Share

Bab 5 (Firasat Buruk)

"Apa?!" teriak Rizal pada Hesti lawan bicaranya di telepon. Aku terkejut, mungkinkah ada terjadi sesuatu di galeri.

"Oke Hes, aku segera kembali ke galeri sekarang juga!" ucap Rizal lalu mematikan panggilan.

"Mbak aku harus kembali ke galeri sekarang!" 

"Ada apa Zal?" tanyaku penasaran.

"Nanti aku ceritakan via telepon ya, Mbak! Assalamualaikum," ucap Rizal dan buru-buru pergi meninggalkan kami.

Rizki yang sedang asyik dengan es krimnya seketika melongo melihat tingkah Rizal yang pergi begitu saja tanpa berpamitan dengannya.

"Om Rizal kenapa, Mah? Kok tiba-tiba pergi?"

"Nggak ada apa-apa, Sayang! Om Rizal ada urusan mendadak jadi harus buru-buru pergi, udah habis belum es krimnya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Belum Mah, ini dikit lagi," jawabnya sambil tangannya mengumpulkan sisa-sisa es krim yang tinggal sedikit.

"Habiskan terus kita pulang ya, Sayang!"

Rizki mengangguk pelan.

*********

Kami tiba di rumah menjelang tengah hari, Rizki langsung masuk ke kamarnya dan ganti baju sendiri, meskipun baju seragamnya masih tergeletak di sisi ranjang, aku membereskan semua. Usai ganti baju Rizki langsung ke berlari ke ruang tengah dan sibuk dengan mainanya.

Aku berjalan menuju ke dapur, sudah waktunya Rizki makan siang.

Plak, Prang!

Suara benda jatuh dan pecah, aku terkejut seketika membalikkan badanku, ternyata tak sengaja saat berjalan tubuhku menyenggol bingkai foto yang terpajang di meja ruang tengah. Aku berjongkok dan mengambil bingkai foto yang sudah retak bahkan pecahan belingnya sudah berserakan, sebuah Foto pernikahanku dengan Mas Yudi. 

Pandanganku menerawang, Foto ini terjatuh di saat bersamaan dengan retaknya rumah tanggaku, apa ini sebuah firasat buruk Ya Allah, akankah rumah tanggaku juga akan hancur seperti bingkai ini. Tak terasa kedua netraku mulai meremang dan tak mampu lagi membendung bulir bening yang menyesak keluar.

"Mah, Mamah kenapa?" seru Rizki yang berlari menghampiriku.

"Mamah nggak apa-apa, Sayang! Aauu!" sahutku menoleh ke arah Rizki, tapi naas, tak sengaja pecahan beling itu menggores jari telunjukku.

"Mamah,tangan mamah berdarah Mah!" teriak Rizki yang melihat darah segar mengalir dari jariku.

kemudian ia berlari ke dapur mengambil sesuatu di laci dapur.

"Ini Mah, pake obat Mah!" Rizki menyerahkan kotak P3K padaku, segera kubuka dan meneteskan betadine pada lukaku, kemudan Rizki menyerahkan sebuah han*saplast untuk membalut jariku yang terluka.

"Mamah nggak apa-apa,Sayang! Makasih ya, Rizki pinter," ucapku tersenyum pada jagoan kecilku. 

"Iya, Mah! Rizki sayang sama Mamah!" ucapnya polosnya membuat hati ini terharu. Aku memeluknya, terimakasih Ya Allah, Kau telah memberikan aku kekuatan lewat putraku, untuk menghadapi cobaan ini.

"Mamah juga sayang sama Rizki, jadi anak yang baik ya, Nak! Sekarang ambilkan sapu sama pengki di samping ya!" ucapku saat melepaskan pelukan. Ia mengangguk dan sekejap kemudian berlari memenuhi perintahku.

Tak berapa lama datang dengan membawa apa yang aku minta. Aku menutup bingkai foto yang tanpa kaca itu di meja, dan membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai. Setelah semua selesai aku mengajak Rizki untuk makan siang.

"Rizki! Makan dulu, yuk!" Ia berlari menuju meja makan tempatku berada. Nasi dan sayur serta lauknya sudah aku hidangkan.

"Berdoa dulu sayang," ucapku saat melihatnya sudah bersiap menyendok nasi.

"Oh iya,Rizki lupa," jawabnya terkekeh, kemudian dengan lancar ia lafalkan doa sebelum makan.

Aku termenung melihat anakku begitu lahap makan, Rizki anak yang ceria, apakah nanti ia akan kehilangan kasih sayang dari seorang ayah, jika nanti rumah tangga ini tak bisa di pertahankan, sungguh kasihan kamu, Nak! Maafkan Mamah, jika mamah tak bisa lagi bertahan dengan ayahmu, Nak! Aku masih menatap Rizki sendu.

"Mamah, ko sedih? Mamah mau aku suapin?" tanya Rizki menatapku, sebisa mungkin kutahan bulir ini agar tak jatuh. Rizki kau memang malaikat kecilku, pelipur laraku.

"Nggak Sayang, Mamah nggak apa-apa." Aku menggeleng, dan kulihat piringnya sudah kosong.

"Rizki mau tambah lagi?" tanyaku lagi.

"Nggak, ah! Rizki udah kenyang," jawabnya sambil menggeleng kemudian mencuci tangannya di wastafel. Aku memandangi punggungnya yang menjauh kembali pada mainan mobil-mobilan miliknya.

Tiba-tiba terdengar suara motor berhenti di depan rumah, itu suara motornya Mas Yudi, tumben dia sudah pulang jam segini, gumamku. Tanpa pikir panjang, aku ke depan, baru saja aku melenggang di ruang tengah, Mas Yudi sudah masuk.

"Sintya! Kamu tadi siang ke galeri?

"Bisa nggak sih Mas, kalo masuk rumah itu Salam dulu! Iya, Tadi aku ke galery, tapi kamu nggak ada, kamu kemana, Mas?" tanyaku serius.

"Aku tadi ada urusan di luar, sama klien." Kilahnya.

"Urusan sama Klien atau sama perempuan lain, Mas!" teriakku penuh penekanan. Mas Yudi terlihat sedikit kaget mendengar ucapanku.

"Sama klien, Sin! Dan kebetulan kliennya perempuan," jawab Mas Yudi, ia terlihat gugup. 

"Lagian kamu tumben sih datang ke geleri, ada apa?" tambahnya lagi balik bertanya.

Aku masih menatapnya dengan melipat tanganku. Menandakan bahwa aku sedang tidak baik-baik saja, namun Mas Yudi bersikap biasa seakan berusaha menepis rasa kecurigaanku.

Hello! Aku bukan anak kecil yang gampang kamu bodoh-bodohin ya, Mas! Aku udah tau semuaya dan sampai detik ini kamu masih terus membohongiku Mas, Aku menggeleng pelan.

"Bukankah galeri itu milikku juga, jadi aku bebas donk datang ke sana kapanpun aku mau, kenapa kamu bingung? Bukankah dulu juga aku hampir setiap hari ke sana?" sungutku.

"Iya Mas tau, tapi kamu kan bisa kabarin Mas dulu sebelum ke sana, jadi Mas kan nggak kemana-mana," ujarnya dengan mengulas senyum yang terlihat dipaksakan.

Aku mencebik, mendengar alasan Mas Yudi, bilang biar kamu nggak ketahuan selingkuh di galeri Mas, Aku akan ikuti permainan kamu Mas, dan kita akan lihat siapa yang akan jatuh lebih dulu, aku atau kamu dengan jalangmu itu! 

"Sintya kamu kenapa, Sih! Nggak kaya biasanya," ucapnya lagi.

"Ayah!" Teriak Rizki tiba-tiba dan langsung menghampiri ayahnya.

"Rizki, lagi ngapain?" tanyanya mensejajarkan tubuhnya dengan bocah Lima tahun itu.

"Ayo Yah, main sama aku," rengek Rizki pada ayahnya. Aku melengos meninggalkan mereka, tak kuhiraukan pertanyaan dari Mas Yudi itu.

Aku melanjutkan mencuci piring yang sempat aku tinggalkan tadi, dan kuliihat Rizki masih bergelayut sama Mas Yudi,

"Rizki, Ayah maem dulu ya, nanti baru main sama Rizki," ujar Mas Yudi saat sampai meja makan.

"Masih ada makanan kan, Sin?" tanya Mas Yudi menoleh ke arahku yang sedang mencuci tangan.

"Tuh masih ada!" jawabku singkat dengan menunjuk meja dengan daguku.

"Rizki, sekarang waktunya bobok siang, yuk!" ujarku meraih tangan mungilnya, dan kulihat Mas Yudi membuka tudung saji, dan kemudian melirikku.

"Kenapa, Mas? Itu masih ada makanan, kan?" 

"Iya kali Mas cuma makan nasi putih doank, Sin!" jawabnya sedikit kesal.

"Kalau kamu mau lauk, goreng aja telor tuh di kulkas ada? Kamu kan biasanya makan siang di galeri, jadi aku nggak sisain lauk buat kamu lah!" Jawabku lalu melenggang pergi ke kamar Rizki.

Terdengar ia membuka kulkas dan menggoreng telur untuk makan dirinya sendiri.

Rizki merebahkan tubuhnya di ranjang kamarnya, dan aku duduk di sampingnya, tak berapa lama ia pun terlelap karena ia sudah biasa tidur siang. 

Baru saja aku ingin beranjak, ponsel di saku gamisku bergetar. Segera aku merogoh benda pipih kesayanganku itu, dan membukanya.

Sebuah pesan masuk itu mampu membuat mataku membulat sempurna melihat isi pesan itu.

Bersambung .

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kebanyakan gaya dan kebanyakan drama kau nyet
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status