DUA TAHUN YANG LALU.."Ma, papa belum pulang?""Belum. Mungkin masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Papamu itu sedang mengerjakan proyek besar, jadi sepertinya beberapa hari ini dia akan pulang telat, Sayang."Meski sering berdebat karena perbedaan pendapat, tapi Kimberly dan ibunya tak jarang tampak akrab. Mereka selalu punya waktu untuk berbincang bersama layaknya sepasang sahabat."Kau yang buat papamu jadi sibuk akhir-akhir ini!"Tiba-tiba Merli mengatakan hal yang membuat kening Kimberly mengernyit."Aku? Bagaimana mungkin?" Kimberly tak terima dengan pernyataan ibunya."Ya. Karena kau yang minta ulang tahunmu dirayakan di San Fransisco. Jadi papa harus mengejar proyeknya selesai sebelum kita berangkat kesana," ujar sang ibu kemudian.Mulut Kimberly mengerucut. Meski tak terima disalahkan sepenuhnya, namun ia sadar keinginannya untuk datang ke San Fransisco memang membuat sang ayah mengejar dead line pekerjaannya.*"Ada apa, Pa? Kenapa tiba-tiba kau minta aku dan Kim
'Aku mencintaimu, Om. Aku mencintaimu.. sangat mencintaimu.'Alan terus saya tersenyum sendiri saat mengingat betapa frontalnya ungkapan cinta Kimberly yang terus saja digaungkan. Gadis itu seperti tak pernah merasa malu dan lelah ketika mengucapkan kata cinta pada pamannya."Kau memang gadis yang unik, Kim.."Alan berbicara seraya menatap wajah gadis yang tertidur pulas di sofa ruang kerjanya. Alih-alih menemani Alan bekerja, nyatanya Kimberly justeru tertidur di sofa hanya dalam beberapa menit duduk disana.Drt..Drt..”Boni Brahmaja akan mengadakan konferensi pers besok pagi, Tuan. Apa Anda akan datang untuk melihatnya?”Alan tampak serius membaca pesan dari asistennya. Ia tak berniat membalas pesan dari Mike, namun pria itu justeru mendial nomor sang asisten dan menelponnya.”Minta satu anak buah kita datang kesana. dan berpura-pura menjadi seorang reporter.”Ia hanya menitahkan perintah pendek namun Mike sudah dapat memahami maksud tuannya. Mike yang baru dua tahun menjadi asiste
SATU TAHUN YANG LALU.."Ini data pemilik Brahmaja Group, Tuan."Mike menyerahkan satu berkas di dalam amplop coklat pada bosnya. Alan yang merasa janggal dengan laporan tentang penyuapan yang dilakukan Dhaniel mencoba mencari tahu, siapa orang yang tega melaporkan dan memiliki bukti keterlibatan kakak iparnya itu."Kau sudah mendapatkan buktinya kalau orang ini yang mengirimkan bukti rekaman antara kakakku dengan anggota dewan itu?""Ya, Tuan. Salah satu teman saya bekerja disana, dan dia sudah mengecek sendiri bukti rekaman itu bahwa Boni Brahmaja sebagai pelapor."Alan menyandarkan punggungnya di kursi kebesaran. Pria itu masih tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Boni Brahmaja, CEO Brahmaja Group terhadap Dhaniel. Usaha mereka bukanlah usaha yang saling bersaing. Dhaniel dan Boni memiliki usaha yang berbeda, Boni di bidang FOOD AND BEVERAGE sedangkan Dhaniel di bidang PROPERTY. Jadi mustahil jika itu dilakukan Boni karena persaingan bisnis.***”Sukses.”-MikeSebuah pesan chat
"Tuan, pemilik Town Cafe menawarkan harga yang tinggi jika kita ingin membeli cafenya."Mike memberi satu berkas berisi harga cafe tempat Kimberly bekerja sesuai dengan lokasi dan bangunannya. Alan memang berencana untuk membeli cafe itu dan diberikan pada sang keponakan sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke 21. Tak lama lagi Kimberly akan berulang tahun, dan Alan ingin memberikan hadiah spesial pada gadis yang kini tak lagi bisa ia pungkiri keberadaannya di hati pria itu."Aku tak peduli, bayar sesuai yang dia tawarkan. Aku hanya ingin cafe itu menjadi milik Kimberly. Dua bulan lagi dia akan berulang tahun. Aku mau sebelum hari ulang tahunnya tiba, cafe itu sudah beralih kepemilikan atas nama gadisku, Mike."Sedikit terkejut mendengar Alan menyebut Kim sebagai gadisnya, Mike kemudian hanya bisa mengulas senyum tipisnya."Baik, Tuan. Saya akan mengurus semuanya. Saya pastikan sebelum hari ulang tahun nona Kim tiba, cafe itu sudah sah menjadi miliknya," janji sang asisten dengan penuh
"Kau sedang apa, Kim?"Alan memangku kedua tangannya serta bersandar di dinding pantry. Pria itu tengah memperhatikan sang keponakan sekaligus gadisnya memperagakan kelihaiannya dalam memasak. Kimberly memang gadis manja yang tak pernah sekalipun memegang peralatan dapur, namun itu dulu, saat dirinya masih menjadi tuan puteri dari seorang pengusaha sukses sekaliber Dhaniel Batara. Kini, setidaknya sejak dua tahun silam ia telah berubah menjadi gadis yang terbiasa dengan pekerjaan rumah yang rutin dilakukan seorang ibu rumah tangga. Apalagi setelah dirinya bekerja di Town Cafe, Kimberly menjadi gadis yang tangkas di dapur."Kau sudah bangun? Aku sedang membuat sarapan untukmu, Om," sahutnya tanpa menoleh pada Alan."Ini sudah jam delapan, kau tidak bekerja?""Aku masuk siang. Hari ini temanku minta tukar shift, jadi aku bisa membuat sarapan untukmu dulu sebelum berangkat ke bandara."Alan tersenyum dan melangkah menghampiri gadis itu, "temanmu minta tukar shift? Atau kau yang minta, hm
Sudah tiga hari berlalu sejak Alan mengatakan akan menemui Kanaya sebelum kembali ke Indonesia, namun tak ada kabar apapun dari lelaki itu. Pesan-pesan yang dikirimkan oleh Kimberly tak satu pun yang terkirim. ”Om, ada apa denganmu? Kenapa ponselmu tidak aktif? Aku mencemaskanmu.”-Kimberly"Bisakah kau fokus bekerja, Kimberly? Cafe ini menggajimu bukan untuk bermain ponsel setiap saat."Febby melayangkan kalimat sarkas pada gadis itu karena beberapa kali tertangkap tengah mengoperasikan ponselnya di saat jam kerja. Bahkan Kimberly pernah menumpahkan minuman pelanggan hanya karena ponselnya bergetar saat menyajikan pesanan di meja. Ia selalu berharap getaran itu berasal dari pesan yang dikirimkan Alan untuknya."Maaf.. aku-- sedang menunggu telpon penting," ucapnya."Bekerja dengan baik tak kalah penting dari telpon yang kau tunggu, Kim! Sekali lagi kulihat kau bermain ponsel saat bekerja, akan ku adukan pada pak Manager." Febby mengancam.Kimberly tak lagi menyahut. Ia sadar jika di
"Alan, kau sakit?"Kanaya tampak cemas melihat tunangannya terus memijit kening. Rasa lelah setelah terbang 27 jam lebih serta ketakberdayaannya untuk menepis kesedihan di mata Kimberly membuat kepala pria itu terasa ingin pecah. Yang ingin ia lakukan sekarang hanya memeluk gadis itu dan berkata jika ia mencintainya."Nay.. kembalilah ke kamarmu," pinta Alan."Tapi, kau--"Kanaya... please.. berikan aku waktu untuk bernapas. Dokter bilang kau masih harus banyak beristirahat. Jadi kembalilah ke kamarmu."Kanaya tak bisa membantah lagi. Ia tahu, kehadirannya disana yang membuat Alan kesulitan bernapas. Ia juga tahu pria itu memikirkan Kimberly yang mungkin kini tengah menangis di kamar. Namun lagi-lagi sikap egois Kanaya mendominasi. Wanita itu tak peduli dengan orang-orang yang terluka karena keegoisannya, karena yang terpenting baginya hanya keberadaan Alan di sampingnya."Baiklah, aku juga lelah. Kau jangan terlalu malam disini. Setelah pekerjaanmu selesai kembalilah ke kamar."Kanay
Di kantornya Alan tak bisa fokus bekerja, bahkan mengikuti meeting bulanan pun pria itu lebih banyak diam dan hanya mendengarkan setiap laporan dari anak buahnya. Kini ia terduduk lesu di kursi kebesaran seorang CEO. Mike yang sejak pagi berada di satu ruangan dengan Alan terus mencuri lirik karena hari ini bosnya terlihat lebih pendiam dan tak banyak memberi perintah."Tuan, pihak RnD sudah memberi laporan tentang tryal yang mereka buat untuk produk baru kita, apa Anda ingin melihatnya?"Mike bicara sangat berhati-hati. Sikap dingin Alan justeru membuatnya sedikit canggung."Kau kirimkan saja ke emailku, Mike. Aku akan melihatnya nanti.""Baik, Tuan.""Mike..""Ya?" Pemuda itu dengan sigap menyahut."Apa... anak buahmu masih mengikuti Kimberly?" tanya Alan."Itu.. semenjak nona Kim protes kalau ia tak mau diikuti, saya sudah menarik semua anak buah saya, Tuan. Saat itu Tuan juga sudah menyetujuinya, kan?"Mike mengingatkan Alan agar dirinya tak kena muntahan amarah tuannya. Sejak Kim