Share

09.

Ron jelas telah menabuh genderang perang, tetapi itu bukanlah sebuah ancaman bagi Azlan. Ancaman yang sebenarnya adalah tentang nama baik Bagaskara. Bagaimana jika ada orang lain yang tahu bahwa Bagaskara melakukan kebohongan publik yang begitu besar. Bukankah sudah jelas itu akan menghancurkan reputasi keluarganya. Belum lagi keluarga Parker pasti tidak terima.

Azlan mungkin terlalu dangkal berpikir bahwa Ron dan Rani adalah dua orang yang bisa dia kendalikan. Nyatanya Ron maupun Rani mampu menerabas pagar menyakitkan itu.

"Lepaskan!"

Rani menghempaskan tangan Azlan sekuat tenaga. Mata Azlan pun menatap Ron yang mengatakan bahwa Rani adalah wanita yang bebas.

"Kamu mungkin lupa satu hal, Rani. Kamu telah menandatangani surat perjanjian kontrak itu," ucap Azlan mengingatkan Rani.

"Dalam surat kontrak tidak disebutkan bahwa aku tidak boleh menjalin hubungan dengan pria lain. Jadi jangan menyalahkan aku tentang ini semua."

Azlan tersenyum mengejek dan berkata,"Aku baru tahu sisi Rani yang murahan!"

Plak.

Ron terkejut melihat keberanian Maharani-nya. Bolehkah dia mengklaim wanita itu miliknya sekarang. Sudut bibir pria itu tertarik sedikit, melengkungkan sebuah senyum tipis.

Azlan mengangkat tangannya ingin membalas perlakuan Rani. Namun ucapan Ron membuatnya mengalihkan perhatiannya pada asistennya itu.

"Hanya pria pecundang yang berani main kasar sama wanita," sindir Ron.

Azlan mengepalkan tangannya dan tiba-tiba langsung memukul Ron dengan kuat. Ron terjengkang ke belakang. Maharani terpaku.

"Jangan memanggilku pecundang, jika kau adalah pecundang sejati. Berapa kali harus ku jelaskan padamu jangan ikut campur urusan pribadiku!"

Bugh bugh bugh

Tiga kali pukulan Azlan layangkan ke muka Ron. Rani meringis. Namun tidak berniat melerai. Bukankah sedikit egois itu menyenangkan?

Bibir Ron berdarah, tetapi pria itu sama sekali tidak mengeluh. Bahkan masih menatap Azlan dengan berani.

"Aku berharap pukulanmu itu adalah tanda bahwa kamu mengikhlaskan Rani untukku. Karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah melepaskan wanita yang aku tandai. Kamu tahu tentang itu bukan?"

Ron bangkit dan dengan sekali sentak tubuh Azlan berguling ke arah kiri. Ron menghampiri Rani yang gemetar.

Suara dering ponsel membuat Azlan tersadar dari syoknya. Pria itu gegas berdiri dan mengambil ponsel di dalam sakunya. Melihat nama yang tertera di layar ponselnya, buru-buru Azlan mematikan ponselnya. Persetan dengan Angela.

Azlan menoleh ke belakang sudah tidak ada siapa-siapa. Dia benar-benar ditinggalkan sendirian. Apa tadi dia tidak salah dengar bahwa Ron telah menandai Rani.

"Br***s*k!" Azlan mengumpat dengan keras. Hal yang paling tidak dia sangka-sangka nyatanya telah terjadi. Dikhianati oleh sahabat yang juga merupakan asistennya sendiri. Apakah sesakit ini rasanya saat Rani melihat pernikahannya dengan Angela. Atau mungkinkah lebih sakit?

Sementara itu, Rani dan Ron dalam perjalanan pulang. Rani masih gemetar di samping Ron. Meski begitu wanita itu selalu bilang baik-baik saja saat Ron menanyakan keadaanya. Bahkan dengan tangan gemetar pula Rani membersihkan darah di wajah Ron dengan tisu.

"Harusnya aku yang bertanya padamu, apa hidungmu patah?"

"Jika ternyata patah, apa kamu sanggup memperbaikinya?"

"Aku tidak bisa," lirih Rani sembari menggigit bibirnya.

"Bagaimana kalau aku tidak lagi mengenali baumu?"

"Maksudmu?"

"Hidungku patah dan tidak berfungsi dengan baik, aku salah mengenali orang dan mencium orang lain yang ku kira itu adalah kamu."

"Aku akan membuatmu tidak punya hidung sekalian," ucap Rani kesal.

Ron tertawa. Dia baru tahu sisi Rani yang konyol. Sisi yang selama ini tidak pernah diperlihatkan pada siapapun. Bahkan saat wanita itu menjadi kekasih seorang Azlan.

"Kita mau langsung pulang?"

"Tidak. Kamu harus ke rumah sakit, Ron. Jangan membantah."

"Ini tidak seberapa lukanya. Aku mau kamu saja yang mengobati ku," kata Ron sembari mengerlingkan matanya.

Rani tersenyum jengah. Kegilaannya hari ini ternyata menciptakan luka untuk orang lain.

"Maafkan aku," ucap Rani tulus. Wanita itu jelas merasa bersalah menyeret Ron dalam masalahnya.

"Jangan katakan itu, aku yang memutuskan mengikuti ide gila darimu."

Mereka berdua membisu. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Besok pagi aku mulai menghadapi Bagaskara," kata Rani. Entah keluhan atau hanya ingin memberitahu Ron.

"Pikirkan baik-baik. Kamu bisa pergi nanti malam."

"Aku akan bertahan dan membuat mereka semua menyesal," tekad Rani

"Apa kau sudah pikirkan baik-baik?"

"Ya, dan menurutku itu keputusan yang paling baik dan menguntungkan untukku."

"Baiklah, besok pagi aku juga masuk kantor."

Rani terkejut. Tentu dia masih sangat khawatir jika Azlan akan lepas kendali seperti tadi.

"Bagaimana kalau Azlan memecatmu?"

"Bukan masalah besar, aku mungkin bisa lebih berkembang jika lepas dari mereka," jawab Ron.

Rani terlihat bingung. Ron tidak seperti yang dia kenal selama ini. Di matanya Ron seperti pahlawan baginya. Ron juga selalu berdiri di pihaknya. Padahal selama ini dia orang itu bersahabat sangat akrab.

"Aku akan berhenti dari pekerjaanku, jika kamu juga berhenti. Kita akan pergi bersama mencari pengalaman baru di luar sana."

Rani ingin memekik kegirangan mendengar ucapan manis itu. Namun yang keluar dari mulutnya hanya sebuah pertanyaan singkat.

"Kenapa kamu begitu ingin bersamaku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status