Home / Romansa / Chef Galak Itu Mantan Pacarku / PART 4: Lima Puluh Juta

Share

PART 4: Lima Puluh Juta

Author: Titi Chu
last update Last Updated: 2025-03-07 10:13:07

"Tolong Ma, kali ini aja, sambil aku cari day care yang dekat rumah, untuk sementara aku titip Hiro dan Naga di sini."

"Mama nggak melarang Mit, tapi kamu tau sendiri Mama juga bukan pengangguran, silakan aja mereka di sini asalkan bayarannya sesuai."

"Berapa?"

"Lima puluh juta aja."

Mataku melotot sempurna, yang benar saja? Aku hanya meminta beliau menjaga Hiro dan Naga hari ini sebelum aku menemukan day care pengganti yang lokasinya terjangkau dari apartemen, tapi Mama seperti aji mumpung, mengambil keuntungan dalam kesempitan.

"Ini kan weekend Mit, wajar kalau Mama minta segitu, sepadan sama waktu liburan yang Mama luangkan. Lagian anak-anak kamu itu tingkahnya di luar nalar, apa kamu nggak ingat apa yang mereka lakukan ketika terakhir dititipkan di sini?" tanya Mama emosi.

Bagaimana aku bisa lupa?

Ketika sedang terlelap mereka mengikat kedua tangan dan kaki Mama dengan mulut yang dibungkam lakban. Saat aku menanyakan hal tersebut Hiro dan Naga beralasan bahwa mereka sedang bermain James Bond, dan ceritanya Mama adalah seorang tawanan Hiro yang nanti akan dibebaskan oleh Naga. Sebuah pemandangan yang bikin aku ingin menangis ketika menemukannya.

"Entah mereka itu nurun siapa. Apa dulu kamu hamil sama gangster? Mafia? Penjahat?" tanyanya bertubi-tubi, bikin aku keki. "Kamu nggak pernah ngasih tau siapa bapaknya, dan Mama curiga kalau dia kriminal."

Astaga.

Tuduhannya benar-benar mengerikan, tapi aku enggan menjelaskan, dan hanya bisa meringis menatap Hiro dan Naga yang kini berdiri di ruang tamu kontrakan Mama.

Tempat ini tidak lebih besar dari apartemen kami, tapi yang membuat ruangan ini tampak sempit adalah karena sangat berantakan, pakaian bertebaran di sofa, piring kotor menumpuk di wastafel, sampah snack dan bungkus mie instan berhamburan di lantai.

Naga bahkan menarik sebuah kemeja di atas sofa, menjepit di antara dua jari lalu mengendusnya, kemudian menjulurkan lidah seperti akan muntah ketika mencium aromanya dan melempar kembali pakaian itu hingga jatuh ke tempat sampah.

Mataku mengerjap.

Sementara Hiro berusaha mencari tempat yang tepat untuk menjatuhkan bokongnya, tidak menemukan di manapun, dia akhirnya mengambil hand sanitizer di tas, menyemprotkannya di meja agar steril lalu duduk di sana seperti bangsawan.

"Kamu lihat, kan? Anak kamu terlalu liar."

Anak aku itu cucunya dan mereka punya nama. Namun aku nggak memiliki pilihan, aku harus bekerja, dan karena tidak ada opsi libur dari pekerjaan ini aku harus pasrah dengan keadaan.

"Tapi lima puluh juta itu berlebihan. Memangnya buat apa Mama uang sebanyak itu?"

"Yaaah pokoknya Mama butuh," katanya tidak jelas.

"Mama main slot lagi?" Dari wajahnya yang memerah aku tahu tebakanku benar. "Ya ampun Ma, aku kan udah bilang jangan main judol, mereka cuma bikin Mama kecanduan!”

"Dengar Mit, Mama yakin kali ini Mama pasti bakalan menang dan dapet jackpot tapi Mama butuh modal yang banyak, hasilnya nanti bisa buat bayar kontrakan dan hutang—“

"Apa?"

"—yang udah jatuh tempo."

"Berapa?"

Mama menggigit bibir.

"Mama punya hutang dengan rentenir?"

"Jangan berlebihan cuma lima ratus juta doang kok, belum satu M."

Aku shock, tubuhku sempoyongan, kuraba-raba tembok di belakang punggungku agar tidak ambruk. Cuma lima ratus juta? CUMA?

"Makanya Mama mau putarin uang itu supaya berbunga, Mit."

"Ya tapi bukan judol juga dong, Ma!”

"Terus gimana? Kamu pikir ada yang mau nerima Mama kerja di umur segini?"

Sialnya beliau benar, Mama sudah memasuki usia kepala lima, rambutnya mulai keperakan meskipun dia mengecatnya dengan warna burgundy yang bikin penampilannya tetap kelihatan cetar.

Dari dulu Mamaku memang hedon, boros dan hidup bermewah-mewahan. Kelilit pinjol bahkan sudah menjadi makanan sehari-harinya dan sekarang ditambah judol. Kalau dia bisa melunasi semuanya sendiri mungkin aku tidak akan meradang, masalahnya Mama selalu bergantung padaku untuk melunasi semua hutang-hutang itu.

"Siapa lagi yang bakal Mama minta bantuan kalau bukan anak sendiri, Mita?"

Tuh kan.

"Yaudah empat puluh juta, tuh Mama udah kasih keringanan buat kamu."

"Dua juta, aku cuma punya uang segitu, kalau Mama mau, aku bisa transfer sekarang," balasku menolak kalah.

Beliau mendengus meremehkan. "Cukup apa uang segitu? Skincare Mama aja lebih mahal dari itu, Mit."

"Terserah, aku akan tetap tinggalin Hiro dan Naga di sini."

Lalu sebelum beliau semakin mencak-mencak, aku segera melengos, menghampiri kedua anakku.

"Naga berhenti bergelantungan di gorden, Hiro jangan duduk di atas meja, pamali. Kalian berdua sini, Mama mau ngomong."

Kedua anak itu nurut.

"Untuk sementara kalian akan tinggal di rumah Nenek, jangan nyusahin, makan bekal tepat waktu, dan nurut apa kata Nenek, bantu-bantu juga untuk bersihin rumah, oke?"

"Tempat ini lebih parah." Hidung Hiro mengernyit seolah mencium aroma busuk di udara. "Bantar gebang jauh lebih baik."

"Apa kita juga harus mandiin nenek Ma?" tanya Naga polos.

Mataku mengerjap. "Kenapa kamu nanya gitu Naga?" tanyaku sehalus mungkin.

"Soalnya Nenek bau ikan asin."

Astaga.

"Enak aja, Nenek wangi tau." Mama terdengar mendumel.

"Tenang Nenek, nanti kita bikin rumah Nenek bersih pakai vacum cleaner."

"Kita perlu selang air." Hiro menambahkan datar.

Aku tahu apa yang ada di pikiran mereka, kedua anak ini berniat untuk membuat rumah Mama banjir, jadi kuremas lengan mungil Hiro dan Naga. "Kalau sampai Mama jemput dan kalian berulah, Mama nggak akan bikinin pizza lagi."

Sesuai harapan, keduanya langsung merengek, aku memastikan mereka berjanji jadi anak baik sebelum pamit undur diri.

Mengumpat ketika menyadari aku sudah terlambat, Gun pasti akan mengamuk, kupercepat laju mobil sambil memeriksa lokasi syuting yang dikirim Ed, sang asisten.

Tempat itu berada di sebuah gedung perusahaan pembuat kopi instan, CoffeKu, aku langsung menyusuri koridor dan menaiki lift, namun baru pintu itu terbuka di lantai lima belas, suara berat Gun segera menyapa.

"Tahu jam berapa sekarang, Mita?"

Punggungku langsung tegak, dengan takut-takut aku menoleh dan menemukan wajahnya yang judes.

"Kamu tahu konsekuensinya?"

"Maaf, tadi macet, Pak."

Gun mendengus, tidak terkesan dengan alasan yang kuberikan, namun saat akan menyahut, seseorang keburu menghampirinya.

"Pak, semua set sudah selesai kita bisa take video sekarang."

Dia mengangguk, kemudian menatapku tajam. "Kita bicara setelah take CF saya selesai."

Dengan langkah lebar Gun menuju salah satu pintu dan menghilang di sana, dengan pasrah aku mengekorinya.

Ruangan yang dimasuki Gun adalah setting untuk pembuatan iklan, dengan pembatas kaca, tempat itu sudah ramai dengan kru dan kamera yang menyala.

"Eh Mit?" Aku menoleh dan menemukan Zara sedang melangkah mendekat. "Kebetulan banget ketemu di sini."

Leherku memanjang dengan jantung berdebar mencoba mencari keberadaan Roy di balik bahunya, karena bisa saja laki-laki itu juga melakukan take iklan, tapi syukurlah Roy tidak kelihatan.

"Tadi gue ketemu Juna Iskandar, dia di Lumeno, kenapa lo malah di sini?" tanyanya lalu mengulurkan tumblr. "Tolong ambilin minum dari dispenser di belakang lo dong."

Loh, tempat itu hanya berjarak sekitar tujuh langkah darinya, kenapa dia tidak mengambilnya sendiri?

"Gue harus cepat-cepat, Roy lagi diskusi sama CEO CoffeeKu buat event anniversary perusahaan, sebentar lagi dia bakal ke sini, takutnya nggak keburu bawa air putih, tau sendiri gue sering dehidrasi."

Ya ampun, informasinya sangat lengkap. Tak ingin drama aku mengambil saja tumblr itu dan mengisinya.

"Makasih Mit," katanya sambil meneguk. "Anyway Gun Saliba makin gagah aja ya. Sebenarnya dari awal gue penginnya jadi manajer dia, tapi susah tembus. Katanya dia galak banget ya? Gue penasaran siapa manajernya sekarang, menurut lo siapa Mit?"

"Itu..."

"Oh, gue tau, lo di sini pasti mau ngajuin proposal supaya Juna diikutsertakan dalam event kan?" tanyanya mencerocos tanpa henti. "Sayang banget lo harus repot, tapi kayaknya susah buat diterima, mending lo kasih saran supaya dia mulai bikin usaha daripada maksain bersaing dengan Gun dan Roy."

Kemudian dia terkekeh seakan ada yang lucu.

"Mita." Ed tampak memanggil dari balik ruangan yang dipisahkan sekat dari kaca, menyuruhku mendekat.

Zara mengernyit. "Loh gue?"

Jelas-jelas yang dipanggil adalah namaku. "Sorry Zar, gue ke dalam dulu, ya."

"Tapi kan itu tempatnya Gun, lo mau ngapain?"

Aku tersenyum. "Gue manajernya Zar, permisi. By the way saran yang bagus buat Juna, nanti kalau ketemu dia, bakal gue sampaikan."

Lalu aku melanggeng menuju ruangan berkaca sekat, meninggalkan Zara yang melongo di tempat.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
PiMary
Makanya jgn jumawa dulu Zar.....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Chef Galak Itu Mantan Pacarku   Extra Part 4: Roti Sambal Pecal

    "Fudge browniesnya udah semua, Tan?" "Sudah, Bu." "Cotton cheesecake-nya?" "Ada di depan, Bu." "Muffin-nya jangan lupa, Tan." "Siap, Bu." "Dan oh, itu yang lain—" "Sudah berkumpul semua dan sebaiknya kamu tenang." Gun memotong, gemas. Dia berjalan ke belakang punggungku serta membuka kaitan apron, lalu satu tangannya bersandar di pinggiran meja. "Apa yang kamu khawatirkan?" "Banyak Gun, takut dikit." "Itu perasaan yang wajar tapi ada banyak orang yang bekerja di sini. Dan semuanya sudah tertata pada tempatnya, Mita." Benar, sepertinya aku memang terlalu overthinking, atau aku sudah tertular dengan sifat Gun yang perfeksionis. Setelah empat bulan mempersiapkan segalanya mulai dari lokasi, tempat, desain, karyawan sampai menu. Hari ini, kami akhirnya akan meresmikan Petite Peaks. Sebuah bakery yang sudah dirancang sebelum kami menikah. Tempat itu sangat luas, karena kami juga menawarkan dine in. Serta spot-spot foto yang instagramable khusus untuk yang hobi nongkrong di temp

  • Chef Galak Itu Mantan Pacarku   Extra Part 3: Nemo & Bisnis

    Aku terpaku di tempat, memandang mereka yang tertawa, mendapat uluran hadiah dari Audi dan sepupu lain. Lima tahun, bukan waktu yang sebentar, rasanya seperti baru kemarin aku menggendong mereka dalam balutan kantung kain yang mungil. Dan sekarang Hiro Naga sudah tampak besar di mataku. Mereka akan melanjutkan sekolah, menjalani masa remaja, kuliah lalu... menikah dan memiliki keluarga. "Mita." Mataku mengerjap, lalu tersenyum lebar menyambut uluran tangan Gun. Dia segera merangkul dan mengecup pelipisku. "Ti amo," bisiknya manis. Mengusapi lenganku lalu menghadapi kerumunan. "Oke Hiro, Naga, Papa punya hadiah dan sebaiknya kita buka sekarang ya?" "Oh, apa itu..." Darren membuat suara manja pura-pura penasaran, tapi meledek. "Emas batangan ya, Pa?" "Saham ya, Pa?" Caraka menimpali. "Pulau pribadi ya, Pa?" Delilah ikutan. Keluarga kami kompak tertawa. Gun mendelik judes, tawa kami makin lebar. Aku gantian mengusapi lengannya. "Rumah kontrakan ya, Pa?" Dia berdecak.

  • Chef Galak Itu Mantan Pacarku   Extra Part 2: Royal Lion

    "Welcome back to Jakarta." "Madrid kami bawa oleh-oleh banyak." Naga pamer, dan segera membuka tas ranselnya yang seperti kantung Doraemon untuk mengeluarkan sebuah kotak. "Ini semua buat Madrid." "Naga, nanti aja kita kasih di rumah, terus kita bukain oleh-oleh yang lain ya?" Aku berusaha membujuknya naik ke mobil. Naga menolak, memutar bahunya yang kusentuh. "Sebentar Mama, ini penting karena cokelatnya bisa meleleh. Dan harus cepat dimakan sebelum kadaluarsa." Aku meringis. "Madrid lihat ini." Hiro menarik tali gangsing, kemudian melempar benda dari kayu itu ke lantai hingga berputar. Matanya kelihatan bangga. "Kamu bisa?" Ya ampun. "Hebat Mas Hiro, terima kasih Mas Naga." Madrid bertepuk tangan seperti lumba-lumba lalu menerima cokelatnya. Aku menatap Gun meminta pertolongan, tapi sulit sekali melihat ekspresinya dari balik kacamata hitam yang dia kenakan. "Gun?" "Hiro, Naga, masuk." Naga sigap melompat ke dalam mobil yang pintunya sudah terbuka, Hiro me

  • Chef Galak Itu Mantan Pacarku   Extra Part 1: Frogner Park

    Honeymoon kami berjalan kacau. Oke, aku tidak ingin menyepelekan bagaimana usaha Gun untuk membawa kami keliling Eropa, tapi setiap kali pindah dari satu negara dan bergeser ke negara lain, ada saja masalah yang timbul. Misalnya saja seperti Hiro yang hilang di antara patung ketika kami mampir di Frogner Park, Norway. Atau Naga yang menjatuhkan sepedanya di kapal saat perjalanan dari Dover menuju Calais. Dan yang paling epik, ketika si kembar mengejar pencopet di jalanan Paris. Maksudku, ya sudah. Itu hanya dompet, memang di dalamnya ada kartu identitas dan beberapa lembar uang, tapi itu sama sekali tidak penting dibandingkan keselamatan anak-anakku, dan... "Dia ke sana." Hiro menjerit, kakinya bergerak lincah, meliuk-liuk di antara tubuh-tubuh orang yang sedang berjalan. Lalu Naga dengan langkahnya yang kecil-kecil, cekatan mengekori. "Kanan, Mas, kanan." Naga memberi intruksi begitu Hiro mulai kebingungan, berdiri di tengah gang bercabang. "Bukan, dia berlari ke kiri.

  • Chef Galak Itu Mantan Pacarku   PART 157: Rumah

    "Ma guarda chi si è sposato, ecco il miracolo!" Dua orang laki-laki berwajah latin dengan setelan jas mengkilat menghampiri kami begitu acara resepsi tiba. Kebayaku sudah diganti dengan ball gown berwarna silver grey yang berkilauan di bawah cahaya. Bagian atasnya berbentuk bustier dengan detail kristal dan manik-manik yang rumit, menampilkan bahu dan leherku yang terbuka. Roknya mengembang indah, terbuat dari beberapa lapis tulle dan organza dengan taburan sequin halus, menciptakan efek shimmer yang memukau setiap kali aku bergerak. Mengikuti gaun, rambutku pun kini ditata dengan updo yang lebih glamor sesuai tema resepsi, lalu dihiasi jepit rambut bertabur kristal. Sementara dibandingkan akad yang natural, saat repesi ini makeupku sedikit lebih berani dengan smokey eyes dan lipstik nude. Gun tidak henti-henti memuji, dan mengecupi pelipisku setiap ada kesempatan. Sejujurnya sejak tadi gigiku kering karena dioper ke sana-kemari menyalami para tamu lalu dikenalkan dengan tema

  • Chef Galak Itu Mantan Pacarku   PART 156: Mrs. Saliba

    They say when you meet the love of your life, time stops, and that’s true. Mungkin itulah yang menggambarkan perasaanku saat ini. Sebelumnya aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan menikah. Aku hanya ingin hidup bersama anak-anak. Menjalani hari-hari dengan rutinitas yang mungkin sedikit mendebarkan. Tapi kehadiran Gun seperti sebuah nahkoda yang membawa ke mana kapal kami harusnya berlabuh agar kami tidak lagi tersesat dan kehilangan arah. Dia menjadi teman, sahabat, Papa dan pasangan yang kubutuhkan. Kami masih bertengkar, kami masih berdebat, kami masih saling mengejek saat memasak. Tapi kurasa itulah bahasa cinta kami, seperti itulah cara kami saling menyampaikan bahwa kami peduli. "Mama..." Hiro dan Naga masuk bersama Madrid ketika aku sudah selesai dimakeup dan mengenakan pakaian pengantin. Berbeda dari kebaya tradisional yang biasanya terbuat dari brokat tebal, kebaya yang kukenakan adalah sebuah impian yang menjadi nyata, dirancang khusus oleh desainer kepercay

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status