Kuhentikan mobilku dipinggir jalan. Jalan ini sepi, di sebelah kanan kanan ada persawaan yang dibuat dengan model terasering, di sebelah kiri ada jurang yang terlihat lumayan dalam. Aku mendekati jurang tersebut, terasa aku sangat merindukan mama. Kubiarkan air mataku terus berlinang. Bayang-bayang Endruw, Anita, perawat-perawat tadi, kecelakaan itu semua berkecamuk di otakku.
“Kenapa? Kenapa engkau menjadikan semua seperti ini Ya Allah?” Aku berteriak dengan sangat keras. Kubasuh air mata di kedua pipiku, aku berjalan maju ke depan mendekati jurang. Aku sudah tidak dapat berfikir jernih, aku ingin mengakhiri semuanya. Selangkah lagi menuju gerbang kematian. Aku berhenti melangkah, antara ragu dan yakin. Kuamati sekelilingku, kurasakan tarikan bumi yang memintaku untuk mundur. “Mama.. Firza kangen mama, Firza pengen sama mama”, gumamku lirih yang langsung menghilang oleh terpaan angin. Aku masih terdiam, bahkan kakikupun tidak kuasa untuk
“Kamu enggak pulang Fir?” Tanya Rani memecahkan lamunanku. Sudah tiga hari aku menginap di rumahnya. Awalnya aku ingin Endruw menjemputku disini tanpa aku minta. Sampai hari ketiga ini ternyata dia sama sekali tidak datang. Bahkan sekedar menanyakan kabarku saja, tidak.“Kamu pulang lah Fir, kamu bicarakan baik-baik sama Endruw. Pasti ada jalan keluarnya kok. LAgian kamu belum pernah kan bicara baik-baik sama dia.” Imbuhnya lagi sambil mengamati raut wajahku. Aku yakin Rani pasti tahu kalau aku sedang bimbang.“Iya, sebaiknya aku pulang.” Jawabku setelah menghembuskan nafas panjang setelah berusaha menghilangkan keraguan di hatiku dan berifikir dengan sehat. Rani benar selama ini aku hanya memendam ketidaksukaaanku pada hubungan Endruw dan Anita sendirian. Mungkin Endruw akan mengerti jika aku mengatakan padanya apa isi di hatiku.Sore ini aku pulang ke rumah Endruw ditemani Rani. Di garasi depan tidak terlihat m
Di sebuah pantai yang indah, dengan pasir berwarna putih bersih. Sepanjang mata memandang hanya terlihat samudra yang luasnya tak terkira. Saat mendongak sedikit ke atas terlihat matahari yang akan pulang. Sinarnya kian meredup. Pelan-pelan dia menghilang, bersembunyi dibalik awan. Dari kejauhan kulihat seekor kuda putih yang ditunggangi oleh pangeran. Mata pangeran itu begitu tajam dan menatapku dengan penuh paksaan. Kuda itu berlari dengan cepat, dan sebentar lagi sampai padaku. Pangeran itu mengulurkan tangannya mungkin dia akan menggapaiku dan membawaku ikut serta. Namun.. Suara dering ponselku menghilangkan semuanya. Mimpi yang indah itu telah hilang bersamaan dengan nama Rani yang muncul di layar ponsel.Aku mendengus sedikit kesal. Kukumpulkan segala ingatanku, kepalaku tiba-tiba pusing saat teringat pertengkaran dengan Endruw semalam. Dengan segala kekuatan yang aku miliki kucoba untuk duduk sambil mengangkat telfon dari sahabatku ini.“Hallo Ran”
Aku menutup wajah saat melihat beberapa baju tidur sexy yang telah kubeli bersama Rani di mall. Kuangkat baju berwarna merah berenda. Baju ini hanya terdiri dari celana dalam kecil dan bra yang dibuat berumbai, terkesan sangat sexy. Apalagi warna merah menyalanya yang terlihat menantang. “Ini ya yang namanya lingeri, terus gimana makenya?” Tanyaku pada diri sendiri. Kedua aku mengangkat baju berwarna putih tulang, baju ini terbuat dari bahan kain yang sangat lembut nan halus. Terlihat lebih masuk akal dari baju sebelumnya namun tetap saja terlihat sexy. “Nah ini belahan dadanya kok bisa turun banget.” Kemudian yang ketiga kuangkat sebuah lingeri lagi yang berwarna hitam. Baju ini sangat berani dia hanya menampilkan celana dalam kecil dan bra berenda. “Cuma pake gini doang apa enggak masuk angin”, kataku lagi hampir putus asa.Aku merasa sangat jengkel dengan kelakuan Rani. Siapa lagi kalau bukan dia yang memilihkan semua baju-
“Fir, kok gak ada makanan sih. Bik Tuni kemana?” Tanya Endruw lagi. Dan sekali lagi, aku memang sangat bodoh.“Ndruw, makanannya sudah aku siapin di kamr. Kita makan di kamar aja yuk!” Ajakku yang kali ini aku mencoba untuk fokus dan tidak terjebak dengan kebodohan yang aku buat sendiri.Endruw tidak menjawab, dia hanya segera bergegas kembali ke atas untuk masuk ke kamar menuruti perintahku. Aku masuk ke dalam kamar, mencoba membuat suasana kamar seperti apa yang telah aku rencanakan.Di ujung pintu Endruw hanya berdiri tegak sambil melihat ke arah sekeliling, dia pasti bingung dengan apa yang terjadi. “Ada acara apa Fir?” Katanya sambil memasuki kamar. Kuberikan selembar kertas yang bertuliskan kata “Sorry” dengan hiasan-hiasan receh kepada Endruw sambil kujewer telingaku. Aku berharap Endruw mengerti kalau aku minta maaf atas pertengkaran kami tadi malam.Endruw membuka kertas itu dan membac
Dijalan Endruw mengendarai mobil dengan ugal-ugalan. Antara rasa lelah setelah seharian bekerja dan rasa cemas memikirkan Anita. Semua yang berada di posisi Endruw pasti akan mengalami hal yang sama. Terlihat jelas kantung mata di bawah kelopak mata Endruw yang menandakan dia sangat mengantuk, begitu pula dengan kecemasan yang tampak juga tersurat di wajahnya.“Ndruw pelan-pelan.” Kataku sambil mengeratkan pegangan tanganku. Endruw hanya menatapku sekilas tanpa membalas ucapanku. Namun dia sedikit menurunkan kecepatan mobilnya, mungkin dia tahu kalau aku sangat ketakutan dengan cara dia mengemudikan mobil malam ini.Sesampainya di rumah sakit Endruw segera berlari ke arah kamar Anita. Aku ikut berlari membelakanginya. Tampak Endruw menyalakan ponsel dan bersiap menghubungi seseorang, mungkin Endruw akan menghubungi Riri.Kamu dimana Ri?Oke aku segera kesanaEndruw berlari mendekati lift, dia masuk ke dalam lift yang kebet
Aku mengayunkan langkahku menyusuri koridor rumah sakit yang tampak menyeramkan. Di sebelah kanan dan kiri ada taman luas yang hanya diterangi lampu remang-remang. Sehingga tampak lebih meyeramkan. Entah mengapa aku tiba-tiba teringat adegan film yang suka dilihat mama, adegan menyeramkan di rumah sakit. Aku pun mempercepat langkahku. Namun langkahku tidak semakin cepat, malah seperti ada yang menarikku dari belakang. Bulu kudukku berdiri, mataku sengaja kupejamkan. Aku tetap berusaha untuk menggerakkan kakiku ke arah depan. “Padahal tadi berangkatnya biasa aja, ini kenapa sekarang balik lagi jadi gini sih?” Tanyaku pada diri sendiri sambil masih terus melangkah. Pasalnya aku memang bukan orang penakut. Saat keluar dari rumah sakit untuk menebus obat ini pun aku masih santai-santai saja.Tiba-tiba Brugg.. Tubuhku menabrak sesuatu. Memang wajar karena aku membiarkan mataku terpejam sambil berjalan. “Maaf Mas, maaf saya tidak sengaja.” Ucap
“Ma, mama dimana?” Teriakku memanggil orang yang sangat aku sayangi. “Cepet banget sih mama perginya, mama..” Teriakku lagi. Aku sekarang berada di sebuah tempat yang sangat indah. Aku berada di pinggir sungai yang yang sangat jernih, dikelilingi oleh bukit yang nampak teduh. Pohon-pohon yang berjajar rapi dengan daun lebat yang hijau. Suara burung yang berkicauan menambah teduhnya hati ini. Aku mencari mama, pasalnya tadi mama berada di sebelahku. Kudekap erat mamaku, seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya. Mama membelai kepalaku lembut, sampai aku terbuai dengan kasih sayangnya. Dan saat mataku mulai terpejam mama pun pergi. Entah kemana mamaku pergi. Aku mencarinya kesana kemari namun tidak kutemukan. Dalam pencarianku, aku melihat seorang laki-laki menaiki kudanya. Laki-laki yang terlihat sangat berwibawa dengan pakaian kerajaan di tubuhnya. Dia mengarahkan kuda itu untuk mendekatiku, semakin dekat sampai aku mengetahui dengan jelas
Kubuka pintu rumahku, kulihat sekeliling. Terlihat bersih dan rapi. Dua hari sekali Siti memang datang ke sini untuk bersih-bersih. Kuletakkan tasku di kursi ruang tamu. Kursi yang menjadi saksi saataku mencuru-curi pandang kepada Endruw saat pertama kali dai datang ke rumah ini. Pandanganku beralih ke sebuah bufet, disana berjajar rapi foto-fotoku dan foto mama. Kuambil sebuah figura fotoku dan mama. “Ma, Firza kangen sama mama.” Kataku sambil memeluk figura itu.Tiba-tiba di luar terdengar saura bising. Aku mendongakkan kepalaku keluar, kudengar suara Siti dari arah luar. Aku berjalan ke arah pintu. Terlihat Siti sedang berbicara dengan seorang bapak-bapak. “Oh mungkin bapak-bapak itu yang mau menyewa rumah ini.” Batinku. Aku berjalan ke arah luar.“Mbak FIrza, sudah lama disini mbak?” Tanya Siti.“Belum”, jawabku sambil memandang Siti dan bapak itu bergantian.“Ini mbak, ada bapak-bapa