Aku duduk di depan toko bersama tiwi sambil menikmati semangkuk soto panas. Kutatap ekspresi Tiwi yang tampak sangat senang saat menyeruput kuahnya. Seketika perasaan bersalah hinggap di hati.
"Maaf ya" ujarku lirih. Gadis itu terperanjat dan berdiri dari duduknya. "Bagaimana bisa ndoro Ayu meminta maaf pada orang seperti saya!" sergah Tiwi takut. "Sudah sepantasnya yang salah meminta maaf" jawabku lesu. "Tapi ndoro Ayu sama sekali tidak melakukan kesalahan pada saya!" elaknya gugup. "Tadi aku bilang akan membelikanmu pakaian, tapi rupanya kak Seto membohongiku. Berani-beraninya bajingan itu!" ujarku geram. "Saya tidak papa Ndoro Ayu. Saya baik-baik saja dengan pakaian ini" "Jawab aku dengan jujur, apa itu satu-satunya pakaian yang kau punya?" tanyaku memastikan. "Tentu tidak Ndoro! Saya punya satu lagi di kamar dayang" jawabnya dengan percaya diri. Perkataan dari Tiwi seakan menampar wajahku keras sekali. Mengingat aku yang selalu mengeluh dengan kehidulanku sedang gadis kecil ini tampak begitu kuat bagai karang meski hanya dengan dua setel pakaian. Keadaan yang kuhadapi sama sekali tak sebanding dengan masalahnya. Tapi tetap saja, aku harus segera menemukan solusi untuk masalahku. Apa yang bisa kuberikan pada Kanjeng Ratu? Sesuatu yang cukup pantas untuk dijadikan hadiah. Haruskah aku memberinya salah satu harta karunku? Tidak bisa! benda itu terlalu berharga untuk dijadikan hadiah, terlebih lagi wanita itu mirip sekali dengan Kana! Dia juga salah satu istri Damar Wulan di masa depan! Aku tidak sudi! Aku merenung dalam memikirkan solusi yang tak kunjung muncul. Apa aku hadiahi saja dia dengan beberapa alat make up? Melihat makeupnya yang norak membuatku yakin bahwa kelengkapan kosmetik di jaman ini sangat jauh dari standar. Ah tidak bisa! Make up adalah senjata pusakaku. Dengan kemampuan dan alat-alat ini, aku bisa menjadi wanita tercantik di abad ini. Aku tidak ingin membagi apa pun dengannya. Terlebih lagi make up yang kumiliki terbatas, jika semuanya habis, aku harus beli di mana? Tidak bisa! Benda-benda itu terlalu berharga jika harus diberikan pada Kana! Karena kesal, aku menendang batu jalanan. Batu itu terus menggelinding karena bentuknya yang oval sempurna. Sepertinya aku baru saja mendapatkan sebuah ide. "Tiwi, kemarilah bantu aku mengumpulkan batu ini!" ujarku antusias. "Batu? Tapi untuk apa ndoro ayu? Batu itu kotor, biar saya saja yang mengumpulkan" ujarnya lagi. "Agar cepat selesai, lebih baik kalau kita melakukannya bersama" ujarku sambil memunguti batu-batu itu. "Yang seperti ini ya ndoro?" tanyanya sambil menunjukkan batu yang sama sekali tak berbentuk. "Bukan yang seperti itu! Ambil yang bentuknya bagus seperti ini! Lihat punyaku, bagus kan?" ujarku sambil menunjukkan sebuah batu yang oval sempurna. "Bagus sih, tapi tetap saja, itu kan cuma batu!" jawabnya ragu. "Sudah, jangan banyak omong cepat kumpulkan batunya dan masukkan ke dalam sini!" ujarku sambil menunjukkan kantung uang yang tadi diberikan oleh Seto. Kami mulai mengumpulkan batu-batu itu satu persatu, meski membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memilah, kami terus melakukannya. Setelah kantung itu penuh, kami memutuskan untuk kembali ke kediaman. Seto dan Kumitir yang melihatku turun dari kereta tertawa cekikikan sambil berjalan mendekat ke arahku. "Kau membeli apa Anjasmara, kenapa kantung uangnya tambah penuh bukannya berkurang?" tanya layang seto berusaha menggangguku. "Aku membeli beberapa biji ajaib" jawabku kesal. "Katanya biji ini bisa menumbuhkan otakmu yang kerdil!" tambahku lagi dengan nada sinis. Para pelayan yang mendengarnya melotot tak tercaya, tak terkecuali Tiwi yang mulai gemetar ketakutan. Apa aku baru saja melakukan kesalahan? Apa anjasmara bukan orang yang seperti itu? "Lancang kau! Beraninya kau bicara tidak sopan pada kakakmu?" bentak Kumitir penuh amarah. Diambilnya kantung uang yang ada di genggamanku dengan paksa dan membukanya. Hah persetanlah dengan sifat asli Anjasmara, aku adalah aku. Jika seseorang memprovokasiku seperti ini mana bisa aku diam saja. "Batu? Kau membeli batu?" tanyanya bingung. "Apa benar itu batu? Kurasa bibi penjual itu sadar bahwa menumbuhkan otakmu adalah hal yang sangat tidak masuk akal dan sia-sia. Karena itulah dia memberiku batu- batu ini" sahutku berani. Aku menatap tepat ke dalam matanya yang penuh amarah. Kesal, dilemparnya kantung itu ke lantai sehingga batu-batu yang susah payah kukumpulkan bersama Tiwi menghambur dan tercerai berai. Dia benar-benar menyebalkan. "Akan kubiarkan kali ini, tapi awas. Jika mulutmu masih saja tidak sopan saat bertemu lagi, aku tidak akan mengampunimu!" ujar Kumitir lalu berjalan pergi diikuti oleh seto yang masih memandangku tak terima. Segera Tiwi memungut batu-batu itu satu persatu dan memberikannya padaku. Dapat kulihat kedua tangannya masih gemetar saat menyerahkan kantung itu. "Ini batunya ndoro, jika ndoro Ayu tidak ada keperluan lain, saya pamit undur diri karena saya harus mencuci baju. Nanti saya akan kembali menemui ndoro saat ndoro bersiap untuk perjamuan" ujarnya sopan dan pergi dari hadapanku. "Baiklah" jawabku setuju. Aku kembali ke kamar sendirian. Kubongkar semua laci dan peti yang ada di kamar Anjasmara. Dia memiliki berbagai macam perhiasan tapi tidak memiliki uang sama sekali! Bagaimana bisa? Kenapa mereka tidak memberi uang saku pada putri mereka? Haruskah aku bekerja? Di dunia tradisional ini, pekerjaan apa yang bisa menghasilkan uang dengan cepat? aku benar-benar tidak tahu. Sudahlah, lebih baik aku segera berdandan agar tampil cantik. Dengan kecantikan paripurna, aku akan mendapat banyak perhatian. Siapa tahu aku akan bertemu duda kaya sarang suit. Dengan memerkan kecantikanku, mungkin juga akan mempermudah untuk menjual harta karunku dengan harga tinggi. Aku merias wajahku dengan teliti. Cantik sekali, dengan wajah ini aku akan memenangkan perhatian semua orang. Hingga tanpa sengaja aku menyentuh sebuah benda asing. cat wajah. "Astaga! Hadiahnya!" aku mulai panik karena belum mempersiapkan hadiahku dan malah asik berdandan. Aku bahkan melupakan hal yang paling penting. Yaitu kado yang akan kuberikan pada Kanjeng Ratu. Dengan terburu-buru segera aku mempersiapkan bahan dan alatnya. seluruh permukaan batu kulumuri dengan jat wajah hingga permukaannya tak lagi tampak. Aku sengaja memakai warna yang berbeda agar tampak lebih menarik. Aku cukup takjub dengan penampilan batu ini setelah aku mengecatnya, padahal sebelumnya itu adalah batu biasa dari jalanan pasar. Jika hasilnya sebagus ini, aku tidak sabar menunggu malam hari tiba. Apakah ini sudah cukup untuk membuatku fenomenal di mata para penghuni istana? Apakah penampilan dan hadiahku akan menjadi buah bibir di istana? Akan lebih bagus jika mereka membicarakan ini di luar istana. Dengan begitu, aku mungkin bisa bekerja sama dengan saudagar kaya raya dan menjual batu-batu ini dengan harga termahal. Saat aku baru saja selesai dengan hadiahku, Tiwi datang untuk membantuku berpakaian. "Ndoro ayu, Ndoro tampak cantik sekali!" ujarnya saat melihatku dengan make up. "Tidak diragukan lagi Ndoro adalah wanita tercantik di kerajaan!" tambahnya lagi. "Bahkan lebih cantik dari Kanjeng Ratu?" tanyaku menggodanya. "Tentu saja!" jawabnya yakin. "Apa kau sudah pernah melihat Kanjeng Ratu?" tanyaku heran. "Tentu saja belum Ndoro!" jawabnya polos. Aku tertawa dengan jawabannya yang tidak terduga. "Tapi saya yakin beliau tidak lebih cantik daripada ndoro Ayu!" "Ah.... Aku tidak menyangka kau pintar menjilat!" "Menjilat?" tanya Tiwi bingung. "Tapi saya tidak menjilat apa pun" tambahnya lagi dengan wajah bingung. "Ahahahah.... Kau lucu sekali Tiwi, lucu sekali. Aku akan membawakanmu beberapa kue dari istana saat aku pulang nanti. Tapi kau tidak boleh sembarangan mengejek Kanjeng Ratu seperti tadi ya! akan berbahaya jika orang lain mendengangarnya" saranku padanya. "Benarkah? Apa tidak papa membawa kudapan jamuan ke rumah? Bagaimana kalau Ndoro Ayu dimarahi?" tanya Tiwi khawatir. "Sama halnya dengan mengolok-olok Ratu, kita tidak akan dimarahi kalau tidak ada orang yang tahu" bisikku dengan riang. Kami tertawa bersama. Sudah kuduga, kami berdua akan cocok. *** Kami benar-benar berangkat ke istana saat hari mulai petang. Seperti sebelumnya, aku dan Ibu naik kereta, sedang ketiga pria itu naik kuda dengan gagahnya. Seandainya aku bisa naik kuda, mungkin aku bisa melarikan diri dengan mudah, pikirku galau. Astaga! itu dia! Kalau tidak bisa tinggal belajar saja kan? "Ibu, aku ingin berkuda!" ujarku dengan nada berapi-api. "Kenapa tiba-tiba? Kau masih sangat muda nduk, ibu takut kalau kau naik kuda, kau akan sulit mendapat keturunan" jawab ibu dengan penuh kasih sayang. "Tidak mungkin ibu, aku akan naik kuda sebagai hobi, aku tidak akan sering-sering melakukannya, aku hanya akan melakukannya di waktu senggang" pintaku lagi. "Hobi? Apa itu nduk? Kenapa kau terus mengatakan hal yang aneh dari kemarin?" tanya ibu khawatir. "Apa karena kau lapar? Ayahmu memerintahkan untuk tidak memberimu makanan seharian, aku takut dia akan menambahkan hukumanmu jika dia tahu aku memberimu makanan. Apa kau baik-baik saja? Apa perutmu sakit?" tanya ibu lagi dengan raut wajah khawatir. Benar juga, hari ini aku hanya makan seikat rambutan, syukurlah aku sempat membeli soto saat aku pergi ke pasar tadi! Apa patih yang memeberikan perintah untuk tidak memberiku makanan? Meskipun dia berpikir aku bukan putrinya, bukankah ini terlalu kejam! ibu juga tidak melakukan sesuatu untuk membantuku, apa dia tidak peduli? Lihat saja, aku akan kabur dari rumah! Saat aku turun dari kereta, Patih menatapku dengan tatapan tidak suka. Begitu juga dengan kedua kakakku. "Anjasmara, jangan membuat kesalahan lagi kali ini! Kau harus memperhatikan sikapmu!" ujar Patih dengan nada dingin kemudian masuk ke dalam istana. "Kau dengar kan apa yang dikatakan Romo? sebaiknya kau patuh atau kau tidak akan mendapat jatah makan selama satu minggu!" timpal Seto sambil berjalan melewatiku. Kumitir hanya menatapku menatapku heran sambil berlalu. dia tidak mengatakan sepatah katapun. Yah dia memang agak pendiam sih jika dibandingkan dengan Seto. Aku masuk kedalam istana dengan menggandeng lengan ibuku. Saat aku melenggang masuk ke dalam ruang perjamuan, aku merasakan atmosfer yang berbeda. Semua orang yang hadir di ruang perjamuan menatapku dengan mulut terbuka lebar. Beberapa dari mereka bahkan tanpa sadar meneteskan air liur. Aku memang berharap kalian terpana, tapi bukankah ini agak berlebihan? Apa kalian tidak pernah melihat wanita secantik aku? yah terimakasih pada make up dan skill yang kupunya, aku dapat melenggang di aula kerajaan dengan percaya diri, tapi jika keadaannya seperti ini aku merasa sedikit buruk karena mencuri momen Kanjeng ratu. Tapi bukankah ini hari ualang tahunku juga? maka aku akan menikmati hari ini dengan baik. Kutatap Kanjeng Ratu yang duduk di singgahsananya. Dia membalas tatapanku dengan perasaan tidak suka. Jika dia benar dia adalah Kana di kehidupan sebelumnya, dia tidak akan terima dirinya menjadi nomor dua. Apa yang akan dilakukannya sekarang? seharusnya dia tidak usah mengundangku sejak awal, jadi aku tidak perlu repot-repot datang. Jamuan makanan telah dimulai, tapi orang-orang tidak juga melepaskan pandangannya dariku. Terlebik Kanjeng ratu yang sejak tadi menusukku dengan tatapan tajamnya. Dia membuatku gugup hingga kesulitan menelan makananku. Aku tidak bisa melakukan apa pun karena statusnya yang begitu tinggi. Dunia moderen memang tidak adil, tapi kehidupan di zaman jaman ini, jauh lebih tidak adil lagi. Di sisni tidak ada hak asasi yang akan melindungi dasar kemanusiaan. Hukum yang berlaku di zaman ini adalah hirarki kekuasaan. Di hadapan Kanjeng Ratu yang diibaratkan dengan singa, aku adalah rusa kecil yang lemah dan tak berdaya. Akan lebih baik jika aku pergi ke tempat di mana tidak ada raja ataupun Ratu. Sebuah tanah kebebasan tanpa tampuk kekuasaan yang mengikatnya. Mungkinkah keadaan akan lebih baik di tempat yang seperti itu? Setelah dilakukan perjamuan, tibalah saat penyerahan kado, semua tamu undangan membuka kado mereka di hadapan Ratu. Seperti antrean bansos, mereka semua bergantian membuka kadonya di hadapan Ratu. Sungguh tidak bermoral, tapi inilah adanya. Penyerahan hadiah juga berurutan berdasarkan hirarki kekuasaan. Dimulai dari Patih Lohgender yang membawakan hadiah berupa gelang kaki emas bertahtakan permata, lalu seorang jenderal garang yang memberikan tanduk rusa yang telah dipoles dan dilapisi dengan emas. Semua hadiah yang dipersembahkan sangatlah mewah dan mahal. Ini membuat rasa percaya diriku menurun bersamaan dengan berlalunya waktu. Hingga sampailah giliran sikembar Layang Seto dan Layang Kumitir, mereka memberikan sebuah busur panah yang terbuat dari perak berkilauan. Kurasakan tanganku gemetar. Karena selanjutnya adalah giliranku. "Putri Anjasmara, apa yang kau persiapkan untuk hadiah ulangtahunku!" ujar Kanjeng Ratu sinis membangunkan aku dari lamunan. Ditatapnya aku dengan pandangan merendahkan. Wanita ini, aku tidak menyukainya baik di dunia moderen ataupun di zaman ini. Tampaknya dia juga sama. Aku berlutut di hadapannya seperti yang dilakukan orang lain sambil membuka peti kecil di tanganku. Saat aku membukanya, semua orang tampak sangat terkejut. Terutama Kanjeng Ratu Kencana Wungu. Dia berdiri dari singgah sananya dan melotot ke arahku. Astaga.... Aku takut sekali......"Kanjeng Ratu!" teriakku terkejut. "Tenang saja Anjasmara, ini tidak akan sakit" ujarnya sambil menyeringai. Dia terus melangkah ke arahku dengan bongkahan besi panas di tangannya. "Tolong bijaklah Kanjeng Ratu! Saya adalah putri dari Patih anda!" aku berusaha menyadarkannya. "Patih Lohgender tidak menyayangimu, jelas sekali aku melihat perbedaan perlakuannya terhadap kau dan dua saudara laki-lakimu! Dia pasti tidak keberatan dengan ini. Terlebih ini adalah keinginanku. kau tau? Patih selalu memberikan apa pun yang kumau!" ujarnya tenang. tidak diragukan lagi, ucapannya memang benar adanya. Patih Lohgender selalu melihat Kanjeng Ratu sebagai putrinya, jadi ia selalu menjunjungnya dan memanjakannya. Astaga aku memang sempat berpikir ini akan buruk, tapi tak pernah kusangka jika akan seburuk ini. "Dayang! Ambilkan besi panas dari dapur!" titahnya yakin. Para Dayang memang tampak ragu, tapi mereka tetap menuruti permintaan gila dari Ratu mereka. Habislah riwayatku, di dunia tanpa
Bisnis penjualan batu ajaib sukses besar. Meski terdengar agak klenik, namun fenomena ini lebih tepat disebut dengan fomo. Berkat dua orang salesman yang berbakat, aku meraup banyak keuntungan. Yah meski para salesman itu juga meminta beberapa bongkah batu lagi sebagai bonus, tapi kupikir itu sepadan dengan kinerja mereka.Hubunganku dengan Seto dan Kumitir menjadi lebih dekat dan harmonis, mereka tidak lagi segan menunjukkan kasih sayangnya padaku. Kedekatan itu mampu memulihkan pamorku di antara para Dayang. Kini tidak ada lagi Dayang yang berani membantah permintaanku. Sekali lagi aku bersyukur, kehidupanku di kediaman lohgender kini terasa seperti di surga.DamarWulan? Terakhir aku melihat batang hidungnya adalah saat aku tersesat di hutan, sejak saat itu aku tidak lagi bertemu dengannya. Mungkin karena aku yang terlalu fokus pada bisnisku, atau dia memang tengah menghindariku. Peduli apa? Keadaan ini justru bagus buatku. Dengan begini, kemungkinan kami bersama semakin kecil.Aku
Aku memang sempat berpikir bahwa tempat ini akan ramai, tapi tak kusangka akan seramai ini. Terlebih lagi semua orang menatap ke arahku, apa ada sesuatu yang salah dengan penampilanku? Aku sudah mengeceknya beberapa kali sebelum berangkat dan semuanya tampak baik-baik saja. Awalnya aku sempat merasa gugup, tapi aku yakin dengan keberadaan Seto dan Kumitir bersamaku, aku akan aman. Meski kemampuannya tidak begitu mumpuni, tapi aku yakin mereka akan melakukan apa pun untuk menjagaku.Semua orang yang hadir di tempat ini bukan orang biasa, bisa dibilang ini adalah perkumpulan elit. Sebuah perkumpulan anak-anak manja dari para petinggi Majapahit. Tempat yang buruk untuk mencari jodoh, tapi tempat yang sangat tepat untuk berbisnis.Mereka semua berkumpul di pusat kesenian untuk menonton pertunjukan tari. Puluhan penari muda didandani begitu menggoda dan ditampilkan di hadapan para tuan dan nona muda dari keluarga terpandang. Mungkin tempat ini lebih tepat desebut dengan diskotik zaman kera
"Anjasmara! Bukalah matamu! Dia hanya seorang tukang kebun! Meski dia tampan, tidakkah kau lihat sikapnya yang mengesalkan?" ujar Seto naik pitam."Aku tidak peduli Kakang! Aku mencintai Damar Wulan! Aku tidak ingin kehilangan dia! Tidak peduli apa katamu, aku tetap ingin menikah dengannya!" ucapku dengan napas membara."Apa dia juga mencintaimu seperti kau mencintainya?" tanya Kumitir dengan sinis."Tentu saja!" jawabku yakin."Oh adikku yang bodoh, kau pikir dia akan ikut sayembara ini jika dia mencintaimu? Apa kau sudah tahu hadiah apa yang Kanjeng Ratu tawarkan sebagai imbalan?" seru Seto memojokkanku.Aku tahu ucapannya terdengar rasional, aku bahkan tak mampu menjawab pertanyaannya, tapi hatiku berkata lain. Aku benar-benar mencintai Kakang Damarwulan, hatiku bahkan sampai sakit rasanya. Aku harus menikahinya sekarang agar tidak kehilangan dia."Dia menginginkan sesuatu Anjasmara, dan kau tak memiliki itu! kau melihat bahwa dia menginginkan negeri ini? sesuatu yang hanya mampu d
Kudaku lari tak terkendali, menyusup jauh ke jantung hutan. Beberapa kali kucoba untuk menarik tali kekang, namun nihil. Kini aku pasrah, berusaha meraih pegangan yang cukup erat agar aku tidak jatuh dan mendapat cidera yang lebih parah. Aku hanya bisa berharap kuda ini akan menghentikan lajunya, karena jika aku terjatuh dengan kecepatan ini, aku mungkin saja akan patah tulang atau kemungkinan terburuknya aku mungkin akan terbunuh.Hingga saat kaki belakang kuda itu terperosok di lereng bukit. Guncangan hebat yang diakibatkannya mampu membuat genggamanku terlepas. Aku terlempar jatuh dari pelana sementara kuda itu terperosok jatuh ke dasar jurang.Sayup kudengar ringkikan terakhirnya sebelum bunyi gedebuk keras di kejauhan."Choco!" panggilku histeris. Kuda itu terperosok ke jurang dan membentur bebatuan di lereng yang curam. Tampak di kejauhan siluetnya tak lagi bergerak. Aku meratapi kepergian choco, kuda pertamaku. Sebelum akhirnya tersadar bahwa aku nyaris saja terperosok bersama
Aku kembali ke kediaman dengan pakaian basah. Damarwulan si playboy itu memang seorang penggoda! Tidak heran kalau di masa depan ia akan memiliki empat orang istri! Terserah sih mau berapa pun, yang pasti aku tidak akan menjadi salah satunya!Seseorang mengetuk pintu kamarku."Masuklah!""Ndoro Ayu, sudah waktunya sarapan, semua orang sudah menunggu di ruang makan!" ujar Tiwi saat masuk ke dalam kamarku."Oh dewa! Kenapa pakaian Ndoro Ayu basah kuyup begini?" serunya terkejut begitu melihat keadaanku."Ah iya tadi aku pergi mandi!" jawabku kikuk."Ndoro kembali ke rumah dengan keadaan seperti ini? Ndoro, kalau Yang Mulia Patih melihatnya, Ndoro ayu bisa dimarahi habis-habisan!" omelnya panjang lebar."Karena itu kau jangan bilang ya!" pintaku dengan wajah memelas."Sekarang bantu aku ganti baju! Oh iya!" aku mengambil sebuah kain dan memberikannya pada Tiwi."Aku menyimpan kudapan ini untukmu!""Ndoro ayu! Terima kasih!" ujar Tiwi tersentuh. Ia berhenti sejenak kemudian kembali tersad