Share

Bab 3. Perjanjian

Axel keluar dari ruang kerja Tuan Del Piero dengan wajah merah padam. Dia sungguh tidak habis pikir dengan Opa-nya itu.

Waktu itu, Opa-nya meminta dia untuk segera menikah. Setelah dia menikah, sekarang Opa-nya meminta dia untuk segera memberi Opa-nya cucu.

Sungguh ... Axel menyesal sudah kembali ke Indonesia jika seperti ini. Seharusnya, dia tinggal di Meksiko saja. Mengurus semua bisnis yang ada di sana, tanpa ada orang yang mengganggu dirinya.

"Ada apa, Tuan Muda?" tanya Maxime ketika masuk ke dalam ruang kerja milik Axel dan melihat raut wajah Axel yang sudah merah padam.

"Opa mulai berulah lagi!" jawab Axel sambil menyandarkan kepalanya di sandaran kursi kerjanya dengan mata tertutup.

Maxime menautkan alisnya. "Maksud, Tuan Muda?"

Axel menghela napas kasar. "Opa meminta cucu."

"Ukhuk! Ukhuk! Ukhuk!" Maxime terbatuk ketika mendengar apa yang diucapkan bosnya.

Axel langsung membuka matanya dan menatap Maxime kesal. "Ukhuk! M-maaf, Tuan Muda," ucap Maxime sambil menunduk.

Axel mendengkus. Setelah itu, dia memijat kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing. Axel sangat pusing dengan permintaan Opa-nya. Bahkan pusingnya saat ini melebihi pusingnya ketika dia harus menangani masalah bisnis.

"Apa kamu ada solusi agar aku cepat punya anak?"

Maxime menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Solusinya hanya satu, Tuan Muda."

"Apa?" tanya Axel sambil menatap Maxime.

"Ekhem." Maxime berdeham untuk menetralkan suaranya. "Anda harus tidur dengan Nona Muda dan membuat dia hamil, Tuan Muda."

Axel menyugar rambutnya. "Bagaimana aku bisa tidur dengan dia, sementara aku ...." Axel tidak melanjutkan kalimatnya.

"Sudahlah Maxime, lebih baik sekarang kamu pergi. Aku ingin istirahat," ucap Axel mengalihkan pembicaraan.

"Baik, Tuan Muda," jawab Maxime yang kemudian langsung pergi dari ruangan bosnya itu.

***

Emily keluar dari ruang kerja Tuan Del Piero dengan wajah muram. Di tangannya ada sebuah paper bag yang di dalamnya ada sebuah baju pemberian Tuan Del Piero.

Emily masuk ke dalam kamarnya dan kamar Axel. Dia mengembuskan napas panjang sambil menaruh paper bag itu di atas tempat tidur. Setelah itu, Emily mengambil baju yang ada di dalam paper bag.

"Astaghfirullah hal'adzim, baju apaan ini?" tanya Emily pada dirinya sendiri ketika melihat baju yang ada di tangannya sangat tipis dan kekurangan bahan itu.

"Ini sih baju renang anak SD, tapi untuk berenang saja ini tidak pantas," gumam Emily sambil membolak-balikan baju pemberian Tuan Del Piero.

"Sebenarnya apa tujuan Opa memberikan baju seperti ini sama aku?" tanya Emily sambil terus menatap baju itu dan memikirkan kata-kata Tuan Del Piero tadi yang mengatakan jika Axel akan menyukai baju itu. "Kok aku ragu ya?"

"Sudahlah, lebih baik aku simpan saja baju ini. Aku tidak mau memakai baju seperti ini. Dan lagi, jika sampai Om Axel melihat ini. Dia pasti akan mengira jika aku ingin menggoda dia."

Emily menyimpan baju itu. Setelah itu, dia masuk ke dalam kamar mandi dan membiarkan kamarnya tidak terkunci.

Sementara Axel yang sangat frustasi memikirkan permintaan Opa-nya, memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Dia ingin membicarakan sesuatu dengan gadis yang saat ini sudah sah menjadi istrinya.

Ceklek ...

Axel membuka pintu kamarnya dan berjalan masuk. Dia menoleh ke penjuru kamar dan tidak menemukan gadis kecil yang sudah sah menjadi istrinya.

"Ke mana dia?" tanya Axel pada dirinya sendiri. Namun, pertanyaannya terjawab ketika dia mendengar suara gemericik air di dalam kamar mandi.

Lelaki berumur tiga puluh delapan tahun itu bisa menebak jika Emily sedang mandi. Dia kemudian menduduk dirinya di sofa sambil menyibukkan diri dengan benda pipih di tangannya. Akan tetapi, aktifitasnya terganggu ketika dia merasakan dirinya telah menduduki sesuatu.

Dengan cepat Axel berdiri dan menatap benda yang tadi dia duduki. "Apa ini?" tanya Axel pada dirinya sendiri sambil menatap benda itu dengan seksama.

Hingga beberapa detik kemudian, kedua mata Axel melotot ketika mengingat benda apa itu. "Kenapa dia ceroboh sekali menaruh benda seperti ini di sini!" ucap Axel kesal.

Setelah itu, Axel berjalan menuju tempat tidur dan memutuskan untuk duduk di sana. Menyibukkan dirinya kembali dengan ponsel di tangannya. Menatap setiap laporan yang dikirim oleh orang kepercayaannya di Meksiko.

Ceklek ...

Pintu kamar mandi terbuka. Emily yang belum menyadari keberadaan Axel di dalam kamar berjalan dengan santai, hanya dengan handuk yang ia lilitkan di tubuhnya. Dia berjalan menuju sofa, di mana dia menaruh bajunya tadi.

Sebenarnya Emily biasa membawa bajunya ke dalam kamar mandi. Akan tetapi, karena tadi banyak yang dia pikirkan, dia menjadi lupa dan meninggalkan baju gantinya di atas sofa.

Emily baru saja akan memakai dalamannya. Namun, tindakannya terhenti ketika dia mendengar suara dehaman seseorang.

Ekhem ...

Dengan takut, Emily menoleh ke sumber suara dan melihat siapa yang ada di sana. Ya, walaupun Emily bisa menembak siapa orang yang ada di belakangnya. Akan tetapi, dia tetap memastikannya.

Kedua mata Emily melebar ketika melihat siapa yang sedang duduk di atas tempat tidur.

Gluk!

Emily menelan salivanya dengan kasar. Dia sangat takut dengan keberadaan Axel di sana. Apalagi, saat ini Emily hanya memakai handuk.

Sementara Axel segera menyimpan ponselnya ketika Emily sudah keluar dari dalam kamar mandi. Dia beranjak dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Emily.

Emily semakin takut. Detak jantungnya mulai berdetak tidak karuan ketika Axel semakin dekat dengannya.

"Apa kamu sengaja melakukan ini?" tanya Axel dengan raut wajah dan nada bicara yang sangat dingin.

"Maksudnya?" tanya Emily tidak paham.

Axel menatap Emily dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Sudah tahu maksud saya?"

Emily menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil mengangguk. "Aku tidak bermaksud serpeti ini, Om," jawab Emily dengan suara tercekat.

Axel mendengkus mendengar panggilan Emily untuk dirinya. Dia menatap tajam Emily. Setelah itu, dia berbalik dan berkata, "cepat pakai baju kamu, ada hal yang harus kita bicarakan!"

"Ba-baik, Om."

Dengan cepat Emily memakai baju tepat di belakang Axel. Ingin rasanya dia masuk ke dalam kamar mandi tetapi dia tidak ingin Axel marah kepada dia. "Saya sudah selesai, Om."

Axel berbalik dan menatap Emily dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia mengambil sebuah kertas yang ada di saku kemejanya. Setelah itu, dia memberikan kertas itu kepada Emily dan setelahnya dia duduk di sofa sambil mengangkat satu kakinya dan menaruh kakinya di atas kaki yang lain.

"Maksud Om apa?" tanya Emily tidak paham ketika melihat kertas di tangannya.

"Itu surat perjanjian."

Emily menautkan alisnya. "Sesuai apa yang tertulis di kertas itu. Pernikahan kita akan berjalan sampai kamu memberikan saya seorang anak. Jika nanti kamu sudah memberikan saya seorang anak, maka saya akan membebaskan kamu dari pernikahan ini. Saya juga akan memberikan sepertiga harta kekayaan saya untuk kamu dengan catatan kamu harus melahirkan anak laki-laki."

"Tetapi perlu kamu ketahui, jika saya tidak mudah berhubungan dengan sembarang wanita. Jika kamu ingin saya menyentuh kamu, maka kamu harus membuat saya tergoda dengan kamu," ucap Axel sambil menatap tubuh Emily dengan tatapan mencemooh.

Hati Emily sangat sakit ketika mendengar ucapan Axel. Apalagi dengan tatapan Axel, dia seakan sedang direndahkan secara tidak langsung oleh Axel. "Seberapa banyak apapun, Tuan memberi saya uang, saya tidak akan menerimanya. Saya melakukan semua ini hanya demi Opa."

"Cih!" Axel berdecih. Setelah itu, dia langsung pergi keluar dari kamar entah akan ke mana.

Emily menatap pintu kamar yang sudah tertutup rapat. "Aku berjanji demi Opa, aku akan buat kamu jatuh cinta sama aku."

Comments (16)
goodnovel comment avatar
Ya Lee
tenang Em, sekarang Axel dingin. Entar bukan bucin lagi, posesif
goodnovel comment avatar
Zetha Salvatore
Nah kan, ayuk Emily kursus kilat sama Zetha, bikin Axel klepek2 ga bisa jauh dari kamu. setiap saat pengen ciumin aroma ketekmu #ech haha
goodnovel comment avatar
Halimah Ema
Awas aja Axel ya, jatuh cinta saja baru tahu rasa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status