LOGINSemoga suka🥰🌶
“Maaf aku belum cerita semuanya ke kamu,” ucap Lusi ragu. Alis Aron terangkat sedikit. “Gak papa, Sayang. Gak semua aku harus tau. Tapi untuk masalah yang berbahaya, aku harus tau. Supaya aku bisa ngelindungin kamu." Ada banyak hal yang Aron harus tau. Ini tentang teror yang meliputi pesan-pesan ancaman. Ia sampai ketakutan setiap kali pulang sendirian. Lusi membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Aron memperhatikannya dengan saksama. “Kamu ragu.” Lusi mengangguk. “Aku nggak mau nambah beban kamu.” Aron tersenyum kecil, tapi tatapannya jelas memperlihatkan kalau ia ingin Lusi jujur padanya. “Sayang,” katanya pelan tapi tegas, “kita udah sah.” Lusi menatapnya. “Sekarang tuh nggak ada lagi istilah ‘aku merepotkan kamu’ atau ‘aku nambah beban kamu’,” lanjut Aron. “Kalau kamu capek, itu capek kita bersama. Bahkan ketika kamu takut, itu rasa takut aku juga.” Ia menarik napas. “Aku bukan cuma suami kamu di depan orang-orang. Aku juga tempat kamu pulang, tempat berlindung,
Lampu ruang rawat inap VIP itu redup, hanya menyisakan cahaya kuning lembut dari lampu dinding. Bau antiseptik bercampur dengan aroma teh hangat yang belum tersentuh di meja kecil dekat ranjang. Di luar, langkah perawat lalu-lalang, tapi di dalam ruangan itu, dunia terasa seperti berhenti. Lusi duduk di sisi ranjang Aron sejak tadi. Punggungnya bersandar kaku di kursi, tapi tubuhnya condong ke depan, seolah takut jika ia menjauh satu inci saja, Aron akan menghilang. Tangannya masih menggenggam erat tangan Aron. Seolah itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap waras. Monitor di samping ranjang berbunyi pelan, ritmenya stabil. Setiap bunyi bip itu seperti penegasan kecil bahwa Aron masih di sana, hidup, dan bernapas. Namun pikiran Lusi tetap kacau. Bayangan darah di jas hitam dan kemeja putih Aron tadi terus terputar di kepalanya. Suara tembakan, jeritan orang-orang, dan tamparan Evelyn yang panas di pipinya. Semua bercampur menjadi satu rasa sesak yang belum juga pergi. Telepon
Suara sirene ambulans memecah halaman Mansion yang tadinya begitu sakral. Ruang pernikahan yang semula sunyi dan khidmat kini berubah menjadi begitu kacau dan tegang. Keamanan menutup seluruh area, tamu-tamu dipisahkan, beberapa dievakuasi ke ruangan lain, dan resepsi otomatis ditunda. Tidak ada musik atau acara foto resmi seperti yang seharusnua ada. Yang tersisa hanyalah ketegangan, dan wajah-wajah pucat. Lusi duduk di lantai marmer, tubuhnya gemetar hebat. Gaun putihnya ternoda merah di bagian samping. Tangannya memegang jas Aron yang sudah dibuka setengah oleh tim medis darurat. “Pak, lukanya di pinggang kanan. Peluru tembus, tapi tidak mengenai organ vital. Kami harus segera bawa ke rumah sakit,” ujar salah satu paramedis cepat. Lusi mengangguk berkali-kali, tapi matanya tidak lepas dari wajah Aron. Aron masih setengah sadar. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya, tapi matanya tetap terbuka. Fokusnya hanya pada istrinya yang terus menangis. “Sayang…” s
Ruang pernikahan di Mansion itu berdiri megah sejak pagi, dijaga ketat oleh keamanan internal dan eksternal. Tidak ada papan nama besar, tidak ada foto calon pengantin yang dipajang. Semuanya dibuat sesederhana mungkin—terlalu sederhana untuk ukuran pernikahan seorang Aron. Namun justru karena itulah, suasananya terasa tegang. Para tamu datang dengan undangan eksklusif. Banyak orang penting, dan banyak bisikan-bisikan penasaran. Pertanyaan berputar di kepala hampir semua orang. "Siapa perempuan yang berhasil dinikahi Aron?" Nama di undangan hanya tertulis Lusiana T. Todak ada foto atau embel-embel keluarga besar, dan tidak ada kejelasan identitas. Dan itu membuat banyak orang penasaran, sekaligus curiga. Di ruang rias pengantin wanita, Lusi duduk diam. Gaun putih dengan sentuhan floral lembut membingkai tubuhnya. Hijab senada menutup kepalanya dengan anggun. Wajahnya tertutup masker renda tipis, sesuai rencana Aron dan Lusi. Ini demi keamanan. Tangannya dingin karena perasaan t
Sehari sebelum pernikahan, hari terakhir Lusi sebelum cuti. Ia cuti dengan alasan pulang kampung, padahal sudah hampir 10 tahun sejak orang tuanya meninggal ia tidak kembali ke kampung nenek dan kakeknya. Keluarganya itu juga entah datang atau tidak ke pernikahan yang mendadak itu. Awalnya Lusi tak bersedia mengundang mereka, tapi Aron tetap mengundangnya. Bagaimanapun, Lusi memiliki luka terhadap keluarga orang tuanya itu. Kedua keluarga dari pihak ibu dan ayahnya sama-sama tak tau malu, dan menjadi salah satu alasannya menderita. "Lusi..." Lusi terperanjat kaget. Ia tak menyadari ada seseorang yang memanggilnya sejak tadi. "Jangan ngelamun terus. Sebelum cuti, kamu harus selesaikan ini," kata sang manager. Lusi pun mengangguk. "Baik, Bu." Saat sedang fokus mengerjakan pekerjaannya, Ayu datang dengan ceria seperti biasa. Ia bahkan menitip rempah-rempah dari desa agar harganya murah. Ayu dan keluarganya tipe yang cukup suka mengonsumsi obat atau minuman herbal. D
Evelyn diam sejenak, sebelum berkata. "Kamu sedang dibutakan oleh cinta, Aron," ujar sang ibu. "Banyak perempuan kayak ular, dan dia salah satunya. Kamu mungkin gak tau apa-apa tentang dia." “Aku tau, Mi. Aku lihat bagaimana dia diperlakukan, bagaimana dia bertahan, dan aku lihat bagaimana dia tetap jadi dirinya sendiri, tanpa mengorbankan value yang ada dalam dirinya selama ini. Aku sangat tau dia, Mi." Evelyn terdiam, tapi sorot matanya tetap keras. “Kamu terlalu membela dia,” katanya. “Itu bahaya buat diri kamu sendiri, Aron.” Aron tersenyum tipis. “Ya aku yakin, itu bahaya karena aku gak bisa berhenti mikirin dia." Ia melangkah mundur, menyandarkan diri ke kursi kerjanya. “Mi, aku gak buta kali ini. Aku gak hanya tahu resiko dan konsekuensinya. Tapi aku juga tahu, kalau aku mundur sekarang cuma karena tekanan, aku bakal nyesel seumur hidup.” Evelyn menatap anaknya lama. Ada kemarahan di sana, tapi juga sesuatu yang lain, ketidakrelaan jika kehilangan kendali. “G







