Sarah segera mengambil alih percakapan. “Detektif Rahman, saya Sarah dari Interpol. Apakah ada rekaman CCTV atau saksi mata?”“Ada. Rekaman menunjukkan Tuan dan Nyonya Mahardika meninggalkan lokasi bersama seorang perempuan muda. Mereka terlihat tenang, tidak dipaksa.”“Perempuan muda?” Nayla mengernyit, bingung. “Siapa yang mereka kenal sampai mau ikut begitu saja—”Belum sempat ia melanjutkan, teleponnya kembali berdering. Nomor tak dikenal.Nayla mengangkatnya hati-hati. “Halo? Ini Nayla Kusuma.”“Nayla, ini Ibu.” Suara ib

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 296

    “Tidak akan datang sendirian,” ucap Nayla dengan nada tegas, tanpa memberi ruang untuk tawar-menawar. “Itu bukan negosiasi. Itu jebakan.”“Bu Kusuma,” kata Agen Sarah hati-hati, “jika Anda menolak syaratnya, pertemuan mungkin tidak akan terjadi sama sekali.”“Kalau begitu biarlah tidak terjadi. Tapi saya tidak akan masuk ke situasi terisolasi dengan seorang pemimpin kriminal internasional yang punya alasan khusus untuk menyingkirkan saya.”“Bagaimana kalau kita cari jalan tengah?” tanya Arvino. “Anda tetap bertemu dengannya, tapi tim keamanan siaga di dekat lokasi. Tidak di dalam ruangan, tapi cukup dekat untuk merespons cepat bila sesuatu terjadi.”“Dan kalau dia menolak?”“Kalau begitu kita tahu sejak awal dia memang merencanakan sesuatu yang jahat.”Agen Sarah berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. “Sebenarnya itu masuk akal. Kita bisa usulkan pertemuan yang dimodifikasi: di tempat publik, dengan perimeter keamanan, tapi hanya Anda dan Kozlov yang masuk ke ruang percakapan.”“Tem

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 295

    "Detektif Rahman, apa yang terjadi dengan orangtua saya?" tanya Nayla, suaranya tenang tapi sarat dengan kekhawatiran."Bu Kusuma, dalam 24 jam terakhir ada beberapa kejadian mencurigakan di sekitar rumah orangtua Anda. Ada kendaraan asing yang parkir terlalu lama, juga orang-orang yang bertanya-tanya kepada tetangga tentang keluarga Mahardika."Dada Nayla terasa dicekam dingin. "Apakah orangtua saya aman sekarang?""Mereka sudah kami pindahkan ke lokasi aman sementara. Tapi ada hal penting yang perlu kita bahas. Pola pengintaian ini sangat mirip dengan kasus lain yang terkait jaringan kriminal internasional.""Maksud Anda... Viktor Kozlov sudah mulai mengincar keluarga saya?""Besarnya kemungkinan begitu. Dan ini mengubah sepenuhnya penilaian risiko dari strategi yang Anda rencanakan."Agent Sarah, yang mendengar percakapan itu, langsung berkoordinasi dengan pihak berwenang di Indonesia melalui jalur komunikasi aman."Nayla," kata Arvino dengan nada lembut tapi tegas, "ini mengubah s

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 294

    “Target utama itu punya nama,” kata Agen Sarah sambil membuka sebuah berkas rahasia di dalam mobil pengaman yang membawa mereka meninggalkan gedung Parlemen. “Viktor Kozlov. Seorang pengusaha asal Rusia dengan koneksi ke pejabat pemerintah, kelompok kriminal terorganisir, dan korporasi sah di dua belas negara.”“Dan dia baru saja menjadikan menyingkirkanku sebagai prioritas pribadinya?” tanya Nayla, berusaha mencerna informasi itu.“Menurut komunikasi yang berhasil kami sadap, benar. Kesaksianmu memicu penggerebekan serentak di banyak negara. Jaringannya kehilangan aset senilai sekitar 200 juta dolar dan lima puluh orang pentingnya hanya dalam enam jam terakhir.”Arvino, yang duduk di samping Nayla, meraih tangannya erat. “Sebenarnya sumber daya apa saja yang dia punya untuk melaksanakan ancaman itu?”“Luar biasa banyak,” jawab Sarah serius. “Perusahaan keamanan pribadi, tim hukum di berbagai yurisdiksi, dan sayangnya—rekam jejak panjang dalam menekan jurnalis maupun aktivis.”“Tekana

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status