"Kamu jebak Aku, hah?" Wajah Elkan memucat melihatku bertolak pinggang di hadapannya. "B-bukan. Tenanglah Salma! Duduk dulu! Kita belum bicara." "Jika memang ada yang ingin kamu bicarakan. Langsung saja sama Mas Yuda." Aku meraih tasku dan bersiap untuk meninggalkan meja. "Salma, tunggu dulu, please ...!" Elkan mencekal pergelangan tanganku. "Lepas!" jeritku tertahan. "Oke, oke, Maaf!" Elkan melepaskan dan mengangkat kedua tangannya. Tanpa berkata-kata lagi Aku segera meninggalkan pria yang masih mematung menatap kepergianku. Dengan langkah lebar aku keluar dari cafe ini. Sungguh emosiku memuncak saat ini. Napasku memburu. Dadaku kembang kempis menahan amarah. Sungguh keterlaluan pria itu. Aku masih berdiri di sebrang cafe menunggu taksi online yang sudah aku pesan. Sedikit cemas karena hari sudah hampir sore. Aku harus segera tiba di rumah sebelum Mas Yuda pulang. Untuk kesekian kalinya merutuki diri ini. Kebodohan yang aku lakukan tadi bisa mengancam keutuhan rumah tangga
POV SYIFA Hari ini aku akan ikut Pak Yuda meeting di salah satu hotel bintang lima. Wah, ini kesempatan emas untukku bisa menggoda pria tajir itu. Aku harus bisa mengajaknya ke kamar hotel. Aku akan mencari cara agar bisa mengajaknya ke salah satu kamar di sana. Sebuah lingeri dengan model yang menantang sudah aku persiapkan. Lagi-lagi aku tersenyum sendiri membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Kembali aku memeriksa penampilan di cermin. Seharusnya sejak awal aku tidak usah memakai hijab ini. Agar Pak Yuda bisa menikmati kecantikanku. Tapi sejak pertama bertemu dengannya aku sudah memakainya, walau hanya pura-pura. Tidak mungkin tiba-tiba aku lepas. Justru nanti Pak Yuda bisa berpikiran buruk padaku. Bosku itu bilang akan menjemputku di depan ruko, semua data yang dia perlukan sudah aku siapkan sejak kemarin di kantor. Sebuah mobil mercy hitam berhenti tepat di depanku. Kaca mobil depan terbuka. "Silakan, Non Syifa! Duduk di depan saja," teriak Pak Supir. Apa ? Duduk di dep
Pov Syifa"B-bapak di sini sendiri?" tanyaku pura-pura gugup. "Ya. Silakan saja kamu istirahat beberapa jam," sahutnya tanpa menoleh. Huh, Dasar laki-laki sombong! Semoga saja nanti dia menyusul ke kamarku. "Sini kuncinya, Pak!" ketusku pada Pak Supir setelah kami keluar dari restaurant. "Saya antar ke kamar saja, Non!" "Nggak usah! Mana kuncinya, cepetan!' bentakku. Dengan wajah ketakutan Pak supir itu menyerahkan kunci kamar yang sudah dibooking itu padaku. Kamar 1101. Gegas aku melangkah mencari kamar tersebut. Ternyata kamar ini begitu luas. Aku segara mengganti pakaianku dengan lingeri yang kubawa dari rumah. Dengan rambut panjangku yang tergerai indah, membuatku berdecak kagum melihat penampilan seksiku di cermin. Bagaimana caranya agar Pak Yuda bisa menemaniku di sini? Aku meraih ponselku dan mengirim sebuah pesan untuknya. [Pak, ternyata kamar hotelnya luas sekali. Bapak bisa lanjutkan pekerjaannya di sini sambil istirahat] Aku terus memandangi layar ponselku cukup
POV SYIFA "Jangan sekarang. Bapak sedang tidak bisa dikunjungi." Elkan memandang tajam padaku Sepertinya dia tak percaya dengan apa yang aku katakan barusan. Bagaimana ini? Dari tatapannya Elkan tampak mulai meragukanku. "owh ... oke, oke. Nanti aku cari waktu yang tepat untuk menemui Bapakku." Akhirnya aku menyerah. "Sekarang saja," ujarnya. "A-apaa? Sekarang? Harus gitu?" Elkan mengangguk cepat. "Lebih cepat, lebih baik," tegasnya. Aku menghela napas dengan kasar. Semoga saja Bapak tidak berkata yang aneh-aneh nanti. Bisa-bisa gagal rencana aku nanti. "Ya, sudah. Ayo!" Tiba-tiba pria itu berdiri. "Ish, Aku kan belum makan. Laper, nih!" "Jangan alasan, Nona cantik! Aku tau kamu sudah makan." Pria itu kemudian melangkah lebih dulu ke area parkir mobil. Sial! Tau dari mana dia kalau aku sengaja mengulur-ulur waktu? Kuayunkan kaki mengikuti langkah pria tampan di depanku ini. Lagi-lagi kami berdua menjadi pusat perhatian. Pengunjung yang kami lewati terus memandang kami,
Pov Syifa"Begini, Nak Elkan. Sebenarnya Bapak tidak mau meneruskan masalah ini ke jalur hukum. Karena Nak Yuda itu tidak sepenuhnya salah. Dia hanya menghindari mobil yang melaju kencang dari arah yang berlawanan. Karena panik, Bapak juga spontan ingin menghindari mobil Nak Yuda. Namun naas, mobil yang bapak bawa terguling dan kami menjadi korban. Nak Yuda selamat. Namun dia tetap bertanggung jawab pada kami semua. Seharusnya mobil yang ugal-ugalan itu yang bersalah. Namun sepertinya mobil itu kabur entah kemana." "Tapi tetap saja Pak Yuda bersalah, Pak. Dia yang menyebabkan meninggalnya Ibu dan adikku, dia juga yang menyebabkan Bapak kehilangan satu kaki. Kenapa Bapak tidak pernah memikirkan hal ini, sih?" pungkasku kesal. Terdengar Bapak menghela napas panjang. "Syifa, Berkali-kali Bapak katakan. Semua Itu adalah ketentuan Allah, Nak. Istighfar kamu, Syifa ...!"sahut bapak dengan suara bergetar. "Tapi Bapak sekarang sudah nggak bisa membiayai aku lagi. Bapak nggak bisa cari uan
Syukurlah sebelum waktu maghrib aku sudah tiba di rumah. Ternyata Mas yuda sudah lebih dulu pulang. Tapi kenapa suamiku itu tidak menghubungi aku? "Assalamualaikum" "Waalaikumsalam," jawab seorang pelayan yang sedang merapikan ruang tamu yang sepi ini. "Pak Yuda sudah pulang?" "Sudah, Bu. Tuan ada di kamar." Gegas aku menaiki tangga menuju kamarku. "Assalamualaikum, Mas." "Waaalikumsalam. Nah, itu Bunda pulang." Ternyata Mas Yuda sudah mandi dan sedang bercengkrama dengan Raihan di tempat tidur. Wajah keduanya nampak sangat ceria dan bersemangat. Perlahan aku dekati mereka dan menciumnya satu persatu "Bunda mandi dulu sana! Bauu . .!" "Ish ...!" spontan kulayangkan pukulan kecil pada lengan suamiku itu. Kemudian beranjak menuju kamar mandi. Sontak kedua laki-lakiku itu tertawa terbahak-bahak. Sungguh aku sangat bahagia melihat Raihan semakin dekat saja dengan Mas Yuda. Walau hanya ayah tiri, suamiku itu selalu memperlakukan Raihan istimewa. Saat makan malam. Sikap Mas Yu
Napasku memburu menahan emosi. "Hey! Tenanglah!" Mas Yuda membelai punggungku lembut. Mataku memanas. Aku sangat merasa bersalah pada Mas Yuda. Tapi suamiku ini justru berusaha menenangkanku. Seharusnya dia marah karena aku pergi menemui seseorang tanpa seizinnya. Apalagi yang aku temui seorang laki-laki. "Maafkan aku, Mas!" Aku manjatuhkan kepalaku di atas dada bidangnya dan menangis tergugu. "Kenapa menangis, Salma? Aku tidak memarahimu, bukan?" Mas Yuda tersenyum seraya menunduk menatapku. "Beneran Mas Yuda nggak marah?" Aku kembali mendongakkan wajahku. "Tidak, Sayang. Aku percaya padamu. Lagipula Elkan sudah ceritakan semuanya. Dia juga mengirim fotomu padaku." Astaga, foto! "Tidak hanya Elkan yang mengirim foto itu padaku. Tapi juga Syifa." Aneh, Mas Yuda justru terkekeh. "Jadi benar laki-laki bertopi yang foto aku itu suruhan Elkan?" Mas Yuda menggeleng. "Lalu?" "Suruhanku!" Aku semakin bingung. "Kenapa? Bingung, ya?" Aku mengangguk. Sebenarnya aku sedang mencob
Pagi ini aku ikut ke kantor Mas Yuda. Suamiku itu bilang pagi ini juga Elkan akan datang. Siangnya aku berencana akan mengurus rumah kost dan rumahku yang di kampung Bawal. Sekaligus ingin menengok Ibu. Entah kenapa sejak kemarin kepikiran terus dengan mertuaku itu. Aku khawatir jika beliau sakit. "Selamat pagi Pak Yuda, Bu Salma!" Kami berpapasan dengan Syifa di lift. Wanita itu tampil rapi dengan hijab segiempatnya. Teringat kembali saat melihat perempuan itu di cafe. Dia melepas hijabnya. Apa sebenarnya dia memang tidak memakai hijab? "Selamat pagi, Syifa," balas Mas Yuda. Sementara aku hanya menggangguk saja. Syifa sepertinya sedang memperhatikan kami berdua. Sejak tadi dia memandang heran pada kami. Sepertinya dia memikirkan sesuatu Setelah keluar dari lift, kami berjalan bersisian menuju ruang Mas Yuda, dengan melewati kubikel para karyawan. Seperti biasa, Mas Yuda selalu menggenggam jemariku ketika kami melangkah bersama. Lagi-lagi Syifa menatap heran dan bingung pada k