Share

BAB 6

MISTERI VITAMIN YANG DIBERIKAN OLEH SUAMIKU

BAB 6

"Amira!" Spontan aku membalikkan badan dan melihat Mas Aldi sudah berdiri di belakangku.

"Mas Aldi,"

"Sejak kapan kamu lancang melakukan ini? Menguping pembicaraan orang! Apa kamu sudah termakan hasutan dari Dian itu!?" Mas Aldi marah dengan mata menyorotku tajam.

Aku gelagapan, mencoba terlihat tenang. Mas Aldi langsung mencengkram pergelangan tanganku kuat. Sampai aku meringis sakit.

"Katakan, tadi kamu pergi dengan Dian itu, 'kan? Kenapa kamu tidak mendengar laranganku, Amira! Kamu anggap apa aku!?" bentaknya keras, dan semakin kuat mencengkram tanganku.

"Aku tidak pergi sama Mbak Dian, aku naik ojek, Mas. Kamu kok marah-marah sih? Memangnya kenapa kalau seandainya aku pergi dengan Mbak Dian? Apa ada rahasia besar yang kamu tutupi dariku? Lepaskan, kamu menyakitiku, Mas!" Mas Aldi langsung melepaskan cengkramannya, tanganku rasanya sangat sakit, bekas tangannya sangat jelas melingkar di pergelangan tanganku.

"Aku tidak marah kalau kamu tidak lancang!" bentaknya. Mataku sudah mengembun dan siap untuk tumpah. Baru pertamakali dalam seumur hidup, aku dibentak dan dimarahi sampai membuat badanku gemetaran mendengarnya.

Selama ini, orang tua mau pun keluargaku tidak pernah memarahi atau pun membentakku seperti ini.

"Amira, maaf, sakit ya?" Sedetik kemudian sikapnya berubah lembut. Mungkin karena melihatku sudah menangis. "Aku hanya terbawa emosi," ucapnya lagi sambil mengusap tanganku.

"Tadi Bapak bilang kalau kamu pergi sama Mbak Dian, makanya aku emosi, ditambah kamu suka menguping pembicaraan orang, memangnya apa yang sudah Mbak Dian katakan padamu?" 

"Sudah kukatakan, aku naik ojek, aku tidak pergi dengan Mbak Dian, aku tidak menguping, aku mau masuk dan kamu malah menuduhku menguping," lirihku sambil mengusap air mata.

"Syukurlah kalau kamu tidak pergi dengan Mbak Dian, dia itu orang tidak baik, jangan sampai kamu termakan omongan dia, ayo masuk, di dalam ada tamu. Bersikap baiklah kepada tamu kita ,ayo." Mas Aldi masuk ke dalam rumah lebih dulu. Aku bisa membuang napas lega, karena dia sudah percaya.

Aku masuk ke dalam rumah, menyusul Mas Aldi yang sudah berdiri di samping bapak mertua.

"Amira, kenalkan, ini adik Bapak dan keponakan Bapak, Paman Sugi dan Anton," ucap Bapak mertua, yang memperkenalkan dua orang laki-laki yang katanya adik dan keponakannya itu.

Dua orang itu pun mengukir senyum sembari mengulurkan tangannya ke arahku. Aku pun menyambutnya satu persatu.

"Paman Sugi, senang bisa kenalan denganmu, Amira. Ternyata kamu lebih cantik aslinya." Laki-laki seusia Bapak mertua itu bersalaman denganku dan menyebut namanya.

"Iya, terima kasih, Paman," balasku. Saat aku bersalaman dengan mereka berdua, tanganku di genggam lama. Aku mencoba menariknya namun ditahan oleh Paman Sugi.

"Beruntung sekali kamu, Aldi. Dapat istri cantik dan masih segar pula." Paman Sugi berkata lagi dengan mata melihatku dari atas sampai kebawah. Aku menjadi risih mendapatkan tatapannya itu.

"Sangat beruntung, karena tidak ada minusnya sama sekali," sambut Mas Aldi sambil menepuk bok0ngku.

"Mas! Apa-apaan kamu?" cetusku sambil memandangnya tajam.

"Eh, tidak sengaja, Sayang." Mas Aldi menanggapi kemarahanku dengan cengengesan. Kalau dulu dia memperlihatkan sifatnya seperti ini, tentu saja aku tidak akan mau menikah dengannya.

Aku membawa langkah masuk ke dalam kamar. Meninggalkan mereka yang lanjut mengobrol sambil tertawa keras. Entah apa yang lucu? Seperti orang tidak waras saja!

_______

"Amira, kamu mau ngapain?" tanya Mas Aldi ketika aku mengeluarkan box tempat penyimpanan ikan dari dalam kulkas.

"Mau masak, Mas," jawabku singkat.

"Kamu marah? Jangan marah dong, tadi aku cuma bercanda." Mas Aldi mendekatiku.

"Bercandanya tidak lucu, Mas. Aku sama sekali tidak suka,"

"Iya, maaf. Sudah marahnya ya? Malam ini tidak usah masak, makan malam beli dari luar saja, kamu istirahat saja di dalam kamar, mandi biar wangi, terus pakai pakaian yang aku beli tadi," sambungnya dengan menatapku lekat. Kotak box ikan yang sudah kuletakkan di wastafel diambilnya dan dimasukkan kembali ke dalam kulkas.

"Pakaian apa, Mas?"

"Pakaian dinas warna biru, warna kesukaanmu, aku beli di toko saat pulang kerja tadi, kamu pasti semakin cantik saat memakainya," jelasnya sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telingaku.

Kemarin-kemarin, aku akan senang saat dia membelikan pakaian kurang bahan itu untukku. Setelah tahu kalau dia sudah menikah lebih dari satu kali, aku langsung menjadi jij*k bila melihat pakaian itu, apa lagi sampai memakainya. Terlebih lagi, Mas Aldi bukan orang yang baik, aku akan mencari tahu dan bukti yang akurat, dan akan aku jebloskan dia ke penjara.

"Jangan lupa minum vitaminnya, ya?" 

"Maaf, Mas. Aku tidak bisa memakai pakaian dinas dulu malam ini, aku lagi kedatangan tamu bulanan." Aku berucap sambil nyengir kuda, agar kebohonganku terlihat natural.

"Datang tamu bulanan? Sejak kapan?" tanyanya dengan raut wajah yang tidak bisa kuartikan.

"Memangnya kenapa, Mas? Wajarkan aku datang tamu bulanan? Ini 'kan sudah sampai tanggalnya. Akhir-akhir ini 'kan, aku sering sakit perut. Lalu, kenapa wajahmu seperti tidak senang begitu?" 

"Eh, emm ... nggak kok, aku cuma sedikit agak kecewa gitu, aku beli pakaian itu, biar kamu bisa pakai malam ini, ya sudah, aku mau ke depan dulu, kamu masak saja, tidak jadi beli di luar kalau gitu," katanya sambil membalikkan badan dan pergi dari dapur.

"Lho, kok tidak jadi beli di luar? Aneh kamu, Mas!" gerutuku yang tidak mungkin di dengar Mas Aldi. Karena orangnya pun sudah tidak terlihat lagi.

Aku mengeluarkan ikan yang akan kumasak, Mas Aldi sungguh membuatku sangat kesal.

Kurang lebih satu jam. Aku sudah selesai masak dan menyiapkan peralatan makan diatas meja. Lalu keluar dari dapur menuju ke ruang keluarga, Mas Aldi tidak tampak berada di sana, aku pun pergi ke teras dan mendengar suara Mas Aldi dan bapaknya berbicara. Ternyata, mereka mengobrol di luar.

"Sepertinya begitu, kita sudah terlanjur memakai uangnya. Jangan sampai orang itu membuat semuanya gagal total!" Suara Bapak mertuaku. Aku ingin menguping namun kaki sudah menginjak teras dan langsung terlihat oleh Bapak mertua. Gagal deh!

"Kamu menguping?" Bapak mertua bertanya dengan nada membentak.

"Amira sudah siap masak, dan sudah menyiapkan semuanya diatas meja," ucapku.

"Ya, sekarang pergilah ke kamar, Amira!" Mas Aldi marah. Entah apa lagi yang membuatnya marah?

Tidak ingin membantah, aku langsung masuk ke dalam rumah. Semenjak aku pulang dari jalan-jalan tadi siang. Kenapa Mas Aldi sering marah-marah? Apa sebenarnya dia sudah tahu kalau tadi siang aku pergi dengan Mbak Dian?

"Huh! Apes banget hidup ini." keluhku dan membaringkan tubuhku diatas sofa. Aku menarik napas panjang dan menghembuskan pelan, saat melihat langit-langit rumah, tiba-tiba aku teringat dengan vitamin yang selalu Mas Aldi minta untuk kuminum.

Aku menarik laci tempat vitamin itu disimpan. Tanpa berpikir panjang, aku mengeluarkan dua butir obat tersebut, rencananya aku akan menanyakan kepada temanku nanti, yang berprofesi sebagai dokter, bisa jadi, ini bukan vitamin.

Ponselku bergetar dari dalam saku celanaku. Dilayar ponsel tertera nama Mbak Dian menelponku, ada apa dia menelpon? Aku langsung mengangkatnya dan duduk di bibir ranjang.

"Halo, Mbak, ada apa?" tanyaku langsung. Karena tidak punya waktu untuk berbasa-basi. Takut keburu Mas Aldi kembali ke dalam kamar.

"Amira, Mbak minta maaf," ucapnya.

Dari pantulan cermin di hadapanku, dapat kulihat kening ini berkerut dalam setelah mendengar ucapan Mbak Dian.

"Maaf? Untuk apa, Mbak?"

"Ummm ... itu, maaf untuk obrolan kita tadi siang di cafe," 

"Iya, kenapa, Mbak? Apa ada hal yang belum Mbak katakan? Cepatlah katakan," desakku penasaran.

"Sebenarnya, semua yang Mbak katakan itu cuma prank!" serunya dari seberang telepon. 

"Maksudnya? Aku tidak mengerti, Mbak,"

"Semuanya yang Mbak katakan kalau Aldi itu sudah menikah siri, Lilis dan semua mantan istrinya yang sudah dijual itu cuma bohongan belaka, Mbak cuma nge-prank kamu." terangnya dan membuat dadaku sesak mendengarnya.

"Ini kali terakhirnya kita berkomunikasi, Mbak Dian!" geramku dan langsung mematikan sambungan telpon.

Kurang aj*r sekali, aku mati-matian ketakutan dan ternyata itu hanya prank! Mbak Dian memang keterlaluan, pantasan saja Mas Aldi sangat marah kalau aku berhubungan baik dengan dia, ternyata ini sifat aslinya. Suka menyebarkan berita palsu!

BERSAMBUNG...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status