“Aku sudah muak, Jessica. Satu bulan ini adalah satu bulan terpanjang dalam hidupku! Kalau saja kau tidak menabrak calon istriku, aku tidak akan terjebak dalam pernikahan bodoh ini,” desis Juan dan segera meletakkan surat gugatan cerai tersebut di atas meja riasnya Jessica.
Dengan tegas Jessica menggeleng. “Berikan aku kesempatan untuk membuatmu jatuh cinta padaku, Juan. Selama ini, kau selalu baik padaku. Kau tidak pernah memperlakukan aku seburuk ini. Tapi, kenapa semuanya berubah,” tangis Jessica.
“Aku baik denganmu karena kau adalah bawahanku. Aku baik dengan semua pegawaiku, kau salah pengertian!”
“Aku tidak sangka, kau memanfaatkan nyawa kekasihku untuk memenjarakan aku dalam pernikahan ini!” teriak Juan lalu memukul cermin lemari dan membuat tangannya berdarah.
Melihat kemarahan tersebut, Jessica menghela nafas dan gelisah. Ia berjalan sambil menggigit bibir bawahnya. Sekuat tenaga berusaha menahan butiran bening yang sudah mulai tergenang di pelupuk matanya.
“Ja-jangan sakiti dirimu, Juan. Kita sudah mengikat janji, jika aku memberikan darah pada kekasihmu maka kau akan bertahan dalam pernikahan ini setidaknya empat tahun kedepan. Ijinkan aku untuk bersamamu selama itu,”
“Jika memang hubungan ini ternyata tidak berhasil, maka aku ikhlas untuk melepaskanmu. Asalkan, kita mencobanya, Juan. Aku mohon,” lirih Jessica yang merasa sangat hina sebagai pengemis cinta pria di hadapannya ini.
Juan hendak meninggalkan Jessica seperti biasanya. Tapi, Jessica berusaha menahannya dengan memegang pergelangan tangan Juan.
“Biar aku obati, lukamu itu,” pinta Jessica yang bergegas mengambil kotak obat.
“Tidak perlu,” tolak Juan sambil menghempaskan tangan Jessica.
“Aku mohon, biarkan aku mengobatimu. Jangan keluar dalam keadaan seperti itu, atau mama akan marah lagi padaku,” cegah Jessica.
Perkataannya membuat Juan langsung salah paham. Ia memicingkan kedua matanya. “Sekarang kau mau mengadu domba aku dengan mamaku?”
“Mamaku adalah makhluk Tuhan yang tidak pernah marah sekali pun. Tidak mungkin dia memarahimu, apakah berbohong dan memfitnah memang merupakan karakter aslimu?” Juan muak menatap Jessica.
“Satu lagi, siapa pria yang menjemputmu dengan mobil BMW tadi?” cecar Juan dan seketika pertanyaan itu membuat Jessica mengunci bibirnya.
“Katakan!” teriak Juan membuat kepala yang sejak tadi tertunduk itu langsung spontan terangkat.
“Kau meminta untuk bertahan di pernikahan ini, tapi kau pulang dengan pakaian tembus pandang,”
“Lihatlah, betapa menjijikkannya dirimu, memakai pakaian sangat terbuka, diantar oleh pria lain yang tidak aku kenal. Itu namanya apa Jesica, kalau bukan perempuan murahan?” tuduhan Juan secara sadis membuat dada Jessica semakin sesak.
“JAWAB!” bentak Juan dan spontan Jessica langsung terjingkat di tempatnya.
“Kenapa kau harus berteriak untuk menuntut jawab dariku?”
“Aku bisa menjawabnya tanpa harus kau bentak seperti itu, dia hanyalah sahabat kecilku. Tidak lebih dari itu,” terang Jessica yang tidak mungkin mengatakan siapa pria itu sebenarnya.
Kalau tidak, Juan bisa curiga mengenai latar belakangnya. “Oh jadi sahabat boleh yah melihat seluruh lekuk tubuhmu! Apa kau tidak lihat, bagaimana banyak pria menelan salivanya dengan susah payah saat kau datang menggunakan gaunmu itu?!”
Sekarang Juan kembali mempermasalahkan gaun yang dipakai oleh Jessica. Walau Jessica sudah mengatakan kalau gaun ini adalah gaun yang diberikan oleh kakak iparnya, tapi Juan tetap saja tidak percaya.
Apalagi saat kakaknya terus menyangkal. “Sudahlah Juan, berhentilah marah seperti itu padaku.” Jessica mulai lelah menanggapi emosi Juan yang sudah lari ke mana-mana.
“Mungkin aku memang salah, karena memakai gaun ini di hadapan banyak orang. Aku hanya ingin, kau mau memandangku sebagai istrimu.”
“Sudah satu bulan kita menikah, tapi kau sama sekali tidak pernah menjamahku. Aku ini adalah istrimu, Juan,” tuntut Jessica.
Juan lantas mendekati Jessica, ia menarik Jessica dengan kasar hingga tubuh Jessica menempel di dadanya.
Tatapannya intens, baru kali ini Juan menatap kedua kornea berwarna biru dengan lekat di hadapannya tanpa berkedip sekali pun.
Jantung Jessica berdebar kencang, andrelaninnya terpacu saat ia merasakan tangan Juan menyentuh punggungnya yang terbuka dan tidak tertutup kain sama sekali.
Sentuhan itu perlahan naik hingga ke tengkuk Jessica dan Juan memegang leher jenjang Jessica dengan kelima jemari kokohnya.
Nafas keduanya tersengal, apalagi saat jempol Juan menyeka bibir Jessica yang tampak merah merona akibat lipstick yang dipakainya.
Sedikit kasar ia menyapu lipstick itu. “Aku ingin menyentuh dan menyetubuhimu.”
“Tapi, penampilanmu tak ubahnya seperti wanita jalang yang tidak ada harganya bagiku.”
“Kau sangat menjijikkan, jangan pernah bermimpi untuk aku sentuh, Jessica. Itu, tidak akan pernah terjadi!” suara dingin dan tenang itu membuat Jessica pun tercekat, tenggorokkannya serasa tercekik, saat mendengar penghinaan ini.
Ia hanya bisa jatuh dan luruh di atas lantai saat Juan pergi dan meninggalkannya begitu saja. Tubuhnya terasa lengket, dengan kaki yang berusaha melangkah dengan berat ke kamar mandi.
Jessi membersihkan dirinya dan segera naik ke atas ranjangnya. Air matanya luruh saat ia memejamkan kedua matanya.
Getaran ponsel yang diletakkan di atas nakas membuat Jessica mengambil ponsel tersebut dengan malas.
Ia melihat ada sebuah nama yang sangat familiar di layar ponselnya. “Halo,” jawab Jessica dengan suara yang parau.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya suara bariton di seberang sana.
“Aku, baik-baik saja, Kak,” jawab Jessica memaksakan seulas senyum di wajahnya, walau tidak ada yang melihatnya.
“Pulanglah, Jessica. Kau baru menikah selama satu bulan, tapi aku tidak melihatmu bahagia seperti pengantin baru pada umumnya.” Jessica menghela nafas.
“Aku, baik-baik saja, Kak. Aku akan berusaha untuk bertahan, Kak. Ijinkan aku untuk mengejar cintaku dan ijinkan aku untuk menyelesaikan masalahku sendiri untuk kali ini saja,” pinta Jessica.
“Kau mau aku beritahu ke papa? Aku, tidak akan tinggal diam melihatmu diperlakukan tidak baik oleh keluarga suamimu itu!” desis pria yang adalah kakak kandungnya Jessica.
“Jangan Kak, mereka tidak tau siapa aku. Seluruh pegawai perusahaan juga tidak tau siapa aku.”
“Biarkan saja seperti ini dulu. Aku mohon, Kak,” mohon Jesicca dan akhirnya pria di seberang sana pun menyerah dengan sikap keras kepala adiknya ini.
“Kau memang keras kepala!” sambungan telepon pun langsung terputus.
Jessica kembali menghela nafas dan berusaha untuk tidur. Keesokan harinya, ia bergegas menyiapkan diri menuju ke kantor setelah menyelesaikan pekerjaan rumah.
Ia mengendarai mobil rongsok yang sengaja dibelinya sejak pertama kali masuk ke cabang Mhyron Capital yang berada di Chicago.
Saat dirinya sampai di lantai lima, seluruh mata memandangnya dengan tatapan penuh kebencian.
Banyak sekali yang mencibirnya dan melengos saat bertemu tatap dengannya. “Jessica Kimberly Romanov, ini adalah surat yang baru ditanda tangani sama CEO baru kita. Beresi semua barang-barangmu, kau tidak perlu bekerja lagi di sini.”
Jessica bingung, bagaimana mungkin dia bisa dipecat begitu saja. Ia lantas berjalan menuju ke ruangannya Juan dan mengetuk pintu dengan tergesa.
“Juan, ini apa? Kenapa kau memecatku?” Jessica tidak habis pikir melihat wajah dingin Juan.
“Pulanglah jika kau ingin mempertahankan pernikahan ini. Mamaku memintamu untuk menjadi istri rumahan,”
“Lagi pula kau hanya akuntan magang di perusahaan ini. Kau tidak akan bisa mengejar karir dengan status pegawai magang yang tidak seberapa.”
"Juan, aku percaya ... waktu yang kita lalui beberapa saat yang lalu adalah waktu yang paling indah dan berharga dalam hubungan kita. Namun, aku tau ... dan kini menyadarinya, bahwa ... seberharga apapun waktu yang kita lewati bersama. Tidak akan lebih berharga dari keberadaan Amber bagimu.Untuk itu, aku memutuskan untuk mengalah. Bahagialah bersama wanita yang sudah memiliki hatimu. Sayang, wanita itu bukanlah diriku. Jangan cari aku ke mana pun, karna kau tidak akan menemukan aku, Xairus dan Maxton, pun tidak tau aku ke mana. Selamat Tinggal, Juan."Jantung Juan mencelos saat membaca surat yang ditinggalkan oleh Jessica untuknya. Hatinya sakit, kali ini dia tau, jika dirinya benar-benar kehilangan Jessica. Jika wanita yang selama ini memujanya telah muak dengan sikapnya."Jessica, di mana kau berada?" Juan bahkan tidak mengindahkan peringatan Jessica, ia segera mengambil kunci mobil dan malam itu juga bertolak menuju ke mansionnya Xairus.Ia kejar keberadaan Jessica, sampai sepert
"Amber, apa yang kau lakukan?" Juan segera berdiri dari kursi taman tersebut. Melihat reaksi Juan, air mata Amber berderai tak tertahankan. "Jawab pertanyaanku, bukan justru balik bertanya! Bukankah, kau berkata bahwa kau hanya mencintaiku?! Lantas ini apa?!" Amarah Amber meledak, dia terisak menyaksikan kemesraan keduanya. Bukan hanya Amber yang melihat kemesraan Juan dan Jessica. Ada kakak dan ibunya, yang juga turut berada tidak jauh dari lokasi Amber dan Juan berdebat. "Juan! Apa yang kau lakukan malam ini sudah keterlaluan!" amuk ibunya yang turut menyudutkan Juan tanpa perduli akan situasi dan tempat saat ini mereka berada. "Pulang sekarang, Juan!" tegas kakaknya kembali menimpali. Wajah Juan semakin mengetat, kedua tangannya bahkan tampak mengepal erat. Dia menoleh menatap tajam wajah Cherris. "Lebih baik saat ini, kau dan mama pulang, Cherris. Aku, tidak sedang ingin berdebat denganmu. Melihat rekaman video kalian yang terekam dengan cctv saja sudah membuat aku muak!" d
"Menghamilimu, mungkin akan merubah segalanya," batin Juan yang menatap Jessica dengan rasa lapar. "Aku, akan berusaha untuk mengubah keadaan ini," jawab Juan, lalu membungkam bibir Jessica dengan bibirnya. Setelahnya, mereka melakukannya lagi. Meneguk kembali manisnya percintaan di atas ranjang. Tubuh Jessica sudah menjadi sentral pikirannya Juan. Dia, merasa candu. Sejak pagi itu, baik Juan maupun Jessica, sama-sama berusaha menahan diri untuk tidak terjebak dalam perdebatan yang tidak perlu. Sore itu, Juan teringat akan sesuatu yang paling disukai oleh Jessica. "Apa kau mau, jalan-jalan ke pasar malam?" tanya Juan, membuat Jessica terkejut. "Pasar malam?" ulangnya sambil menelan ludahnya. "Tiga kali kau mengajakku ke pasar malam. Tapi, aku selalu sibuk dengan urusan pekerjaanku. Bagaimana kalau malam ini?" usul Juan membuat wajah Jessica sumringah. "Aku mau," jawabnya sambil tersenyum lebar. "Apa yang kau inginkan saat ke pasar malam, Jess?" Juan bertanya dengan lembut,
"Jessica," panggil Juan yang terbangun dan tidak mendapati tubuh istri di sisinya. Sontak saja dia langsung terjingkat dari ranjang. Melangkah dengan lebar ke kamar mandi, tapi tidak didapatinya Jessica. Dibukanya pintu walk in closet, sama nihilnya. Dia segera membuka pintu kamar dan betapa leganya Juan melihat Jessica sedang memakai apron dan tampak sedang memasak. Wanita itu tampak sangat memikat saat wajahnya serius seperti ini. Seketika Juan merasa bersalah. "Seperti inilah dia selama tiga tahun, dan aku tidak pernah menyentuh apapun yang dibuatnya. selain, jus jeruk sebelum prahara terjadi diantara kami," gumam Juan. Tidak, bukan sebelum prahara terjadi. Prahara rumah tangganya sudah terjadi sejak pertama kali dia menikahi wanita ini. Dengan merasa bersalah, Juan menghampiri dan melingkarkan kedua tangan di perut ratanya Jessica. Ia cium mesra tengkuk Jessi dengan lembut. Sebuah senyuman merekah dj wajah Jessica bercampur haru. "Good Morning, bersihkan dulu dirimu, baru
Juan langsung menoleh, melihat panggilan masuk dari Amber. Ponsel yang sudah di mode silent itu terus saja berkedap-kedip. Ia mendesah sesaat. Dirinya berjalan, mengambil ponsel dengan gerakan yang sangat terukur. Membuat mata Jessica mulai mengembun. Sudah menduga jika apa yang dia pikirkan selalu akan terjadi. Namun, untuk pertama kalinya. Juan justru menonaktifkan ponselnya. Malam itu, Jessica terkejut melihat apa yang bisa Juan lakukan untuknya. "Sudah aku katakan. Waktu kita hanya dua hari, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu singkat ini," tutur Juan dengan tenang dan segera masuk menggandeng tangan Jessica untuk masuk ke dalam kamar mereka. Walau masih ragu karena terlalu dini dan demi harga dirinya. Jessica tidak mau terlalu terbawa suasana sana. Bahagia sesaat itu, menyakitkan. Dia tidak mau sakit lagi. Juan segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Sedangkan Jessica yang sudah lebih dulu mandi memilih untuk tidur lebih dulu. Dia memilih bagian ranjang yang bersan
Juan terdiam sejenak, ia tatap kedua manik tegas Jessica. Wanita di hadapannya ini tidak pernah menuntut apapun darinya. "Juan, Apa kau mendengarku? Aku sedang bertanya padamu," tuntut Jessica padanya, untuk pertama kali. Selama ini yang ia lihat dari kepribadian Jessica hanyalah kerapuhan. Tapi malam itu, yang melihat sebuah ketegasan pada sorot mata wanita yang tidak pernah dianggapnya selama ini. "Untuk apa aku harus bertanya kepadanya. Itu hanya akan memperpanjang masalah. Aku cukup tahu apa yang sudah dia lakukan." Juan menghindar dari pertanyaan istrinya. Bukan karena dia tidak ingin memuaskan Jessica. Tapi Juan mengatakan yang sebenarnya, sikapnya bahkan sudah berubah pada Amber. Sudah tidak ada lagi kehangatan seperti sedia kala, hanya satu yang masih mengganjal di hati Juan. Amber selama ini hidup dalam keadaan yang tidak sehat. Juan hanya merasa kasihan dan ada rasa bersalah yang menghantuinya. Wanita itu, sampai sekarang masih menunggu Juan dengan setia. "Ah, begit