Hari semakin bergulir. Aku sudah berusaha menekan sedemikian rupa ego dan cinta yang masih begitu tinggi padanya. Perempuan yang pertama kali membuatku jatuh hati. Namun waktu memang tak bisa kuulangi lagi. Mau tak mau aku harus menghadapi takdirku sendiri. Hidup tanpa cintanya yang pernah kusemat dalam doa dan mimpi. Jika memang aku belum bisa mencintai dan meneroma perjodohanku dengan Aisyah nanti, setidaknya aku berusaha menyenangkan hati Ummi. Bukankah DIA Sang Pembolak-balik hati? Mungkin jika nanti dia melanjutkan ta'aruf ini, di tengah jalan Allah menghadirkan kemantapan dalam dada. Atau bisa saja saat sudah berumah tangga dengannya, akan tumbuh benih-benih cintaku untuknya. Bukankah orang bilang, cinta datang karena terbiasa bersama? Mungkin pula memang begitu adanya. Aku akan mencintainya setelah tinggal satu atap dengannya. Dengan kemeja dan celana panjang, aku kembali datang ke rumah ini. Rumah berlantai dua yang beberapa minggu lalu sempat kudatangi bersama Abah da
POV : GAZA Ummi masih sibuk menelpon Rania di teras sementara aku dan yang lain masih tetap di ruang tamu seperti semula. Entah apa yang terjadi dengan keluarga Azka dan Rania. Yang jelas kudengar dari ucapan Ummi, saat ini sudah ada ibu dan Mas Alif di sana. Karena itulah Ummi bilang pada Abah tak harus buru-buru pulang. "Rania kenapa, Mi?" tanya Abah saat Ummi mematikan ponsel dan memasukkannya ke saku gamis. Perlahan, Ummi kembali duduk di sampingku. "Rania jatuh dari motor, Bah. Terpaksa berangkat sendiri karena Azka baru saja pulang, katanya. Azka masih di kamar mandi saat Rania pamit ke mini market," jawab Ummi sembari menghela napas. "Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Kok bisa, Mi?" Abah ikut kaget mendengar kabar dari Ummi tentang Rania. Mendengarnya celaka, di sudut hati lain aku pun ikut panik dan takut perempuan yang pernah mengisi hatiku itu kenapa-kenapa. Namun, aku berusaha tetap tenang seperti sedia kala sebab tak ingin membuat Aisyah curiga jika aku belum bena
Pov : Azka "Ka, Ummi mau bicara sebentar. Bisa? Ummi tunggu di ruang tenga, ya?" ucap Ummi dengan senyum tipisnya saat aku masih menimang Althaf dalam gendongan, sementara Rania masih di tiduran atas ranjang. Rania baru saja memberi Althaf ASI dan sekarang malaikat kecilku itu mulai terlelap. Kuletakkan bayi mungil itu ke dalam boxnya. "Makasih, Mas." Perempuan cantik itu mengusap lenganku pelan lalu tersenyum tipis. Selalu begitu tiap kali aku membantunya mengasuh buah hati kami. Seolah itu adalah hal besar yang begitu dia syukuri, padahal sejatinya pekerjaan apapun dalam rumah tangga bukanlah tanggungjawab sang istri saja melainkan berdua. "Makasih buat apa, Sayang?" "Terima kasih karena kamu sudah banyak berkorban waktu dan tenaga untukku, Mas. Aku benar-benar sangat bersyukur memiliki suami pengertian dan perhatian seperti kamu," lanjutnya lirih. Kuusap pucuk kepalanya sembari menggeleng pelan. "Nggak perlu ada kata terima kasih karena ini memang bagian dari tugasku. Tu
POV : AZKA Aku tak tahu kenapa alur hidupku sedemikian rumit. Dulu aku masih bisa memaklumi jika Ummi dan Abah menitipkanku pada nenek, karena keadaanku yang tak memungkinkan untuk dibawa pergi ke kota. Aku pun mengerti saat nenek cerita jika ekonomi Ummi dan Abah saat itu masih porak poranda. Tak diasuh kedua orang tua itu cukup menyakitkan, meski dengan alasan bermacam-macam. Apalagi saudara kembarku sendiri begitu dimanja dan diperhatikan. Tak cukupkah derita yang kuterima saat masa kecil dulu? Hingga sampai sekarang pun, saat aku ingin mengecap manisnya kehidupan, saat aku baru saja mendapatkan apa arti cinta dan kasih sayang, saat itu pula lagi dan lagi aku harus mendapatkan teguran. Aku seolah boneka dengan remot kontrol yang tak bisa bergerak sesuai kemauanku sendiri. Semua harus atas seizin Ummi. Aku tahu berulang kali Abah menasehati Ummi untuk lebih membebaskanku, tapi tetap saja Ummi mengompori Abah untuk lebih keras mendidikku. Ummi bilang, didikan seorang nenek dan
Suasana agak canggung. Aku diam saja saat Ummi memintaku untuk duduk di ruang tengah. Tak banyak barang di ruangan ini karena memang Rania ingin tempat yang simple saja untuk bersantai. Hanya ada sofa di samping jendela dan rak untuk meletakkan tivi dengan karpet lebar di lantainya. Dinding pun hanya ada jam dan foto pernikahanku dengan Rania. Sesimple itu. "Kamu jangan salah paham, Ka. Ummi yang minta Gaza untuk jaga Althaf sebentar karena tadi Rania keluar dipanggil tetangga sebelah. Jangan berpikir aneh-aneh tentang mereka, lagipula besok malam kakakmu juga melamar Aisyah," ucap Ummi tiba-tiba tanpa kuminta. Dia bersedekap sembari menatapku tajam. Aku hanya menundu
Pov : AZKA |Ka, kamu tak perlu risau soal perasaanku pada Rania. Memang masih ada cinta di sana. Namun aku mulai menyadari, mungkin dia memang bukan jodohku. Semua salahku dan aku tak mungkin bisa mengulang apa yang telah terjadi. Tapi kejadian kemarin sungguh tak seperti yang kamu pikir. Aku hanya diminta Ummi menolong Althaf yang nangis, Ka. Ummi masih buang air, sementara istrimu dipanggil tetangga sebelah entah untuk apa. Hanya itu. Nggak ada maksud lain.| |Aku, Mas. Aku juga percaya kalau Rania tak akan mungkin mengkhianati cintaku padanya. Meski mungkin cinta ini terlalu sederhana, tapi aku begitu menjaganya dengan baik. Aku sangat percaya Rania bisa menjaga dan mengendalikan hatinya. Aku tak tahu apakah dia masih memiliki rasa yang sama dengan Mas Gaza, tapi bagiku itu tak jadi soal. Aku fokus mencintainya, sebab cinta yang tulus akan meluluhkan benteng yang tinggi dan kaku| |Iya, Ka. Kamu benar, menjadi suami Rania adalah sebuah keberuntungan besar dan kamu harus bersyuku
|Ka, Rania sudah siap-siap, kan? Soalnya Ummi telpon nggak diangkat. Kamu jaga Althaf dulu kalau Rania sibuk. Suami istri itu harus saling membantu satu sama lain. Jangan semua dibebankan ke istri, apalahi Rania baru melahirkan bulan lalu. Ummi tunggu kalian di rumah. Datang segera, ya?| Pesan dari Ummi kembali masuk ke whatsappku. Ummi seolah lupa, jika ⁶,setiap hari aku membantu Rania. Tak pernah kubiarkan dia kecapekan dengan segala aktivitas rumah tangga. Sejak awal menikah, justru aku yang mengajarinya banyak hal. Dia tak bisa memasak saat itu dan aku berusaha mengajarinya meski masak ala kadarnya. Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai belajar dari internet untuk memasak beragam menu keluarga. Masakan Rania sangat enak menurutku. Tak hanya menurutku, bahkan Mas Gaza pun sempat memuji masakannya saat di rumah Ummi dulu. Aku tak pernah mencela apapun yang ada padanya sebab cintaku tulus. Tak hanya menyukai kelebihannya saja, tapi aku juga menerima segala kekurangannya. Te
Pov : Rania Rumah berlantai dua itu sudah cukup ramai. Beberapa mobil parkir di tepi jalan tak jauh dari rumah Tante Delia. Ummi menggendong Althaf beriringan dengan ibu. Sementara aku berjalan di belakangnya. Mas Azka kulihat sibuk membawa beberapa kado untuk calon iparnya. Dia beriringan dengan Mas Gaza dan Abah masuk ke ruang tamu. Kulihat beberapa ibu saling bisik, mungkin karena baru tahu jika calon Aisyah memiliki saudara kembar. Aku duduk lesehan di samping Ummi. Ada karpet panjang berwarna biru sebagai alasnya. Tak banyak saudara Aisyah yang datang, sepertinya hanya sekitar sepuluh orang saja. Wajah perempuan itu terlihat begitu cantik dan berbinar ceria. Bulu matanya yang lentik dan hidung mancungnya menambah kecantikan di wajahnya. Ummi pun memberikan Althaf yang masih terlelap itu padaku lalu berbaur dengan Tante Delia yang baru saja melambaikan tangan ke arahnya. "Calon istrinya Gaza cantik banget, Nia," bisik ibu di telinga kananku yang tertutup hijab berwarna