Kebencian memang bisa sangat merubah seseorang hingga tega melakukan apa saja demi keinginannya entah itu dengan cara salah ataupun benar. Setiap orang pasti memiliki alasan untuk melakukan sesuatu dan pasti ada sejarah yang membuat seseorang bisa menjadi pribadi seperti apa.
Setiap kejadian bukan hanya bisa merubah tabiat seseorang, tapi juga nasib, jodoh, cinta, dan kenangan. Pada akhirnya semua memang hanya akan menjadi kenangan meski entah kenangan mana yang akhirnya akan tersisa untuk diingat. Dari banyak kejadian sering kali cuma beberapa yang dapat membekas paling dalam. Perasaan Amanda untuk Evan, meski dia sudah tidak menemukannya lagi di mata seorang Dominic Rodriguez tapi sebenarnya ketika melihat pria itu meneteskan air mata dengan sisa napasnya yang tersendat Amanda pasti masih bisa melihatnya, melihat sedalam apa hati itu bisa bertahan dengan cinta dan kebenciannya. Amanda
YUK JANGAN LUPA VOTE
Amanda segera berlari ke toilet dan benar-benar muntah. Perutnya seperti baru di hantam tinju dan jantungnya berdentam-dentam. "Apa kau sakit?" tanya ibu Amanda yang ikut mengejar dan bantu memijit-mijit tengkuk putrinya. Amanda kembali tersengal muntah hingga otot perutnya mengejang tapi tetap tidak mengeluarkan apa-apa dari mulutnya. "Biar ibu ambilkan air." Amanda juga langsung meneguk air yang baru diambilkan ibunya kemudian duduk sebentar untuk menenangkan diri dan mengambil napas. "Aku harus menjemput Sisi!" kata Amanda setelah sedikit tenang. "Biar ayahmu saja jika kau tidak sehat," cegah ibunya tapi Amanda tetap
DELAPAN TAHUN YANG LALU. Begitu sampai di rumah Amanda langsung dikurung oleh sang ayah, ibunya menangis, Amanda ikut menangis. Amanda juga sedih luar biasa ketika melihat ibunya yang baru dia tinggalkan selama satu minggu dan tiba-tiba usianya nampak seperti lima tahun lebih tua. "Maafkan Aku Ibu." Amanda menangis didalam pelukan ibunya. "Yang penting kau sudah pulang." "Ayah sangat marah." Bahkan Amanda masih kembali menggigil jika ingat kemarahan ayahnya. "Ibu akan bicara pada ayahmu, yang terpenting sekarang kau sudah pulang, sudah ada di tengah kami lagi." Ibu Amanda memeluk gadis itu lebih erat. "Kau pergi seperti ikut membawa nyawa kami berdua."
Amanda luar biasa lega karena huru-hara itu akhirnya bisa dia atasi. Amanda tahu jika dirinya dan Evan tidak akan pernah mendapatkan restu bila tidak memaksa seperti tadi. Faktanya Amanda memang tidak bisa mengabaikan orang tuanya dan tidak bisa melepaskan Evan, jadi menurutnya ini solusi terbaik meski kelihatanya Evan juga syok ketika tiba-tiba harus menikahinya. Sekarang Amanda hanya tinggal mendapatkan maaf dari orang tuanya dan membuat mereka mau menerima Evan. Amanda masih sangat yakin jika dia akan tetap di maafkan dan Evan bisa membuat hati orang tuanya luluh. Amanda segera menghempaskan kembali tubuhnya di atas ranjang dan meluruskan kakinya yang masih nyeri berdenyut-denyut. Evan ikut menyusul masuk dan masih berdiri menatap Amanda ketika menyapa, "Hai ...!" Amanda mengangkat kepalanya sedikit untuk dapat menatap
Evan membawa Amanda pergi ke luar Jawa ke tempat yang tidak ada seorangpun mengenali mereka. Dengan uang di tabungannya Evan menyewa sebuah rumah petak kecil untuk mereka tinggali berdua. Selain terkenal sebagai kota Minyak sebenarnya kota Balikpapan juga tempat yang nyaman untuk tinggal, tidak terlalu sesak seperti ibu kota dan penduduknya juga cukup ramah. Amanda terlihat bahagia dan Evan berharap dengan merantau dia juga akan mendapatkan pekerjaan baru karena Amanda tidak mau ditinggal berlayar hingga berbulan-bulan. Evan juga tidak akan tega meninggalkan Amanda sendirian di tempat dia tidak memiliki saudara atau teman. Jadi satu-satunya solusi Evan memang harus segera mendapatkan pekerjaan baru. Uang tabungannya akan segera habis dengan biaya hidup yang sangat tinggi di kota minyak tersebut. Satu minggu setelah mereka tiba di Balikpapan, Evan langsung coba menghubungi beberapa
MASA DEPAN "Itu sudah bukan pernikahan lagi sejak kau pergi meninggalkanku!" "Bukan kau yang memutuskan!" tegas Dom berulang kali. "Kau tetap istriku selama aku belum menceraikanmu, kau tidak bisa menikah dengan pria manapun!" "Kau tidak bisa datang dan pergi sesuka hatimu. Aku sudah bahagia dengan keluarga yang kumiliki sekarang." Amanda juga tidak mau mengalah dengan tuduhan Dom yang bisa seenaknya. "Semua orang berhak melanjutkan hidup, lepaskan aku!" Rasanya seperti ada sesuatu yang harus Dom telan dengan kaku dari tenggorokannya ketika mendengar Amanda bicara seperti itu. "Siapa ayahnya?" Dom tetap kembali pada pert
DELAPAN TAHUN YANG LALU Bukanya Evan tidak ingin kembali pada Amanda. Evan sedang berada di sebuah bandara internasional di Istambul Turki ketika tertangkap dengan satu kilogram heroin di dalam tasnya. Terlibat kejahatan di negeri asing sama halnya seperti masuk ke dalam lobang neraka. Evan langsung diseret ke dalam penjara paling keji tanpa pengadilan, tanpa hak kewarganegaraan dan tanpa bisa membela dirinya sendiri untuk apapun. Padahal Evan masih tidak tahu bagaimana bisa ada barang haram tersebut di dalam tas bagasinya. Evan benar-benar merasa sedang tertimpa bencana atau dijebak utuk dibuang ke neraka. Evan dikirim ke penjara paling keji di kepulauan Yunani. Dia tidak melihat apa-apa selain pulau karang dengan benteng tebal dan sebuah menara mercusuar yang siap menembakkan peluru ke kepala siapa saja yang berani kabur dari tempat
'Jika kau melanggar aturan di masyarakat kau akan dimasukkan ke dalam penjara, tapi jika kau melanggar aturan di dalam penjara maka kau akan dibawa ke mari!' kurang lebih seperti itu penggalan yang pernah Evan dengar entah dari mana, dan di tempat seperti itulah dirinya sekarang, tempat orang-orang paling bermasalah dalam peradaban! Evan baru mengantri untuk mengambil jatah makanannya dan harus segera mencari tempat duduk karena semua napi harus tertib, mereka memiliki jam makan yang tidak panjang dan jatah sepuluh menit untuk mandi satu kali dalam sehari. Evan mendapatkan makanan dalam piring metal bersekat yang cuma berisi kentang rebus, wortel dan satu sendok daging giling, dia berjalan lebih dulu dengan Amir sedikit mengekor di belakangnya. Tiap pasang mata berpaling menatapnya dari masing-masing barisan meja dan kursi yang berbaris rapat. Rekan satu selnya Amir sudah memberi tahu j
Walaupun jejak luka di punggung Evan masih belum sempurna mengering dan masih berdenyut perih ketika ia gunakan untuk meregangkan otot tapi kali ini tidak ada yang berani mengejeknya lagi setelah pertarungan brutalnya tempo hari. Evan berjalan sendiri di antara lorong barisan kursi, ia sadar jika tiap pasang mata itu sekarang cuma berani saling berbisik dan diam-diam menatap punggungnya. Evan juga tidak menghiraukan para kepala tengkorak yang duduk bergerombol dan entah sedang merencanakan apa utuk dirinya, dia berjalan sambil melihat ke arah mereka, Evan tidak keberatan jika harus berkelahi lagi. Evan ingat pria seperti apa yang telah membesarkanya tanpa rasa gentar. Amir mengangkat telapak tangan untuk memangilnya. "Bagaimana lukamu?" tanya Amir setelah dua malam Evan sempat menggigil karena lukanya yang tidak diobati mulai meradang.