Sejenak Steve terdiam dengan paras Eva yang bisa dibilang unik. Cantik, tapi tidak pasaran. Cantik yang tidak membosankan. Tidak hanya itu, warna kulit Eva yang kuning langsat memberikan nilai plus untuknya. Eva menjadi semakin stunning dan menjadi pusat perhatian.
Steve memindai sambil mencari celah cacat pada Eva, tapi tidak kunjung ditemukan. Sialnya, Eva malah terlihat eksotik di mata Steve. Pria itu lalu berkata, “Campuran Asia?”
“Indonesia, lebih tepatnya.”
“Di mana itu?” tanya Steve mulai tertarik. Samar-samar terhirup wangi yang cukup asing untuknya. Harum yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Dan aroma itu menguar dari tubuh Eva.
“Masih di belahan bumi, tentunya Anda pasti menaruh saham di sana,” jawabnya santai.
Eva tidak memungkiri banyak penduduk USA yang tidak mengenal tanah kelahiran Ibunya. Eva pun hanya 1 kali menginjakkan kakinya ke tanah itu saat usianya 5 tahun. Ketika sang Ibu menghembuskan napas terakhir dan meminta untuk dikuburkan di sana sebagai pesan terakhirnya.
Setelahnya, ia ikut kembali ke Seattle bersama Ayah yang kemudian menikahi wanita satu kebangsaan dengannya.
Hidupnya biasa-biasa saja, hingga Eva memutuskan untuk tinggal sendiri di sebuah apartemen kecil bersama sosok yang sangat berharga untuknya. Eva memalingkan muka karena hatinya berdenyut nyeri setiap mengingat hal tersebut.
Di sisi lain, ucapan Eva malah terdengar lucu di telinga Steve, pria itu pun terkekeh.
“Kamu cukup menghibur, tapi jangan senang dulu. Aku masih harus menguji kelayakanmu sebagai golden service yang digadangkan Madam Lucy. Apa kau mengerti?” tekan Steve mengintimidasi. Meski begitu rasa penasaran pada Eva mulai merasuki relungnya.
Eva kembali fokus pada Steve, dan mengangguk. “Tidak masalah.”
***
Four Seasons Hotel Seattle
Steve membawa Eva menuju kamarnya, sepanjang jalan Eva tidak bersuara. Steve juga melakukan hal yang sama, hanya saja netranya tidak henti memandang Eva. Hingga mereka memasuki kamar, Eva dikejutkan oleh keberadaan seseorang di sana.
“Kau sudah datang, Steve.”
Sesosok pria dengan wajah tampan yang tidak asing di mata Eva.
“Wow, diakah yang dimaksud Madam Lucy? Hai Nona, siapa namamu?” tanya orang itu seraya mendekat lalu mengecup punggung tangan Eva.
"Eva," jawab Eva pelan.
Eva menoleh pada Steve yang melepaskan jasnya, kemudian melemparnya ke sembarang arah. Dia mengedikkan bahu sambil menyeringai. “Kau tidak masalahkan jika kita treesome?”
Ternyata ini yang dimaksud dengan Madam Lucy, Steve adalah orang yang suka seenaknya. Mungkin karena ia merasa membayar Eva dengan uang banyak. Eva pun tidak bisa mengelak, ada satu tujuan yang harus ia raih. Tentu saja jalannya tidak akan mudah.
“Saya akan memasukkannya ke dalam tagihan,” jawab Eva datar membuat Steve menjadi gemas. Sikap Eva di matanya sangat memprovokasi.
“Hitunglah, uangku tidak akan habis hanya untuk membayar pelacur sepertimu,” sarkas Steve mendekati Eva dan melemparnya ke ranjang.
Perlakuan Steve sangat kasar, tapi Eva menahannya. Dia malah mengangkat wajah menunjukkan jika tidak ada yang ia takuti.
“Kamu senang menantangku ya? Bagus! Aku memang tidak suka wanita yang lemah yang bisanya berteriak sambil menangis.” Steve ikut melepaskan pakaiannya dan meminta sesuatu pada pria yang barusan mengecup tangan Eva.
“Bryan, ambil barangnya!”
“Baik!”
Eva kini mengingatnya. Bryan Murphy, seorang penyanyi terkenal yang karirnya sudah melanglang buana ke seluruh dunia. Namanya pun sering disejajarkan dengan penyanyi lain sekelas, charlie puth, adam walker, dan masih banyak lagi.
Eva kini tau jika image yang selama ini di pegang Bryan hanyalah isapan jempol semata. Pria itu dikenal sebagai penyanyi yang mengusung kehidupan dengan pola sehat. Eva tertawa dalam hati ketika di depan matanya, melihat Bryan menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuhnya, setelah itu ia menyuntikkannya pada Steve juga Eva.
Eva bukan anak kecil yang tidak tahu apa kandungan dalam suntikan tersebut. Tentu saja itu merupakan narkoba. Eva merasakan sensasi beda setelah beberapa saat. Wanita itu tidak bisa melawan dan pasrah ketika disuntikan obat terlarang tersebut. Hingga menjelang fajar, Steve dan Bryan baru berhenti menggauli Eva.
***
“Bagaimana Steve, kurasa Eva cukup bagus, ” ucap Bryan memuji Eva. Di kepalanya masih terbayang permainan mereka yang sangat panas, dan saat itu juga bagian bawah tubuh Bryan menegang. Pria itu berusaha menutupinya dengan menenggak wine di gelasnya hingga tandas.
“Ya, lumayan,” sahut Steve santai lalu menunjuk pada sebuah tas yang ada di meja. “Bisa kau ambilkan berkas di dalam sana?”
“Berkas?” Bryan mengerutkan kening sambil berjalan menuju tas yang Steve tunjuk, lalu mengambil berkas yang diminta Steve.
“Aku akan melakukan perjanjian, tentu menguntungkan utuknya.”
“Untuk kita juga?”
“Itu yang utama.”
Bryan pun tersenyum sumringah tidak sabar menantikan perjanjian tersebut.
Di sisi lain, Eva sedang berendam sambil menerawang. Ia menatap bagian lengan yang sempat Bryan suntikkan obat terlarang. Wanita itu menghembuskan napas kasar.
“Kuharap ini terakhir kalinya aku meladeni kelakuan binatang mereka,” maki Eva. Meski begitu Eva tidak memungkiri kesenangan yang sempat ia rasakan. Ia hanya tidak mau sampai kecanduan obat-obatan seperti teman-teman satu profesinya. Kebanyakan, para pelanggan memanfaatkan hal itu untuk melakukan hal keterlaluan pada teman-teman Eva. Apalagi untuk yang sudah kecanduan pasti akan melakukan apa saja agar diberikan barang laknat itu. Bahkan rela memakan kotoran sekalipun.
Rasa ngilu menjalar di area selangkangan Eva. Dua pria itu benar-benar menggempurnya habis-habisan seperti tidak ada hari esok. Eva berusaha menetralkan rasa itu dan bersiap untuk pergi dari sana karena tugasnya sudah selesai. Ia ingin segera beristiharat di apartemennya seharian.
Selepas bersiap, Eva pun keluar dari kamar dengan pakaian ganti yang selalu dibawanya. Kali ini ia menggulung rambutnya hingga lehernya yang jenjang terpampang memanjakan mata. Make up minimalis membuatnya semakin mempesona, ditambah dress selutut membungkus cantik tubuhnya yang ramping namun berisi. Steve dan Bryan sempat terdiam melihat Eva yang berjalan mendekati mereka.
Bryan lebih dulu tersadar dan meraih tangan Eva untuk kembali dikecupnya. “Meski aku lebih suka saat rambutmu yang tergerai, penampilan saat ini tidaklah buruk.”
“Terima kasih, Tuan Bryan.” Eva membalas dengan senyuman kemudian beralih pada Steve yang mamasang wajah datar. “Saya rasa sudah waktunya saya kembali-“
“Tanda tangan dulu,” sela Steve.
“Maaf?”
Steve memberikan sebuah berkas perjanjian dengan segala ketentuan di dalamnya. Eva menerima itu dan membacanya.
“Aku sudah mentransfer ke Madam Lucy untuk servicemu kemarin malam, sedangkan yang di tanganmu adalah sebuah kontrak yang jauh menguntungkan untukmu juga Madam.”
Eva tersenyum samar. “Sayang sekali Tuan. Aku tidak pernah melayani pelanggan yang sama untuk pertemuan selanjutnya.”
“Apa?” Steve melirik tajam Eva.
“Itu sudah ketentuan Golden Service,” terang Eva dengan santai.
“Semua tidak berlaku padaku. Mulai hari ini kamu hanya boleh melayaniku. Tidak ada yang boleh menggunakan jasamu selain aku sampai aku benar-benar bosan padamu!” tekan Steve seraya bangkit dari duduknya. Baginya, Eva terlalu jual mahal. “Apa kamu sudah lihat semua yang ada di perjanjian itu? semua yang kamu dapatkan jauh lebih besar dibandingkan para pelacur lain!”
Eva mengangguk mengiyakan perkataan Steve yang meradang. “Baiklah, saya akan menyetujui perjanjian ini dengan syarat, beberapa poin yang harus Anda rubah.”
Steve mengepalkan tangan, berani-beraninya seorang wanita penghibur bernegosiasi dengannya. Asal dia mau, dia bisa melempar puluhan wanita ke jalanan. ‘Dasar murahan!’
Bryan mulai merasakan firasat buruk, dia berusaha menurunkan amarah Steve dengan menepuk bahunya. “Tenang Steve. Tidak ada salahnya mendengar apa yang Nona Eva inginkan.”
Steve menoleh pada Bryan, kemudian menghela napas kasar. “Sebutkan!”
“Terima kasih. Pertama saya tidak ingin diberikan apapun lagi seperti tadi malam. Baik suntikan atau obat-obatan. Untuk masalah kontrasepsi, saya sudah mengaturnya sendiri.”
Steve terkekeh sambil melirik Bryan. “Hah dasar kampungan. Itu juga untuk sensasi yang berbeda. Bukankah kamu juga merasakannya?”
Eva tidak menjawab hanya menampakkan raut tidak bersahabat.
“Ok! “Teruskan!” perintah Steve berarti dia setuju untuk tidak memberikan Eva obat-obatan lagi.
“Tolong gandakan deposit dan pembayaran bulanan juga sediakan driver professional, setelah itu baru saya akan menandatangani kontrak ini.”
Steve terkekeh. “1 juta dollar untuk 4 bulan sudah merupakan durian runtuh untuk pelacur sepertimu, kini kau meminta hal yang tidak masuk akal, aku rasa kau sudah gila!”
“Bukankah ini kontrak, tentunya ada negosiasi antara dua belah pihak yang berkepentingan menuju kesepakatan? Saya akan mendapatkan apa yang saya inginkan dan memberikan layanan yang sesuai dengan itu, saya menjaminnya,” jawab Eva telak.
“Biar aku yang mengurus mobil dan akomodasinya, Steve,” timpal Bryan.
Steve mendelik dengan wajah tidak suka. “Kau pikir aku pengemis hingga harus menerima uangmu? Brengsek!”
“Easy bro, bagaimana jika memberikan 500 ribu dolar perbulannya dan kita lihat pelayanan yang diberikan Nona Eva. Jika memang sesuai, dia layak menerimanya.”
“1 juta dolar sebulan tidak berubah dan saya akan tanda tangan sekarang juga.”
Bryan mengulum senyum, Eva benar-benar tidak bisa ditekan sama sekali. Begitu juga Steve, batinnya bekecamuk ingin mengacak wanita di depannya ini sesegera mungkin. Terlihat lemah tapi sangan keras kepala. Bibir mungil itu bahkan terus membantah setiap perkataan pria itu. Steve pun mengikis jarak hingga hembusan napasnya menerpa wajah Eva.
“Baiklah, aku harap kau bisa menjaga kerahasiaan kontrak ini. Setelah kontrak berakhir kau harus meninggalkan Negara dan menghilang selama setengah tahun, tapi jika kau melanggar semuanya. Kau harus membayar apa yang telah kau dapatkan sebanyak 2 kali lipat, atau aku yang akan mengurusmu dengan caraku sendiri. Jika sudah mengerti, segera tanda tangan, Bitch!” Manik biru itu menatap lekat manik hitam Eva.
“Ucapan kotor itu tidak sesuai dengan bibir Anda yang seksi.”
“Kalau begitu bersihkan!”
Saat itu juga Eva mencium bibir Steve, mereka asik berciuman di depan Bryan yang akhirnya sibuk menyesap wine.
Tbc.
Sebuah ruangan sunyi dan luas, dipenuhi cahaya temaram dari lampu dinding berwarna kuning keemasan. Tirai beludru gelap ditutup rapat, menutupi panorama kota New York dari lantai atas apartemen mewah itu. Di tengah ranjang king size berseprai satin abu-abu gelap, Eva terbaring dengan napas teratur, tubuhnya masih telanjang di balik selimut tipis yang nyaris tidak menutupi apapun.Ia terbangun perlahan. Kelopak matanya terasa berat, dan otot-otot tubuhnya nyeri setelah pergelutan hasrat yang begitu panjang, hari yang penuh permainan, penaklukan, dan gairah yang melelahkan.Namun yang paling mengejutkan bukan rasa lelah itu. Melainkan... tempat ini.Eva menyipitkan mata, mengamati ruangan asing ini. Ini bukan ruangan khusus di kantor Steve. Ini jauh lebih personal. Lebih... intim.“Ini apartemen?” gumamnya pelan.Rasa panik seketika menjalari tubuhnya. Kabarnya selama ini, tidak ada satu pun wanita yang berhasil menembus tempat ini, tempat paling privat milik Steve Arnault. Semua intera
Hari sudah siang saat Eva bersiap untuk pulang. Ia berdiri di depan cermin di kamar Bryan, mengikat rambutnya, lalu merapikan kemeja pria yang ia pinjam. Bryan, yang bersandar di pintu, memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan.“Kau benar-benar cantik, bahkan dalam bajuku,” gumam Bryan dengan suara rendah.Eva meliriknya melalui pantulan cermin, lalu tersenyum tipis. “Dan kau benar-benar klise.”Bryan tertawa pelan, melangkah mendekat dan menyentuh pinggang Eva dengan lembut.“Aku serius. Aku rasa… aku mulai menyukaimu lebih dari yang seharusnya.” Diam-diam membaui aroma khas Eva yang memabukkan.Eva membalikkan badan, menatap Bryan sejenak. “Itu bukan ide yang bagus.”Bryan menghela napas, lalu mengangguk. “Ya, aku tahu. Tapi perasaan tidak bisa selalu dikendalikan, bukan?”Eva tidak menjawab. Ia hanya menyentuh wajah Bryan sekilas, lalu beranjak pergi.***Sementara itu…Steve duduk di dalam mobilnya, mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir dengan gelisah. Setelah menerima pe
Seperti biasa, Eva bersiap untuk pulang setelah menyelesaikan tugas. Ia memilih t-shirt dengan celana joger sebagai pakaian ganti. Sementara Steve sedang merokok di balkon kamar hotel. Eva mendekat hendak pamit. "Terima kasih, Eva," kata Steve dengan nada sombong sambil menghembuskan asap rokok. Maniknya menelisik penampilan Eva yang selalu tampak memukau dengan berbagai busana, bahkan dengan pakaian santai sekalipun. "Kau selalu bisa diandalkan untuk membuat malamku lebih menyenangkan."Eva tersenyum tipis. "Ya, tentu saja, Tuan Steve. Ini tugas saya." Sebuah kata biasa yang seharusnya tidak mengganggu untuk Steve yang notabene memandang rendah para wanita penghibur, namun entah mengapa kali ini sedikit menyentil sanubarinya.Steve mengangguk menutupi perasaannya itu, lalu Eva menambahkan, “Saya harus pulang sekarang, sampai jumpa.”Wanita itu memutar tubuhnya berniat untuk segera pergi hingga ucapan Steve menghentikan langkah Eva. "Apa kau punya rencana untuk besok?"Eva menoleh
Terlahir sebagai pemegang sendok emas serta dikarunia wajah bagai pahatan patung yunani membuat Steve selalu dikelilingi oleh wanita cantik. Hal itu pun membuat standarnya menjadi setinggi langit. Dari model, aktris hollywod hingga anak pejabat sudah sering menghangatkan ranjangnya. Tidak sedikit yang terus mengejar Steve agar bisa mengulang malam panas mereka. Sayangnya, Steve kurang antusias jika melakukan kembali dengan 1 orang yg sama. Tapi entah mengapa Eva menjadi pengecualian. Sejak pertemuan pertama, wanita itu berhasil mengambil perhatian Steve hingga ia tidak rela jika Eva melayani pria hidung belang lain. Mungkin ada sisi manusiawi yang mengakui jika pria sejenis dirinya adalah makhluk brengsek. Jadi, cukup dia yang brengsek serta Bryan sebagai anteknya. Manik biru itu menyusuri penampakan sosok yang tertidur pulas di atas sofa. Penampilannya sangat sederhana, hanya dengan kemeja kebesaran tanpa bawahan. Justru itu membuat Eva semakin menggoda. "Wanita ini, bukankah aku
Terdengar suara pintu terbuka, bersamaan dengan itu tampak sesosok manusia yang berjalan gontai memasuki ruangan. Seolah tidak bertenaga ia ambruk begitu saja ke atas ranjang. Matanya terpejam menikmati lembutnya sprai yang baru diganti dengan harum lavender. Tidak lama tubuhnya bergetar pelan, samar kemudian terhenti. Seraya menghirup udara dalam lalu membuka mata, menatap langit-langit kamar. Entah apa yang ada dipikirannya, tersirat rautnya yang penuh beban.“Bertahanlah sedikit lagi, Eva,” gumamnya menguatkan diri. Sosok itu tidak lain adalah Eva yang baru saja pulang dari hotel tempatnya menghabiskan malam bersama Steve dan Bryan. Perjanjian sialan itu telah mengikatnya, tapi dengan perjanjian itu pula tujuannya mulai berjalan. Ia akan membuat 2 bajingan itu mendapatkan ganjaran atas apa yang telah mereka perbuat.Flashback OnMalam itu di bulan Januari salju turun menutupi setiap jalan di Seattle. Terlihat seorang wanita baru selesai bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat
Sejenak Steve terdiam dengan paras Eva yang bisa dibilang unik. Cantik, tapi tidak pasaran. Cantik yang tidak membosankan. Tidak hanya itu, warna kulit Eva yang kuning langsat memberikan nilai plus untuknya. Eva menjadi semakin stunning dan menjadi pusat perhatian.Steve memindai sambil mencari celah cacat pada Eva, tapi tidak kunjung ditemukan. Sialnya, Eva malah terlihat eksotik di mata Steve. Pria itu lalu berkata, “Campuran Asia?”“Indonesia, lebih tepatnya.”“Di mana itu?” tanya Steve mulai tertarik. Samar-samar terhirup wangi yang cukup asing untuknya. Harum yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Dan aroma itu menguar dari tubuh Eva.“Masih di belahan bumi, tentunya Anda pasti menaruh saham di sana,” jawabnya santai.Eva tidak memungkiri banyak penduduk USA yang tidak mengenal tanah kelahiran Ibunya. Eva pun hanya 1 kali menginjakkan kakinya ke tanah itu saat usianya 5 tahun. Ketika sang Ibu menghembuskan napas terakhir dan meminta untuk dikuburkan di sana sebagai pesan terakh