"Udah lah, ma. Mereka jangan digangguin," kata Deri, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat semakin gelisah.
"Gak bisa, pa. Ini bener-bener cara mama buktiin kalau pernikahan mereka gak ada yang aneh," jawab Sabrina, penasaran.
"Kalau gitu, kita langsung aja tanya mereka perihal kontrak itu..."
Deri sangat serius kali ini.
"Mereka pasti gak akan jujur sama kita." Sabrina menggelengkan kepala, merasa lelah dengan drama yang entah mengapa tiba-tiba muncul di kehidupannya yang tenang.
Sakit kepala Lalita semakin berat, dua kali lipat rasanya. Kenapa Sabrina dan Deri bisa tahu tentang kontrak mereka? Semua mimpi buruk ini rasanya seperti datang silih berganti.
Saat keluar dari kamar mandi, Brian terhenti sejenak di pintu kamar. Ia menemukan Lalita duduk tertunduk di tempat tidur, wajahnya murung.
"Lit, ada apa? Kamu udah keluar atau orang tuaku ada ketuk pintu kamar?" tanya Brian dengan lembut.
"Papa mama kamu... Kok bisa merek
Sepulang kerja, David tidak langsung belok ke unit apartemennya.Ia mondar-mandir di lobi, terlihat gelisah. Sesekali menatap pintu masuk, lalu melihat ke arah lift.Tangannya masuk ke saku, lalu keluar lagi. Nafasnya berat.Ada sesuatu yang jelas mengganggu pikirannya.Beberapa menit kemudian, beberapa orang terlihat masuk dari pintu lobi.Lalita dan Brian baru tiba.Melihat David berdiri di tengah lobi seperti orang bingung, Lalita menyapanya."Kamu kenapa? Kok kelihatan gelisah banget?"David kaget. Wajahnya langsung tegang saat melihat mereka berdua bersama."I... Iya... aku lagi nunggu kalian," jawabnya gugup. "Ehem... hmmm..."Lalita dan Brian saling melirik."Emangnya ada apa? Cari kita?" tanya Lalita.David melangkah lebih dekat ke arah mereka. Ia menatap Brian sebentar, lalu menoleh ke Lalita."Aku mau ajak Lalita nonton film," ucap David pada Brian.Hening.Mata Brian dan Lalita membelalak bersamaan.Brian menegang. "Lo gila, ya? Ngajak istri orang nonton film?"David tetap
Wita memang memiliki kebiasaan mabuk yang buruk.Dan seperti biasa, ketika alkohol sudah masuk ke tubuhnya, Wita berubah menjadi seperti anak kecil yang pemarah—keras, kasar, dan tak peduli siapa yang jadi sasaran."Ya, aku memang bodoh. Dan kau akan segera bercerai dengan orang bodoh ini," ucap Hadi, rahangnya mengeras. Suaranya gemetar, dan giginya bergemeletuk menahan emosi.Ia menatap Wita yang sudah teler setengah mati. Tubuh perempuan itu limbung di tempat tidur.Kepalanya terus berputar-putar sedari tadi.Hadi tahu, marah sekarang hanya akan seperti menjerit di ruang hampa—semuanya akan menguap, lenyap tanpa arti."Hadi bodoooohhh..."Suara Wita melengking, nyaring seperti suara anak kecil mengejek di tengah keramaian pasar."Bodooohhh..." ia mengulang, tertawa."Si bodoh yang dengan senang hati terus jadi donatur akuuu... Teruslah kerja yang rajin yaaa agar hidupku nyaman..." katanya sambil tergelak, matanya sudah menatap entah kemana dan air liur hampir menetes dari sudut bib
"Denger suara ketawa mama kamu yang bahagia banget itu, mana mungkin papa tegang," jawab Hadi datar, suaranya terdengar hambar, bahkan sorot matanya gelap."Bener dong aku, kamu cantik. Lebih cantik dari istriku, dan lebih hot juga," ucap Fuad menggoda Wita.Benar-benar definisi pria hidung belang."Berarti aku memang lebih enak daripada istri kamu, kan?" tanya Wita sok imut.Lalita benar-benar merasa jijik mendengarnya. Mereka seperti pinang dibelah dua, benar-benar serasi."Jelas dong, sayang... Bibir kamu juga manis banget. Mana sini coba bibirnya..."Lalita mengatupkan rahangnya.Ia tak sanggup membayangkan lebih jauh apa yang sedang terjadi di balik sekat kayu restoran itu. Suara mereka... tawa mereka... sangatlah mesra, terlalu nyaring untuk diabaikan.Pasangan itu seperti anak remaja dimabuk cinta—lupa waktu, lupa malu.Saat suara tawa mereka mulai menjauh, Lalita menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Ia akhirnya angkat suara, tajam dan tegas:“Papa har
Diana masih diam.Ia tak berniat menjawab Brian. Diana terus mengemasi pakaian dan barang-barang lainnya dengan gerakan cepat dan keras, seolah setiap lipatan kain adalah pelampiasan amarahnya.Ia berdiri sambil menarik koper besarnya, rodanya berdecit kasar menyapu lantai marmer apartemen.Sebelum benar-benar keluar, Diana berhenti di ambang pintu. Ia menoleh, menatap Brian tajam, lalu menunjuk wajah pria itu dengan telunjuk kanan."Kita bubar... kalau kamu gak cerain dia hari ini juga," ucapnya dingin.Pintu pun menutup keras di belakangnya, meninggalkan aroma parfum mahal dan ketegangan yang menggantung di udara.***Malam harinya, Lalita kembali ke apartemen Brian."Rasanya aku udah lama gak ke sini," katanya ringan, menatap sekeliling."Kamu memang udah lama gak ke sini," jawab Brian tanpa menoleh.Lalita tersenyum dan langsung masuk ke kamarnya.Namun, langkahnya terhenti seketika. Kamarnya berantakan
Citra masih tersenyum, meski matanya mencerminkan sebaliknya."Iya... nanti aku bayarin, kalau memang bisa pakai jaminan ya...""Terus... pengacaranya dari firma hukum yang gede aja ya, sayang..." pinta Aldo, suaranya manja seperti anak kecil minta dibelikan mainan mahal."Firma hukum mana maksud kamu?""Firma Hukum Darmawan aja, kalau bisa," jawab Aldo enteng, seolah meminta hal yang sangat sederhana.Citra tersenyum kecut."Kok gitu senyumnya? Kamu gak mau? Kalo gak mau ya gak usah sekalian!" sentak Aldo, wajahnya langsung berubah cemberut."Bukan gitu, sayang..." jawab Citra, berusaha tetap tenang. "Firma Hukum Darmawan itu punya papanya sahabat Lita. Takutnya... dia pakai itu juga. Kalau dia yang pakai, kita gak akan bisa pakai jasa mereka.""Coba tanya dulu dong ke mereka!" rajuk Aldo, berusaha menekan Citra."Aku maunya mereka. Firma itu selalu menangin kasus-kasus besar, sayang. Emangnya kamu gak mau aku cepet beb
Kamar hotel itu sunyi, hanya ditemani suara samar dari lalu lintas kota yang tersaring tirai tebal.Lampu gantung memancarkan cahaya hangat keemasan, menciptakan bayangan lembut di dinding."Sebaiknya kamu tetap ketemu sama si Aldo itu," ucap Fuad, nada suaranya tenang dan tegas. Ia duduk bersandar di sofa empuk, tangannya menggenggam gelas kopi yang sudah mulai dingin."Kenapa harus ketemu dia lagi sih, Om? Aku gak suka ke penjara, pasti serem deh di sana," gerutu Citra, memeluk bantal sofa seolah mencari perlindungan.Wajahnya merengut, alisnya bertaut, suara gadis itu menyatakan keberatan yang sangat jelas.Di samping mereka, Wita hanya menghela napas, duduk rapi namun gelisah."Kamu belum bisa buang dia sekarang. Gimana kalau sampai dia hilang rasa sama kamu? Kamu harus buat dia percaya sama kamu sampai akhir," ujar Fuad lagi, matanya tajam menatap Citra."Ya kalau dia hilang rasa dan gak percaya sama aku juga kenapa memangnya, Om