Terakhir kali aku ikut ujian, sekolah sempat mau dibom.Sumpah!Ceritanya panjang dan mengingatnya juga bikin dasar tenggorokanku gak enak.Intinya sih begini: meski aku dikenal hampir sesabar malaikat, tapi sebagai manusia biasa tentu aku masih punya batas.Dan, seperti yang kalian tau juga, kalau orang di sekitarku itu cuma terdiri dari dua tipe: kecoak tak bernilai atau para rubah berengsek.Jadi ya …Pembuatannya agak mudah, sih.Campurkan ini itu. Lihat panduan di internet. Dan tiba-tiba saja kau sudah semahir teroris—m-maksudnya jadi orang yang disegani teman sekelas.Nah, aku sih punya rencana brilian untuk mengulang hal yang sama kali ini.Tapi, aku terjebak di dunia antah-berantah. Dengan hukum alam yang jelas berbeda—lagian, emangnya ngubah pasir jadi senjata atau besarin tangan sesuka hati itu masih bisa dijelaskan pakai hukum fisika?“Tiga puluh menit lagi.”Gawat.Kacau.Meskipun Rose sudah mencekokiku dengan berbagai buku yang tebalnya hampir seribu halaman.Meski punya
Aku emang ngelakuin banyak kekeliruan.Awal dan puncaknya adalah terlahir sebagai putri dari dua beban masyarakat.Dan banyak lainnya.Karena, lagian, meski punya wajah sesempurna bidadari dan tabiat semulia malaikat, aku masih manusia yang akan selalu punya cela.Tapi, yang tadi itu bukan salah satunya—kurasa.Bentar.Kuingat dulu.Jadi, di mata uji ketiga celaka itu, kami kedapatan disuruh mengarang puisi bebas—padahal, seingatku nih akademi meski isinya cuma sekumpulan remaja tolol dan sepuh bau tanah kolot yang moralitasnya perlu dipertanyakan, seenggaknya mereka punya satu visi masuk akal: melahirkan generasi pemimpin bermartabat, bukannya pengangguran sok tau yang kerjanya cuma mendulang mimpi dan ngehalu.Belibet?Dasar pemalas merepotkan.Gini, biar kusingkat.Bukannya menyinggung, tapi penyair nyataanya gabungan antara parasit dan sampah.Tapi, well, sebagai orang yang udah profesional sejak dini, aku tetap kerjain.Walau itu perintah yang gak manusiawi. Walau itu instruksi y
Ya.Aku tau.Itu tindakan sembrono.Tempat berhenti kami adalah lingkungan antah-berantah.Kalau James punya sedikit kepintaran, mungkin aku yang udah jadi mayat.Tapi, apa yang kamu harapin dari rakyat jelata yang hidup ketika demokrasi belum populer?Seenggaknya, sekarang agak tenang sedikit dunia.Itu jalanan berliku yang jauh banget.Keluar hutan. Masuk hutan. Naik bukit. Turun pegunungan.Apa dunia ini punya semacam roh mistis pendengki yang suka menyesatkan, atau kusir gak gunaku emang buta jalan?“Sudah sampai, Nona,” sahut James begitu aku ingin melabraknya lagi.Hm. Nada barusan terdengar lebih formal, lesu, dan … takut?Aku tau sebagian besar cowok itu bego, tapi lebih bego lagi cowok zaman dulu.Aku turun tanpa disuruh dan tiba-tiba saja berhadapan dengan rumah hantu.Eh bukan, pondok angker.Eh bukan. Bukan.Bentar.Benar ini lokasinya?Kuambil petanya dulu.Benar, kok.Seakan membuktikan sekaligus menyanggah kecurigaanku, pintu bangunan nyaris runtuh itu terbuka dan dari
Ingat ketika kubilang semua ini hanyalah mimpi buruk yang kepanjangan?Kurasa begitu.Kurasa, awalnya, aku baru aja pulang dari jam lembur yang bikin otak hampir meledak.Bersama sejumlah orang-orang menyusahan yang mesti kusebut ‘kolega’ (dalam bahasa halusnya, sih: teman kerja, tapi mana sudi aku sebut mereka teman).Sekumpulan orang tolol yang cuma puas akan satu tujuan.‘Asal kebutuhan rumah cukup. Asal dapur masih ngebul. Asal besok masih bisa makan.’Cuih!Kuperingatkan, ya.Yang namanya ‘cukup’ cuma mitos.Cuma ada ‘kurang’ dan ‘kaya.Bakal selalu ada tuntutan lain. Bakal selalu ada kemalangan yang gak terduga.Mereka yang ngebatasin diri seperti itu cuma bakal jadi seonggok pion dalam papan catur yang lebih besar.Sesuatu yang gak signifikan.Sesuatu yang bakal disingkirin kalau udah gak berguna.Dan figuran kayak mereka berani berpikir untuk ngekritisin aku?Ya … bodo amat juga, sih.Pendapat mereka sama gak pentingnya kayak lalat di tong sampah. Dan itu juga bukan kejadian
Aku direndahkan.Diinjak-injak.Ditelanjangi.Oke.Yang dua awal itu emang gak terjadi secara harfiah, tapi yang ketiga iya.Pakaianku dilucuti.Kupikir itu sejenis sopan santun dan pengabdian klasik bawahan ke majikan—Rose juga bersikeras untuk memandikanku di ‘rumah’ dan mesti kubentak berkali-kali hingga akhirnya dia inisiatif berhenti.Tapi, enggak.Enggak ada air.Enggak ada sabun atau pembersih badan yang digunakan.Aku bahkan gak dituntun menuju kamar mandi.Ada prasangka kalau nyatanya tujuanku terbongkar—setelah mendengar omongan York yang selalu samar beberapa saat lalu, bisa kusimpulkan kalau si nenek sialan itu juga ketangkap.Itu kabar bagus.Aku bahkan sempet minta untuk dibawa ke tempat apa pun itu di mana si nenek ditahan.Biar bisa kulempar batu, kuukir wajahnya dengan kayu tajam, dan mencekiknya hingga hampir mati.Tapi, aku malah dilarang dan mereka berkata, “Itu gak penting, Nona. Kita akan melakukan hal besar hari ini.”Karena kata-katanya jadi terlalu menyenangka
“Saya rasa itu aja, Folkstein.”“Maaf?” Rasanya aku bahkan belum melakukan apa-apa.Yang kami lakukan selama sepuluh menit ini cuma bertukar kabar. Berbincang basa-basi yang tak mengarah pada apa pun, dan … selesai.“Itu aja?”Tuan Dylan mengangguk dan tersenyum. “Saya sungguh senang mendapati generasi muda kami sudah mempertimbangkan baik-baik bagaimana dia bisa berkontribusi pada masyarakat. Itu modal yang signifikan. Terutama untuk anda.”Dia membicarakan ‘berkah’ yang kumiliki.Tentu aja, ini sudah jadi rahasia umum di kalangan pelajar.Lebih-lebih, pria di depanku inilah yang ngasih Ayah surat rekomendasi eksklusif. “Itu berarti … saya lolos?”“Saya enggak bisa menjanjikan apa-apa.” Tuan Dylan berdeham. “Tapi, bisa dibilang, sejauh ini, hampir semua orang mendapat hasil impresif.”“Be-begitu …” Kata ‘tapi’ itu masih bikin aku gelisah. “Kalau saya … kalau saya lulus dari sini, apa Tuan bisa ngasih surat rekomendasi ke Guardian Dorm?Akademi Andromeda memang menjadi institusi pend
Aku salah.Sejak awal, seharusnya tak kuikuti arahan nenek sesat itu.Lagian, kalau dipikir-pikir, rasanya semuanya terasa sangat mustahil.Nyulik putri seorang bangsawan aja udah gila. Belum lagi mesti berurusan dengan para pedagang budak.Cih. Orang-orang berengsek gak bermoral itu.Tetapi, mesti diakui, untuk suatu pekerjaan kecil dan instan, hasilnya sangat menggiurkan. Maksudku, siapa yang bisa nolak?Dan ketika diberitahu, rencananya benar-benar tersusun matang.Kapan dia akan datang, bersama siapa, dan di mana kira-kira spot paling krusial untuk menyeludupkannya ke luar negeri.Prediksinya hampir akurat hingga terasa mengerikan. Seolah dia tahu dan sadar apa yang akan terjadi. “Katakan.” Suaraku mengalun serak.Entah udah berapa lama aku mendekam di sini.Dikerubungi kegelapan, tikus, kotoran, dan bau pesing; semua hal mulai terasa sureal.Wewangian tak sedap dan dingin yang mencekik membuatku tak bisa tidur.Apa Isabelle dan Anna juga ngalamin kemalangan yang sama.Dibiarin ke
Nyatanya, punya kuasa segede gaban, enggak berarti orang lain bakal nurut gitu aja.Iya, ini tentang proses ekskeusi orang-orang sialan itu.Ada pengadilan, sesuatu merepotkan bernama hak pembelaan diri, dan—ternyata—menghukum mati banyak orang bakal dipandang sebagai genosida—tindakan keji yang dibenci dewa dan segenap manusia.Sementara mereka mengglamorkan perang dan invasi.Dasar sekumpulan masyarakat munafik.Hambatan terbesar adalah anak-anak—di mana-mana, mereka ini emang menyusahkan.Anak dianggap sebagai keberadaan tak berdosa, mulia, dan tak pantas menanggung kesalahan orang tuanya.Cih!Aku enggak ngerti pemikiran orang-orang ini.Kalau kubiarkan mereka hidup sebatang kara, cuma bakal ada kesengsaraan yang menanti.Kelaparan. Kesepian. Ketidakpastian.Jika diganderungi hal mengerikan itu terus-menerus, kematian lebih nampak seperti suatu anugerah, ‘kan.“Bisa lebih cepet?” Selanjutnya, kuserahin aja perkara ini ke Lucian atau Alfie. Toh itu gunanya laki-laki, dan ada satu h