"Aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Naren was-was.
Sejak Ryo pulang ke rumah, Naren mengikuti ke manapun pria itu pergi. Sampai akhirnya Ryo sadar ada yang tidak beres dengan istrinya itu. Naren seperti menahan sesuatu di pikiran dan hatinya, Ryo pun segera bertanya pada Naren tentang keluh kesah yang dipendam saat ini.
"Mau bicara apa?" Ryo menuntun istrinya menuju sofa ruang tamu, tampak Naren semakin gelisah. Ryo mengusap pundaknya agar lebih tenang.
"Sebenarnya ini sebuah permintaan, tapi kalau Mas Ryo tidak setuju aku pun tidak memaksa," ucap Naren sedikit canggung. Ryo hanya mengangkat sebelah alisnya, pasti sesuatu yang berat sehingga membuat Naren begitu khawatir.
"Apa itu? Katakan saja!"
"Emm aku tadi mendengar ini dari temanku. Katanya agar kita bisa cepat punya keturunan kita coba adopsi anak sebagai pancingan." Naren menunduk lesu, dia takut membuat suaminya marah karena ide konyolnya ini.
Terdengar hembusan napas Ryo yang terasa berat, Naren mengulum bibirnya pasti suaminya akan menolak. Suami mana yang mau repot-repot membesarkan anak orang lain? Ini hanya sebuah usulan saja, jika tidak setuju seperti kata Naren sebelumnya dia tidak akan memaksakan kehendak. Karena pendapat Ryo juga sangat penting baginya.
"Baiklah, ayo kita coba." Ryo tersenyum lebar menghempas kegundahan di hati Naren.
"Benar kamu mau, Mas?"
"Iya," balas Ryo sembari menganggukkan kepala.
"Terimakasih Mas." Naren pun tak kalah bahagia, akhirnya dia bisa tersenyum lebar. Naren memeluk tubuh Ryo sangat erat, suaminya itu selalu mengusahakan apa yang ia mau. Naren beruntung bisa memiliki suami pengertian seperti Ryo.
Salah satu harapan bagi Naren untuk mewujudkan kebahagiaan rumah tangganya. Naren tahu bahwa Ryo juga menginginkan seorang anak walaupun suaminya itu tidak pernah berkata langsung, Ryo selalu memendamnya karena itu Naren ingin memberikan hadiah terindah untuk suaminya itu.
Tekanan-tekanan dari keluarga Ryo juga membuatnya frustasi, dia selalu sesak jika membahas masalah anak di hadapan keluarga Ryo. Bukan keinginannya seperti ini, takdir Tuhan yang memintanya untuk selalu bersabar menghadapi ujian rumah tangga ini.
"Oh ya Mas, kalau kamu ada waktu kita pergi ke rumah sakit yuk. Aku ingin memeriksakan diri, mungkin ada yang salah denganku," ujar Naren lagi.
"Kamu yakin sudah siap mendengar faktanya dari dokter nanti? Aku hanya tidak ingin kamu semakin sedih dan kecewa terhadap diri sendiri."
Naren menganggukkan kepala, dia sudah siap. Jika terus-menerus seperti ini tanpa tahu penyebabnya dia akan lebih kecewa karena tidak pernah berusaha maksimal. Nanti pun dokter akan membimbingnya dan memberikan solusi. Naren tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini walau harus mendengar kenyataan pahit.
Naren melakukan semua yang disarankan oleh teman-temannya. Tidak ada salahnya mencoba, Naren sudah berpikir beribu kali tentang solusi ini. Akhirnya dia memberanikan diri demi memiliki buah cinta.
"Tapi Mas kalau keluarga kamu tidak setuju bagaimana?" Ryo terdiam seperti memikirkan sesuatu. Yang Naren takutkan adalah respon dari keluarga Ryo.
"Besok kita ke rumah Ibu, kita minta izin orang tuaku. Niat baik tidak akan ada yang menolak."
Naren tetap tidak enak meskipun Ryo meyakinkannya. Naren takut dimaki lagi, mendengar makian itu membuat seluruh tubuhnya membeku. Ryo pasti bisa meyakinkan keluarganya, tujuan mereka mengadopsi anak pun juga baik. Selain itu jika ada anak kecil di rumah mereka akan lebih ceria dengan canda tawanya.
Naren menghembuskan napas panjang, dia harus kuat. Dia hanya butuh Ryo yang selalu mendukungnya. Naren tidak boleh menyerah.
"Sudah jangan khawatir." Ryo memeluk tubuh Naren lagi, hangatnya pelukan mampu membuat Naren tenang.
"Terimakasih ya Mas, kamu selalu menuruti kemauanku. Semoga setelah ini kita diberi momongan, aku juga ingin membuatmu bahagia."
"Hei, kamu pikir saat ini aku tidak bahagia?" Ryo menggelitik pinggang Naren.
"Aku tahu kamu pasti meginginkan anak kan Mas?"
"Siapa yang tidak ingin? Jika belum rejekinya sekarang, kita tidak bisa mendesak untuk segera hadir. Kita harus sabar dan berusaha lagi membuat dedek bayi."
Kedua tangan Ryo mengusap punggung Naren, seolah memberi sinyal untuk mereka berdua melakukan ritual malam sebelum tidur. Naren mencubit pinggang Ryo pelan, keduanya tertawa kecil. Disusul dengan kecupan-kecupan ringan dari Ryo di leher Naren.
"Dasar tidak sabaran," ucap Naren lalu membalas kecupan suaminya.
"Naren?" Naren menoleh ke belakang saat ada seseorang yang memanggil namanya. Naren membulatkan kedua matanya saat tahu siapa orang itu. Dia kikuk sendiri karena pakaiannya yang terbilang tidak cocok untuk bertemu dengan orang itu. "D-deo? Eh Pak Deo?""Sedang apa kamu di sini?" Wajah Deo terlihat panik melihat Naren memakai baju pasien. Deo mendekat dia ingin mengecek kondisi Naren, tetapi Naren mundur beberapa langkah memberi jarak diantara mereka berdua. "Seperti yang Bapak lihat." Naren menunjukkan selang infus di tangannya. "Apa yang terjadi?" Naren mengedipkan kedua matanya, Deo terlalu ingin tahu. Naren tidak nyaman karena ada Davin juga di belakang pria itu. Davin tampak waspada, sepertinya pria itu kebingungan dan menyimpan tanda tanya saat melihat Naren dan Deo seperti orang yang telah lama saling kenal. "Kamu sakit apa?" Deo membuyarkan lamunan Naren, Naren menggaruk tengkuknya dia bingung cara menjelaskannya. "Saya sakit, Pak.""Iya sakit apa?" Deo tidak sabaran, pr
"Sudah gila ya kamu," ucap Bu Ningsih dengan nada tinggi. Sesuai dugaan Naren, bahkan dia sudah bersiap diri untuk dimaki saat masih di rumah. Naren tidak banyak berharap dari keluarga Ryo karena pastinya mereka akan menolak permintaan Naren untuk mengadopsi anak. Naren hanya diam saat ibu mertua melemparinya sendok hingga mengenai pelipisnya. Ryo siap menghadang sayangnya gerakan lebih lambat dari sang ibu. Naren tetap diam, bahkan dia tidak mengeluh dan merintih padahal pelipisnya terluka. Naren sudah terbiasa diperlakukan buruk seperti ini. "Apa-apaan sih, Bu? Jangan sakiti Naren seperti itu!" Ryo tidak terima istrinya terluka, batin dan fisik Naren kini menjadi sasaran keluarga Ryo sendiri. Jika bukan Ryo yang membela Naren, siapa lagi? Karena itulah Ryo mati-matian melindungi sang istri dari keluarganya sendiri. "Mengapa bela istrimu terus?" Ibu Ningsih semakin tidak terima, amarahnya kian membuncah karena Ryo justru membentak ibunya sendiri. "Mulai berani kamu membentak ibu
"Aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Naren was-was.Sejak Ryo pulang ke rumah, Naren mengikuti ke manapun pria itu pergi. Sampai akhirnya Ryo sadar ada yang tidak beres dengan istrinya itu. Naren seperti menahan sesuatu di pikiran dan hatinya, Ryo pun segera bertanya pada Naren tentang keluh kesah yang dipendam saat ini. "Mau bicara apa?" Ryo menuntun istrinya menuju sofa ruang tamu, tampak Naren semakin gelisah. Ryo mengusap pundaknya agar lebih tenang. "Sebenarnya ini sebuah permintaan, tapi kalau Mas Ryo tidak setuju aku pun tidak memaksa," ucap Naren sedikit canggung. Ryo hanya mengangkat sebelah alisnya, pasti sesuatu yang berat sehingga membuat Naren begitu khawatir. "Apa itu? Katakan saja!" "Emm aku tadi mendengar ini dari temanku. Katanya agar kita bisa cepat punya keturunan kita coba adopsi anak sebagai pancingan." Naren menunduk lesu, dia takut membuat suaminya marah karena ide konyolnya ini. Terdengar hembusan napas Ryo yang terasa berat, Naren mengulum bibirnya past
"Lalu apa? Tuan?" Deo memandangnya sinis seolah Naren telah melakukan kesalahan besar. Tidak penting apapun panggilannya terhadap pria itu, Naren tidak salah sama sekali bahkan panggilan bapak itu adalah panggilan wajah dan biasa digunakan oleh semua orang. "Tuan Deo?" Braakkk...Deo tampak kesal, dia bangkit dan tiba-tiba mencengkeram lengan Naren. Semakin lama Deo menyebalkan, Naren menghempas tangan kekar itu dari lengannya. Entah apa mau pria itu, Naren hanya berusaha bekerja dengan baik, tetapi nyatanya dia tidak mendapatkan balasan positif. "Kalau begitu panggil saja seperti barusan."Naren menghela napas berat, "Memang seharusnya seperti itu, Pak." Naren membungkukkan badannya dan hendak pergi dari ruangan ini. "Saya pamit undur diri.""Naren."Naren menghentikan langkahnya, sebelah alisnya terangkat karena Deo memanggil namanya. Ternyata Deo masih ingat dengan nama panggilannya ini. Beberapa menit berlalu Deo masih diam, Naren terus menunggunya. Entah apa yang dipikirkan o
"Sudah datang, mereka sudah datang."Riuh dan bisikan dari beberapa karyawan menggema di telinga Naren. Selama bekerja di Briliant Company, untuk pertama kalinya dia dan seluruh karyawan di perusahaan ini menyambut sang CEO. Selama ini kehidupan di kantor begitu tentram dan damai. Namun, setelah ada isu digantinya CEO baru banyak rumor-rumor yang beredar. Identitas CEO lama yang selalu disembunyikan tak membuat Naren penasaran. Namun, CEO baru yang akan menjabat saat ini membuat Naren gelisah. Pasalnya Naren akan bekerja langsung di bawah tangan CEO baru itu. Naren mendengar pintu mobil dibuka oleh seseorang, dia masih tetap menundukkan kepala. "Selamat datang di Briliant Company. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Bagaimana perjalanan anda, Pak?" Tidak ada sahutan, semua orang hening dan tampak kaku. Benar dugaan Naren bahwa CEO baru itu berhati dingin. Naren masih tidak berani mengangkat kepalanya. Padahal yang berbicara dengan CEO baru itu adalah pejabat tinggi di
"Segera, dan secepatnya datang ke sini!"Naren yang mendengar suara tegas dari seberang telepon hanya bisa menganga lebar. Telepon pun diputus secara sepihak, Naren tidak bisa berkutik. Di dalam otaknya berpikir dan mengingat-ingat apa mungkin dia telah membuat kesalahan.Sayangnya, Naren sangat bersih. Dia mengajukan cuti karena sakit beberapa hari. Sebelum itu pun dia tidak melakukan kesalahan pada pekerjaannya. Namun, suara atasannya barusan seperti dia telah melakukan kesalahan besar. Naren buru-buru merapikan barang-barang, tak lupa dia merias diri meskipun masih tampak pucat. Ryo yang baru keluar dari kamar mandi pun tertegun karena sang istri terlihat sangat panik. "Kamu sudah mau masuk kerja?" Naren hanya menganggukkan kepala. Tidak ada waktu untuk berbasa-basi, sang bos bisa memecatnya jika Naren terlambat. "Bukannya sudah ajukan cuti? Kamu belum pulih.""Atasanku terdengar sangat marah." Naren menghentikan tangannya yang mengotak-atik tas. "Apa aku melakukan kesalahan?" N