Sayup-sayup angin berhembus membelai dengan mesra. Menerbangkan dedaunan kering, di antara sekian banyak orang berlalu lalang, terdapat dua lelaki tampan bak supermodel. Tubuh sixpacknya tertutup rapat di balik setelan jas yang mereka kenakan. Wajahnya mulus seperti perosotan tanpa noda. Hidung mereka mancung, mungkin bisa digunakan burung gereja bertengger. Banyak orang yang tidak tahu jika usia mereka sudah hampir menginjak kepala 3. Wajah memperdaya, yang menyamarkan usia terlihat lebih muda, menawan.
Kedua sahabat berbeda karakter tersebut, masih asik berucap, saling melempar kata pedas, menjatuhkan satu sama lain, mengorek kelemahan masing-masing dari lawan bicara. Tanpa mereka sadari dua bidadari cantik memakai set kebaya orange dan yang paling putih berseri menggenakan kebaya merah datang menghampiri. "Kalian berdua mirip homo, Bang, mataku terkontaminasi melihatnya," celetuk seorang gadis. "Nayla, please. Jangan berkhayal yang aneh-aneh tentang abang kamu, kejam," sungut Edzard menoleh ke arah suara berasal. "Kalian nggak sadar menjadi pusat perhatian dari orang-orang lewat lalu lalang?" keluh gadis bernama Nayla. Kompak Edzard dan Kenzo melihat sekeliling. Edzard mengembuskan napas panjang nan berat. Kenzo sendiri terlihat mengedikkan bahu kala Nayla menatap dengan mata tajamnya. "Mungkin mereka begitu karena takjub melihat ketampanan kami," kilah Kenzo merangkul Edzard membuat Nayla semakin bergidik, menatap geli. "Oh, iya perkenalkan, ini Rere sahabatnya Nay," ucap Nayla, memperkenalkan sahabatnya yang sedari tadi bersembunyi di belakang Nayla. Layaknya musim semi yang dinanti, Edzard begitu takjub melihat sosok cantik mendebarkan jantung. Tubuhnya mungil, ramping, sosoknya cantik, kulitnya putih berseri, serasi dengan setelan kebaya, berbaju warna merah cerah dan rok bawahan bermotif batik. Bukan hanya Edzard, Kenzo juga merasakan hal sama, seperti terhipnotis dalam sebuah gambaran bidadari. Rasa tidak asing, tapi jua tidak pernah terlihat. Menghanyutkan membuat terlena, seolah musik alam mengiringi pertemuan mereka. "Itu gadis manis yang tak sengaja aku foto tadi," bisiknya dalam hati. "Jauh lebih cantik ketika melihatnya lebih dekat," imbuh Kenzo masih bercengkrama oada hatinya, ia terpesona dengan kecantikan sang gadis. Kegaduhanpun terjadi, seperti masa puber terlambat dilalui. Ke dua lelaki tampan tersebut berebut untuk berkenalan. "Woy, ingat umur bang," pekik Nayla bersungut tapi tak didengarkan. "Saya Ed...." Tangan Edzard ditampik Kenzo sebelum ia melanjutkan ucapannya. "Hay manis namaku Kenzo," ujar lelaki tersebut meraih dan mencium tangan gadis bernama Rere itu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup Kenzo terpana pada anak dibawah umur sembilan belas19 tahun. Kerlinangan nakalnya membuat Rere mengernyitkan kening, pipinya memerah, tersenyum malu. Nayla yang sedari tadi menahan malu dengan tingkah kedua lelaki tersebut, segera melayangkan pukulan di pundak Kenzo. "Aww! Sakit Nay," pekik Kenzo. "Memalukan, jangan tertipu dengan tampang polos mereka Re. Mereka sepuluh tahun lebih tua dari kita," cerocos Nayla mendelik. Rere hanya tersenyum menanggapi. "Maaf sebelumnya, saya Edzard abangnya Nayla," giliran Edzard memperkenalkan diri. "Saya Rere, Nayla banyak bercerita tentang bang Kenzo. Abang sosok yang sering dibanggakan Nayla pada teman-teman yang lain juga," jelas Rere, mereka melepas jabatan tangan. "Rere," ucap Nayla menutup wajahnya malu. "Wah senangnya yang punya adek," kelakar Kenzo. "Bisa kita mulai sekarang bang," pinta Rere membuat keduanya kompak mengiyakan. Rere tersenyum menampilkan gigi gingsulnya, menambah paras cantik gadis tersebut semakin mempesona. Mereka melakukan pemotretan dengan Kenzo sebagai fotografer. Edzard juga ikut membantu mengambil posisi dan tempat yang pas. Kedua lelaki yang sering bertentangan tersebut nampak menyatu dalam hal perasaan. Tanpa mereka sadari, perasaan mereka merekah menandai Rere dalam hati kecilnya masing-masing. *****Sejak pertemuan saat itu mereka menjadi dekat satu sama lain. Sering berkumpul setiap akhir pekan, seperti menjadi rutinitas tiap weekend. Berawal dari mengerjakan tugas kampus ataupun makan bersama. Canda tawa dengan mata berbinar tersungging dari wajah mereka. Tanpa ada tali pembatas usia yang menjadi penghalang. Dengan baik Edzard maupun Kenzo menyatu bercengkrama dengan Nayla dan Rere. Kebersamaan mereka menghadirkan benih-benih cinta. Rasa yang paling terasa indah, rasa yang memperdaya setiap hati.
Akhir dari musim kemarau yang indah.Melantunkan bahasa kalbu dalam cinta yang belum terungkap. Indah merekah setiap teringat, cinta yang tidak mampu di tampik kehadirannya. Sangat manis, sanis rasa coklat.*****Hembusan angin membawa Kenzo kembali kealam nyata. Dihela napas yang terasa berant tercekat di tenggorokan. Tatapannya sayu di pandangi potret Rere, gadis nan cantik, demgan senyum manis di akhir kemarau kala itu, yang berhasil ia bidik sebelum berkenalan. Si lelaki brengsek nan angkuh, tertampar dengan perasaannya sendiri yang sangat mengusik. Di dalam kegalauan merasa frustrasi, permainannya dengan banyak wanita tidak pernah membuatnya semendebarkan seperti itu sebelumnya.
Kedua orang tua Rere tinggal di kota yang berbeda. Dia tinggal di kota tersebut untuk kuliah, di kediaman sang nenek. Sebuah rumah yang cukup besar dan asri. Dimana banyak tanaman berwana hijau tumbuh terawat di sekitar rumah, pohon rambutan tumbuh tinggi tak jauh dari pelataran. Ada lima orang pembantu yang di pekerjakan di rumah tersebut termasuk seorang supir. Sore pada akkhir musim kemarau yang indah, derasnya hujan datang menyambut pergantian musim. Bau tanah yang khas mulai naik tercium mengusik hingga kerongkongan. Rere masih terduduk di emperan toko dekat kampusnya berharap hujan segera mereda. Balutan kaos lengan tiga seperempat dan celana jeans tubuhnya terlihat begitu ramping. Rere tengah asik memainkan tetesan air hujan yang berjatuhan dari atap toko tersebut. "Kamu sedanga apa Re?" Suara maskulin pria tak asing mengagetkan. Badan ramping Rere sedikit melonjak saking terkejut. "Abang Kenzo," sapa Rere menoleh ke arah pria tersebut. "Saya sedang menunggu angkutan umum," Rere tersenyum menjelaskan. "Memangnya tidak dijemput sama supir kamu Re?" tanya Kenzo. "Pak sopir sedang mengantar nenek Rere cek up ke rumah sakit, Bang," jawab Rere tertunduk malu. "Abang anterin kamu saja ya," tawar Kenzo tapa basa-basi. "Ayo dong, jangan menolak, abang sudah bersusah payah turun dari mobil. Menghampiri karena lihat kamu sendirian di sini seperti orang hilang," cerocos Kenzo. "Iya bang," kata Rere memotong pembicaraan Kenzo. Ia menundukkan kepala, menyembunyikan wajah merah merona seperti apel. "Ya ampun manisnya," pikir Kenzo dalam hati tersenyum, ingin rasanya mencubit pipi mungil itu. Kenzo membimbing Rere menaiki mobil di samping pengemudi. Dengan peasaan senang tidak terkira pemuda tersebut melajukan mobil meninggalkan tempat tadi. "Sepertinya ada yang salah dengan jantungku, kenapa berdetak tak beraturan dan cepat seperti ini. Perasaan aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Nanti malam aku harus memanggil dokter ke rumah," pikir Kenzo, dihela napas panjang dan berat. Keduanya terdiam membisu, sibuk pada pikiran masing-masing. "Abang baru pulang dari kantor?" Rere berucap memecah keheningan, sembari memandang Kenzo yang masih menggenakan set jas kantor. Nampak gagah. "Iya," jawab Kenzo dengan senyum mengembang. "Re, sepertinya hujan semakin deras. Rumah abang di dekat sini, mampir ke rumah dulu saja ya, gimana?" lanjutnya. Rere terlihat berpikir keras. "Kenapa, kok diam? Sampai hujannya reda saja kok, setelah itu abang antarkan kamu pulang," terangnya meyakinkan. "Jalan juga mulai licin ya Bang. Ok, deh, ngak apa-apa tapi, janji ya Bang. Nanti antar Rere pulang ke rumah," pinta gadis manis tersebut. "Iya Re." Kenzo membelokkan mobilnya, masuk sebuah gang perumahan kawasan elite. Tak berapa lama mobil yang mereka naiki masuk ke dalam sebuah pelataran rumah mewah, melewati pintu gerbang dari besi yang cukup tinggi. Rumah bak istana terpampang jelas ketika mereka keluar dari mobil. Keduanya berlarian masuk ke dalam, sejauh mata memandang disuguhi ruang tamu luas. Di mana lukisan mahal terpampang seolah mengucapkan sugeng rawoh (jawa : selamat datang), banyak sekali vas-vas bunga dan benda-benda antik berjajar menyilaukan mata.Seperti pangeran yang membawa pulang putri ke istana. Semua mata hanya tertuju kepada mereka berdua. Seorang lelaki tampan menggandeng gadis manis di sampingnya. Para asisten rumah tangga dan tukang kebun terbengong. "Akhirnya tuan muda membawa seorang gadis pulang ke rumah," salah seorang wanita berteriak ketika, sang pangeran dan putri memasuki rumah mewah tersebut. Wanita itu berlari girang, mengabarkan kabar gembira pada para teman seperjuangannya. Di dalam rumah, dengan sopan Rere menyapa seorang wanita paruh baya cantik, duduk manis di sofa, yang dipanggil Kenzo dengan sebutan mama. Bukan kata sambutan yang Rere terima, akan tetapi. Wanita tersebut malah berteriak. "Papa?!" teriak wanita itu hampir membuat Rere melonjak karena kaget. Seorang lelaki paruh baya yang masih memperl
Jantung Rere berdetak tidak beraturan, rasa bahagia dan terkejut bercampur menjadi satu. Seperti tetesan air yang jatuh di tanah tandus nan gersang. Memberi sedikit air untuk tanah kering keronta. Menyejukkan. "Rere juga mencintai Abang, tapi untuk menikah sekarang Rere belum bisa. Rere masih kuliah semester awal, kan," jawab Rere, bak gayung bersambut. Kapal cinta Rere dan Kenzopun berlayar, hati lelaki itu berbunga layaknya pemuda jatuh cinta di usia yang tidak lagi muda. Tergesa Kenzo melajukan mobil kembali, keluar dari jalan tol, masuk ke dalam sebuah gang, tidak berapa lama mobilnya berhenti melaju, di sebuah rumah kecil asri. Kenzo membunyikan klakson, tidak berapa lama satpam membuka pintu gerbang. Rumah itu berlantai dua, cukup luas, tapi lebih kecil dari rumah yang pertama Rere kunjungi. "Bukannya Abang akan mengantar Rere pulang," tanya Rere, kala Kenzo membimbingnya ke luar dari mobil
Jantungku terasa berhenti, ada rasa aneh menggelitik diri. Rasa sakit yang tiba-tiba hadir, aku berusaha tenang menyembunyikan segalanya. Ruang makan seolah bertambah dingin, sedingin rasa menyelimuti, aku melepas satu kancing kemeja bagian atas yang aku kenakan. Melonggarkan leher yang tercekat seketika. "Sepertinya kamu sangat dekat dengan dia akhir-akhir ini," telisik Nayla yang masih mengunyah makanannya. "Em, Re, Kenzo nggak ngapa-ngapain kamu, kan. Dia nggak melakukan hal yang aneh-aneh?" tanyaku sangsi. "Tidak Bang, Abang Ken orangnya baik kok, tapi tadi dia menyatakan perasaannya pada saya dan mengajak saya menikah," tutur Rere. "Nikah?!" pekikku dan Nayla bersamaan. Aku dan adikku langsug saling pandang dan terkekeh merasa lucu. Diri ini semakin remuk, terpuruk, dalam kubangan kesedihan yang tidak aku tahu sebelumnya. "Seorang Kenzo Julian, anak dari salah satu orang t
Angin yang berembus memaparkan rasa dingin menyentuh tulang. Langit gelap gulita namun, bintang dengan setia menemani sang rembulan. Angin seraya menyapa pepohonan yang berdiri kokoh menjulang. Terdengar dedaunan yang terseok, bergemerisik. Rere tertidur dengan pulas bersama Nayla. Belaian mimpi menghantarkan lelapnya hingga mereka tidak menyadari, derik pintu terbuka. Menyembullah sesosok lelaki dari balik pintu, mengendap-endap masuk. Mendekat ke arah Rere, lelaki tersebut berjongkok di samping ranjang. Netranya menatap dalam seorang gadis yang tertidur. Wajah mendamaikan yang terpejam itu membuat ingin membelai. Malu-malu tangan nakal tersebut membelai halus pipi Rere. Tangan dingin yang menyentuh, membuat Rere mulai terusik. Mata Rere perlahan terbuka, dia terkejut, jantung berdebar seperti ingin melompat dari tempatnya. Rere hendak berteriak tapi sebuah tangan berotot membekapnya. Lebih mengejutkan lagi Rere seperti melihat Kenzo. Mata gadis te
Perlahan aku membuka pintu kamar yang bukan milikku. Aku berencana ke dapur mengambil air minum. Akan tetapi niatku terhenti ketika aku melihat adegan yang seharusnya tidak aku lihat. Wajah dan telingaku memanas, rasanya aku malu, kudengar rintihan lirih bersautan dari keduanya. Saking paniknya aku langsung kembali lagi ke dalam kamar. "Kenapa mereka harus bermesraan di ruang tengah," keluhku. Rintihan Rere masih menggema di pikiran sampai membuat adik kecilku hampir terbangun. Aku berjalan menuju kamar mandi, melucuti semua paksian. Membasahi seluruh badanku, dengan air yang mengalir dari shower, berharap bayangan itu segera menghilang. Aku kemudian mengambil air wudhu. Bergegas keluar kamar mandi mengambil tas ransel di atas meja kecil dekat tempat tidur. Tas itu memang sengaja aku bawa untuk menaruh pakaian ganti milikku dan Nayla. Sekuat tenaga berusaha khusuk menjalankan sholat sunah tersebut. Kupejamkan mata ketika berdziki
Rapat kali ini membahas tentang pembangunan cabang hotel dan rumah makan di tempat yang sama. Di salah satu objek wisata pegunungan teh. Dimana konsep pilihan kami adalah happy holiday. Mengedepankan fasilitas itu sudah pasti, tapi juga mengutamakan keamanan, kenyaman dan menyenangkan bagi pengunjung. Akan ada taman bermain yang ramah untuk anak-anak. Rencananya akan dibangun gedung berlantai lima sebagai awal permulaan dan menunggu respon dari para pengunjung. Jika responnya baik kedepannya lagi, tidak menutup kemungkinan akan dibangun fasilitas yang lebih lengkap lagi. Respon dari para rekan kerja sangat baik. Aku sangat bersyukur dan beruntung. Pemilihan tempat yang tepat sangatlah tidak mudah. Aku dan para anak buahku langsung turun kelapangan melihat langsung lokasi. Yah, perjuangan yang benar-benar melelahkan namun juga berbuah manis. Aku tersenyum bangga pada ketiga anak buahku. Seorang wanita paruh baya dengan gaya rambut bob,
Alunan musik terdengar indah, dengan suara merdu seorang penyanyi wanita yang menyanyikan lagu Tentang Rasa by Astrid. Suaranya indah menggema di dalam sebuah kafe yang berada di lantai bawah gedung perusahaan berlantai tiga milik keluarga Edzard tersebut. Lelaki itu duduk bersenda gurau menikmati makanan yang mereka pesan. "Setelah ini, anda mau kemana?" tanya Edzard menatap wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang itu. "Jangan panggil anda, panggil saya Angel saja," kata sang wanita yang duduk di hadapannya. Dia mengelap mulut dengan tisue. Mengambil gelas jus melon dan menyeruput lewat sedotan. "Aku akan pergi ke kantor saja, anda mau mengantar saya?" tanyanya. "Baiklah," jawab Edzard terkekeh. Dia berdiri untuk kudian mengulurkan tangan ke arah Angel. Wanita itu dengan senang hati meraih tangan tersebut da
Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, yang pasti keduanya kini saling berciuman. Edzard ibarat binatang kelaparan, dia terlihat bringas memangut bibir sensual Angel dengan penuh gairah. Melumat habis, lidahnya menari-nari, menyeruak masuk ke dalam mulut Angel. Saling bertukar saliva masing-masing. Angel membalas dengan tidak kalah panas, menyambut dan ikut membalut bibir lawannya. Kecapan demi kecapan menggema, mereka dengan rakus membalas, menyesap bibir. Hingga kadar oksigen yang mereka hirup menipis. Keduanya menarik kepala, saling melempar senyum. Gurat kebahagiaan nampak tersungging di senyuman manis Angel. Mereka kemudian berpelukan cukup lama. Lelaki itu merasa bimbang dengan hatinya kini. Dalam hatinya masih tertulis nama Rere. Nama gadis yang tidak seharusnya bersemayan. "Mungkinkah dengan aku membuka hati untuk Angel. Semua akan baik-baik saja. Aku telah menciumnya, astaga. Aku