Happy Reading*****Semua mata tertuju pada seseorang yang berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar. Fardan bahkan berlari mendekati lelaki itu. Mata Mutia membelalak selebar-lebarnya, sangat terkejut mendapati lelaki itu sehat-sehat saja. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa dia sedang terluka.Di belakang si lelaki, sahabat-sahabat Mutia juga terlihat. Pasangan Satya dan Fikri juga ada di antara mereka. "Kalian, kenapa ada di sini?" tanya Mutia sedikit terkejut melihat teman-temannya. Belum sempat pertanyaan Mutia dijawab oleh para sahabatnya. Suara Fardan kembali terdengar."Om, katanya tadi masih ada di ruang UGD. Kok, sekarang sudah ada di sini dengan keadaan sehat?" tanya si kecil. Jelas terlihat di matanya jika ada kecurigaan.Fardan mengitari tubuh saudara sepupu papanya. Mengamati keseluruhan tubuh Arham yang sama sekali tidak ada tanda-tanda bekas luka kecelakaan. Bola mata si kecil menyipit. "Om beneran kecelakaan apa nggak, sih? Nggak ada bekas darah sama sekali,
Happy Reading*****"Ma, tenang," kata Fardan. Mengusap punggung perempuan yang sudah melahirkannya itu dengan air mata yang menganak sungai.Mutia menoleh pada putranya. "Gimana bisa tenang, papamu terbujur," katanya mulai histeris."Bukannya kamu akan lebih tenang jika dia tidak?" kata Surya."Pa," bentak Anjani.Mutia menoleh pada lelaki yang membantunya menemukan dan mengungkapkan fakta tentang keberadaan putranya. Dia tidak marah malah mengingat apa yang sudah dikatakan pada Bagas waktu itu.Memang benar bahwa dirinya pernah meminta Bagas untuk menjauh dan tidak mengganggunya lagi. Mutia bahkan meminta lelaki yang terbujur ditutupi kain putih itu untuk meninggalkannya selamanya. Namun, Bagas seolah tak peduli dengan peringatan Mutia. Lelaki itu tetap saja gencar mendekatinya.Mutia teringat perkataan Bagas tadi pagi yang memintanya untuk memanggil 'Mas'. Namun, perempuan itu sama sekali tidak mengabulkannya."Andai aku tahu bahwa permintaan itu adalah permintaan terakhir, aku pas
Happy Reading*****"Sebaiknya, kita pulang saja," kata Fikri. Kedua kaki Mutia rasanya begitu lemah seperti tak bertulang. Perkataan atasannya semakin membuatnya yakin jika keadaan Bagas tidak baik-baik saja."Tapi, Om. Kita belum menyelesaikan proses administrasi kepulangan Mama," sahut si kecil."Ya, sudah. Biar Om yang mengurus. Kamu sama mamamu tunggu di sini saja. Mana surat keterangan yang diberikan untuk mengurus kepulangan mamamu," pinta Fikri.Si kecil menyodorkan surat yang diberikan perawat tadi pada sahabat papanya. Mutia sampai saat ini masih bungkam. Pikirannya, hanya tertuju pada keadaan Bagas padahal raganya masih di rumah sakit. Berbagai macam pikiran buruk menghampiri bahkan hal terburuk yang sedang dipikirkannya saat ini adalah kematian."Bagaimana mungkin kamu meninggalkanku begitu saja, Mas. Kamu belum aku maafkan, tapi kamu sudah berani meninggalkanku seperti ini," gumam Mutia."Mama ngomong apa, sih?" kata Fardan."Mama sangat takut kalau kecelakaan itu sudah
Happy Reading*****Sambungan terputus dan hal itu semakin membuat Mutia panik. Mencoba menghubungi ponsel Arham, tetapi tidak ada jawaban sama sekali."Sayang," teriak Mutia memanggil putranya melalui ponsel. "Apa kamu di mana?""Bentar lagi sampai di ruang inap. Kenapa, Ma?" jawab Fardan, setengah berteriak juga. "Sayang, papamu." Suara Mutia bergetar hebat. Entah apa yang dipikirkan perempuan tersebut, dia sangat panik ketika mendengar suara sirine tadi."Tunggu, Ma," ucap Fardan. Beberapa menit tidak ada jawaban. Rupanya, Mutia sedang mencoba menghubungi Arham kembali, tetapi panggilannya tetap tidak terhubung. Si ibu guru pun beralih menghubungi ponsel Bagas. Namun, semua itu percuma, ponsel milik sang kekasih juga tidak aktif. Mutia makin panik, bingung harus berbuat apalagi untuk mengetahui keadaan Bagas."Ma, ada apa?" tanya si kecil yang baru membuka pintu ruang inap Mutia."Sayang, papamu." Tangis Mutia pecah. Fardan dengan cepat melangkah mendekati mamanya. "Mama tenang
Happy Reading****"Kenapa? Kenyataan memang gitu, kok," sahut Novita santai, "Nggak perlu membohongi diri sendiri, Mut.""Bener, Beb," tambah Alfian."Maafin Papa, dong, Ma. Biar kita bisa ngumpul lagi kayak dulu." Si kecil pun ikut-ikutan memprovokasi mamanya. Mutia terdiam, sementara Bagas terus tersenyum sambil menyuapi sang kekasih.Beberapa menit kemudian setelah semua makanan Mutia habis, pasangan yang sudah lama menjadi sahabat terdekat si ibu guru, pamit. Novita dan Alfian tidak bisa menemani sahabatnya di rumah sakit. "Terima kasih sudah datang menjenguk Mutia," ucap Bagas dengan wajah setulus mungkin."Duh, kayak sama siapa saja, Pak. Kami ini bukan orang lain, kok," kata Alfian."Benar, Pak. Besok pagi, kalau Bapak sibuk biar saya yang menjaga Mutia," tambah Novita."Nggak usah, Tan. Aku bisa jagain Mama sendirian, kok," sela si kecil. "Kalian ini kayak aku yang sakit parah saja. Aku ini nggak sakit sebenarnya, cuma Pak Bagas saja yang sedikit lebay. Harusnya, langsung
Happy Reading*****"Memangnya, kenapa kalau kami di sini?" tanya Novita. "Kamu nggak suka kalau kami menjenguk?""Dia maunya berduaan terus sama Pak Bagas, Beb," tambah Alfian.Bagas tersenyum, sedikit memundurkan langkah, memberi kesempatan pada pasangan tersebut untuk melihat keadaan sang kekasih."Kalian ngobrol saja dulu. Aku mau ke bagian administrasi, mendaftar rawat inap untuknya," ujar Bagas."Pa, aku ikut," kata Fardan. Si kecil menaruh kresek yang dipegangnya di bawah ranjang sang mama. "Tante, Om, aku tinggal dulu, ya.""Oh, iya, Boy," sahut Alfian dan Novita bersamaan."Jadi, siapa yang ngasih tahu kalian kalau aku ada di sini?" tanya Mutia mengulang pertanyaan sebelumnya.Novita dan Alfian saling menatap, lalu keduanya tersenyum penuh makna."Menurutmu siapa yang mengabarkan keadaanmu pada kami?" tanya Novita sambil memainkan alisnya naik turun.Kelopak mata Mutia menyipit, keningnya berkerut dan tatapannya lurus ke depan. "Fardan, mungkin?"Alfian menggelengkan kepalany