Setelah menyelesaikan serangkaian pemeriksaan untuk test DNA, pasutri itu harus menunggu kurang lebih sekitar dua minggu baru akan keluar hasilnya. Baik Tsabi ataupun Shaka tentu merasa tidak sabar. Tsabi ingin cepat tahu hasilnya, sementara Shaka ingin cepat membuktikan kalau apa yang dikatakannya selama ini benar. Semakin itu, tentu saja karena pria itu yang lebih tahu kronologinya dibalik skandal kehamilan istrinya. "Aku ingin meminta kamar yang berbeda selama kita menunggu hasilnya," pinta Tsabi mendadak tidak nyaman sekali satu ranjang dengan suaminya. "Kenapa? Bukankah kita sudah terbiasa satu ranjang, bahkan satu selimut yang sama," kata Shaka dingin. Walaupun Tsabi memberi jarak dan batasan di antara keduanya. "Ini hanya sebuah permintaan, tidak sulit bukan, toh kita juga akan menjaga jarak satu sama lain," kata perempuan itu benar adanya. Shaka bahkan jarang sekali menempati ranjangnya di jam yang benar. Pria itu selalu pulang larut, bahkan dini hari yang entah melakukan p
"Tsabi ... kenapa? Perutmu sakit?" tanya Shaka khawatir. Perempuan itu mendesis lara seraya memegangi perutnya sendiri. Shaka yang melihat itu tanpa banyak bertanya langsung menggendongnya. Membawanya ke rumah sakit yang belum jauh dari tempat itu. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya menahan nyeri yang begitu tiba-tiba. Perutnya seperti diremas dari dalam. "Dokter tolong! Dokter!" pekik Shaka cemas. Menyesali kenapa Tsabi sampai lari-larian tadi. Tsabi langsung dibawa ke IGD untuk kemudian ditangani tim medis. Shaka menunggunya dengan gelisah. Mondar-mandir tak karuan. Sebelumnya ia belum pernah secemas ini, tetapi sekarang begitu takut terjadi sesuatu dengan janin itu. "Dengan keluarga pasien atas nama Tsabi?" seru Dokter menginterupsi. "Iya Dok, saya suaminya, bagaimana keadaan istri saya?" tanya pria itu khawatir. "Kandungan istri Anda sangat lemah, saya sarankan harus bedrest." "Kenapa bisa begitu Dok? Bulan kemarin masih cukup baik saat pemeriksaan?" tanya Shaka tak pa
Tsabi memilih tidur daripada mendengarkan saran suaminya untuk menghubungi orang tuanya. Sementara Shaka malam itu tidak ke mana pun, menemani istrinya dan menjaganya semalaman. Hal yang sesungguhnya tidak Tsabi inginkan. Entahlah, sejak mengetahui kebenaran itu, kadar kesal dan benci Tsabi terhadap Shaka makin meningkat. Tidak seperti awal menikah yang walaupun bingung tetap berusaha memahami. Namun, sekarang mendadak tak ada kompromi. "Mau ke mana?" tanya Shaka melihat pergerakan istrinya setengah malam turun dari ranjang. Tsabi tidak menjawab, membuat Shaka langsung beranjak membantunya mengingat tubuh istrinya masih terlihat ringkih. "Jangan ngikutin, bisa sendiri," tolak Tsabi memberi jarak saat Shaka hendak membantunya. Pria itu menahan diri mengikuti kemauannya. Memperhatikan Tsabi yang berjalan ke arah kamar mandi. Cukup lama perempuan itu di dalam sana, tertegun saat keluar dari toilet mendapati Shaka bak penjaga di depan pintu. Hampir membuat Tsabi kaget. Tsabi segera me
Perempuan itu tersenyum penuh ceria di dekat ibunya. Senyuman langka yang beberapa purnama ini hilang dari gadis cantik itu. "Kalau lagi hamil itu nggak boleh capek-capek. Nurut aja kalau Shaka ngelarang ini itu demi kebaikan kamu," pesan ummi adem di hati. Tutur bahasanya yang lembut selalu menenangkan, membuat hati Tsabi yang sebenarnya tengah gersang seperti disiram air begitu mandat dari ibu suri yang keluar. "Iya Ummi," jawab Tsabi mengiyakan saja. Senang sekali rasanya hari ini benar-benar bisa bertatap muka dengan orang yang tengah dirindukannya. "Eh, ya ada salam dari adikmu Ameena dan Shaka," ucap Ummi memberikan mandat pesan dari dua adiknya. "Waalaikumsalam ... mereka apa kabar, Ummi, aku kangen sama Menna. Shaka juga, dia sudah pulang ya?" tanya Tsabi menanyai adiknya satu-satu. Ameena adalah adik bungsu yang kemarin menggantikan dirinya dengan calon imam impian Tsabi. Masih membekas luka bila mengingat hari itu, tetapi Tsabi sudah berusaha ikhlas dan semoga adiknya b
Pria itu langsung masuk ke mobil dan mengejarnya. Membelah jalan raya yang nampak ramai. Sedikit mengabaikan kendaraan lain dan menyerobot tanpa perhitungan hingga membuat pengemudi lain mengumpat kesal. Bagai pembalap handal, melintas dengan fokus berusaha mengejar target yang membawa istrinya. Shaka yakin sekali itu pekikan Tsabi ditambah seseorang suruhannya menginfokan kamar rawat Tsabi kosong. "Brengsek!" umpat Shaka memaki di ujung telepon. Memukul bundaran stir karena kesal. Menarik earphones dari telinganya lalu menaruhnya dengan emosi. Pria itu menambah kecepatan, sayang sekali terhalang traffic light merah yang menyala. Membuatnya tertinggal jauh dari mobil yang tengah dikejar. "Brengsek! Brengsek!" Pria itu mengumpat berkali-kali karena kesal. Istrinya dalam bahaya terlebih tengah dalam masa bedrest karena kehamilannya tidak begitu sehat. Pikiran Shaka makin kacau mengingat itu. Sementara Tsabi tidak tahu menahu kenapa dirinya mendadak jadi tawanan. Siapa pria-pria bert
Shaka berlari ke sana kemari menyisir pandangan yang lumayan gelap. Hanya ada pencahayaan rembulan malam yang kebetulan malam ini nampak cerah. "Tsabi! Kamu di mana?" pekik pria itu memanggil nama istrinya. Sementara Tsabi sendiri masih duduk di bawah pohon sembari menahan sakit di perutnya. Tak kuat lagi berjalan. Perempuan itu tidak tahu arah jalan keluar. Hanya bisa terdiam dan berdoa agar malam ini cepat berlalu. Saat Tsabi berpikir untuk meraih jalan keluar, ia terperanjat mendapati satu pria yang tengah berlari ke arahnya. Rupanya laki-laki itu adalah salah satu kawanan penculik tadi yang berhasil lolos dari Shaka. "Kita bertemu lagi sayang, ternyata kamu ngumpet di sini. Nakal," omel pria itu tersenyum smirk melihat Tsabi berdiri waspada sambil memegangi perutnya."Jangan mendekat, atau aku akan berteriak sekencang mungkin," ancam Tsabi di titik nadir. "Hahaha. Teriak saja sekerasnya, sampai kamu bosan pun tidak akan ada yang dengar. Di sini jauh dari pemukiman warga jadi k
"Bahu kamu," kata Tsabi menunjuk luka Shaka. Pria itu tidak merespon, membiarkan begitu saja malah mengangkat tubuh istrinya dalam gendongan. Melangkah cepat membawanya ke mobil. Selebihnya Tsabi hanya diam, tak menyangka pria dominan layaknya es balok itu bisa sekhawatir ini. Mungkin karena Tsabi tengah mengandung anaknya. Dalam gendongan Shaka, Tsabi justru menatap leluasa muka serius suaminya. Sementara Shaka sendiri terus berjalan fokus agar cepat sampai ke mobilnya. Pria itu membuka pintu dan menurunkan Tsabi di jok depan sebelah kemudi."Tiduran saja kalau sakit, kita akan ke rumah sakit dalam waktu kurang tiga puluh menit," kata Shaka lebih dulu mengatur tuas mobilnya agar istrinya lebih nyaman. Setelah memastikan Tsabi setengah merebah dengan posisi pas, baru menutup pintunya. Lalu ikut masuk mengemudi mobilnya sendiri. Apa maksud Shaka dalam waktu kurang dari setengah jam sampai di rumah sakit. Bukankah jarak yang ditempuh sudah cukup jauh. Apakah pria itu akan ngebut? Ter
Seketika Tsabi terdiam mendengar ucapan Shaka yang memang benar adanya. Namun, tentu saja perempuan itu tak seberani apa yang dikatakan suaminya. Bagaimana mungkin dia berganti pakaiani di sana, sedang Shaka dan dirinya belum pernah kontak fisik secara terbuka. Selain malu, tentu Tsabi belum siap diwisuda oleh suaminya. "Apa perlu aku yang menggantikan pakaianmu?" kata pria itu menghampirinya. Seketika raut wajah Tsabi langsung menegang dengan degup jantung makin tak beraturan. Tsabi makin galau mendapati langkah Shaka mendekat. Jantungnya seperti berlomba dari tempatnya. Gegas perempuan itu hendak turun dari ranjang demi menghindari aksi nekat suaminya. Takut mengingat pria itu tipikal semau gue yang kadang membuat Tsabi bingung dibuatnya. "Tetap di ranjangmu Tsabi, atau suamimu akan murka!" seru Shaka membuat pergerakan Tsabi terhenti. Wajahnya makin pasi didekati suaminya. Menyorot dengan gugup. "Jangan menatapku seperti itu," protes Shaka sedikit membungkuk membenarkan posisi k