Share

You Never Know

But you never know unless you walked on my shoes.

Setiap keputusan tentunya memiliki resiko. Aku sudah berpikir terlalu panjang dan terlalu jauh hingga akhirnya lelah dan tersadar bahwa aku tertidur di sofa.

Pantas saja badanku terasa sakit.

Pagi ini, bahkan aku bangun terlalu awal. Matahari bahkan belum bersinar. Ruangan ini juga gelap.

Sudah seminggu sejak aku bertemu dengan Kakek Damian. Aku sama sekali tidak mengontak mereka. Dan mereka juga tidak berusaha untuk menghampiriku.

Aku melihat dapur yang berantakan. Kemarin aku memanggang kue, pesanan temanku untuk acara ulang tahun anaknya. Aku melihat jam di layar gawai.

Pukul 05:00 AM.

Aku meregangkan badan,mengambil udara sebanyak-banyaknya dan segera menuju dapur. Aku mencuci bersih semua tempat yang di gunakan untuk membuat kue semalam.

Bekerja sambil mendengarkan musik adalah hal yang biasa aku lakukan. Suara air mendidih dari ketel listrik membuatku bergegas mengambil kopi instan dari dalam laci.

Aroma kopi yang menguar nikmat memberikan kekuatan lebih bagiku untuk menjalani hari.

Ini pagi yang tenang.

Awalnya memang tenang, namun suara Taylor Swift yang berkumandang menyanyikan lagu Holy Ground membuatku bergegas meraih gawai yang ku simpan di atas meja makan.

Nada panggilan ini sengaja ku buat khusus untuk keluarga di kampung.

Hatiku berdetak kencang, ada sedikit keraguan dan kegelisahan yang merasuk.Banyak pikiran tidak baik yang berkeliaran di otakku ini.

Aku menarik napas dalam sebelum menghembuskan dengan cepat.

“Halo.”

*

Aku memilih mengepak barang-barangku, kali ini keputusan sudah bulat. Aku akan menerima tawaran pekerjaan dari Kakek Damian.

Awalnya memang tidak, daripada menguras emosi untuk bertarung dengan laki-laki iblis, lebih baik aku memanggang kue.

Aku bahkan sudah menyusun rencana terbaik untuk menjalankan bisnis ini,jika bisa hidup lebih irit dari sebelumnya, mungkin aku akan baik-baik saja.

Namun memang hidup tidak ingin aku menjalani hidup dengan tenang dan damai. Panggilan telepon yang ku akhiri tiga jam yang lalu membuatku harus mengambil keputusan ini.

Nak, ingat kakakmu ini. Dia yang menjagamu saat kecil. Bantulah dia sedikit.

Aku meremas rambutku, berharap rasa sakitnya bisa menghilangkan pikiran berlebihan pada keluargaku di kampung.

Kan mereka yang hendak menikah, kenapa aku juga harus memikirkan biayanya.

Aku menaikkan nada suara pada ibu. Ibu hanya bisa mendesah. Ia mengharapkan aku mau menyumbang untuk pernikahan kakak laki-laki yang pertama.

Jika saja kakakmu tidak melakukan kesalahan, tentu tidak ada denda yang harus dibayarkannya. Ibu mohon, tolong mengertilah. Ibu tidak ingin keluarga kita dipermalukan.

Dasar kakak sialan.

Aku mengumpat dalam hati. Suara ibu terdengar serak, mungkin airmatnya sudah luruh. Hatiku pedih membayangkan wajah keriput ibu yang sembab.

Aku berjanji membantu biaya pernikahan semampuku. Ibu berterimakasih dan menutup panggilan.Aku menarik napas panjang, setelah itu segera mengirimkan uang pada rekening bapak.

Tidak ada lagi tabungan yang tersimpan.

I’ts okay Alina, kamu akan baik-baik saja.

Memang apa susahnya sih, jadi asisten pribadi Sang Iblis?

Aku menguatkan hati, berharap bahwa ini adalah keputusan terbaik yang aku ambil.

*

Aku tahu keluarga Swift adalah keluarga kaya, tapi aku tidak menyangka bahwa mereka akan sekaya ini. Aku bahkan aku ternganga melihat betapa megahnya gerbang menuju rumah besar dan bertingkat.

Setelah mengirim uang, aku segera menghubungi Kakek Damian.Aku menerima tawarannya. Suaranya yang bersemangat mendengar kesediaanku membuat perasaanku lega.

Aku masih harus melapor terlebih dulu di Pos Penjaga sebelum gerbang di bukakan dan beruntung karena tidak perlu ada drama karena penjaga sudah mendapatkan informasi tentang kedatanganku.

"Silakan masuk Nona, sudah di tunggu Tuan Damian di ruang tamu." Aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepada penjaga.

Halaman rumah ini begitu indah, ada kolam besar di tengahnya dengan pancuran air yang keluar dari patung perempuan bersayap yang memegang kendi, begitu estetik karena banyak bunga dan tanaman hias yang mengelilingi kolam besar itu.

Sungguh, aku tidak bisa menutupi kekaguman pada taman seluas ini.Ada beberapa pohon rindang yang berjarak, menciptakan kesan sejuk dan menenangkan. 

Perhatianku teralih saat taxi berhenti tepat di depan teras rumah.

Wow, terasnya luas sekali.

Setelah membayar, aku di bantu supir mengeluarkan bawaanku.Barangku tidak banyak,hanya satu koper besar dan ransel. Di depan pintu ganda berukiran rumit, aku kebingungan mencari bel.Sama sekali tidak terlihat.

Pintu yang terbuka tiba-tiba membuatku tersentak.

"Selamat datang, Alina. Senang melihatmu disini. Aku tidak menyangka bahwa kamu sungguh akan menyetujui untuk bekerja di kediaman ini."

Kakek Damian menyambutku dengan hangat dan mempersilakan masuk.

"Saya juga tidak menyangka, kek. Saya berterimakasih pada kakek yang sudah memberikan kesempatan. Saya berjanji akan bekerja dengan baik." Aku menatap Kakek Damian dengan pasti.

"Baiklah, baiklah. Pengurus rumah akan mengantar ke kamarmu. Aku berharap kamu bisa bertahan lebih dari sebulan disini."

Sebulan? Memangnya ada yang bekerja hanya sebulan?

Meskipun agak bingung dengan ucapan Kakek Damian, aku tidak mengutarakan rasa penasaran itu. Aku tersenyum dan mengikuti seorang pria yang berpakaian rapi. Jas hitam dan dasi kupu-kupu yang dikenakan membuat takjub.

Penampilan seperti ini biasanya aku temukan di komik-komik kerajaan.

"Nona Alina. Perkenalkan saya kepala pengurus rumah ini. Nama saya Ardy Peat. Dan ini adalah kamar Nona Alina.”Aku berjabatan tangan dengannya, ia lalu mengambil alih koperku.

“Mari ikut saya, Nona Alina.” Aku mengekor pria itu.Kami melewati lorong yang cukup panjang.Ada beberapa pintu yang terlewati, hingga akhirnya tiba di ruangan paling ujung.

“Untuk sekarang, saya harap Nona Alina beristirahat dan besok saya akan mengajak Nona berkeliling dan memperkenalkan Nona pada pekerja yang lain.”

Ia berhenti sejenak dan membalikkan badan.

“Juga akan saya jelaskan tugas dan kewajiban serta hak Nona Alina dengan lebih rinci."

“Oh, ya Nona Alina.Besok juga Nona akan menandatangani kontrak kerjasama.”Lanjutnya.Pria itu lalu membuka pintu putih. Kemudian menyerahkan kunci juga koperku.

Ardy Peat, pria ini aku yakini berusia empat puluh-an tahun. Suaranya tenang dan sopan.Aku mengangguk lalu mengucapkan terimakasih.

“Kalau begitu, selamat beristirahat Nona Alina.”Ia membungkukkan badan sedikit lalu berlalu dari hadapanku.

Untuk ukuran asisten pribadi, aku mendapatkan fasilitas yang melebihi ekspektasi. Padahal aku merasa tidak perlu untuk tinggal di kamar semewah ini.

Tapi di rumah sebesar ini, memangnya ada kamar yang tidak mewah?

Aku segera membongkar koper lalu memindahkan ke lemari kayu yang mewah. Terlalu besar untuk diisi pakaianku yang tidak seberapa.

Aroma yang asing terhirup, namun bukan berarti membuatku tidak nyaman. Melebihi itu, aku merasa akan baik-baik saja.

Ya, ini keputusan yang baik. Aku sudah melakukan yang terbaik. Mari kita berusaha untuk tetap hidup dan sebisa mungkin tidak menyusahkan orang lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status