Ne trouvant plus d'échappatoire, Chloé Dumont a donc passé un accord avec la mère de Lucien Bernard. Elle a fini par épouser Lucien. Pendant trois ans de mariage, Chloé était douce, obéissante, supportait tout sans jamais se plaindre. Elle est allée même jusqu'à aider Lucien — paralysé des jambes et au caractère explosif — à se remettre debout. Elle pensait naïvement qu'ils pourraient continuer à vivre ensemble, malgré tout. Mais c'était sans compter sur le retour de Jeanne Laurent, la femme qu'il avait toujours aimée. Un jour de pluie torrentielle, sans une hésitation, il l'a abandonnée, trempée et misérable, pour aller chercher Jeanne. Par la suite, il a inventé un déplacement professionnel… alors qu'il emmenait Jeanne à un concert. Pire encore, il l'a ramenée chez eux, flirtait ouvertement devant Chloé… Déçue encore et encore, Chloé a fini par prendre une décision : divorcer. ... La prochaine fois que Lucien recroisait Chloé, c'était à une soirée mondaine. Son ex-femme — autrefois terne et insignifiante — portait une robe de haute couture, elle était rayonnante, gracieuse, d'une élégance à couper le souffle. Mais ce qui le rendait fou de jalousie, c'est qu'elle ne le regardait même plus. Elle souriait à un autre, riait doucement dans ses bras. Il l'a coincée dans un coin de la salle, le regard noir : « Chloé, qui t'a permis d'être avec un autre homme ? » Elle l'a giflé sans hésiter : « C'est qui ce chien qui me colle ? Dégage, ou je porte plainte pour harcèlement sexuel ! » ... Chloé déménageait dans un nouvel appartement et faisait la connaissance d'un voisin calme et bienveillant. Cet homme s'appelait Xavier Marchand. Il lui apprenait à faire confiance, à s'appuyer sur quelqu'un. Avec lui, elle devenait presque une enfant qu'on protège. À chaque obstacle, il était là, toujours présent, solide comme un roc. Leurs rendez-vous, ses déclarations, la demande en mariage, même les moindres détails du mariage… Xavier s'en occupait, tout était pensé pour elle. C'est là que Chloé comprenait : Être aimée, chérie, portée dans le creux de la main par quelqu'un… c'est ça, le vrai bonheur.
View MoreAku tidak percaya, ternyata tubuh mertuaku jauh lebih nikmat daripada istriku sendiri. Malam ini, akhirnya aku bisa melepaskan hasratku dengan Mama Siska, ibu mertuaku sendiri.
"Enak banget Ma, semakin lama rasanya semakin nikmat." Aku tidak berhenti menggoyang mertuaku di atas kasur. "Kamu juga sangat perkasa Raka, Mama sampai kewalahan. Kamu memang luar biasa, ayo Raka bikin Mama puas!" Desahnya, badannya bergetar. "Siap Ma, akan kubuat Mama puas. Kita main sampai pagi Ma, Mama mau kan aku goyang sampai pagi?" "Mau banget Raka, Mama pasrah apapun yang kamu lakukan." Istriku berselingkuh dengan pria lain, maka dari itu aku membalasnya, berhubungan dengan Ibunya.**
Hujan deras mengguyur malam itu, menciptakan simfoni yang seharusnya menenangkan. Tapi tidak untukku. Aku terjaga di atas ranjang, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berantakan, seperti hujan yang mengguyur tanpa henti. Seharusnya di sebelahku ada istriku yang menemaniku, di saat cuaca dingin begini aku hanya bisa memeluk guling. Aku sudah membayangkan bisa bercinta semalaman dengan istriku, padahal baru beberapa hari saja kita resmi menjadi suami-istri. Memang di saat malam pertama pernikahan kita, aku sudah bercinta dengannya semalaman suntuk tanpa henti. Sekarang benda pusaka ku ingin memuntahkan lahar panas nya, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Aku punya nafsu yang tinggi, apalagi cuaca dingin begini, semakin besar keinginanku untuk bercinta. Ponsel di tanganku masih menyala, menampilkan pesan suara dari Tiara. "Sayang, jangan lupa makan ya. Mama pasti bakal perhatian sama kamu, jadi gak usah khawatir." Suara Tiara terdengar lembut, tapi ada sesuatu yang terasa jauh. Aku menarik napas panjang sebelum membalas. "Iya, hati-hati di sana." Setelah hampir seminggu Tiara pergi dinas ke luar kota. Awalnya, aku pikir tidak masalah tinggal sendiri di apartemen. Tapi dia bersikeras agar aku tinggal di rumah orang tuanya. "Biar Mama bisa nemenin kamu. Lagian, kamu belum terlalu akrab sama Mama, kan?" Dan di sinilah aku sekarang. Di rumah yang bukan rumahku, di bawah atap yang sama dengan seorang wanita yang… semakin sulit untuk tidak kupikirkan. Bu Siska. Bukan ibu kandung Tiara, tapi ibu tirinya—dan itu seharusnya tidak membuat perbedaan. Tapi, entah kenapa, aku mulai melihatnya dengan cara yang tidak seharusnya. Ibu Siska terlihat sangat cantik, badannya seperti gitar spanyol, kulitnya putih mulus dan senyumnya itu rasanya mengajak untuk berbuat maksiat. Aku menggeliat di tempat tidur, mencoba mengabaikan kegelisahan pikiran kotor yang mulai merayapi pikiranku. Tapi rasa lapar memaksa aku keluar kamar. Langkahku di lorong terasa lebih berat dari biasanya, mungkin karena pikiranku yang tidak tenang. Begitu tiba di dapur, aku langsung melihatnya. Bu Siska. Ia berdiri di dekat meja makan, hanya mengenakan gaun tidur satin berwarna biru muda. Kain halus itu membalut tubuhnya dengan pas, menyoroti lekukan yang masih terjaga di usianya yang menginjak 42 tahun. Bahunya terbuka sedikit, memperlihatkan kulitnya yang masih kencang dan mulus, seperti wanita yang jauh lebih muda dari usianya. Rambut hitamnya tergerai santai, memberi kesan liar namun tetap elegan. Mataku tertuju pada buah dadanya yang lumayan montok, saat dia menata piring rasanya buah dadanya akan tumpah. Aku buru-buru mengalihkan pandangan, tapi terlambat. Ada sesuatu yang menancap di benakku. Sesuatu yang mengusik. Astaga, ini ibu mertuamu sendiri, Raka. Fokus. Namun sebelum aku bisa merapikan pikiranku, ia menoleh dan tersenyum. Senyum yang lembut, tapi ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat. "Raka, ayo makan dulu," ajaknya dengan suara yang hampir seperti bisikan. Aku mengangguk dan duduk di meja makan. Dia menuangkan sup hangat ke dalam mangkukku, aroma rempah dan jahe menguar, menyebarkan kehangatan di ruangan yang terasa semakin sempit. Entah kenapa rasanya Bu Siska, seperti sengaja menempelkan buah dadanya pada wajahku. Hingga tercium aroma parfum dan body lotion nya, yang membuat pedang pusaka ku berdenyut-denyut. "Tiara pasti sering masakin kamu, ya?" tanyanya, matanya menatapku lebih lama dari seharusnya dan dia meremas buah dadanya sendiri seperti sengaja. Aku menelan ludah. Senyum itu… tidak seperti senyum ibu mertua pada menantunya. Kenapa juga dia harus meremas buah dadanya sendiri di depanku. "Iya, Ma—eh, Bu," jawabku, buru-buru memperbaiki panggilan. Mama Siska terkekeh pelan, suara tawanya renyah, hampir seperti godaan. "Mama aja nggak apa-apa. Toh, kamu memang anak Mama sekarang." Aku ikut tertawa kecil, mencoba tetap tenang. Tapi saat aku hendak mengambil sendok, tangannya tanpa sengaja menyentuh tanganku lagi. Sekilas, itu mungkin hanya kebetulan. Tapi kehangatan yang tertinggal di kulitku bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Aku meneguk air putih, mencoba menenangkan diri. Setelah makan, aku beranjak ke wastafel untuk mencuci tangan. Saat aku hendak kembali ke kamar, suara Mama Siska menghentikan langkahku. "Raka," panggilnya pelan. Aku menoleh. Ia berdiri di lorong, bersandar di kusen pintu kamarnya, satu tangan terangkat menyentuh kayu, tubuhnya sedikit miring. Gaun tidurnya tampak lebih pendek daripada tadi, memperlihatkan pahanya yang mulus di bawah cahaya redup. Aku menahan napas. "Kalau butuh sesuatu… jangan ragu panggil Mama, ya?" Dia mengedipkan mata sambil mengigit bibirnya. Suaranya begitu lembut, hampir seperti bisikan di telinga. Seakan ada sesuatu yang ingin ia sampaikan lebih dari sekadar kata-kata. Aku hanya bisa mengangguk. "I-iya, Ma." Ia tersenyum tipis, sebelum masuk ke kamarnya dan menutup pintu perlahan. Aku diam di tempat, jantungku berdegup lebih cepat dari seharusnya. Tidak. Ini pasti cuma pikiranku saja. Tapi saat aku berbalik, mataku tak sengaja menangkap pantulan di kaca jendela ruang tamu. Pintu kamar Mama Siska belum benar-benar tertutup. Masih sedikit terbuka… cukup untuk kulihat sepasang mata yang mengawasiku dari celah itu. Aku merinding. Aku segera berbaring di kasur, menarik selimut dan berharap segera pagi. Tapi ternyata aku tidak bisa tidur, pikiranku terbayang wajah Mama Siska apalagi saat dia meremas buah dadanya. Gara-gara memikirkan Mama Siska, membuat gairahku naik. Seketika benda pusaka ku langsung mengeras, sampai terlihat jelas di dalam celanaku. "Ssshhh aaahhhh...." Tiba-tiba terdengar suara aneh, aku turun dari ranjang dan mencari sumber suara itu. Aku membuka pintu dan ternyata pintu kamar Mama Siska masih terbuka, suara itu semakin terdengar jelas. Sekarang aku tau jika itu suara Mama Siska, dia sedang mendesah membuat kerongkonganku mendadak kering. Aku berjalan secara perlahan, sampai berada di depan kamar Mama Siska. Aku mengintip di balik tembok melihat ke dalam kamarnya dan betapa terkejutnya aku, melihat Mama Siska berbaring tanpa sehelai benangpun. Tangan kirinya membelai lembah terlarang nya, dan tangan kanannya meremas buah dadanya. "Ahhh enak Raka, terus sayang.... !" Nafasku terasa sesak, mungkin aku salah dengar. Jantungku berdebar kencang, rasanya udara semakin panas dan keringat menetes di dahi ku. Di tambah lagi benda pusaka ku malah makin keras, apalagi melihat tubuh Mama Siska yang aduhai. "Masuk Raka, jangan ngintip!" Aku semakin terkejut, rupanya Mama Siska tau jika aku sedang ngintip. Akhirnya aku menampakan diri, aku berdiri sambil menatap Mama Siska yang masih berbaring telentang dengan begitu menggoda. "Kamu gak bisa tidur ya? Ayo sini tidur sama Mama!" Aku harus melawan antara nafsu dan status. Dia mertua ku, tidak mungkin jika aku mengkhianati istriku sendiri. Tapi nafsu mengalahkan segalanya, aku tidak peduli yang jelas malam ini harus di lampiaskan. Aku sudah tidak kuat menahannya, dalam beberapa hari ini. Sedangkan di depan mataku, terdapat kenikmatan surgawi yang sudah menantang ku. Aku tidak akan menyia-nyiakannya, aku butuh pelampiasan. "Raka...... Raka.... Raka.... !" Suara itu semakin terdengar jelas, hingga aku membuka mataku. "Tokkk.... Tokkkk.... Tokkkk... Raka... Raka... Bangun!" Itu suara Mama Siska, ternyata semuanya hanya mimpi. "I-iya Ma, aku sudah bangun." Jawabku gelagapan. "Mama tunggu di meja makan ya?" "Iya Ma," Aku segera berlari ke kamar mandi. Gara-gara memikirkan Mama Siska, membuatku bangun kesiangan.Vivian se tenait à proximité, profondément troublée et amère.À l'origine, elle avait espéré épouser Xavier.Mais finalement, elle ne pouvait qu'en épouser un autre.Chloé était tout aussi stupéfaite.Elle ne s'était pas attendue à ce que Vivian fût avec Évrard, et encore moins à ce qu'ils se préparent à se marier.Madame Martin a aperçu Chloé et a ricané avec dédain, « Soline, est-ce la compagne de Xavier ? Je pensais que tu méprisais Vivian, imaginant que tes critères étaient extrêmement élevés. Je ne savais pas que tes goûts en matière de belle-fille étaient plutôt ordinaires. »L'expression de Madame Marchand s'est assombrie à cette raillerie, puis elle a répliqué avec une fermeté protectrice : « Chloé est vraiment exceptionnelle, belle et généreuse. Je suis reconnaissante qu'elle accepte d'être avec Xavier. »Madame Martin a retroussé les lèvres avec mépris. « Est-elle vraiment si exceptionnelle ? Que pourrait-elle bien apporter à Xavier par le mariage ? »Madame Marchand
« Pourquoi devrais-je être celle qui parle ? Tu ne peux pas le dire toi-même ? » Vivian n'arrivait tout simplement pas à persuader ses parents, alors elle avait pensé demander à Évrard de jouer le méchant pour convaincre les aînés.Évrard lui a lancé un regard mécontent. « Avec le tempérament de mon père, si je pouvais le convaincre, je ne serais pas ramené de force à Paris. »Lui et Vivian étaient en fait dans le même bateau : tous deux étaient dépourvus de moyens de vivre de manière indépendante, donc ils étaient contraints de compter sur la protection de leur famille.Sans leurs familles, ils n'étaient rien.C'est pourquoi ils ne pouvaient pas décider eux-mêmes de leur mariage.La perspective d'épouser Vivian à l'avenir s'est imposée à l'esprit d'Évrard comme une condamnation. Cette pensée lui a paru si atroce qu'il ne pouvait réprimer un geste d'exaspération pure, tirant avec force ses cheveux avec ses doigts comme pour en chasser l'idée même.« Non. Je ne peux absolument pas
Vivian a été soudainement envahie par un mauvais pressentiment. Elle s'est empressée de déclarer : « Ce n'est pas la peine. C'est simplement mon estomac qui me joue des tours. Je vais prendre congé maintenant, chère Soline. Je repasserai vous voir dans quelques jours. »Sur ces mots, elle a précipitamment quitté la résidence des Marchand.Madame Marchand a regardé sa silhouette s'éloigner, quelque peu perplexe.Elle s'attendait, comme à l'accoutumée, à ce que Vivian persiste dans ses tentatives habituelles. Mais, à sa grande surprise, celle-ci est partie précipitamment, sans un regard en arrière.…Vivian s'est alors rendue à l'hôpital.Lorsque les résultats des tests sont tombés, elle a eu l'impression que son cœur venait de se briser en mille morceaux.Elle était enceinte ?Elle était réellement enceinte.C'était impossible.Elle et Évrard n'avaient été ensemble qu'une seule fois.De plus, elle ne voulait absolument rien avoir à faire avec ce gredin.Malgré les arguments d
Vivian s'est figée en entendant ces paroles.Le repas raffiné avait été méticuleusement planifié, entièrement adapté aux préférences de Chloé ?Soline avait vraiment accepté Chloé sans réserve ?C'est incroyable.La situation familiale de Chloé ne pouvait pas rivaliser avec la sienne, et étant divorcée, comment tante Soline aurait-elle pu l'accepter si facilement ?Elle a serré les mâchoires, frustrée et réduite au silence.Yasmine s'est tournée vers Chloé et a déclaré : « Maman est ravie depuis des jours à l'idée de ta visite. Elle a revu le menu d'innombrables fois, y mettant tout son cœur et son attention. »Chloé a regardé Madame Marchand avec une profonde gratitude.Madame Marchand a fait un geste léger de la main. « Ce n'est rien. C'est le chef qui a préparé l'essentiel du repas. »Après le dîner, Madame Marchand s'est adressée à Chloé : « Tu souhaiteras certainement te reposer après le déjeuner, n'est-ce pas ? J'ai préparé une chambre d'amis pour toi. Laisse-moi te la m
Chloé est arrivée à la résidence des Marchand.La famille Marchand était un clan discrètement fortuné ; le design de l'ancienne demeure tendait vers le vintage, ses détails dissimulaient une élégance aristocratique raffinée.Madame Marchand a doucement souri en accueillant Chloé : « Ma petite Chloé, bienvenue. Je vais te préparer un café spécial. »Elle portait un tailleur beige pâle élégant, dégageant une grande douceur et une sérénité.Chloé a immédiatement ressenti de la chaleur et de la bienveillance à son égard dès qu'elle l'a aperçue.Le petit Olivier a aperçu sa grand-mère et a tendu ses menottes potelées pour qu'elle le prenne dans ses bras.Madame Marchand l'a soulevé aussitôt avec une douceur maternelle, lui murmurant des mots apaisants et tendres.À l'heure du déjeuner, lorsqu'ils se sont assis tous ensemble pour manger, Chloé a remarqué avec émotion plusieurs de ses plats préférés sur la table truffée de nourriture.Madame Marchand a souri avec bienveillance. « Xavi
Vivian a tremblé de fureur.« Quel salaud minable ! Comment as-tu osé m'humilier ? »« Quelle humiliation ? » Évrard a perdu patience, son visage étant déformé par la colère. « C'est toi qui as élaboré ce piège en me droguant lâchement, n'est-ce pas ? Tu veux que je fasse cet acte avec toi. Très bien, je ne vais pas perdre plus de temps à discuter avec une manipulatrice comme toi. Mais tu continues à provoquer la confrontation. Je te le dis clairement : je ne t'épouserai jamais. Abandonne cette idée absurde. Ma future épouse sera une femme vertueuse et pure, capable de préserver sa dignité. Elle ne sera certainement pas comme toi, qui abuse des hommes inconscients. Sinon, je redouterais de porter des cornes un jour. Au passage, ta technique au lit laisse vraiment à désirer. Va chercher d'autres partenaires pour t'entraîner, sinon tu risques d'être fortement rejetée lorsque tu te marieras. »Sur ces mots, Évrard a remonté son pantalon avec un geste négligent et s'est éloigné d'un pas
Bienvenue dans Goodnovel monde de fiction. Si vous aimez ce roman, ou si vous êtes un idéaliste espérant explorer un monde parfait, et que vous souhaitez également devenir un auteur de roman original en ligne pour augmenter vos revenus, vous pouvez rejoindre notre famille pour lire ou créer différents types de livres, tels que le roman d'amour, la lecture épique, le roman de loup-garou, le roman fantastique, le roman historique et ainsi de suite. Si vous êtes un lecteur, vous pouvez choisir des romans de haute qualité ici. Si vous êtes un auteur, vous pouvez obtenir plus d'inspiration des autres pour créer des œuvres plus brillantes. De plus, vos œuvres sur notre plateforme attireront plus d'attention et gagneront plus d'adimiration des lecteurs.
Comments