LOGINKatya menyadari satu hal.
Selama dia menjadi asisten Prof. Erland dia bahkan tak tahu rumahnya. Laki-laki itu terlalu misterius jika menyangkut urusan pribadinya. Prof Erland lebih suka bertemu dengan dengannya di kampus atau cafe. Jalan satu-satunya adalah menghubungi ponselnya dan meminta bertemu. "Apa beliau sudah tidur?" Gumam Katya saat panggilannya tak juga diangkat, jam di layar ponselnya masih menunjukkan pukul sepuluh malam, dan biasanya jam segini Prof. Erland masih berbalas pesan dengannya. Atau beliau tak sudi lagi berhubungan apapun dengannya. Pemikiran itu sangat mengerikan untuk Katya. Bukan salah prof. Erland memang kalau memutuskan seperti itu. Ini memang salahnya. Dan dia akan membawanya sampai kapanpun juga. Wanita itu mendongak menatap langit, dia tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Hidupnya sudah hancur tak bersisa. Untuk mengakhiri hidup seperti yang dia lakukan tadi pun dia sama sekali tak punya keberanian lagi. "Pak bisakah kita bertemu sebentar ada hal yang harus saya katakan." Dengan tangan gemetar katya menekan tombol kirim. Katya kembali memasukkan ponselnya, hari sudah malam, dia harus segera pulang. Memang tak ada lagi ibu yang akan cemas menunggu kepulangannya. Katya mengendarai motornya dengan pikiran penuh, bahkan beberapa kali dia harus diingatkan oleh pengendara lain dengan klakson panjang atau pun makian yang memekakkan telinga. "Kamu rupanya tidak bosan selalu membuat masalah.” Suara itu. Katya yang semula memejamkan mata menanti kendaraan lain yang akan menghantam tubuhnya perlahan membuka mata. Entah senang ataukah takut saat dia melihat Prof. Erland keluar dari mobilnya dan menatapnya dengan tajam. Tak peduli lagi dengan motornya yang ambruk dan kakinya yang sempat terantuk aspal tadi terasa nyeri, dia berjalan cepat menghampiri laki-laki itu. "Pak, kenapa tidak menjawab telepon saya?" tanya katya tanpa peduli orang yang dia ajak bicara tak senang dengan pertemuan ini. "Kenapa aku harus menjawab teleponmu?" Jawaban bernada dingin itu seolah menampar Katya dengan keras, perkiraannya benar... Prof. Erland menghindarinya, dan memang sudah seharusnya seperti itu. Untuk apa masih berhubungan dengan orang yang menghancurkanmu. "Maaf," gumam katya pelan. "Saya hanya ingin mengatakan satu hal pada anda setelah itu saya tidak akan menganggu anda lagi." Katya menunduk tak berani membalas tatapan tajam laki-laki di depannya ini. "Masuklah, kita bicara di tempat lain." Katya mendongak menatap tak percaya laki-laki di depannya ini. "Sa-saya bawa motor." "Tinggalkan di sana, aku akan minta orang untuk menjemputnya. Lagi pula dengan kaki seperti itu kamu bisa membunuh orang." Katya meringis sedikit, menyembunyikan kakinya yang berdarah. Prof. Erland langsung berbalik dan membuka pintu mobilnya, dia sudah duduk tenang di depan kemudi tapi Katya tak juga masuk. "Apa aku harus membukakan pintu mobil untukmu?" "Eh!!! Tidak pak!" Katya buru-buru membuka pintu depan dan duduk di sana. "Pakai sabuk pengamannya." Katya menurut dia hanya diam saja saat Prof. Erland mengemudikan mobilnya sedikit kencang, beberapa kali dia menengok ke belakang ke tempat motornya tadi dia tinggalkan. "Tidak akan hilang, sebentar lagi akan dijemput." Katya yang baru menyadari, sejak tadi laki-laki itu memperhatikan tingkah lakunya hanya bisa tersenyum malu. "Saya menabung lumayan lama untuk bisa memiliki motor itu, dan ibu... Ibu saya... beliau juga ikut memberikan uang hasil jualannya untuk saya gunakan membeli motor itu." Suara Katya tercekat saat dia ingat ibunya. Hatinya perih saat dia sama sekali tak bisa melihat sang ibu meski…. untuk terakhir kalinya. Kebodohannya ini membuatnya hancur tak bersisa. Prof Erland hanya diam, membuat Katya sadar kalau dia terlalu banyak bicara. "Apa kita perlu ke rumah sakit untuk memeriksakan kakimu?" "Tidak, pak. Saya baik-baik saja." "Baiklah." Mobil itu menuju ke sebuah apartemen yang Katya tahu hanya orang-orang berduit yang bisa memiliki salah satu unit di sini. "Kita tak mungkin bicara di cafe atau tempat umum, terlalu riskan." Katya mengangguk, dia juga tak ingin jadi sorotan karena video yang telah tersebar itu. "Aku telah memblokir video yang beredar, tapi kamu tahu bukan itu tidak mudah." Katya buru-buru mengangguk dan mengikuti langkah Prof Erland yang masuk ke dalam salah satu unit apartemen. "I—ini rumah anda?" "Iya. Duduklah biar kuambilkan minuman." Baru saja Prof. Erland membalikkan badan suara Katya sudah menghentikan langkahnya. "Saya hamil." Laki-laki itu seperti membeku di tempatnya, dia membalikkan badan dan menatap Katya dengan tatapan yang tak dapat dia artikan. "Tapi saya datang bukan untuk meminta pertanggung jawaban bapak, tapi untuk meminta izin." Prof. Erland masih diam menatap Katya tanpa suara, pandangannya langsung tertuju pada perut Katya, masih belum terlihat memang. "Apa maksudmu?" Lagi-lagi Katya harus menelan ludahnya dengan susah, kalimat dingin itu cukup untuk meruntuhkan semua keberaniannya, harusnya dia tidak usah menemui laki-laki ini. Akan tetapi dia juga tahu kalau bayi ini bukan hanya miliknya sendiri. "Saya akan merawat bayi ini sendiri, saya hanya ingin mengatakan itu saja dan akan pergi jauh. Saya tahu anda pasti tak nyaman saat bertemu saya. Maafkan saya pak… saya telah menghancurkan anda. Saya membuat anda kehilangan proyek itu." Katya menggigit bibirnya, rasa bersalah itu kembali menerjangnya dan setelah ini dia tak ingin membuat kesalahan lain, dia yakin cara ini terbaik untuk dirinya, Prof Erland dan juga bayinya.... Dia tak ingin anak ini mendapat hinaan dan cacian nantinya. Tanpa sadar tangan Katya bergerak mengelus perutnya yang masih datar, air matanya tiba-tiba saja mengalir. Erland mengepalkan tangannya dengan kuat, bohong kalau perbuatan Katya tak mempengaruhinya. Dia yang biasanya dipuja kini terbuang, apalagi setelah pengakuannya di persidangan itu, tapi dia tak menyesal sama sekali. "Dunia sudah menjatuhkan kita, Katya ... Tapi bukan berarti kita hancur, biarkan kita bangkit dengan cara yang mereka benci." Katya menatap Prof Erland dengan bingung. "Aku tahu siapa yang menyuruhmu dan apa alasanmu melakukannya." Katya menatap Prof Erland dengan mata membelalak. "Anda tahu?! Tapi bagaimana mungkin?!" "Dia memang licik, dan akan melakukan berbagai cara untuk menjatuhkan lawan. Aku tahu suatu hari dia akan menjatuhkanku tapi yang aku tak habis pikir dia malah melibatkanmu." "Maaf, Pak. Saya... memang bodoh." "Iya, kamu memang bodoh, mau saja dimanfaatkan." Katya membeku ditempatnya. Dia malu sekali. "Maaf," gumam Katya seolah hanya kata itulah yang bisa dia ucapkan. Tatapan Erland jatuh pada tangan Katya yang masih bertengger di perutnya. Ia melangkah mendekat, mengangkat dagu Katya dengan dua jari. “Suka atau tidak, kita besarkan anak ini bersama,” ucapnya datar. “Tak akan kubiarkan kamu merawatnya sendirian.”Katya menyadari satu hal. Selama dia menjadi asisten Prof. Erland dia bahkan tak tahu rumahnya. Laki-laki itu terlalu misterius jika menyangkut urusan pribadinya. Prof Erland lebih suka bertemu dengan dengannya di kampus atau cafe. Jalan satu-satunya adalah menghubungi ponselnya dan meminta bertemu. "Apa beliau sudah tidur?" Gumam Katya saat panggilannya tak juga diangkat, jam di layar ponselnya masih menunjukkan pukul sepuluh malam, dan biasanya jam segini Prof. Erland masih berbalas pesan dengannya. Atau beliau tak sudi lagi berhubungan apapun dengannya. Pemikiran itu sangat mengerikan untuk Katya. Bukan salah prof. Erland memang kalau memutuskan seperti itu. Ini memang salahnya. Dan dia akan membawanya sampai kapanpun juga. Wanita itu mendongak menatap langit, dia tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Hidupnya sudah hancur tak bersisa. Untuk mengakhiri hidup seperti yang dia lakukan tadi pun dia sama sekali tak punya keberanian lagi. "Pak bisakah kita bertemu sebentar
Perlahan Katya turun dari atas jembatan. Niatnya pupus sudah. Dia tak sanggup menjalani hidup ini tapi untuk mati dia juga tak berani.Keadilan memang sulit dia dapatkan. Pada intinya memang dia yang bodoh mau saja melakukan hal itu. Katya tak pernah punya keinginan untuk membalas dendam. Akan tetapi hatinya begitu sakit saat tahu dia harus menanggung semua akibat kesalahannya seorang diri, sedangkan sutradara dalam drama ini melenggang bebas dan mendapatkan apa yang dia inginkan. Prof. Ben tak berhak mendapatkan proyek itu dan mungkin saja semua proyek yang dia dapatkan dengan cara licik. Dia memang lemah dan tak berdaya tapi semutpun bisa mengalahkan gajah jika dia mau. Dengan semangat itu, Katya kembali menjalankan motornya kali ini dia akan pulang kembali ke rumahnya. Malam belum terlalu tua, jika perkiraannya benar jam delapan malam dia sudah akan sampai ke tempat yang dia tuju. Semoga saja kakaknya sudah pulang kembali ke rumahnya, jadi dia tak perlu ber
"Dari mana saja kamu?! Jangan bawa sifat jalangmu ke rumah ini!!" Katya menghabiskan waktunya dengan berkutat di dapur untuk mempersiapkan semua hidangan dalam do'a bersama. Sang kakak dan para tetangga memperlakukannya seperti virus menular yang mematikan, tak ada dari mereka yang mau dekat-dekat dengannya. Katya sebenarnya tidak keberatan, menyiapkan semua hidangan itu memang kewajibannya sebagai anak. Dia tak mengeluh sedikitpun hanya saja dia ingin sekali mengunjungi makam ibunya... Menuntaskan rasa rindu pada sosok baik hati yang menjadi satu-satunya sandarannya setelah sang ayah berpulang bertahun-tahun yang lalu. Dan tentu saja itu tak bisa dilakukan saat siang hari dengan sang kakak yang masih ada di rumah mengamatinya seperti sipir penjara. "Mbak belum pulang?" "Pulang? Kamu lupa ini rumah ibuku." Katya memejamkan matanya, tubuhnya terlalu lelah untuk berdebat. Rumah ini memang sudah menjadi hak miliknya, bagian dari warisan yang diberikan orang tuanya, tapi
Katya berlari seperti orang gila. Dia bahkan tak peduli berapa orang yang dia tabrak sepanjang lorong ini. Informasi yang dia dapat berhasil membuat tubuh dan jiwanya yang lelah bisa berlari sekuat tenaga untuk mencapai tempat itu, bahkan kalau bisa dia ingin langsung saya menghilang dan muncul di sana, sayang dia hanya manusia biasa bukan jin atau orang sakti yang bisa melakukannya. “Mbak bagaiamana–“ Plakkk!!!Tamparan itu sangat keras. Tubuhnya terhuyung hingga jatuh menabrak tong sampah. Bunyi kontangan menarik lebih banyak orang untuk memperhatikan. Namun tak ada yang tergerak membantunya bangun. Tak ada yang ingin menjelaskan. “Mbak, apa–“Plakkk!!!Lagi-lagi ucapannya tak selesai, sebuah tamparan kembali menyapanya, kali ini dia bisa merasakan cairan asin mulai merembes dari celah bibirnya. Jangan ditanya bagaimana sakitnya, tapi rasa malu lebih mendominasi saat ini, apalagi beberapa orang menyeletuk. “Itukan perempuan yang menggoda dosennya.” “Benar! Aku masih ingat wa
“Pak… Tolong pelankan… Ini pertama kalinya bagiku.”“Pelankan? Bukankah kamu yang membawa kita sampai ke sini?!”Suara desahan itu bercampur dengan derit ranjang dan nafas berat seorang pria dewasa. Katya membeku, tangannya berusaha mencari sandaran di tembok.Suara itu—suara dirinya sendiri—bergema dari layar ponsel di tangannya.Tubuhnya merinding. Tangannya menutup mulut, air mata menetes tanpa suara.“I—ini tak mungkin…” Ponsel di tangannya terlepas, jatuh ke lantai. “Ke—kenapa video itu bisa tersebar?!”Ting! Ting! Ting!Notifikasi bertubi-tubi masuk, memecah sunyi kamarnya.“Katya, video itu… jangan bilang…”“Gila! Kenapa kamu bisa ada di video dengan Pak Erland?!”“Dasar najis! Selama ini nilai kamu bagus karena kamu tidur dengan dosen, ya?!”Dunia yang dulu ia perjuangkan kini menelannya hidup-hidup.Seolah bisa mendengar satu per satu impian yang telah susah payah dia bangun kini berderak ambruk. Tubuhnya luruh di lantai. Ini pasti mimpi. Bagaimana–mungkin?! Sekali lagi dia







