Pembicaraan antara Yuksel dan Aaron ternyata berakhir baik. Serta Aaron orang yang bisa diajak tukar pendapat. Setidaknya itulah yang Aiden simpulkan. "Mungkin saat ini Kimberly masih di rumahmu, Tuan Aaron," ujar Yuksel memberi tahu."Ada keperluan apa dia ke rumah saya?"Yuksel menatap surat yang sudah hangus menjadi abu itu. "Karena dia tak kunjung mendapat balasan."Aaron membisu. Karena tak dibalas, sang anak justru menemui langsung untuk mendengarkan langsung. Sorot mata Aaron ikut membingkai kertas berwarna abu yang sempat menyita perhatian Yuksel itu."Bujuk Kimberly untuk tidak cerai," pinta Yuksel.Tepat seperti apa yang Yuksel katakan. Begitu kembali dari pertemuan rahasia. Aaron mendapati cerita dari pelayan, kalau Kimberly telah datang dan sekarang sudah pergi. Aaron terlambat sedikit dari perkiraan, padahal sudah memacu kereta kuda lebih cepat."Ayah!"Dari kejauhan, Rosalind mendekat. Dia berlari, namun tetap terlihat anggun. Meski melihat sang anak yang cantik luar bi
Selepas makan malam. Kimberly dan Yuksel berada di depan labirin ajaib. Kimberly melotot, ada apa dengannya? Kenapa ia menurut saja dibawa ke labirin. Padahal harusnya menolak."Aku sedang tidak enak badan," tolaknya membuat Yuksel melirik."Bisakah kita jalan-jalan saja di sekitar taman? Taman yang jauh dari labirin," lanjutnya.Meski kelihatannya, Yuksel enggan untuk pergi dari area labirin. Tapi, begitu melihat sorot matanya yang dipenuhi kebimbangan. Yuksel mengangguk mengerti dan mulai menggenggam tangannya.Netra Kimberly membingkai tangannya. Ah, ternyata tangannya lebih kecil dari Yuksel. Hingga tatapan begitu fokus pada sarung tangan yang membalut kulit suaminya. Pernah ia melihat langsung tangan yang putih pucat itu."Sejak kapan kau memakainya?" Pada akhirnya, Kimberly penasaran.Yuksel menoleh. "Memakai apa?""Sarung tangan.""Pastinya aku tidak tahu, tapi kalau tidak salah saat kecil. Ketika seluruh pelayan di kediamanku mati satu persatu."Sontak, Kimberly langsung menol
Malam yang dihuni gonggongan anjing. Yuksel terus saja tersenyum, sembari tangan sibuk mengelus wajah Kimberly dengan balutan sarung tangan. Di atas ranjang, pria itu jelas tak ingin membuat Kimberly menghadapi maut untuk kedua kalinya.Namun, sorot mata Yuksel menjadi serius. Tepat ketika terdengar ketukan pada pintu yang lumayan sopan itu. Meski begitu, tetap saja membuat Yuksel kesal. Terburu, Yuksel menuruni ranjang hanya untuk membuka pintu, sebelum keributan sederhana itu membangunkan Kimberly dari tidur."Kenapa kau tengah malam begitu mengganggu?" celetuk Yuksel begitu menemukan Aiden."Grand Duke, kakak--""Kau mau memberi tahu, kalau Rosalind telah kembali ke kediamannya?" tebak Yuksel sekaligus memotong pembicaraan."Benar sekali Tuan."Yuksel menarik napas kesal, sang pengawal satu ini selalu saja ketinggalan informasi. "Ya. Wanita itu bahkan datang langsung ke sini, dengan dalih ingin bertemu Kimberly."Seketika wajah Aiden menunjukkan keterk
Kimberly melihat sebuah pena kecil yang ketika ditekan, akan berubah menjadi tongkat. Jelas Kimberly kaget dengan perubahan yang tiba-tiba ini. Sementara Yuksel mengambil alih tongkat dari tangannya."Ini lebih disebut alat melarikan diri ketimbang alat sihir," ujar Yuksel membuat Kimberly penasaran."Alat melarikan diri? Bagaimana cara kerjanya."Mata Yuksel menyipit. "Aku tidak akan mengajarimu cara kerjanya."Mendengarnya Kimberly langsung berdecak kesal. Salahnya telah membuka hati dan mulai memandang pria ini baik. Tentunya sifat tidak bisa diubah, Yuksel tetaplah pria yang menyebalkan."Kalau begitu malam ini tidak usah ke labirin," ancamnya.Rupanya berhasil, sampai membuat Yuksel menyentuh tangannya. "Bagaimana bisa begitu? Kau yang sudah menjanjikannya padaku, mana boleh ingkar."Kimberly mendelik kesal. "Kalau begitu segera beri tahu aku cara menggunakannya.""Aku tidak mau karena takut, kalau kau tahu kemungkinan kau akan menggunakannya untuk lari dariku."Mata Kimberly men
Kimberly mengangkat gelas kecil berisi teh. "Tuan Yuksel jangan bercanda.""Aku sama sekali tidak bercanda."Saat itu juga, Kimberly yang menyesap teh langsung tersedak. Tepatnya atas ucapan dari Yuksel yang dianggapnya omong kosong, rupanya sebuah keseriusan. Yuksel ingin menjadikan Kimberly sebagai Grand Duchess. Posisi yang kosong selama bertahun-tahun."Sudah seharusnya istri dari Grand Duke mendapatkan gelar Grand Duchess," ujar Yuksel masih terdengar serius."Itu berlaku hanya jika kau memiliki satu istri saja," sahutnya berusaha mengingatkan.Gelar Grand Duchess tidak bisa mudah didapatkan begitu saja. Meski Kimberly tetap memiliki darah bangsawan, tapi mendapatkan gelar itu melalui pernikahan dirasa kurang pantas. Apalagi mengingat istri Yuksel ada banyak, tentunya ada banyak anggota yang bisa menjadi nyonya rumah."Aku akan menceraikan mereka semua," ujar Yuksel.Kali ini bukan Kimberly yang tersedak, tapi Aiden. Bahkan terbatuk cukup lama karena ucapan dari Yuksel. Membuat m
Yuksel semakin berlari terburu. Apalagi ketika melihat di depan kamar Kimberly ada beberapa pelayan. Yuksel langsung membuka pintu dan terenyuh, begitu melihat Kimberly yang ternyata masih belum terbangun dari tidur. Di sudut lantai samping ranjang, terlihat Emma yang menangis tersedu. Seolah benar-benar telah kehilangan sang nyonya. Langkah kaki Yuksel sedikit tertatih, ketika menghampiri Kimberly."Istriku," sebut Yuksel dengan nada sendu.Dalam beberapa langkah yang sulit. Yuksel telah berhasil melewati Emma dan duduk di tepi ranjang. Terburu mengambil tangan Kimberly dan merasakan denyut nadi yang sangat lemah.Saat itu juga. Semua kesedihan dalam diri Yuksel perlahan lenyap. Pria itu terburu bangkit dari ranjang dan mulai mengusir Emma dengan tangan sendiri. "Tuan! Biarkan saya tetap di sisi Lady, sampai Lady dimakamkan," rengek Emma yang diseret paksa oleh Yuksel untuk keluar."Kimberly tidak meninggal, tutup mulutmu dan hapus air matamu."Emma telah berada di luar kamar. Tepa
Mata Kimberly membulat sempurna. "Hamil?"Yuksel langsung tersenyum lebar. "Iya istriku."Namun, senyum pria ini perlahan luntur begitu mendengar pertanyaan darinya. "Bagaimana bisa?"Yuksel yang semula duduk di kursi. Memutuskan untuk berpindah dan duduk di atas ranjang, di sisinya. Mata menatap Kimberly sangat serius."Kenapa bisa pertanyaan itu keluar dari mulutmu Sayang? Bukankah harusnya sudah berapa minggu?"Kimberly mengerutkan dahi. "Bukan, maksudku. Aku sejak kecil sakit-sakitan, tubuhku sudah lemah. Sejak dulu didiagnosis tidak bisa memiliki anak."Mata Kimberly saling bertatapan dengan Yuksel. "Makanya aku heran."Begitu mendengar ucapannya. Yuksel tersenyum, padahal pria itu sepertinya terlihat ingin memberi tahu. Bahwa Kimberly bisa hamil karena melakukan hal itu dengan Yuksel.Tangan Kimberly kembali digenggam, bahkan kali tersebut dikecup sangat lembut oleh Yuksel. "Itu anugerah, jadi jangan meragukan kehadiran anak kita, istriku."Bibirnya langsung tersenyum. Tentu saj
Selesai diintrogasi oleh pangeran kelima. Madam Ane terlihat keluar dari sana dan bertemu dengan Arabella yang sedang berjalan mendekat. Wanita dari kerabat kerajaan ini nampak menatap Madam Ane dengan sinis, apalagi Madam Ane yang terang-terangan mendukung Kimberly."Minggir, kau menghalangi jalan Nyonya," bahkan pelayan di bawah Madam Ane pun bersikap kurang ajar.Namun, Madam Ane terlihat tak ingin berurusan dengan Arabella. Wanita yang dinikahi tapi hanya dijadikan pajangan di kediaman utama, sama seperti wanita lainnya yang ditempatkan oleh Yuksel di kediaman kedua."Ayah."Baru saja memasuki ruang kerja pangeran kelima. Arabella langsung menyebut dengan manja dan berlari kecil. Hal itu membuat Madam Ane yang masih belum sepenuhnya pergi menyeringai."Tuan Yuksel tidak salah memilih calon nyonya, dia sangat jauh dari kata layak menjadi nyonya rumah," gumam Madam Ane sembari meninggalkan ruang kerja pangeran kelima.Begitu melihat Arabella masuk. Pangeran kelima nampak langsung me