Pagi itu, langit Jakarta tampak mendung. Alina berjalan menuju sekolah dengan semangat yang masih tersisa dari momen kemarin, saat Kevin untuk pertama kalinya menemaninya masuk gerbang sekolah. Jantungnya masih bisa merasakan degup bahagia, pipinya sempat memerah kembali kala mengingat cara Kevin menatapnya.
Namun pagi itu semua terasa berbeda. Begitu memasuki halaman sekolah, pandangan Kevin yang biasanya hangat kini seakan mengiris tajam. Tatapan itu bukan tatapan yang sama seperti kemarin. Tidak ada lagi senyum tipis yang selama ini diam-diam membuat Alina terpaku. Tak ada anggukan kecil, tak ada sapaan ringan. Kevin berlalu begitu saja dengan acuh dan dingin. Seolah mereka tak pernah saling mengenal sebelum nya. Alina menghentikan langkah. Sejenak ia berpikir, apa yang sedang terjadi? Seruni sudah menunggunya di depan kelas. "Pagi, Lin!" seru Seruni ceria. Tapi raut wajahnya segera berubah saat melihat ekspresi Alina yang kebingungan. "Hey, kamu kenapa? Mukamu kayak abis lihat hantu..." Alina menarik napas panjang dan berusaha tersenyum. "Kevin, dia nggak nyapa aku tadi pagi. Tatapannya terasa berbeda, Seruni. Aku seperti enggak kenal dia lagi." Seruni mengerutkan kening. Ia baru akan menanggapi ketika suara bisik-bisik dari beberapa siswa mulai terdengar di sekitar mereka. "Eh, itu Alina kan yang sok kalem padahal—" "Udah lihat belum chat-nya? Beneran dia ngomong gitu ke Kevin?" "Makanya, cowok populer juga bisa dibego-begoin ya..." Alina mulai merasa tidak nyaman. Suasana kelas menjadi terasa berat, bisikan-bisikan menusuknya dari segala arah. Alina mencoba keluar dan menuju melewati kelas Kevin, berharap ia bertemu dengan nya. Matanya mencari Kevin di bangku di kelas nya dan memang dia duduk di sana. Tapi kepala Kevin tertunduk, menatap ponselnya. Tidak menoleh sedikit pun ke arah Alina. Jam istirahat pertama, Seruni mengajak Alina ke kantin. Namun bahkan di sana pun, mereka disambut oleh suasana aneh. Tatapan-tatapan tidak biasa, lirikan penuh tuduhan. Alina merasa seperti sedang dihakimi tanpa tahu alasan apa. "Seruni, aku nggak ngerti sebenarnya ini kenapa, sih?" Seruni memegang tangan Alina dan menariknya ke bangku paling pojok kantin. "Oke, aku juga baru lihat barusan di sebuah grup chat WA. Tapi kamu harus tahu, ada screenshot yang katanya dari akun kamu. Isinya sangat enggak enak, Lin. Aku yakin itu bukan kamu kan? tapi semua orang kayaknya percaya." Seruni menunjukkan ponselnya. Di layar itu, tampak sebuah chat dari akun bernama @alinanovxx_, dengan foto profil yang nyaris identik dengan akun asli Alina. Isi chatnya sangat menusuk. Kata-kata seperti: "Kevin mah gampang banget dibodohi. Cuma perlu tatapan manja doang." "Reva bisa apa sih? Liat aja Kevin sekarang udah kayak hewan peliharaanku." "Asal aku bisa populer, semua cara halal lah." Tangan Alina gemetar. Matanya mulai berkaca-kaca. "Itu benar bukan aku, Seruni. Aku nggak pernah nulis kayak gitu. Sumpah!" "Aku tahu. Aku percaya kamu, Lin," jawab Seruni cepat. "Tapi sekarang, semua anak sekolah udah baca itu. Dan Kevin, mungkin dia juga percaya." Alina menggeleng. Ia berdiri, tubuhnya limbung. "Aku harus bicara sama dia. Aku harus jelasin." Di Lapangan Basket Kevin sedang berjalan sendiri, menenteng botol airnya, sehabis latihan singkat sebelum pulang sekolah. Alina mengejarnya. "Kevin! Tunggu...!" Kevin berhenti. Tapi tak menoleh kepada Alina. "Kamu kenapa, Kevin? Kenapa berubah tiba-tiba?" Kevin menoleh perlahan. Tatapannya dingin, suara yang keluar dari bibirnya bahkan lebih dingin dari udara sore itu. "Aku kira kamu berbeda, Alina." "Apa maksud kamu? Aku... aku nggak ngerti!" "Sudah cukup, jangan sok polos!! Kamu pikir aku nggak tahu semua chat itu?" Alina terpaku, dan suaranya tercekat. "Itu bukan aku, Kevin. Seseorang, seseorang sudah menjebakku. Itu pastinya akun palsu!" "Dan kamu pikir aku gampang dibohongi? Kamu pikir aku tipe cowok yang bisa dimainin buat popularitas, ya?" Air mata mulai menggenang di mata Alina. "Aku... aku nggak pernah berpikir sejauh itu. Aku cuma kagum sama kamu, Kevin. Beneran..." "Sayangnya, perasaan itu datang bareng kebohonganmu." Tanpa berkata lebih, Kevin melangkah pergi, meninggalkan Alina berdiri sendiri di sisi lapangan. Di Belakang Semua Ini... Dari balik jendela lantai dua gedung sekolah, Reva berdiri bersama geng-nya. Ia menatap Alina yang menangis di lapangan dengan senyum miring. "Langkah pertama berhasil. Liat aja, sebentar lagi, dia akan hilang dari radar Kevin. Selamanya." Apakah Alina akan bisa membuktikan bahwa dia tidak bersalah? Akankah Kevin membuka hatinya untuk kebenaran? Ataukah semua sudah terlambat bagi Alina?Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l