LOGIN
Pernahkah kau merasa, satu kalimat mampu meruntuhkan dunia yang kau bangun selama bertahun-tahun?
Itulah yang terjadi padaku sore itu. Kami duduk di sebuah kafe kecil dekat sekolah, tempat yang biasanya penuh dengan tawa dan percakapan ringan. Namun, hari itu berbeda. Tatapannya dingin, suaranya terdengar asing. “Aku rasa kita cukup sampai di sini, kau selalu bertingkah berlebihan!!!” katanya singkat, tanpa menatap mataku terlalu lama. Aku hanya bisa menahan napas. Ada ribuan pertanyaan yang berkecamuk di kepala, tapi aku memilih diam. Air mataku sudah hampir jatuh, tapi aku tidak ingin memberinya kesempatan melihat aku lemah. Jadi aku tersenyum tipis, padahal hatiku begitu remuk. Hari itu resmi berakhir. Hubungan yang terjalin selama dua tahun yang kukira ada masa depan, ternyata bisa runtuh hanya dalam beberapa kalimat. Pulang dari kafe, aku berjalan kaki sendirian. Sepanjang jalan, pertanyaan menyesakkan terus berputar di kepalaku, apakah aku tidak cukup baik? Malam-malam ku pun berubah. Aku sering menangis dalam diam, menatap dinding putih kamar yang terasa seakan menertawakan ku. Sementara teman-temanku sibuk persiapan kuliah. Ada yang ke Jakarta, Medan, bahkan luar negeri, sedangkan aku? hanya membantu nenek di rumah. Keinginanku untuk kuliah masih ada, tapi kondisi membuatku tak berdaya. Beasiswa yang ku incar selalu gagal. Aku semakin takut tertinggal, semakin takut tak akan pernah mengejar mimpiku. Sampai akhirnya, sebuah pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal. “Kak… Assalamualaikum.” “Walaikumsalam.. maaf ini siapa?” Apa ini dia yang sedang mengujiku? Pikiranku ini adalah tes kesetiaan darinya. “Ini Arga kak, masi ingat nggak??” “Oh… kamu, Arga? Apa kabar? Tumben nih..” “Iya, cuma mau tanya kabar kakak aja sih, katanya kakak nggak jadi lanjut kuliah ya? Oh ya.. Aku dapat nomor kakak dari kak Ayu. Bolehkan?” “Boleh aja.” Aku mulai menjawab ketus, aku merasa kesialan ini bertambah. Aku ingat Arga yang selalu menjahili ku kapanpun ada kesempatan. Dulu aku jelas lebih senior darinya di sekolah, tapi dia berani. Apalagi sekarang, pasti hanya ingin mengejek keadaanku. Desas-desus aku putus dengan kak Rian pasti sudah tersebar, belum lagi aku tidak bisa melanjutkan kuliah. Benar -benar sudah jatuh tertimpa tangga pula. “Kak, besok aku jemput nonton yuk jam 5 sore. Pirates of the Caribbean uda keluar neh yang terbaru! Aku traktir deh! ” Aku mendengus, ”nggak bisa, ada kerjaan. ” Sengaja ku tolak, aku benar-benar tidak punya lagi tenaga untuk berdebat dengan bocah jahil ini. Gak lama Ponselku berdering lagi, kali ini telpon dari Ayu. ”Raa.. Besok nonton yuk! Pirates of the Caribbean uda keluar. Temenin aku yah.. aku traktir! Jangan sibuk ya! ” Aku sempat ragu, tapi akhirnya setuju. Ternyata keesokan harinya aku baru tahu, Ayu tidak datang sendirian. Ada Sadam, pacarnya, dan satu lagi… Arga. "Hai, Kak Fara. Katanya ada kerjaan?” ujarnya sambil tersenyum. Senyum yang dulu selalu membuatku kesal, kini tampak berbeda. Lebih dewasa, lebih tenang. Ku sikut pinggang Ayu, dia sudah utang penjelasan padaku. Aku kaku sepanjang jalan, mereka? Yah tentu saja terlihat akrab. Sadam dan Arga sepupuan, pasti mereka sudah sering jalan bertiga dengan Ayu. Selesai nonton kami malah tertahan di rumah Ayu. Aku jelas mulai gelisah, nenek pasti khawatir kalau aku terlalu lama. Waktu juga semakin malam, Arga sepertinya membaca gerak- gerik gelisah ku. “Mau pulang sekarang nggak? ” Dia berbisik pelan di dekatku, aku mengangguk setuju. ”Anu omm.. Arga anter kak Fara pulang dulu ya om, tadi janji nggak lama soalnya” ”Oh.. iya, iya. Nanti nenek jadi khawatir. Silahkan Arga, tapi jangan singgah - singgah lagi ya” ”Ah.. iya om, ini Arga juga besok ada kuliah, kita langsung pulang kok om” Aku dan Arga hanya pulang berdua, karena Sadam tentu saja masih ditahan oleh Ayu. Di perjalanan pulang aku merasa begitu kikuk, rasanya ingin sekali cepat sampai rumah dan merebahkan badan. Tapi kemudian Arga mulai membuka percakapan. Dari obrolan, aku baru tahu kalau Arga sekarang sudah jadi mahasiswa baru di Fakultas Kedokteran. Tapi aku tidak kaget. Arga dari keluarga berada yang memang berkecimpung di dunia kedokteran. Ayahnya Spesialis Bedah, Ibunya Spesialis Anak. Tidak heran dia mengikuti jejak orang tuanya, ditambah lagi Arga memang anak yang pintar. “Wah, hebat juga ya bocah kakak. Kakak kira kamu bakal jadi berandal, ternyata keterima di kedokteran juga ya,” kataku. Dia tertawa kecil, menggaruk tengkuknya. “Alhamdulillah, Kak. Masih baru sih, jadi masih adaptasi juga. Tapi Arga bersyukur banget bisa sampai di sini.” Aku mengangguk. Entah kenapa, mendengar ceritanya membuatku sedikit sedih. Aku yang sudah duluan lulus justru tidak ke mana-mana, sedangkan dia sudah melangkah jauh. Namun, bukannya balik menyombongkan diri, Arga justru terlihat lebih peka. Dia malah balik bertanya soal keadaanku. “Kakak sekarang gimana? Sibuk apa?” tanyanya hati-hati. Pertanyaan itu membuat dadaku sesak. Aku hanya bisa tersenyum hambar. “Ya begini aja, bantu - bantu di rumah dulu. Belum bisa lanjut kuliah.” Arga menatapku cukup lama. Matanya tidak menunjukkan rasa kasihan, melainkan seolah mengerti. Dia sedikit menoleh, “nggak apa-apa, Kak. Rezeki orang kan beda-beda. Arga yakin...Kakak juga pasti dapat jalan yang lebih baik nanti. Kalau nggak bisa tahun ini, bisa tahun depan juga.” Kalimat sederhana dari Arga membuatku terdiam sejenak. Rasanya sudah lama tidak ada yang menguatkan aku dengan cara seperti itu. Malam itu, setelah Arga pulang, aku duduk di teras rumah sambil memandang langit. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa tidak sendirian. Ada seseorang yang datang di saat aku sedang berada di titik yang terendah. Sejak pertemuan itu, Arga mulai sering muncul. Kadang dia mampir setelah pulang kuliah, kadang hanya sekadar menyapa lewat pesan singkat. Awalnya aku heran, kenapa dia begitu perhatian. Sampai akhirnya dia menyatakan rasa sukanya. "Kak.. Sebenarnya, sudah lama Arga punya perasaan lebih sama kakak. " Arga menatap ku dalam, berharap aku memberikan respon. "Aku tahu kakak bingung, tapi aku serius kak. Nggak harus dijawab sekarang juga nggak apa kak, aku orangnya sabar kok" Arga tampak tersenyum, lalu bangkit mengelus kepalaku. Aku terpaku, masih bingung apakah dia serius atau bercanda seperti biasanya?Rian menghormati perjanjian itu, dia akan menelepon tepat jam delapan malam. Tapi dia tidak akan menelepon jam delapan pagi, kecuali aku yang menginisiasi.Aku menatap layar ponsel, yang kini gelap. Aku tahu Rian sedang menunggu. Dia tahu aku sudah melihat alarm itu. Jika aku tidak menelepon, dia akan melewatkan dosisnya. Aku tahu dia akan melakukannya. Itu adalah cara dia menghukum dirinya sendiri.Tanganku terangkat ke ponsel. Hanya perlu satu sentuhan untuk memanggilnya. Satu sentuhan untuk menyelamatkan nyawanya.Tapi kemudian aku mendengar suara Ibuku dari dapur, suaranya dipenuhi rencana untuk masa depanku, rencana tanpa Rian.Aku menarik tanganku kembali. Aku menutup mataku, menelan air ludah yang terasa getir.Tidak ada panggilan. Tidak ada pesan. Tidak ada video call hari itu. Aku membiarkan Rian melewatkan dosisnya. Aku membiarkan Rian menjalani hukumannya sendirian.Aku baru saja memutuskan tali kendali yang mengikat kami berdua, dan rasanya seperti aku sedang memotong urat
Aku membuka mata, menatap langit-langit kamar Nenek yang dicat putih, menghindari tatapan mata Ibuku yang kini dipenuhi ketakutan."Farah! Jawab Ibu! Kenapa dia harus video call untuk minum obat? Obat apa itu?" Ibu mengguncang lenganku.Aku menarik napas panjang, mengumpulkannya dari sisa-sisa energi yang kupunya. Bagaimana aku harus mengatakan ini? Bagaimana aku bisa merangkai kata-kata untuk menjelaskan kehancuran yang tak terbayangkan ini?"Ibu... Rian sakit," bisikku. Aku tidak bisa menatapnya."Sakit apa? Kenapa harus rahasia? Kamu tahu, Rian punya asma, tapi ini..." Ibu berhenti, ekspresinya berubah dari marah menjadi panik. "Ini bukan penyakit yang aneh-aneh, kan, Nak? Kenapa dia begitu kurus?"Aku harus mengatakan ini. Sekarang. Aku berutang kebenaran pada Ibuku, setidaknya untuk menjelaskan mengapa aku berada dalam neraka yang dingin ini."Rian... Rian positif HIV, Bu," kataku, suara baritonku nyaris tidak terdengar.Dunia hening.Ibuku tidak bergerak. Wajahnya membeku dalam
Rian tidak membantah. Dia hanya menatapku, seolah meminta izin. "Farah, tasmu...""Taruh saja di situ. Nanti Nenek bawa," potong Nenek.Rian meletakkan tasku di lantai teras. Dia menatapku sekali lagi, matanya penuh dengan kata-kata yang tidak berani ia sampaikan. "Aku... aku akan meneleponmu jam delapan.""Aku tahu," jawabku datar.Dia mengangguk, lalu berbalik dan masuk ke mobil. Aku tidak menunggunya pergi. Dengan bantuan Nenek, aku melangkah masuk ke dalam rumah yang beraroma minyak kayu putih dan teh melati, aroma tempat yang aman."Masuk ke kamar, Nak. Istirahat. Nenek buatkan jamu kunyit asam," kata Nenek, memapahku.Kamarku tidak berubah. Seprai katun yang sejuk, “Ayah mana nek?” tanyaku pelan.“Ayah merantau, nanti tiga bulan lagi dia kembali.”Ketidakhadiran ayah saat ini membuatku sedikit sedih. Aku merindukannya di saat seperti ini. Aku berjalan pelan ke arah kamarku, lemari kayu jati dan jendela yang menghadap ke taman belakang tampan tidak berubah. Ini adalah duniaku s
Rian menutup matanya rapat-rapat. Bahunya bergetar. Dia tidak menangis, tapi tarikan napasnya yang berat sudah cukup menunjukkan segalanya. Dia mengangguk, sekali, dengan gerakan patah."Baik," bisiknya. "Apa pun. Apa pun yang kau katakan, Farah. Aku akan lakukan."Aku membuang muka, kembali menatap ke luar jendela, ke arah keramaian kota yang tidak peduli pada drama kecil kami.Tiga hari berikutnya berjalan dalam rutinitas yang kaku dan menyiksa. Pukul delapan pagi dan delapan malam, alarm di ponsel Rian akan berbunyi, memecah keheningan tebal di ruang rawatku.Setiap kali, dia akan berhenti melakukan apa pun yang sedang dikerjakannya. Entah itu merapikan tasku, membaca laporan dari Arga, atau sekadar menatap kosong ke luar jendela. Dia akan mengambil botol obatnya, menunjukkannya padaku, mengambil dua butir pil, dan meminumnya di bawah tatapan dinginku.Setelah itu, dia akan mengambil buku catatan kecil yang kuberikan dan menulis, "08.02. Dosis Pagi. Selesai."Dia tidak pernah menge
Rian terdiam. Ia sibuk menata meja lipat di depanku. "Tentu saja. Tadi pagi, saat Arga datang."Aku tidak yakin. Sejak ia mengakui statusnya, Arga memastikan Rian juga menjalani protokol ART (Terapi Antiretroviral) secara ketat, dengan bantuan tim dokter khusus. Obat itu harus diminum tepat waktu, dua kali sehari, dan disiplin adalah kunci.Keesokan harinya, kecurigaanku terjawab.Saat Rian sedang tertidur pulas di sofa setelah pulang dari kunjungan singkat ke NICU, ponselnya berdering dengan nada dering khusus. Itu adalah panggilan dari Dr. Satya, dokter spesialis HIV-nya, yang Arga atur untuknya.Rian tidak terbangun. Aku meraih ponsel itu. Panggilan itu terputus, dan sebuah notifikasi pesan masuk muncul, “Reminder: Jangan lupa dosis malam Anda. Ini hari kedua berturut-turut Anda melewatkan laporan minum obat. Ini vital, Rian."Jantungku mencelos.Aku menatap Rian. Wajahnya pucat, dahi dan pelipisnya berkeringat dingin, meskipun suhu ruangan sejuk. Dia mendengkur pelan, tidur yang
Mendengar suaranya yang tulus dan penuh ketakutan itu, aku menyadari bahwa dia benar-benar mencintai putrinya.Rian tidak lagi bersembunyi di balik ponsel atau alkohol. Ia sibuk. Ia mengurus semua yang berkaitan dengan rumah sakit. Ia bahkan mulai membaca buku tentang merawat bayi prematur.Satu-satunya sentuhan yang kuizinkan adalah ketika ia terlelap di kursi sofa panjang dekat jendelaku. Wajahnya kurus, lingkaran hitam di bawah matanya semakin dalam karena kurang tidur. Terkadang, ia terlihat begitu muda dan rentan, mengingatkanku pada masa-masa awal kami bertemu.Aku tahu keputusanku untuk bercerai sudah final. Tetapi aku juga tahu bahwa untuk beberapa hari ini, aku butuh keberadaan Rian yang baru, Rian yang berjuang untuk Azura, yang menjaga kami.Suatu pagi, ketika perawat selesai membersihkan lukaku dan rasa sakit berdenyut hebat, aku menggigit bibirku untuk menahan erangan. Rian, yang sedang berbicara pelan di telepon, segera memutus panggilannya."Farah? Sakit sekali?" bisikn







