Aku menelan saliva ketika mendapat pesan Whats*pp dari nomor tidak dikenal. Pasalnya itu bukan pesan singkat biasa melainkan foto bug*l seorang lelaki bernama Genta.
Dia tidur di hotel dengan seorang perempuan yang tubuhnya berbalut selimut. Sayang sekali wajah itu diblurnya, mungkin tidak ingin malu jika sampai viral di media sosial.
Namun, ada sesuatu yang aneh. Ketika aku mencoba mengabari Genta perihal foto itu, dia tidak aktif sama sekali. Ada rasa khawatir yang menguasai jiwa.
"Ardina!"
Aku terkejut. Ternyata sejak tadi diam-diam Ferdila menatapku dengan pandangan curiga. "Lagi mikirin apa?"
"A-anu ... mikirin kerjaan, Fer." Lagi aku harus berbohong karena baru baikan satu jam yang lalu.
"Memangnya kenapa dengan pekerjaanmu?"
Aku berdiri, mematikan ponsel dan mengisi daya. Untung saja memang sedang lobet jadi tidak menambah kecurigaan Ferdila. Dia melipat kedua tangan di depan dada.
"Itu ... apa bisa kalau aku diminta bos
Setelah kusebutkan nomor ponsel sekaligus yang terhubung ke akun Whats*pp. Sambil menggulung handuk kecil di kepalanya aku mulai bertanya, "Satu hal apa yang kamu inginkan?" Dia tersenyum. "Nanti saja aku sampaikan via Whats*pp karena kita sedang di salon tempatmu bekerja. Kalau ada yang mendengar gimana?" Aku diam, hanya berusaha menuruti kata Namira. Dia berkata seperti itu membuatku berprasangka bahwa permintaannya sedikit berat. Entah kenapa aku tiba-tiba mengingat foto Genta dengan seorang perempuan. Di mana dia sekarang masih belum kuketahui juga. Harap-harap setelah ketemu Ferdila nanti dia membahas dan aku akan berusaha agar dia cerita tentang kantor. Napas memburu, aku berusaha menguasai diri karena masih jam kerja. "Kamu cantik. Sudah menikah?" tanya Namira lagi. "Iya, terimakasih." "Punya anak berapa?" Deg! Pertanyaan seperti inilah yang paling dihindari pasangan yang tidak lagi muda usia pernikahannya terutama sang
Namira : Aku ingin kamu bekerja sama denganku. Tidak usah disembunyikan lagi, aku perempuan bayaran. Tidak mudah untuk bisa tidur denganku. Apa kamu mau membantuku mencarikan lelaki yang mampu membayar sepuluh juta untuk satu jam pelayanan?Namira yang cantik ternyata kupu-kupu malam. Bagaimana mungkin aku mencarikan lelaki untuknya sementara tidak ada pengalaman sama sekali. Lagi, ada balasan.Namira : Dan jika menemukan lelaki itu, kamu tidak boleh menyebut namaku. Bilang saja kamu yang ingin ditiduri.Aku : Tidak, aku tidak mau!Namira : Kalau begitu, aku tidur dengan suamimu saja.Sejenak aku tertawa renyah. Perempuan jala*g yang tidak tahu malu. Mana mungkin aku akan menyerahkan Ferdila tidur denganmu meski tidak menutup kemungkinan dia mau-mau saja. Dengan bayaran sepuluh juta satu jam, bagaimana jika sampai tiga jam?Uang sebanyak itu lebih baik untuk modal usaha atau disimpan. Hanya lelaku bodoh yang mau menghabiskan uang sebanyak it
Jam weeker berbunyi nyaring. Aku terperanjat dengan napas memburu. Dengan gerak cepat aku meraih ponsel dan mengecek jam. Sudah pukul sebelas siang.Entah kenapa aku sepulas ini. Ternyata tadi hanya mimpi buruk. Aku sampai khawatir Namira benar bekerja sama dengan Shella.Mengingat kejadian dalam mimpi ada sesuatu di akun Facebo*k. Tanpa mengulur waktu lagi aku membuka aplikasi itu dan mencari kabar hari ini.Mulut seketika menganga karena banyak berita tentang kematian seorang lelaki berinisial G di gudang kosong dekat salon tempatku bekerja. Kabarnya dia gantung diri, tetapi ada bekas luka di sekitar wajahnya.Aku menelan saliva sambil terus berusaha memperbaiki perasaan. Lebih baik hari ini absen bekerja dulu untuk memastiakan siapa lelaki itu. Ferdila sudah pergi ke kantor jadi tidak usah meminta izin. Toh, dia juga tidak akan menduga aku pergi ke lain tempat."Tuhan, kenapa aku yang merasa diteror padahal Vidia yang melakukan kesalahan?
Sesampainya di rumah aku tidak langsung merebahkan diri karena penasaran dengan surat tadi. Pintu rumah juga jendela sudah aku kunci rapat agar ketika ada yang datang ke sini mengira rumah ini kosong.Dengan tangan gemetar aku membuka surat itu, kemudian membacanya perlahan."Ardina, aku harap kamu bisa menemukan surat ini. Sebenarnya aku bukan bunuh diri, tetapi dipaksa. Orang yang terlibat adalah Shella, Namira juga Vidia. Perempuan itu memang di penjara, tetapi masih gigih menyuruh Shella melanjutkan misi mereka. Bukan hanya aku juga Yuni, kamu pun bisa menjadi target."Aku menarik napas panjang berusaha menguasai diri, kemudian kembali menatap surat itu. Sebuah tulisan yang sedikit hancur karena tangan yang menulisnya mungkin saja gemetaran."Tentang foto itu, sebenarnya dikirim oleh Shella. Perempuan yang ada di sampingku adalah Namira. Mereka akan menjebakmu juga, hati-hati. Aku ikhlas mati karena sudah disuntikkan virus HIV ke dalam tubuhku.
Dingin begitu menusuk kalbu. Hujan sudah berhenti dan menyisakan genangan di jalan. Aku mengekori Ferdila setelah selesai membayar pesanan tadi.Mobil membawa kami membelah jalan menuju rumah. Debar-debar dalam dada seakan saling berkejaran, mobil seakan melaju lambat melebihi siput.Hening. Sunyi. Sepi. Gamang.Aku terus melirik ke jam tangan, perasaan mulai tidak enak. Semoga saja surat itu masih ada. Kalau saja hilang, aku memang bisa melacak CCTV, tetapi bagaimana jika lampu sengaja dia matikan atau masuk menggunakan topeng?Berkali-kali aku mengusap wajah gusar sementara Ferdila fokus menyetir. Mobil sudah masuk ke pelataran rumah, saat rem diinjak aku melompat ke luar dan berlari cepat ke arah pintu."Fer, pintu rumah terbuka!" teriakku.Mendengar itu Ferdila bergegas melangkah. Dia memandang tidak percaya. Lampu rumah masih dalam keadaan menyala dan saat melangkah masuk dengan langkah hati-hati, tidak ada yang bersepah layaknya
Hari-hari kami lalui dengan penuh warna sekali pun hati terluka karena kasus Genta sudah lama ditutup polisi dengan dalih itu murni keinginan bunuh diri karena masalah pribadi. Saat kuputar rekaman aku dan pelaku bicara lewat telepon, mereka menuding itu rekayasa semata.Juga tentang Namira. Dia tidak lagi muncul setelah aku beri pelajaran. Perempuan mana yang tidak marah ketika mendapati calon pelakor terus mengusik hidup suami. Aku sengaja mengundangnya makan siang bersama dan mencampur sambal dalam minumannya sampai tidak sadarkan diri.Berbicara tentang kehidupan sekarang, aku benar dipecat dari salon tempat bekerja tanpa upah karena Namira. Entah apa yang dikatakan pada bos. Namun, aku tidak ingin mengambil pusing toh Ferdila masih ada di sisiku.Satu bulan yang lalu saat Ferdila ada urusan kantor yang mengharuskannya menginap satu minggu di sebuah hotel di luar kota, aku mengaku keguguran. Semua kepalsuan yang diciptakan sudah selesai meski dengan cara ber
Setelah menutup telepon dan meletakkannya asal, aku menoleh ke arah pintu yang perlahan terbuka. Ferdila masuk sambil membawa kantong kresek berisi tahu goreng."Makan bareng, yuk!" ajaknya. Aku berdiri karena langsung peka kalau Ferdila mengajak makan di depan televisi.Kami menonton tanpa menyimak dengan baik setiap adegannya. Pikiran melayang ke perempuan tadi. Huh, aku yakin pasti dia akan kembali dan membalaskan dendam.Aku memasukkan gorengan ke dalam mulut, mengunyah perlahan sambil terus memikirkan cara bagaimana menguatkan diri ketika dia datang. Perutnya tidak kentara, apakah keguguran?"Sayang, besok jalan-jalan, yuk!" ajak Ferdila tanpa melihat padaku."Ke mana?""Mall."Aku mengangguk sedikit senang. Semoga saja besok dan ke depannya tidak harus bertemu Vidia atau pun Shella. Apa pun yang direncanakan bisa saja batal jika Allah berkehendak.***Aku berusaha lari masuk kamar meski begitu lambat sementar
Saat Ferdila sedang sibuk memilih baju, aku mengedarkan pandangan. Sebenarnya tanpa alasan karena ini murni keinginan hati.Di toko sepatu yang tidak jauh dari tpatku berdiri, terlihat seorang perempuan yang berpakaian sedikit seksi. Dia melingkarkan tangan di lengan lelaki bernama Falen. Mungkin saja mereka pacaran."Sayang, ini bagus gak?" tanya Ferdila tiba-tiba. Sejak baikan dengannya, lelaki itu seakan menjelma sosok hantu yang bisa muncul tiba-tiba.Aku hanya mengangguk."Kamu gak belanja?" tanyanya lagi."Sepatu saja. Lagian aku malas kalau harus belanja dalam keadaan lapar." Aku menjawab asal. Ferdila tersenyum, kemudian pamit ke toilet sebentar. Untung saja ada kursi tunggu, jadi aku bisa menjatuhkan bonot di sana.Tiba-tiba dua orang tadi lewat di depanku dengan mengobrol serius. Dari lekuk tubuh terlihat seperti Vidia, tetapi dia memakai masker."Sayang, mau beli sepatu branded," rengek perempuan itu sambil menyenderk