Sejak awal, Rani terpaksa menikahi Hendra karena jebakan licik pria itu, serta tekanan dari paman dan bibinya. Meski demikian, dia menahan segala penderitaan demi putri kandungnya. Hanya saja, sang anak mendadak meninggal karena kelalaian sang mertua! Rani pun meledak, hingga membuat Hendra panik dan menceraikan Rani tepat di hari kematian anak mereka. Tak sampai di sana, Hendra bahkan memfitnah Rani, hingga wanita malang itu dipenjara. Namun, siapa sangka justru dewa penolong itu muncul di tengah kemalangan Rani? Pria itu bahkan berjanji untuk membebaskan Rani dan membalaskan dendam. Lantas, siapa orang itu? Apakah kali ini adalah cinta sejatinya atas justru pembawa malapetaka baru bagi Rani?
View More"Apa yang kau lakukan, Mas?!"
Rani berteriak kala melihat kamarnya berantakan.
Seluruh isi lemari berserak di lantai. Entah apa yang dicari Hendra, Rani tak tahu, sedang di sudut lain, mertuanya tengah membekap mulut Rara–anaknya.
“I–ibu….” lirih anaknya itu, hingga hati Rani sakit melihat wajah ketakutan putrinya.
Oleh karena itu, Rani mengabaikan amarahnya dan gegas berlari menuju ke arah sang anak untuk menolongnya.
"Lepaskan Rara Bu, dia bisa mati kehabisan napas."
BUK!
Namun, tangan Rani justru ditarik keras oleh sang suami, hingga perempuan itu terhuyung–membentur lemari.
"Serahkan sertifikat rumah warisan orang tuamu kalau kau tidak mau kehilangan Rara,” ancam Hendra dengan nada tinggi.
“Cepat!!"
“Aw!” rintih Rani kesakitan. Punggungnya terasa remuk karena dorongan Hendra begitu keras. Dia tak habis pikir dengan pola pikir suaminya ini. Meski Hendra menyelingkuhi dirinya, tapi bisa-bisanya pria itu mengorbankan anaknya hanya demi selembar kertas?
“Sertifikat?” lirihnya.
"Aku tak punya sertifikat itu, Mas. Dulu, aku gunakan untuk membayar biaya rumah sakit, saat bapak sama ibu kecelakaan," jelas Rani.
Sayangnya, Hendra tidak percaya dengan ucapan Rani. Pria itu justru menatapnya curiga. Seketika Rani merasa resah begitu melihat, anaknya mulai lemas. Dilihatnya sang Ibu mertua yang tampak tak peduli dengan keadaan cucunya. Dengan semangat, wanita paruh baya itu malah semakin membekap mulut Rara.
"Lepaskan Rara, Bu. Dia kesulitan bernapas!" teriak Rani panik, hingga wanita itu terkejut dan melonggarkan bekapan di wajah cucunya.
Hanya saja, Hendra tak memperhatikan itu. Dia malah menunjuk muka Rani dengan arogan. "Jangan berteriak pada ibuku, Ran! Kalau kau mau urusan kita cepat selesai, maka cepat serahkan sertifikat itu.
“Jangan mencoba melawan!” ancam suaminya lagi. Rani pun frustasi sendiri mendengar permintaan Hendra. "Sudah aku katakan padamu, Mas. Sertifikat itu tak ada lagi padaku. Jadi, percuma juga kau
mengancamku," jelasnya pada Hendra.
Ia berharap suaminya itu dapat mengerti.
Sayang, pria itu sepertinya terlalu bodoh untuk berpikir. Hendra justru malah menatap bengis Rani dan tertawa mengejek. "Kau pikir, aku bodoh, hingga percaya dengan omong kosong itu? Orang tuamu sudah lama meninggal dan selama itu juga, paman dan bibimu tinggal dengan tenang di rumah yang seharusnya menjadi milikku."
“Kalau bukan di kamu? Di siapa lagi? Aku sudah ke rumah pamanmu itu, Rani,” ucap Hendra, “dan dia, mengaku bahwa kamulah yang memegangnya.”
Rani pun mengacak rambutnya geram setelah mendengar ucapan Hendra. Sejak kapan rumah warisan miliknya menjadi milik Hendra?
Dan, meski memang tak masuk akal, tapi itulah yang terjadi pada sertifikatnya. Rani juga tak tau kenapa orang yang membawanya itu, tak pernah datang.
Namun, melihat putrinya yang tak berdaya di dekat sang mertua, Rani berusaha tenang.
Menahan tangis, ia pun berbicara, "Aku tak berbohong, Mas. Memang itu yang terjadi. Sertifikat itu, aku gunakan untuk jaminan agar bisa membayar rumah sakit waktu bapak dan ibu kecelakaan."
Rani berharap kedua orang tak punya hati itu percaya dan mau melepaskan anaknya yang terlihat semakin ketakutan. Sayang, kedua orang itu malah menatapnya kesal.
"Kau memang tak tau diri, Ran. Aku sudah kehabisan kesabarannya menghadapimu," ucap pria itu.
Tampak sekali, emosinya meningkat karena mengira Rani masih keras kepala menyembunyikan kertas-kertas itu. Bahkan, rahang pria itu tampak mengetat–seolah siap memukul Rani kapan saja.
"Aku sudah memberimu kesempatan, tapi kau masih keras kepala. Jadi jangan salahkan aku Rani," ucap Hendra dengan nada tinggi.
"Apa yang mau kau lakukan, Mas?" tanya Rani ketakutan begitu melihat Hendra memberi tanda pada ibunya.
Wanita tua itu tersenyum sinis ke arahnya.
Napas Rani seketika terasa sesak melihat anaknya meronta karena mertuanya membekap mulut anaknya semakin keras.
"Hentikan, Bu!" jerit Rani panik.
Entah kekuatan dari mana, ibu satu anak itu bahkan melompat lalu mendorong sang mertua, hingga tersungkur ke lantai.
Rani pun buru-buru memeluk Rara yang ketakutan.
Namun, tindakan Rani membuat murka Hendra berkali-kali lipat. Pria itu pun mendekati Rani hendak memberi pelajaran, tapi Rani tampak tak takut.
Perempuan itu justru menatap dengan ganas ke arah Hendra. "Sudah cukup, Mas! Kau keterlaluan,” ucap Rani tegas, “kau tak menafkahi aku dan Rara, aku terima. Aku bahkan hanya sesekali memprotes ketika kau lebih memanjakan ibu serta kekasih gelapmu itu.”
“Tapi, kenapa kau malah berani menyakiti anakmu?"
Rani meluapkan emosinya. Selama ini, dia sudah bersabar menghadapi suami dan mertuanya, tapi mereka justru semakin melunjak.
“Mas, kau–”
Ketika Rani ingin kembali berbicara, Hendra tiba-tiba memotongnya, "Sebaiknya, tutup mulutmu, Ran. Aku sudah muak mendengar ocehan itu. Seharusnya, kau menghormati suamimu, bukan terus melawan. Aku minta sertifikatmu itu untuk modal usaha. Itu juga demi kau dan Rara bukan untuk orang lain.
“Hahaha….” tawa Rani sinis. Tak ada sedikit pun rasa bahagia mendengar Hendra yang tiba-tiba ingin bertanggungjawab pada keluarga kecil mereka.
Tetangga sebelah rumah pun tahu kalau tujuan utama pria itu, adalah menikahi kekasihnya yang menginginkan resepsi mewah.
"Aku tak peduli, Mas,” ucap Rani nyalang, “Yang pasti, sertifikat itu tak ada padaku. Jadi, percuma kau memintanya.”
“Sekarang, tolong tinggalkan rumah ini! Aku sudah muak melihatmu," usir Rani yang tak tahan lagi melihat tingkah Hendra dan ibunya.
Dia berjanji pada dirinya tak akan memperpanjang urusan dengan kedua orang ini karena Rani tak ingin tensinya naik terus menghadapi mereka.
Namun, bukannya mengerti, kini malah sang Ibu mertua yang maju.
Dengan santainya, wanita itu tiba-tiba berbicara, "Percuma kau bicara dengan wanita bodoh ini, Hen. Lebih baik, ceraikan saja dia, lalu nikahi Anita itu jauh lebih baik."
Tangan Rani sontak mengepal, menahan geram. Ibu mertuanya ini memang senang sekali meminta Hendra untuk menceraikannya. Apakah dia pikir Rani tak mau melepaskan pria ini?
Cih! Jelas sekali, Rani sudah meminta ditalak berkali-kali, tetapi Hendra tak pernah mengabulkannya. Pria itu selalu membawa-bawa sang putri yang memang menyayanginya.
"Belum waktunya, Bu," ucap Hendra santai–seperti biasa. Tangan Rani mengepal mendengar ucapan yang sudah ia duga.
"Sampai kapan, Mas?Aku juga sudah tak sudi menjadi istrimu," tegas Rani yang membuat Hendra dan Ibunya seketika melotot.
"Tutup mulutmu itu, Rani!" teriak Ibu Mertuanya.
Belum sempat memproses, lagi-lagi Rani terkejut melihat mertuanya menarik tangan putrinya dan menghempaskan tubuh kecil itu ke dinding.
Rani pun tak sempat bereaksi, selain berteriak histeris memanggil nama anaknya, "Rara!"
Rani berhenti menguap saat melihat di depan lobby perusahaannya penuh wartawan. Dia dan Sean saling pandang setelah itu sibuk mengaktifkan ponselnya, benar saja ratusan panggilan dan pesan masuk tanpa di buka.'Buka link ini.' Pesan Wendi. Pesan yang sama dari Marco, Gilang dan yang lainnya. Sean segera menyambar ponsel sang istri lalu membuka link dari Wendi. Sean terlihat marah begitu melihat Vidio lama Rani saat di bully."Berikan padaku." Rani merampas ponselnya dari tangan Sean. Meski dia tau Sean bukan marah padanya tapi tetap saja dia tak mau sang suami melihat keadaannya yang memalukan itu, apalagi dia tau vidio itu telah di edit sedemikian rupa. "Jangan menangis." Sean memeluk tubuh Rani yang mulai bergetar. Pria itu menghapus airmata di pipi sang istri dan menenangkan. Rani mencoba memejamkan mata untuk bersiap menghadapi wartawan, Sean menggenggam telapak tangannya dan meminta agar tidak keluar tapi Rani menolaknya. "Ini kesempatan bagus untuk menghancurkan Riri dan membe
Talak bab 202Rani menatap Marco dan Wendi yang duduk di depannya setelah memberikan laporan. Wanita itu tersenyum sinis sembari mengetukkan jarinya di atas meja. "Lawan yang lumayan tangguh, kelicikan mereka patut mendapatkan acungan jari jempol. Kali ini Hardian yang mereka gigit sampai mati." Rani tertawa sinis."Ada bagusnya juga jadi aku bisa menendang mereka dengan kekuatanku sendiri. Kalian bisa istirahat sisanya biar aku yang membereskannya." Rani kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Di Sedangkan Marco dan Wendi menikmati camilan buatan Rani. "Sebenarnya aku kasihan dengan teman kedua wanita itu. Dia hanya ingin menjilat tapi baru mulai langsung jadi korban fitnah, siapa sangka dia akan menjadi tersangka hanya karena meletakkan lipstik di dalam tas menjadi meletakkan narkoba." Wendi teringat pada wanita yang menangis sembari memohon saat di kantor polisi."Justru para penjilat seperti itu yang pantas di musnahkan, mereka yang punya andil besar untuk menyakiti orang ya
Talak bab 201"Kau sudah gila, Sean!" pekik Rani saat melihat siapa orang-orang yang ada di dalam kantor polisi. "Kau bahkan membawa orang dari dinas pendidikan, juga Kepala sekolah yang lama." Rani merasa kakinya lemas. Uang menyelesaikan masalah yang tak dia selesaikan selama lebih dari sepuluh tahun."Setelah masalah ini selesai, kau harus mengalihkan sebagian hartamu padaku," dengus Rani dengan kesal. "Macam orang miskin aja gayamu." Sean juga tak mau kalah mencibir istrinya tanpa menyadari di belakang mereka Della dan Hardian sudah sampai, mereka mendengar suami-istri itu bercanda berdua. "Cepat jalan!" Sean dan Rani berbalik saat mendengar bentakan itu.Mereka tersenyum melihat Della dan Hardian datang. Sean merengkuh bahu sang istri menghindari Della dan Hardian, kedua orang itu terpaksa melangkah masuk dan terpekik saat melihat keluarga mereka datang. "Anak kurang ajar, kau membuat keluarga kita malu." Della jatuh setelah sang ibu mendorongnya. Wanita itu meringis saat merasaka
Talak bab 200Wendi dan Marco terlihat duduk sambil cemberut. Mereka kesal karena harus mengikuti permintaan Rani, sedangkan Sean terlihat diam sembari menggenggam telapak tangan sang istri. "Selama ini aku tidak berada di sampingmu saat kau membutuhkanku, tapi saat ini aku akan menemanimu untuk bermain sampai puas." Sean mengecup kening Rani lalu membiarkannya keluar dari mobil.Rani berdiri di depan hotel tempat reuni di adakan. Dia tersenyum walau terlihat getir, dia tau sudah waktunya dia membalas apa yang dia dapatkan selama sekolah dulu. "Sayang tenang saja aku ada di belakangmu. Bermain saja sepuasmu urusan lainnya aku yang akan membereskannya," ujar Sean dari dalam mobil.Rani berbalik sebentar lalu menganggukkan kepala. Setelah itu dia berjalan menuju ke dalam hotel, dengan senyum di bibir dia menghampiri kerumunan orang yang pasti sedang menunggunya. "Kau berjalan kaki apa tidak naik mobil, Ran?" tanya seseorang seperti yang dia duga mereka memang menunggunya."Naik, tapi tur
Talak bab 199Marco berdiri di depan Rani dengan kepala menunduk. Dia menatap berkas di tangannya, namun tak berani menyerahkan pada wanita itu. Wendi yang juga berada di ruangan itu bersama Rani merasa heran, karena merasa bosan dengan keraguan Marco, maka Wendi segera merampas berkas itu dan menyerahkan pada Rani. Hanya saja Wendi tidak menyangka setelah itu Marco akan kabur begitu saja. Merasa ada yang aneh pria itu segera berdiri dan bersiap untuk melarikan diri, sayangnya dia terlambat karena Rani sudah menarik kerah bajunya dan menjambak rambutnya dengan keras. "Brengsek, Sean mengenal Della wibisana!" Mendengar ucapan Rani membuat otak Wendi nyaris meledak. Pantas saja Marco Kabur secepat kilat dan dia dengan bodohnya mengorbankan diri menerima kemarahan Rani. "Pergi, bantu Marco menyelidiki sejak kapan mereka kenal!" Rani kembali berteriak membuat Wendi segera keluar dari ruangan Rani. Begitu sampai depan pintu matanya berkilau, saat melihat Sean datang membawa banyak bungku
Talak bab 198Wendi menatap tajam dua orang di depannya. Dia kesal karena menangkap adegan tak pantas di dalam lift. Saat dia sedang kesal, Sean dan Rani tengah bercumbu dengan penuh nafsu.Jika dia tidak menarik kerah baju Sean, pria itu tidak akan pernah tau kalau pintu lift sudah terbuka cukup lama. Bukannya malu Sean sempat mencium lagi bibir sang istri sebelum membawanya keluar dan berjalan menuju ke ruangan Wendi."Bersihkan bibirmu itu." Wendi melemparkan kotak tisu di depan Sean, sedangkan Rani langsung kabur ke kamar mandi membenarkan lipstiknya. "Kau sudah cukup dewasa dan tau rasanya pisah lama dengan wanitamu. Jangan bilang kau belum menyentuh gadis itu?" Sean menunjuk pada foto di meja Wendi.Wajah seorang gadis yang mengorbankan diri demi Rani dan Wendi. Gadis satu-satunya yang menguasai jiwa dan raga Wendi, mendengar pertanyaan Sean membuat Wendi meringis karena dia memang belum menyentuh pujaan hatinya itu."Tunggu apa lagi? Nikahi dia. Jika kau tak berani maka biarkan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments