Bab 4 Ambisi Anya
“Kamu itu apa-apaan sih, Ba. Jahat banget, tau nggak, sih!”
Heba menoleh, wajahnya menunjukkan raut bingung. Diana ada di depannya saat ini, entah kapan kakak iparnya itu datang tapi yang pasti dia tidak mendengar suaranya. Apa mungkin karena dia terlalu fokus pada lamunannya, ya?
Wajah Diana menatapnya dengan tatapan yang sangat tajam seolah dirinya sudah membuat kesalahan yang amat besar.
“Maksud Mbak apa? Perkara minjem duit? Kan, udah dibilang aku gak bisa minta-minta sama Mama,” sahut Heba malas, dia kemudian bangkit dan berjalan ke arah dispenser demi mengambil segelas air putih.
“Wah, enteng banget kamu ngomong. Pelit banget kamu sama kakak ipar sendiri, malah orang lain yang lebih baik sama aku. Ah, andai si Anya bisa jadi adik iparku, maka aku akan sangat bahagia,” balas Diana tajam.
Air minum yang baru saja melewati tenggorokannya membuat Heba mual, bahkan tenggorokannya terasa sakit saat ini seolah tengah ditusuk oleh banyak duri. Kalimat Diana tadi kembali membuatnya sakit hati, bagaimana bisa dia mengatakan hal itu dengan wajah biasa saja?
Dia mengharap Anya menjadi adik iparnya? Bukankah itu artinya dia sama sekali tidak menghargai Heba sebagai istri Nathan?
“Mbak, kalau ngomong bisa di rem dikit nggak, sih? Nggak pantes Mbak ngomong begitu sama aku, cuma gara-gara uang Mbak membandingkan aku sama Anya. Aku ini istri Mas Nathan, loh.” Heba menatap Diana dengan tatapan kesal.
“Lah, kalau kamu sadar status kamu itu istri adikku … ya kamu harus nurut waktu Mama nyuruh kamu minta uang ke Tante Anisa,” cibir Diana.
“Udahlah, aku gak mau bahas ini lagi. Kalau Mbak cuma mau ngomongin hal itu, aku menolak buat membahasnya. Aku juga udah nggak ada tenaga buat ngebahas status Mbak kemarin, mendingan Mbak pergi dari sini. Aku mau istirahat!” tegas Heba, namun raut wajahnya menunjukkan kelelahan yang amat sangat.
Dia baru saja selesai sholat dzuhur dan niatnya dia ingin duduk bersantai sementara menunggu kantuk datang, namun keinginannya untuk tidur siang pupus sudah. Diana datang mengganggu lamunannya, dan kini dia yakin kalau dia tidak akan bisa tidur siang.
“Heh, status yang aku buat itu seharusnya membuat kamu sadar. Kamu nggak ada hak buat marah ataupun tersinggung!” ujar Diana tajam.
“Pergi, Mbak. Aku mau istirahat!” balas Heba.
Dia hampir masuk ke kamarnya sebelum mendengar suara Diana.
“Gila, ya. Kamu itu jahat banget, pelit. Ipar minjem duit, kamu nggak kasih. Eh, sekarang kamu malah ngusir aku. Tadi kamu juga udah buat Anya sedih, bisa-bisanya kamu ngatain dia nggak punya Mama. Jahat!”
Heba menoleh, dia menatap Diana dengan alis yang terangkat tinggi. “Ah, ini perkara Anya? Karena itu Mbak sampai repot-repot datang ke sini buat nyeramahin aku?” tanyanya dengan alis yang terangkat tinggi.
“Anya itu dewi penolong aku, kalau kamu jahat sama dia aku nggak bakalan diem aja!” Diana mengacungkan telunjuknya.
“Terserah, deh. Mau aku jelasin juga percuma, toh, Mbak bakalan membela dia,” kata Heba santai. “Kalau keluar pintunya jangan lupa di tutup.”
Heba langsung masuk ke dalam kamar tanpa menghiraukan teriakan yang Diana keluarkan, dia lelah dan dia ingin istirahat. Dia tidak mau pusing dengan apa yang tidak dia lakukan, bodo amat jika orang menganggapnya jahat.
********
“Sumpah, ya. Tu anak makin lama semakin nggak ada otaknya!” Anya masuk ke dalam ruangan Luqman dengan wajah gusar.
“Kamu itu datang-datang malah marah-marah, kenapa, sih? Bukannya kamu ada janji sama Mamamu buat ke salon?” tanya Luqman heran.
Dia menghentikan pekerjaannya dan menatap anak semata wayangnya yang tengah menggerutu, setahunya Anya dan Anisa— istrinya, memiliki janji temu hari ini untuk pergi ke salon. Sebab istrinya memang selama tiga hari ini pergi ke Bali bersama teman-teman arisannya, dan tadi malam baru pulang.
“Itu dia yang jadi masalah, Pa. Aku lagi di cafe nunggu Mama, dan ketemu sama si Heba. Tu anak makin lama makin kurang ajar, deh. Bisa-bisanya dia ngatain aku nggak punya Mama, makanya dia berbagi sama aku.” Anya mengadu dengan wajah memerah menahan amarah.
“Halah, ngapain kamu pikirin? Toh, Mamamu itu sekarang udah jadi punya kamu, Sayang. Papa berani bertaruh, dia lebih sayang sama kamu ketimbang sama Heba,” sahut Luqman santai.
Dia tahu, hubungan Anisa dengan anak kandungnya itu tidak pernah akur. Bahkan Heba tidak mau tinggal bersama mereka setelah dia dan Anisa menikah, anak tirinya itu juga tidak pernah meminta apapun pada mereka. Yah, Luqman sih malah bersyukur.
Karena dengan itu Heba tidak akan menyusahkan, dan perhatian Anisa akan terfokus sepenuhnya pada Anya. Lihatlah sekarang, orang-orang mengira Anisa hanya memiliki satu orang putri dan itu adalah Anya, anaknya yang memang dari kecil sudah tidak memiliki Ibu. Sebab istrinya meninggal ketika Anya duduk di bangku TK dulu akibat penyakit kanker.
“Tapi, Pa—”
“Nya, kalau kamu uring-uringan hanya karena masalah sepele seperti ini, bagaimana Papa bisa mempercayakan perusahaan sama kamu?” tanya Luqman memutus protes yang akan Anya lontarkan. “Ini masalah sepele sekali, toh, kamu lebih segala-galanya dari Heba. Mama, perusahaan, semua harta Papa, akan kamu miliki. Jadi jangan gusar hanya karena masalah ini.”
Anya diam, dia membenarkan semua yang Luqman katakan. Namun, tetap saja dia masih kepikiran akan lancangnya kalimat Heba tadi.
“Nggak, Pa. Ada satu yang dia miliki, tapi aku tidak punya. Tapi tenang saja, hal itu juga akan menjadi milikku sebentar lagi,” gumamnya lirih.
********
Bab 134Memaafkan dan memilih melanjutkan hidup, adalah pilihan terbaik bagi Heba dan Noah. Semenjak datang ke rumah Anisa dua bulan lalu, hubungan mereka sudah semakin membaik. Perlahan tapi pasti, Luqman juga sudah bersedia untuk ditemui, meski pertemuan itu sendiri harus selalu diadakan di rumahnya.Soal Anya dan Nathan, mereka belum resmi bercerai. Anya yang sudah mendapatkan kewarasannya, mengatakan kalau ia memang sangat mencintai Nathan dan tak bisa melepaskan lelaki itu, meski Nathan sudah menghujaninya dengan berbagai macam pengkhianatan.Tak ada satu pun yang bisa membuat Anya berubah pikiran, termasuk Heba yang sempat datang ke rumah sakit jiwa untuk menjenguk kakak tirinya. Di sana, Anya malah berkata kalau Heba tak boleh mengurusi hidupnya. Maka dari itu, Heba tak pernah menemui Anya secara langsung, dan hanya menanyakan bagaimana kondisi perempuan itu melalui perawat.Sementara untuk rumah tangga Heba sendiri, semuanya berjalan lancar. Heba tengah menikmati hari-hari men
Bab 133"Kita ke rumah Mama Anisa sekarang," ucap Noah setelah Heba menceritakan ulang apa yang dikatakan oleh Anisa barusan."Tapi, Mas, gimana sama kita berdua?" tanya Heba bingung dan tak enak hati.Bukan hal yang aneh bagus kalau mereka sampai keluar dari hotel tengah malam begini. Apa kata orang? Semua orang yang melihat keduanya meninggalkan hotel dengan langkah tergesa, pasti akan berpikir macam-macam. Heba tak mau keluarga suaminya mendapatkan pandangan buruk karena masalah yang tengah dihadapi oleh Anisa."Masih ada malam-malam selanjutnya untuk kita berdua," jawab Noah dengan senyum.Noah berlalu, mengambilkan baju hangat serta sehelai kerudung untuk dikenakan oleh sang istri. Sementara itu, Heba masih diam di tempat. Ia tak mau merepotkan, tetapi mustahil juga andai dirinya pergi seorang diri ke rumah Anisa untuk melihat apa yang terjadi di sana."Ayo, Sayang," ajak Noah menggenggam hangat tangan sang istri, sehingga Heba mengangguk dan mengikuti langkah suaminya.Berjalan
Bab 132Kebaya putih gading yang dilengkapi dengan kerudung serta untaian bunga melati, berhasil membuat penampilan Heba begitu memukau. Heba tampil sangat cantik dan manglingi, membuat Kamila tak henti memotret sahabatnya dari berbagai sudut."Udahlah, Mil, aku malu," gumam Heba seraya menatap ke sekeliling yang diisi oleh seorang fotografer dan dua staf wedding organizer, serta seorang MUA yang memang disewa oleh Heba untuk mempercantik dirinya di hari paling membahagiakan ini."Sorry, Ba, aku gak bisa berhenti, habisnya kamu cantik banget!" Kamila kembali mengangkat layar ponselnya dan mengarahkan benda tersebut ke wajah Heba, kemudian kembali memotretnya.Jika disimak lebih jauh, Kamila ini memang sangat heboh dan tampak lebih sibuk dari sang fotografer. Heba sampai menggelengkan kepala. Kendati sudah meminta agar Kamila duduk saja, tetapi sahabatnya itu tak mendengar sama sekali.Kamila baru bisa duduk dengan tenang, saat pembawa acara di ballroom hotel meminta Noah untuk duduk d
Bab 131Suara tangis bayi mengakhiri perjuangan Anya yang sejak tadi mengikuti instruksi dari dokter yang membantu persalinannya. Perempuan itu memejamkan mata, merasakan lelah luar biasa karena ia telah melalui proses persalinan secara normal.Ya, Anya sejak awal kehamilan, Anya sudah bersikeras ingin melahirkan bayinya dengan cara normal, lantaran ia berpikir dirinya bisa dianggap sebagai seorang ibu sepenuhnya, jika menempuh cara tersebut. Padahal, proses apa pun yang dilalui oleh seorang ibu, tak bisa dibandingkan satu sama lain. Baik normal maupun caesar, keduanya sama-sama mempertaruhkan nyawa.Sementara di luar ruangan, Nathan sudah menunggu dengan perasaan sangat cemas. Ia tak bisa masuk ke dalam lantaran tak akan kuasa melihat banyak darah. Lelaki itu hanya menunggu seorang diri dengan sedikit rasa kesal, lantaran Ratih dan kedua saudaranya tak kunjung datang ke rumah sakit.Nathan telah berdiri. Ia ingin melihat bagaimana anaknya yang baru saja lahir. Sejenak ia mengintip, d
Bab 130Tinggal di sebuah rumah besar adalah kebahagiaan untuk Ratih dan keluarganya. Harapan mereka menjadi kenyataan. Berkat naiknya Nathan menjadi pemegang perusahaan, kehidupan mereka pun berubah secara drastis.Sekarang, Ratih dan dua anaknya tinggal di sebuah rumah yang letaknya berada di perumahan elit. Tak ada tetangga julid, tak ada tatapan iri, dan itu membuat Ratih semakin jumawa."Hari ini aku mau ke luar kota, Ma," ucap Diana pada sang ibu."Mau ngapain lagi? Kamu baru aja pulang," sahut Ratih menatap curiga pada putri sulungnya.Diana sering mengatakan kalau ia tengah mencoba untuk menjalin bisnis dengan temannya yang kaya raya. Sudah berbulan-bulan Diana sering pergi ke luar kota dengan alasan serupa, tetapi tak ada satu pun hasil yang terlihat dari kerja kerasnya itu.Ya, Diana membohongi ibunya. Ia tak pergi ke luar kota, melainkan malah bergabung dengan teman-teman barunya di sebuah klub malam. Di sana, Diana menghamburkan uangnya demi menyenangkan beberapa lelaki ya
Bab 129Seorang perempuan melihat datar kepergian Noah dan keluarganya dari rumah Anisa. Perempuan itu kemudian menutup kasar gorden panjang nan tebal, menyebabkan kamarnya menjadi temaram, padahal hari masih sore dan matahari masih menampakkan cahaya di atas langit."Heba udah bahagia," gumamnya seakan tak terima atas lamaran adik tirinya.Semua hantaran yang dibawa oleh orang tua Noah, jelas membuat Anya merasa iri. Dulu saat Nathan melamar dirinya, lelaki itu memang membawa banyak sekali barang mahal, tetapi uangnya berasal dari kantong Anya."Kenapa nasib Heba bisa jauh lebih baik daripada aku?" tanya Anya seraya hilir mudik di kamarnya.Tak seorang pun yang tahu, kalau rumah tangganya dengan Nathan kerap diterpa oleh ujian yang tak ada habisnya. Di awal pernikahan, sikap Nathan sangat baik dan lembut. Lelaki itu memenuhi semua keinginan Anya tanpa terkecuali.Akan tetapi, setelah Nathan memegang penuh perusahaan milik Luqman, suaminya itu menjadi dingin dan ketus. Nathan juga ser