“Sayang, boleh tidak aku pergi ke Singapore dengan Angel selama tiga hari?”
Leon yang sedang sibuk mengetik sontak menoleh mendengar permintaan Chelsi. Wanita itu tengah menatapnya dengan ekspresi memelas. “Apa? Ke Singapura?”
“Iya, soalnya aku diundang ke salah satu acara pagelaran di sana. Model-model yang lain juga bakal datang, jadi boleh ya, Sayang?” kata Chelsi dengan suaranya yang manja.
Chelsi menampilkan senyum termanisnya pada Leon—berharap Leon luluh—tetapi, ekspresi tidak setuju di wajah pria itu sama sekali tidak berubah. Malahan, Leon kembali melanjutkan pekerjaannya.
Chelsi berdecak pelan. “Sayang? Kamu kok diam aja?”
Leon menghela napas lelah. “Chelsi, kamu ini sedang hamil. Kalau untuk bepergian jauh seperti itu, aku tidak bisa mengizinkanmu. Kamu sebaiknya membatalkan rencana itu,” jelas Leon, masih fokus pada layar laptopnya yang menyala dan tengah menampilkan statistik laba perusahaan.
“Ck, Sayang. Kamu ini terlalu berlebihan!” Chelsi mencebik tidak suka. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap kesal Leon yang berusaha mengabaikannya.
Leon masih bungkam.
“Padahal cuma tiga hari! Setelah itu, aku langsung pulang,” tekan Chelsi dengan suara jengkel. “Lagi pula, aku ke Singapore naik pesawat dan tidak lama. Waktu tiga hari pasti akan berlalu dengan cepat,” gerutunya.
Lagi-lagi, Leon mengembuskan napas panjang. Ia merasa sangat lelah dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya, bahkan saat hari Sabtu seperti ini. Tetapi, Chelsi tetap saja tidak mengerti.
Dia begitu keras kepala jika telah menginginkan sesuatu.
“Sayang, tolong mengertilah. Ini semua demi kehamilanmu. Aku khawatir sesuatu terjadi sama kamu dan anak kita,” jelas Leon, berusaha bersabar dan membujuk Chelsi. “Kamu tau 'kan kalau ibu hamil tidak boleh sering-sering naik pesawat. Bulan lalu, kamu 'kan juga sudah pergi liburan dengan teman-temanmu. Apa sekali ini saja tidak bisa dibatalkan?”
Leon hanya ingin menasehati Chelsi, tetapi sepertinya Chelsi memang tidak mau mengerti. Dia tetap ingin mempertahankan egonya yang setinggi langit.
“Tapi itu 'kan bulan lalu!” bantah Chelsi dengan nada suara yang mulai meninggi. Leon menyentuh pundak Chelsi, tetapi Chelsi menepisnya dengan cepat. “Kamu emang nggak ngerti gimana susahnya jadi ibu hamil! Harusnya kamu bikin aku senang biar kehamilanku tetap sehat! Tapi kamu cuma mentingin pekerjaan kamu!”
Leon menatap frustrasi. “Bukan begitu. Aku cuma khawatir—”
“Udahlah.” Chelsi berdiri cepat dari kursinya sebelum Leon sempat meraihnya. Ia melangkah keluar dari ruang kerja Leon sambil menghentak-hentakkan sepatunya ke lantai.
“Ck! Chelsi?! Sayang?!” panggil Leon, tetapi tidak digubris. Pintu dibanting tertutup dan Chelsi menghilang dibalik pintu.
Leon memijat batang hidungnya dan menutup laptop dengan kasar. Ia menyandarkan kepalanya ke belakang, lantas memikirkan permintaan Chelsi.
Bagaimana pun juga, Singapore bukan tempat dekat yang membuatnya bisa menerima keinginan Chelsi begitu saja.
Mungkin Chelsi akan berubah pikiran setelah beberapa jam, pikirnya.
Leon membuang napas berat, lalu memijat-mijat kepalanya. Sudah berapa kali Leon menasehati, tetapi kemauan Chelsi tetap saja selalu membuatnya merasa cemas.
***
Leon meletakkan sendoknya dan berhenti menyantap sarapan. Ditatapnya Chelsi yang hanya mengaduk-aduk daging dalam piringnya, tampak tidak berniat untuk memakannya sedikit pun.
“Sayang, kenapa makanannya cuma diaduk-aduk? Ayo makan yang banyak,” kata Leon, menambahkan lauk ke piring Chelsi. “Kamu makannya dikit banget dari tadi.”
Leon menatap khawatir, tetapi Chelsi hanya semakin cemberut. Wajahnya ditekuk dan sama sekali tidak bersemangat. Dia bahkan tidak memandang Leon.
“Aku nggak nafsu makan. Kamu saja yang makan banyak,” kata Chelsi dengan suara judes. Dia hanya kembali mengaduk-aduk makanannya tanpa minat.
Leon mengangkat satu alisnya, tidak mengerti dengan sikap Chelsi. “Kenapa kamu tidak nafsu makan, Sayang? Apa kamu tidak enak badan?” tanya Leon lembut.
“Bukan, sedang tidak mood saja pokoknya,” balas Chelsi cuek.
Leon memperhatikan Chelsi untuk waktu yang lama dan pikirannya melayang ke kejadian semalam. Apakah Chelsi masih kesal karena Leon menolak permintaannya terkait liburan itu?
Dilihat dari sikapnya sekarang, sepertinya mamang benar.
Tetapi liburan itu ... bagaimana mungkin Leon bisa mengawasi Chelsi jika ia sendiri disibukkan dengan pekerjaannya?
“Sayang dengerin aku dulu,” ucap Leon penuh perhatian. Chelsi melirik sekilas, lalu kembali menatap makanannya. Leon menghela napas, dengan terpaksa membuat janji. “Bagaimana kalau bulan depan kita pergi liburan berdua? Kamu tunggu sebentar saja, sampai pekerjaanku agak senggang dan kita bisa pergi berlibur sepuasmu,” jelas Leon.
Ia kira bujukannya akan berhasil, namun Chelsi tetap saja cemberut. Bahkan dia tidak bereaksi sedikit pun dengan janji Leon.
“Sayang ....”
Chelsi menggeleng dengan bibir terkatup rapat. Dia mengelus perutnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Sayang, coba denger Papa kamu, dia nggak sayang sama kamu dan Mama. Mama mau liburan aja Papa-mu nggak setuju,” ucapnya sendu pada bayi dalam kandungannya. Dalam beberapa detik, tangis Chelsi sepertinya akan tumpah.
Leon seketika dihinggapi rasa bersalah. Jika ia terus menolak, maka Chelsi akan benar-benar menangis. Dan Leon tidak mau hal itu terjadi.
“Baiklah, baiklah,” ucapnya pada akhirnya. “Kamu boleh pergi ke Singapore, Sayang. Tapi dengan syarat, hanya tiga hari, tidak boleh lebih.”
Chelsi pun langsung mendongak dan menatap wajah Leon dengan senyum sumringah. “Barusan, benarkah? Kamu serius 'kan? Kamu mau mengizinkanku pergi, Sayang?” tanya Chelsi memastikan. Dia terlihat antusias.
Leon mengangguk dengan terpaksa. Mau bagaimana lagi, ia tidak mau Chelsi sampai sedih dan ikut membahayakan bayinya.
“Apa pun itu asal kamu senang, Sayang,” ucap Leon.
Chelsi sontak bersorak bahagia dan memeluk Leon dari samping. “Makasih ya, Sayang. Aku seneng banget. Aku janji cuma tiga hari di sana, kok.”
“Sama-sama, Sayang,” balas Leon.
Sementara itu, Ayana yang baru selesai sarapan dan hendak keluar malah tidak sengaja mendengar pembicaraan keduanya.
Setiap kali melihat kebersamaan Chelsi dan Leon, otaknya juga otomatis teringat kejadian saat Chelsi bertemu dengan Raka—mantan bosnya.
Mungkin Ayana memang hanya melihat kebersamaan mereka selama beberapa menit, tetapi Chelsi terlihat jauh lebih bahagia saat bersama Raka dibanding Leon.
Ayana bukan orang yang suka membuat asumsi, tetapi dari pancaran mata Chelsi saja sudah terlihat jelas.
Apa sebenarnya hubungan keduanya? Dan Leon sama sekali tidak mengetahui hal itu?
‘Kalau benar Mbak Chelsi selingkuh sama Tuan Raka di belakang Mas Leon, aku nggak bisa bayangin. Kasihan sekali Mas Leon, dia begitu tulus mencintai Mbak Chelsi’, batin Ayana.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ia bisa melihat betapa Leon sangat perhatian dan menyayangi Chelsi sebagai istrinya. Dia selalu memperlakukan Chelsi dengan baik, mempercayai apa pun perkataannya, dan menuruti semua permintaannya.
Tidak mungkin Chelsi dengan tega menyia-nyiakan semua itu.
Jauh di lubuk hatinya, Ayana sendiri terkadang berharap mendapatkan sedikit perhatian dari suaminya, tetapi ia sadar diri dengan posisinya.
Ayana terduduk di kamarnya dan memutar ulang kebersamaan Chelsi dan Raka. Kalau pun perselingkuhan mereka benar adanya, Ayana tetap saja tidak bisa berbuat apa-apa.
Leon pasti tidak akan percaya padanya. Skenario terburuk jika Ayana buka mulut adalah Ayana pasti akan dituduh mengada-ada. Mereka akan semakin membencinya karena telah berani memfitnah Chelsi.
“Lebih baik aku tidak campur dan seolah tidak pernah melihat kejadian itu,” gumam Ayana pada dirinya sendiri. Ia tidak ingin kembali dihina seperti yang lalu-lalu.
Ayana lantas bergegas berganti baju, untuk kemudian bersiap menuju rumah ibunya.
***
‘Tiga hari liburan di Singapore dan bersenang-senang. Ah, betapa menyenangkannya!’
Chelsi melangkah ke halaman belakang dengan senyum mengembang. Ia berniat untuk menelepon seseorang demi memberitahukan keberhasilannya membujuk Leon.
Halaman belakang sedang sepi dan semua orang sedang beristirahat sekarang. Ini waktu yang tepat bagi Chelsi.
Ditempelkannya ponsel ke telinganya, lalu tak lama telepon diangkat. “Halo, Sayang,” sapa Chelsi dengan antusias.
“Hai, Sayang,” jawab suara di seberang telepon dengan tawa ringan. Senyum Chelsi semakin lebar dibuatnya. “Jadi gimana?”
“Coba tebak?” tantang Chelsi dan pria di seberang telepon kembali tertawa. Chelsi jadi cekikikan sendiri. “Aku punya kabar gembira untukmu, Sayang,” ujar Chelsi dengan suara yang nyaris seperti bisikan. Ia menatap sekitar, memastikan tidak ada seorang pun yang mendengar pembicaraannya.
“Kabar gembira apa?” tanya suara di seberang telepon.
“Itu, aku sudah dapat izin dari Leon untuk pergi liburan ke Singapore. Aku menggunakan Angel sebagai tamengku,” kata Chelsi dengan senyum licik yang tidak bisa disembunyikan.
Yang ditelepon pun menjawab dengan sama antusiasnya. “Bagus kalau begitu!”
“Iya, Sayang. Kita bakal senang-senang di sana,” sahut Chelsi dengan kepala yang terus celingak-celinguk ke sekitar.
Chelsi kira tidak ada seorang pun yang mendengar ucapannya, tetapi dibalik dinding yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri, Rara bersembunyi dengan tegang.
Meskipun Chelsi berbisik-bisik, Rara masih bisa mendengar semuanya dengan jelas.
‘Siapa yang Kak Chelsi telepon dengan wajah bahagia seperti itu? Dan kenapa dia sampai memanggilnya dengan sebutan ‘Sayang’?’
Bersambung ....
Setelah keluar dari rumah sakit, keadaan Rita perlahan mulai membaik. Walaupun Rita masih harus menggunakan kursi roda dan berjalan dengan dipapah, tetapi hal itu setidaknya jauh lebih baik dibanding terus terbaring di atas ranjang.Rita merasa lega karena bisa kembali ke rumah dan menghirup udara segar tanpa bau antiseptik yang menyengat. Meskipun begitu, hari-hari yang ia lalui selama di rumah sakit telah memberikan banyak pelajaran baginya.Terutama mengenai hal kejam yang selama ini Rita lakukan pada Ayana.Saat baru tiba di rumah, hal pertama yang Rita ingin lakukan adalah meminta maaf secara langsung pada Ayana dan Hana.Sore itu, Ayana dan ibunya datang dengan wajah yang masih terlihat agak takut. Rita semakin dirundung rasa bersalah melihat hal itu, menyadari trauma yang ia berikan pada keduanya sangat besar.“Aku tahu aku ini wanita yang sangat buruk dan perlakuanku mungkin tidak bisa dimaafkan, tapi aku mohon terimalah maaf dariku,” ucap Rita dengan wajah tertunduk malu. Kil
David menyeringai lebar penuh kepuasan, merasa kalau Leon akan sangat terkejut dan menyesal setelah mendengar ucapannya. Tetapi, apa yang terjadi selanjutnya membuat seringai David memudar.“Ah, benarkah?” kata Leon dengan ekspresi acuh tak acuh, sama sekali tidak terlihat peduli dan malah tersenyum miring. “Sepertinya kalian ketinggalan informasi penting, ya? Apa anak yang kalian banggakan itu lupa bicara tentang bayi yang dikandungnya?”David dan Natalie mengernyit heran. Keduanya menatap Leon dengan tatapan bertanya-tanya.“Apa maksud kamu, hah? Kamu ini nggak ada sopan-sopannya, ya?” David menggeram kesal. Tangannya mulai menunjuk-nunjuk wajah Leon. “Walaupun Chelsi selingkuh, tetap aja anaknya itu anak kamu juga. Apa mungkin kamu nggak mau tanggung jawab?”Leon tertawa keras mendengar hal itu dan menggeleng-geleng. David tampak semakin kesal dan wajahnya berkerut masam. Kedua tangannya sudah terkepal erat di sisi tubuhnya, sementara Natalie menatap dengan sinis.Saat tawa Leon be
“Apa? Mama masuk rumah sakit? Stroke kamu bilang?” tanya Leon panik. Leon yang tadinya ingin menemui klien malah dikejutkan oleh telepon tidak terduga dari sang adik.“Iya Kak, cepetan Kakak ke sini, soalnya Mama cariin Kakak terus,” balas Rara di seberang telepon. Suaranya terdengar sangat gusar dan membuat perasaan Leon semakin tidak karuan.“Iya, Kakak bakal segera ke sana. Kamu jaga Mama, ya,” ucap Leon cepat sebelum memutuskan sambungan.Leon menyimpan kembali ponselnya di saku dan menatap Frans yang berdiri di seberang meja kerjanya. “Frans, batalkan semua janjiku hari ini. Aku harus pulang sekarang, Mamaku masuk rumah sakit.”Frans langsung mengangguk patuh. “Baik, Tuan.”Leon lantas meraih jasnya dan bergegas kembali ke rumah ibu Ayana. Ia berniat untuk mengajak Ayana sekalian menjenguk ibunya.Begitu tiba di rumah, Ayana yang melihat kepulangan Leon secara mendadak sontak menatapnya khawatir. Apalagi wajah Leon terlihat sangat cemas. “Mas Leon kenapa?”“Mama masuk rumah sakit
“Cepetan! Kamu tunggu apalagi?! Kamu mau kita berdua masuk penjara kalau dia sampai mati?!” desak Angel pada Raka yang masih bergeming di tempat.“Iya, iya!” sahut Raka, agak terpaksa. Ia memasang kaosnya dengan asal, lalu mendekati Chelsi yang matanya sudah setengah terbuka. “Astaga.”Tangan Raka gemetar hebat saat membawa tubuh Chelsi yang nyaris tidak sadarkan diri itu ke dalam gendongannya. Ia takut setengah mati dan menyesal telah mendorong Chelsi terlalu keras.‘Sial! Seharusnya aku langsung seret saja Chelsi keluar. Kalau begini, aku juga yang bakal dapat masalah nanti,’ batin Raka gusar.Chelsi terus merintih kesakitan, meskipun matanya hampir tertutup sempurna. Darah yang keluar dari sela pahanya telah mengotori pakaiannya dan meninggalkan bekas merah di lantai keramik Angel.Raka melirik Angel yang memasang pakaian dengan buru-buru, lantas wanita itu mengisyaratkan Raka untuk bergegas turun menuju mobilnya.Keduanya berjalan tergesa-gesa menuju garasi, lalu menempatkan Chels
“Raka?! Kamu ...?”Chelsi tercengang di tempat dan membelalak melihat kehadiran Raka di rumah Angel sepagi ini.‘Sekarang baru jam enam pagi, dan apa yang mungkin Raka lakuin di rumah Angel?! Kenapa dia juga nggak pakai baju dan cuma memakai boxer?!’Chelsi termangu di tempat dan menelisik penampilan Raka yang begitu kacau dari atas sampai ke bawah. Rambutnya acak-acakan, wajah bantalnya masih kentara, dadanya yang telanjang tampak basah karena keringat, dan terakhir, celana boxer yang dia kenakan tampak dipasang secara buru-buru melihat posisinya yang miring.Chelsi bahkan tidak perlu berpikir keras untuk tahu kalau Raka bermalam di rumah Angel, atau mungkin lebih dari itu.Apa mungkin Raka dan Angel memiliki suatu hubungan istimewa selain dari pertemanan ketiganya?‘Bukan, tapi apa mungkin Raka dan Angel berselingkuh dan menjalin hubungan di belakangku?! Kalau bukan itu, memangnya apalagi yang Raka lakuin sepagi ini di sini?’“KENAPA KAMU BISA ADA DI SINI, HAH?!” jerit Chelsi, tidak
“Ayana? Nak? Ayana?”Ayana yang tengah melamun sontak tersentak saat sebuah tangan mengguncang pundaknya dengan ringan. Ia menoleh dan melihat ibunya sudah duduk di kursi sebelahnya.“Nak, kamu kenapa? Kok melamun begitu? Ibu panggil dari tadi lho,” kata Hana khawatir. Ia telah memanggil Ayana sejak berdiri di sudut ruang tengah, tetapi Ayana sama sekali tidak menggubrisnya. Barulah ketika ia mengguncang bahunya, Ayana baru tersadar. “Apa yang kamu pikirin sampai melamun begitu, Nak? Apa terjadi sesuatu?”“Ah, itu ....” Ayana mengubah posisinya sejenak dan meraih tangan ibunya. “Nggak Bu, ini bukan tentang Ayana, tapi tentang Mas Leon sama Mbak Chelsi.”“Memangnya ada apa dengan mereka, Nak? Apa ini berkaitan sama kejadian sebelumnya?” tanya Hana cemas. Ia takut Ayana kembali mendapat ancaman dari Chelsi dan Leon ikut terlibat di dalamnya.Ayana menggeleng dan menghela napas. “Itu ... katanya, mas Leon mau ... menceraikan mbak Chelsi, Bu,” ucap Ayana dengan suara pelan. Leon sedang me