Hari itu aku lagi-lagi pulang larut. Proyek baru yang dipercayakan padaku menyedot hampir seluruh energi. Dokumen, revisi, rapat mendadak, semuanya menumpuk hingga aku kehilangan jejak waktu. Jam dinding sudah menunjuk pukul sembilan malam ketika aku akhirnya membereskan meja.
Lantai kantor sunyi. Lampu neon sebagian sudah dipadamkan, hanya tersisa beberapa cahaya di koridor. Aku menekan tombol lift dengan tubuh lelah, ingin segera pulang dan rebah di ranjang. Ketika pintu lift terbuka, aku mendapati seseorang sudah ada di dalamnya. Rayyan. Tentu saja. Ia berdiri tegap dengan jas masih rapi, padahal jam sudah hampir tengah malam. Aku menghela napas dalam hati. Dari semua kemungkinan, kenapa harus bersamaan dengan dia? “Masuk atau tidak?” suaranya terdengar dingin. Aku menahan diri agar tidak mendengus. “Masuk, tentu saja,” jawabku sembari melangkah. Pintu lift tertutup. Hening. Hanya suara mesin lift yang menderu pelan. Aku berusaha menatap ke depan, menjaga jarak sejauh mungkin. Namun keheningan itu terasa menekan. --- Lift Berhenti Mendadak Tiba-tiba, lift bergetar keras dan berhenti di antara dua lantai. Lampu meredup, lalu menyala darurat dengan cahaya kuning kusam. Aku terlonjak. “Apa-apaan ini?” Rayyan segera menekan tombol darurat, tapi lift tetap diam. Ia mencoba menghubungi lewat interkom, namun tak ada respons. “Kemungkinan gangguan teknis,” katanya datar, seolah tidak sedang terjebak. Aku panik. “Gangguan? Kita… kita terjebak?!” “Tenang, Aisyah.” “Tenang? Bagaimana saya bisa tenang? Kita ada di ruangan besi sempit tanpa sinyal, tanpa udara segar, dan tidak tahu kapan pintunya akan terbuka!” suaraku bergetar Rayyan memejamkan mata sebentar, lalu menatapku. “Kalau kamu panik, oksigen akan semakin terasa sesak.” Aku langsung terdiam -- Beberapa menit berlalu. Aku duduk bersandar pada dinding lift, mencoba menstabilkan napas. Keheningan kembali hadir, tapi kali ini lebih tegang. “Kalau kamu sudah mulai tenang, kita bisa bicara,” Rayyan akhirnya membuka suara. Aku menoleh cepat. “Bicara? mungkin tentang menyuruh saya berhenti peduli pada omongan rekan kerja?” Rayyan menatapku lekat. “Kamu memang terlalu peduli pada penilaian orang.” “Apakah ini salah? Saya berusaha kerja keras, saya tidak pernah minta keringanan. Tapi setiap kali saya diberi kepercayaan, orang-orang bilang saya cari muka. Dan Anda..." aku menatap lekat ke matanya “...Anda diam saja, seolah memberikan persetujuan!” Suaraku bergetar karena emosi. Rayyan tetap tidak bergeming. “Kalau saya membela kamu, apa gosipnya tidak akan semakin parah?” Aku terdiam, terhenti oleh logikanya. Tapi dadaku masih panas. “Jadi Anda sengaja membiarkan saya jadi sasaran? Luar biasa.” Aku menjawab sarkastik. “Tidak begitu maksud saya.” Suaranya lebih rendah kali ini. “Saya ingin kamu sendiri yang membuktikan kemampuanmu. Tanpa perlu saya campur tangan.” Aku melemah. “Kedengarannya indah. Tapi rasanya sangat tidak nyaman jadi bulan-bulanan di kantor, dan Jadi mendengarkan gosip murahan setiap kali lewat koridor". Rayyan menatapku lama, matanya agak melembut. “Saya tahu lebih dari yang kamu kira.” Aku tertegun. “Apa maksud Anda?” Ia tersenyum tipis, pahit. “Kamu pikir saya tidak pernah dihujat? Tidak pernah dicurigai? Posisi saya sekarang tidak datang begitu saja, Aisyah. Banyak yang menuduh saya memotong jalan, menjilat sana-sini, bahkan menjatuhkan rekan kerja. Padahal yang saya lakukan hanya bekerja lebih keras daripada tidur.” Aku terdiam, mulutku setengah terbuka. Ini pertama kalinya Rayyan mengungkap sesuatu yang personal. --- Keheningan turun lagi, tapi kali ini berbeda. Aku menatap lantai lift, jantungku berdetak tak karuan. Kata-katanya barusan masih menggema. Jadi… Rayyan pun pernah merasakan hal yang sama? “Saya…” suaraku lirih, hampir tidak terdengar. “Saya cuma lelah.” Aku mendongak, dan tanpa sadar menatap matanya. Ada kejujuran di sana, yang membuatku kehilangan kata. Rayyan bergeser sedikit, mendekat. “Kamu tidak sendirian, Aisyah. Meski kamu mungkin membenciku sekarang, saya ingin kamu tahu satu hal: saya tidak pernah meremehkanmu.” Jantungku berdegup kencang. Ruangan sempit itu terasa makin panas, makin sesak, bukan karena oksigen, tapi karena tatapan kami yang bertemu terlalu lama. Aku buru-buru mengalihkan pandangan. “Jangan bicara seakan-akan Anda peduli.” “Tapi saya memang peduli.” Kalimat itu menghantamku begitu saja. Aku ingin membalas dengan sarkasme, tapi lidahku kelu. Entah kenapa, suara Rayyan kali ini terlalu jujur untuk kubantah. --- Suara berisik terdengar dari luar lift. Teknisi akhirnya datang, memberi tahu kami untuk menunggu beberapa menit lagi. Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Rayyan hanya bersandar di dinding, menatap lurus ke depan. Beberapa menit kemudian, pintu lift berhasil dibuka. Udara segar langsung masuk, membuatku merasa lebih hidup. Aku melangkah keluar lebih dulu, menolak menoleh ke belakang. Tapi langkah Rayyan menyusul, tenang seperti biasa. Di depan pintu keluar gedung, ia berhenti. “Aisyah.” Aku menoleh setengah hati. “Kalau kamu ingin marah, silakan. Tapi jangan pernah ragukan satu hal: kamu pantas ada di posisi sekarang.” Aku tercekat. Tak mampu berkata-kata, aku hanya menunduk dan melangkah pergi. Di dalam hati, amarahku masih ada, tapi bercampur dengan sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih membingungkan.Aisyah duduk lama di pantry kantor, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Pikiran masih berputar—email tawaran luar negeri di satu sisi, surat penugasan dari Rayyan di sisi lain.Hana, yang baru masuk membawa camilan, langsung mendeteksi keganjilan itu. “Hey, kamu dari tadi bengong terus. Ada apa, Sya?”Aisyah mengangkat wajah, tersenyum samar. “Aku lagi bingung, Han. Ada tawaran kerja baru.”Hana duduk di kursi seberang, mencondongkan badan dengan antusias. “Serius? Dari perusahaan luar? Itu kan mimpimu sejak dulu!”Aisyah mengangguk pelan. “Iya. Jonny, yang dulu pernah presentasi bareng Pak Rayyan, mengajakku bergabung. Gajinya besar, fasilitas lengkap. Aku bisa dapat exposure internasional.”“Lalu kenapa bingung? Bukankah itu kesempatan emas?”Aisyah menghela napas panjang. “Karena di saat yang sama, Pak Rayyan memberiku kepercayaan besar juga. Dia menunjukku memimpin tim ekspansi kerja sama dengan firma Dubai. Itu setara, bahkan mungkin lebih menantang… hanya saja, aku tetap
Hari itu, kantor masih ramai ketika Aisyah baru saja menyelesaikan serangkaian rapat. Tubuhnya lelah, tapi hatinya hangat. Sejak proyek besar terakhir sukses, ia sering mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak.Namun, sore itu berbeda. Seorang tamu dari perusahaan konsultan internasional datang. Namanya Jonny, seorang ekspatriat ramah dengan senyum percaya diri. Ia sengaja menemuinya setelah rapat bersama direksi selesai.“Miss Aisyah, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.Aisyah menoleh, sedikit kaget. “Tentu, Pak.”Mereka pun berbincang di lobi. Jonny langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Kami sudah lama memperhatikan presentasi dan kontribusi Anda. Perusahaan kami sedang mencari konsultan muda untuk proyek besar di Singapura. Anda punya kualifikasi yang cocok.”Kata-kata itu membuat Aisyah terdiam. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tawaran internasional? Itu kesempatan yang sulit ditolak oleh siapa pun di posisinya.
Sejak namanya makin dikenal di luar perusahaan, Aisyah merasakan perubahan nyata dalam cara orang-orang memperlakukannya. Rekan kerja yang dulu sempat meremehkan kini mulai menghargai, bahkan beberapa manajer senior yang biasanya hanya berurusan langsung dengan Rayyan, kini juga mengajaknya berdiskusi.Namun, perubahan terbesar justru terasa dalam hubungannya dengan Rayyan.--Suatu pagi, mereka berjalan berdampingan menuju ruang rapat. Biasanya, Aisyah akan berjalan setengah langkah di belakang, membiarkan Rayyan memimpin. Tapi kali ini, seorang klien menyalami Aisyah lebih dulu.“Presentasi Anda minggu lalu benar-benar mengesankan. Saya jarang melihat seseorang bisa begitu lugas sekaligus meyakinkan.”Aisyah menunduk sopan. “Terima kasih, Pak. Semua itu juga berkat arahan Pak Rayyan.”Rayyan melirik sekilas, ekspresi wajahnya nyaris tak terbaca. Tapi di balik tatapan datarnya, ada percikan hangat yang ia sembunyikan. Aisyah tidak sekadar menerima pujian itu untuk dirinya sendiri, ia
Di ruang kerja Rayyan, Aisyah memberanikan diri menyampaikan undangan itu. Ia agak ragu, takut Rayyan merasa ia melangkahi batas.“Pak, ini… ada undangan dari asosiasi bisnis. Mereka meminta saya jadi salah satu pembicara panel.”Rayyan yang tengah membaca laporan berhenti, menatapnya. Ada sekilas cahaya tak terduga di matanya.“Bagus.”“B-bagus?” Aisyah tergagap.“Ya. Kamu layak dapat kesempatan itu. Ambil saja,” jawab Rayyan singkat.Aisyah menatapnya, menunggu komentar tambahan. Tapi Rayyan tidak menambahkan apa-apa, hanya kembali fokus pada dokumen. Namun dari gerak bibir yang sedikit menahan senyum, Aisyah bisa menangkap sesuatu: Rayyan bangga.---Hari panel tiba. Aula hotel berbintang dipenuhi para pebisnis muda, investor, dan jurnalis. Aisyah mengenakan blazer sederhana, kerudungnya ditata rapi. Ia masih merasa grogi, tapi mencoba mengingat kata-kata Rayyan: “Kamu layak dapat kesempatan itu.”Ketika namanya dipanggil, ia melangkah ke panggung bersama beberapa panelis lain. Lam
Pagi itu, Rayyan sudah duduk di ruang kerjanya lebih awal dari biasanya. Layar laptop terbuka, menampilkan draft strategi baru untuk tim pemasaran. Tapi pikirannya melayang kembali pada percakapan dengan Aisyah kemarin."Saya hanya tidak ingin… terlalu bergantung pada Bapak."Kalimat itu terus terngiang. Bagi Rayyan, itu seperti cambuk halus. Ia terbiasa mengambil alih kendali, menyelesaikan masalah, dan memastikan semua berjalan sesuai kehendaknya. Namun, ia menyadari bahwa sikapnya bisa membuat seseorang merasa kecil.Dan itu adalah Aisyah—orang yang diam-diam sudah mengisi ruang di benaknya lebih dari siapapun.---Ketika Aisyah masuk membawa map berisi laporan mingguan, Rayyan menahan diri. Biasanya ia akan langsung memberi catatan detail, bahkan tak jarang mengganti beberapa keputusan. Tapi kali ini ia hanya menatapnya singkat.“Letakkan saja di meja. Nanti saya baca,” ucapnya tenang.Aisyah mengangguk, agak bingung. Biasanya Rayyan akan langsung memberi komentar panjang.Beberap
Kabar Rayyan melaporkan Fadlan ke polisi menyebar cepat. Media menyorotinya, warganet ramai membicarakan. Jika sebelumnya gosip soal dirinya dan Aisyah menguasai headline, kini pemberitaan beralih: “Rayyan Alfarizi Gugat Rival Bisnis Terkait Fitnah dan Pencemaran Nama Baik.”Aisyah membaca berita itu di layar ponselnya dengan tangan bergetar. Di satu sisi ia lega, karena akhirnya ada langkah tegas yang bisa melindungi namanya. Namun di sisi lain, ia khawatir. “Kalau ini malah memicu perang besar?” pikirnya.Di kantor, beberapa rekan kerja mendekatinya.“Wah, hebat ya. Pak Rayyan cepet banget lawan Fadlan di jalur hukum.”“Syukurlah, jadi nama kamu juga ikut bersih, Sya.”Aisyah hanya bisa tersenyum kaku, sementara hatinya berdesir setiap kali nama Rayyan disebut dalam kaitan melindunginya.---Sementara itu, Fadlan tidak tinggal diam. Di ruang kantornya, ia membanting koran dengan kesal.“Dasar brengsek! Dia pikir bisa menang dengan hukum?!” teriaknya.Salah satu asistennya mencoba me