เข้าสู่ระบบHujan sore masih membasahi jalanan kota ketika Suzy melangkah keluar dari toko buku tua di pojok Jalan Melati. Tangannya menggenggam satu kantong plastik berisi novel klasik yang sejak lama ingin ia baca. Langit mendung membuat udara terasa lebih lembab dan basah seolah menyimpan firasat akan sesuatu. Dia tak menyangka bahwa hari yang tampak biasa itu akan mengubah cara pandangnya terhadap Ardian. Dan terhadap dirinya sendiri.
Baru beberapa langkah dari trotoar, sebuah mobil hitam berhenti perlahan di pinggir jalan. Suzy sempat ragu, tapi jendela mobil itu terbuka dan ia mengenali wajah di balik kemudi yaitu Ardian. “Naik,” katanya pendek, tanpa senyum. “Ngapain kamu di sini?” jawab Suzy. “Aku yang tanya. Kamu sendirian ke sini?” sahut Ardian. Suzy menatap tajam sambil memalingkan wajah. “Aku bukan anak kecil. Aku bisa jaga diri.” Ardian menghela napas. “Masuk aja dulu gih, gak usah sok cuek! Gak mempan bagiku.” Suzy akhirnya masuk ke dalam mobil. Aroma maskulin khas Ardian menyambutnya. Tapi kali ini, dia tak larut. Ia bersandar, menyilangkan tangan, dan berkata “Kalau kamu mau mulai sok jadi pelindung, pastikan kamu tahu batasmu.” Ardian hanya melirik sekilas. “Papamu tahu kamu ke sini?” “Sejak kapan kamu peduli sama Papa?” tanya Suzy. Mobil sedikit mengerem. Suzy tersenyum sinis. “Jangan munafik. Kamu belum bisa terima Papa sebagai bagian dari hidupmu, tapi kamu tiba-tiba merasa punya hak atas aku?” Ardian terdiam. Mereka berhenti di sebuah warung kopi tua. Interior kayu dan aroma seduhan klasik membuat suasana menjadi tenang. Tapi Suzy tidak sedang ingin tenang. “Ngapain kita berhenti disini ?” tanya Suzy dengan rasa heran. “Dulu sering ke sini bareng Mama.” Jawab Ardian sambil mengenang masa-masa indah bersama Mamanya. “Dan sekarang kamu ajak aku? Buat apa?” sahut Suzy. Ardian menatap Suzy. Ada luka di matanya, tapi Suzy tidak menghindar. Kali ini dia tidak akan jadi gadis bingung yang menghindari konflik. Sampai seorang wanita datang. “Ardian?” Wanita tinggi berambut sebahu, mengenakan blazer, menyapa Ardian hangat. “Hai Sayang?” sambil memberikan kue dan kopi penyemangat untuk Ardian dan berbincang sedikit. Disisi lain Suzy bergumam dalam hati. “cewek ini cantik sih, tapi ngapain juga harus bermanis-manis sama Ardian si Batu Gunung ini” “Hmmm Suzy…” Ardian mencoba menjelaskan. “Kamu mau pamerin pacar kamu ke aku atau sebaliknya? Aku bukan siapa-siapamu kan? Jadi gak perlu tarik aku ke dalam pusaran hidup kamu.” Sanggah Suzy. Sambil mengemudikan mobil, Ardian membuka suara, “Aku tahu ini salah.” Suzy menatap lurus ke depan dan berkata “Kalau tau salah kenapa perlakukan orang lain yang mana Aku seperti sesuatu yang bisa kamu simpan di sela-sela luka kamu.” Ardian terpaku. Suzy melanjutkan, “Aku tahu aku juga salah. Tapi aku nggak akan jadi gadis polos yang menunggu kakaknya sadar. Kalau kamu nggak yakin, jangan seperti itu Ardian.” Lampu merah berubah hijau. Tapi percakapan mereka masih menggantung di udara. Dan di balik kaca mobil yang basah oleh hujan, bayangan dua sosok yang tengah diuji oleh perasaan dan logika, semakin nyata. Dan malam itu, Suzy akhirnya menyadari satu hal ia tidak takut pada perasaannya. Ia hanya takut Ardian tidak cukup kuat untuk bertanggung jawab atas apa yang dia rasakan. Suzy duduk di tepi ranjang sambil membuka kembali buku yang tadi ia beli. Tapi matanya tak sanggup menelusuri satu pun kalimat di halaman pertama. Pikirannya kembali ke percakapan di mobil. Tatapan Ardian. Dan maksut dari pertemuan dia dan wanita cantik tadi. Ia tahu dia bukan gadis kecil yang mudah terbawa perasaan. Tapi bersama Ardian, segalanya jadi lebih rumit. Ada momen saat mereka seperti benar-benar saudara. Tapi lebih sering, ada percikan yang menyulut sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Dan itu membuat Suzy merasa marah sekaligus… ketagihan. Ponselnya berbunyi. Satu pesan dari Ardian. "Aku nggak bisa tidur. Kita bisa bicara?" Suzy menatap layar beberapa detik. Lalu mengetik balasan. "Di halaman belakang. 10 menit." Udara malam masih membawa aroma hujan. Suzy duduk di bangku kayu di bawah pohon mangga yang daunnya basah. Dia mengenakan hoodie tipis, rambutnya dibiarkan tergerai. Ardian muncul beberapa menit kemudian, tanpa suara. Hanya langkah pelan dan tatapan yang tak berani menatap langsung. "Suzy," ucapnya, duduk di sampingnya dengan jarak aman. "Kamu bilang mau bicara. Jadi bicaralah." Sahut Suzy. Ardian menghela napas. "Aku nggak nyangka kamu bisa setegas itu." "Kamu pikir aku akan diam aja karena kamu lebih tua? Atau karena kamu Ardian yang dingin dan susah ditebak ?" Jawab Suzy. "Bukan itu maksudku," kata Ardian cepat. "Aku cuma… aku pikir kamu akan menunggu aku mengerti semuanya." “Oh tenang aja, aku sudah mengerti kok” Ardian menunduk. Lalu mengangkat kepalanya, kali ini menatap langsung ke mata Suzy. "Aku takut.... Pertama, Takut Mama akan disakiti lagi, Kedua, Takut kamu jadi korban dari kekacauan emosiku. Tapi yang paling aku takuti adalah lepas dari kamu." Suzy menahan napas. Kata-kata itu terdengar seperti pengakuan. Tapi juga seperti peringatan. "Kamu harus tahu, Ardian. Kalau kamu terus kayak gini, aku nggak akan bertahan lama. Aku bisa kuat, tapi juga bisa berhenti berharap." Ardian mendekat sedikit. "Kalau aku berani bilang sekarang, kamu siap denger?" Suzy memalingkan wajah. Tapi jawabannya jelas. "Ya." Hening. Hanya suara angin yang menggesek dedaunan. "Aku hanya belum tahu harus menghadapi dunia seperti apa." ucap Ardian. Dan malam itu, di bawah langit yang mulai jernih, dua sosok itu tak lagi bersembunyi di balik status dan logika. Mereka tahu jalan di depan akan penuh luka, tapi untuk pertama kalinya mereka melangkah ke sana bersama.Udara pagi di Dusun Girilaya terasa lembap dan segar. Embun masih menempel di daun jati, menampakkan kilau halus ketika sinar matahari menembus sela pepohonan. Angin lembut berdesir membawa aroma tanah basah sisa hujan semalam.Namun di antara barisan pohon jati yang berdiri kokoh di tepi jalan setapak, seseorang sedang memperhatikan dalam diam.Dia adalah Linda, sepupu Hellen yang serakah sekaligus istri kedua Pak Wisnu, ayah kandung Ardian. Wajahnya teduh tapi matanya tajam menyimpan sesuatu antara rasa ingin tau dan ambisi. Ia memegang ponsel di tangannya, memperbesar layar kamera, mengamati tiga orang di depan rumah besar milik Ana.“Jadi benar disini tempat tinggal Mira… dan kau... Hellen juga di sini, sudah mulai berkhianat kau ya sama saudarimu ini yang sudah membantumu, ku pastikan kali ini kamu berhutang budi sama aku”, gumamnya pelanSudah beberapa hari yang lalu, Linda menguntit Ardian dan Suzy diam-diam. Ia selalu ingin tahu sesuatu yang besar, sesuatu yang berkaitan denga
Hujan baru saja reda ketika mobil Pak Tommy berhenti di depan rumah besar di Dusun Girilaya. Bangunannya berdiri anggun di antara pepohonan jati, terekspos dengan jendela kayu tinggi yang membuatnya tampak klasik dan tenang. “Ini rumah saya,” kata Ana sambil tersenyum kecil. “Terima kasih sudah menolong saya tadi." Hellen turun lebih dulu, lalu membantu Ana keluar. “Ruma Mbak Ana besar juga ya, untuk tinggal sendiri." Ana tertawa ringan. “Iyaa... sepi sekali. Tapi saya sudah terbiasa kok" Hellen ikut tersenyum sopan. “Kalau begitu, kami pamit dulu. Semoga lukanya cepat sembuh.” “Sebentar,” tahan Ana. “Hujan sebentar lagi turun lagi. Masuk dulu saja. Saya buatkan kopi. Tidak enak membiarkan tamu pergi tanpa jamuan.” Pak Tommy menatap Hellen, lalu mengangguk kecil. “Baiklah, sebentar saja.” Di dalam rumah, suasana hangat. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Dinding ruang tamu dipenuhi bingkai foto pemandangan laut dan ladang teh. Di meja kecil dari kayu jati,
Siang itu, matahari di Kabupaten Kiribaru bersinar redup, menembus tipis awan kelabu yang menggantung di langit. Jalanan berliku di antara perbukitan tampak sepi; hanya sesekali truk tua lewat membawa hasil panen dari desa sekitar. Sebuah mobil hitam melaju perlahan di jalur utama menuju kota kecil itu. Di balik kemudinya, Pak Tommy tampak tenang seperti biasa, sementara di kursi penumpang Hellen menatap peta di ponselnya. “Kata Kevin, Suzy dan Ardian sudah lebih dulu sampai di sini Om" Kata Hellen Baru saja Hellen memberi informasi, sesuatu melintas cepat di depan mobil sebuah sosok wanita yang menyeberang tanpa melihat. Pak Tommy membanting setir, tapi tetap brak!—benturan keras terdengar, mobil berhenti mendadak di pinggir jalan. Hellen terlonjak, jantungnya berdebar. "Astaga! Om !” Mereka berdua segera keluar. Di depan mobil, seorang wanita tergeletak di aspal dengan lutut berdarah dan siku lecet. Wajahnya pucat tapi masih sadar. “Aduh… maaf, saya tidak lihat mobil
Langit sore menggantung kelabu ketika mobil yang dikendarai Ardian menembus jalan berliku menuju Kabupaten Kiribaru. Udara di luar jendela semakin dingin, pepohonan pinus berderet rapat di sisi jalan, seolah menutup setiap celah cahaya matahari yang tersisa. Perjalanan itu memakan waktu hampir empat jam dari Cendana Timur, dan jika diukur dari Kota Cemara, tempat semua kisah ini bermula, jaraknya mencapai sepuluh jam penuh. Suzy bersandar di kursi penumpang, menatap ke luar jendela tanpa suara. Rasa lelah bercampur dengan resah—ia merasa seperti sedang menuju sesuatu yang belum bisa ia definisikan, entah kebenaran atau bahaya baru. “Masih jauh?” tanyanya akhirnya. Ardian melirik jam tangan. “Sekitar tiga puluh menit lagi. Kita istirahat di penginapan dulu malam ini. Aku nggak mau nyetir dalam kabut begini.” Suzy mengangguk pelan. Ia tahu Ardian benar. Tapi entah kenapa, setiap kali mobil melintasi jalan yang kian sunyi, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat—seperti ada sesuat
Rumah Kevin terasa terlalu hening sore itu. Jam dinding berdetak pelan, nyaris tenggelam oleh desir angin yang menyusup lewat jendela terbuka. Di meja makan, secangkir teh yang sudah dingin masih mengepulkan aroma samar daun mint. Hellen duduk di kursi paling ujung, menatap kosong pada dinding tempat bayangan sore menempel seperti noda masa lalu yang tak bisa dihapus. Dia tahu waktunya hampir habis. Rumah ini bukan lagi tempat aman. Sejak malam terakhir ketika suara langkah-langkah asing terdengar di luar pagar, nalurinya berteriak keras: “tinggalkan semuanya sebelum terlambat.” Hellen menarik napas panjang, lalu menulis di selembar kertas putih, dengan pesan: "Pak Raymond dan Bu Karin, mohon maaf yaa Hellen harus meninggalkan rumah kalian karena Hellen merasa disini sudah tak aman. Maka dari itu saya akan mencari tempat aman saat ini juga. Mohon maaf sekali bila Hellen hanya bisa membantu sampai disini, bila Bapak dan Ibu memerlukan bantuan, silahkan kirim chat dinomor ini 08
Sore itu, langit di Dusun Merbabu mulai memudar. Matahari merayap turun di balik bukit, meninggalkan semburat jingga di langit Cendana Barat. Suzy dan Ardian baru saja tiba di jalan sempit bernama Jalan Bata Merah, nomor 6 — alamat yang selama ini mereka buru dari data Hellen. Mereka berhenti di depan rumah sederhana bercat krem yang terlihat sepi. Dindingnya dipenuhi lumut tipis, dan pagar kayunya sedikit lapuk dimakan usia. Suzy menarik napas panjang. “Ini… seharusnya rumahnya, kan?” Ardian mengangguk, menatap papan nama kecil di depan pagar. “Entahlah, Kita lihat apakah benar orangnya.” Mereka melangkah perlahan ke arah rumah itu. Suara ayam berkokok dan bau tanah lembap bercampur dengan aroma kayu tua. Tak lama, pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul — rambutnya disanggul rapi, wajahnya ramah. “Iya, ada apa ya, Nak?” tanyanya dengan suara lembut. “Permisi, Bu. Kami sedang mencari seseorang bernama Mira Desiana. Apa Ibu mengenalnya?” tanya Ardian sopan. Wa







