Home / Horor / Desa Tanpa Suara / Bab 31: Pohon yang Bernapas

Share

Bab 31: Pohon yang Bernapas

Author: Rafi Aditya
last update Huling Na-update: 2025-09-06 20:19:16

Sosok tanpa wajah itu tiba-tiba membuka mulut bukan mulut manusia, tapi celah gelap yang merekah hingga ke telinga. Suara ayah Raka keluar dari dalamnya.

---

“Raka… pulanglah.”

---

Raka terpaku. Kakinya seolah membeku di tanah kering itu. “Ayah?” suaranya serak, bergetar di udara pengap.

---

Pria bermata abu meraih lengannya. “Jangan terlalu dekat.”

---

“Tapi itu…”

“Itu bukan ayahmu,” potongnya cepat. “Itu hanya… cangkang yang diisi suara milik ayahmu.”

---

---

Denyut kubah di atas kepala semakin cepat, seperti jantung raksasa yang dikejar waktu. Pohon hitam itu berderit, cabang-cabangnya bergeser mendekat. Aroma tanah busuk dan darah memenuhi udara.

---

Raka mencoba mundur, tapi tanah di bawahnya bergerak muncul retakan yang memancarkan cahaya merah dari dalam.

---

“Tempat ini tidak stabil,” ujar pria itu, matanya menyapu sekeliling. “Kita harus menemukan pusat pohon sebelum retakan ini memakan kita.”

---

“Bagaimana kau tahu di mana pusatnya?”

Ia menunjuk ke akar-a
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Desa Tanpa Suara   Bab 32: Desa yang Tidak Sama

    Raka tersentak bangun, paru-parunya seolah baru saja keluar dari dalam air. Tubuhnya basah kuyup, terbaring di tepi sungai yang mengalir pelan. --- Di seberangnya, pria bermata abu duduk, meremas rambutnya yang juga basah. “Kau hidup,” katanya tanpa menoleh. Raka berusaha duduk, kepalanya berat. “Kita… berhasil?” Pria itu terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Entahlah. Pohonnya memang hancur. Tapi…” ia mengangkat pandangan, menatap ke arah desa di kejauhan. “Lihat sendiri.” --- Kabut tipis menyelimuti desa. Dari sini, Raka melihat rumah-rumah berdiri seperti biasa, tidak ada tanda kebakaran atau retakan. Tapi yang membuat dadanya dingin adalah… semua pintu terbuka. “Sepertinya mereka sedang menunggu,” gumam pria itu. “Menunggu siapa?” “Kita.” --- --- Mereka berjalan menuju desa. Jalan setapak yang biasa dipenuhi suara burung kini sunyi. Di kiri-kanan, pepohonan tegak lurus tanpa goyangan, seperti enggan menyentuh angin. Begitu mereka memasuki batas desa, Raka melihat pend

  • Desa Tanpa Suara   Bab 31: Pohon yang Bernapas

    Sosok tanpa wajah itu tiba-tiba membuka mulut bukan mulut manusia, tapi celah gelap yang merekah hingga ke telinga. Suara ayah Raka keluar dari dalamnya. --- “Raka… pulanglah.” --- Raka terpaku. Kakinya seolah membeku di tanah kering itu. “Ayah?” suaranya serak, bergetar di udara pengap. --- Pria bermata abu meraih lengannya. “Jangan terlalu dekat.” --- “Tapi itu…” “Itu bukan ayahmu,” potongnya cepat. “Itu hanya… cangkang yang diisi suara milik ayahmu.” --- --- Denyut kubah di atas kepala semakin cepat, seperti jantung raksasa yang dikejar waktu. Pohon hitam itu berderit, cabang-cabangnya bergeser mendekat. Aroma tanah busuk dan darah memenuhi udara. --- Raka mencoba mundur, tapi tanah di bawahnya bergerak muncul retakan yang memancarkan cahaya merah dari dalam. --- “Tempat ini tidak stabil,” ujar pria itu, matanya menyapu sekeliling. “Kita harus menemukan pusat pohon sebelum retakan ini memakan kita.” --- “Bagaimana kau tahu di mana pusatnya?” Ia menunjuk ke akar-a

  • Desa Tanpa Suara   Bab 30: Sungai yang Berbisik

    Raka tersentak ketika sesuatu menyentuh kakinya di dalam air. Awalnya ia mengira itu hanyalah batu… sampai jari-jari dingin merayap di pergelangan kakinya. --- “Raka!” teriak pria bermata abu dari tepi sungai. Ia sedang memanjat batu licin, tangannya terulur. “Naik! Sekarang!” --- Raka meraih tangannya, tapi tarikan dari bawah semakin kuat. Air di sekitarnya mulai berputar, seperti pusaran yang muncul dari dalam dasar sungai. --- “Lepaskan!” Raka berteriak, tapi air memasuki mulutnya. Rasa pahit besi memenuhi lidahnya dan suara-suara mulai masuk ke kepalanya. --- “Tolong aku…” “Kembalikan suaraku…” “Jangan biarkan mereka…” --- Raka terhuyung saat pria bermata abu menariknya ke darat. Mereka jatuh bersamaan, napas keduanya memburu. --- “Apa tadi itu?” Raka memegangi kepalanya, suara-suara itu masih bergema. --- “Suara orang-orang yang diambil desa,” jawab pria itu datar. “Air ini menyimpan mereka. Sebagian mencoba memanggilmu… sebagian lagi mencoba menggantikanmu.” ---

  • Desa Tanpa Suara   Bab 29: Desa yang Menatap

    Raka tersentak bangun dengan napas memburu. Tubuhnya masih bergetar, meski ia tak lagi berada di lorong daging itu. Langit di atasnya berwarna kelabu pekat, awan bergerak cepat seperti sedang dikejar sesuatu. --- “Kita harus pindah sebelum malam turun,” suara pria bermata abu terdengar dari dekat api kecil. Ia sedang memanaskan air di dalam panci hitam, matanya terus menatap ke arah hutan. --- “Aku…” Raka mencoba bicara, tapi tenggorokannya terasa kering. “Itu… bukan mimpi, kan?” --- Pria itu menoleh sekilas. “Kalau kau masih bisa merasakan baunya, berarti itu nyata.” --- --- Raka menelan ludah. Aroma manis yang sama masih samar di ujung hidungnya, bercampur bau tanah basah. “Kenapa dia… pakai wajah ayahku?” --- “Karena dia tahu itu akan melemahkanmu. Makhluk itu tidak hanya memakan suara, tapi juga kenangan. Semakin kuat rasa ikatanmu, semakin mudah kau menyerahkan diri.” --- Raka menunduk, menggenggam pisau lipatnya erat. “Kalau begitu… dia akan mencoba lagi.” --- “Bu

  • Desa Tanpa Suara   Bab 28: Rumah yang Bernafas

    Raka berdiri terpaku di lorong daging itu. Dinding berdenyut pelan, seolah seluruh ruangan menarik dan menghembuskan napas bersamanya. --- “Apa ini…?” suaranya nyaris tak terdengar, tertelan gema aneh di udara. --- Sosok yang menyerupai ayahnya berjalan pelan, langkahnya nyaris tanpa suara di lantai yang basah. “Ini rumah kita yang sebenarnya. Kau lahir dari sini, Raka… kita semua lahir dari sini.” --- Raka menggeleng cepat. “Bohong. Aku lahir di rumah kayu di pinggir desa. Aku ingat jelas.” --- “Apa yang kau ingat hanyalah cerita yang mereka tanamkan,” ujarnya sambil menunjuk dinding yang berlapis urat. “Inilah ibu sejati kita. Dia memberi kita makan, memberi kita suara… dan bisa mengambilnya kembali.” --- --- Suara bisikan dari dinding semakin keras, bergabung menjadi nada rendah yang membuat dada Raka bergetar. Ia menutup telinga, tapi suara itu tetap meresap langsung ke pikirannya. --- “Kau dengar, kan?” tanya ayahnya. “Dia memanggilmu. Dia ingin tahu suaramu, agar di

  • Desa Tanpa Suara   Bab 27: Pilihan yang Memutus atau Mengikat

    Raka berdiri di antara akar-akar yang bergerak, napasnya berat. Di depannya, ibunya atau sosok yang menyerupai ibunya menatap dengan tatapan yang tak lagi ia kenal. --- “Ayo, Raka…” suaranya lembut, namun berlapis gema. “Hanya selangkah lagi, dan kau tak akan pernah merasa sendirian lagi.” --- Orang bermata abu menarik bahunya. “Jangan dengarkan. Itu bukan ibumu. Itu rumah yang bicara lewat tubuhnya.” --- “Diam!” Raka membentak, tapi matanya tetap tak lepas dari ibunya. “Kalau memang itu bukan dia, kenapa matanya menangis?” --- Sosok itu tersenyum. Air mata benar-benar mengalir di pipinya, tapi hitam pekatnya bola mata membuatnya lebih mirip tinta yang bocor daripada air. --- “Aku menangis karena rindu,” ujarnya pelan. “Kau dan aku bisa bersama di tempat yang tenang… tanpa rasa sakit, tanpa kehilangan.” --- Akar-akar semakin merapat, menutup jalan keluar. Suara retakan pohon terdengar dari dalam tanah. --- “Raka!” orang bermata abu mengeluarkan pisau panjang dari balik

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status