Dini hari, Alina mulai menggoreng roti dan donat untuk dititipkan ke warung. Sementara itu, Zea membantu dengan membuat glaze warna-warni sebagai topping donat. Satu per satu donat dicelupkan ke dalam glaze. Sambil menunggu topping itu mengeras, Zea memasukkan roti goreng ke dalam plastik untuk dibungkus.Zyan menatap heran adiknya yang belum memakai seragam sekolah. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 05.30. Biasanya, Zea sudah rapi dan bersiap ke sekolah. “Zea, kamu enggak sekolah?” Alina yang mendengar pertanyaan Zyan seketika menoleh. Wanita itu memberi isyarat pada Zyan untuk tak meneruskan pertanyaannya. Ia mematikan kompor, kemudian membawa Zyan ke kamar untuk bicara berdua. “Biarkan Zea tenang dulu,” ucap Alina setelah menceritakan perundungan yang dialami putrinya.Seketika, kemarahan Zyan tersulut. Ia tak terima ketika adik kesayangannya di-bully hingga menimbulkan trauma.“Jangan buat masalah, Nak. Sebentar lagi Zea lulus dan keluar dari sekolah itu. Jangan sampai tinda
Pandu melajukan mobil, setelah melihat sesosok pria muda keluar dari Max Cafe yang baru saja tutup. Dengan hati-hati, ia mengikuti motor yang dikendarai Zyan. Pandu terpaksa menginjak pedal rem, ketika motor itu berhenti di depan pedagang martabak telur. Ia bisa melihat Zyan memesan sebungkus martabak, sebelum melanjutkan perjalanannya.Dengan cepat, Pandu memarkirkan mobil di depan jalan utama, ketika motor yang dikendarai putranya berbelok ke sebuah gang kecil yang hanya bisa dilalui sepeda motor. Pria itu berlari mengejar agar tak kehilangan jejak. Napasnya mulai tersengal, ketika harus berlari kecil mengikuti motor Zyan dari kejauhan dan berhenti di depan sebuah kontrakan kecil. Dada Pandu berdebar, ketika pria muda itu mengetuk pintu. Ia tak berani menampakkan diri, apalagi pertemuan mereka tak berjalan sesuai harapan. Pandu mengintip dari balik dinding rumah yang tak jauh dari kontrakan anaknya. Jantungnya bergetar dan sorot matanya menajam ketika pintu terbuka. Suara seorang g
Beberapa hari setelah ikut serta dalam pekerjaan papanya, Bryan mulai mengerti banyak hal. Semula ia hanya menjadi pendengar yang baik, tetapi setelah beberapa lama, Bryan mulai paham bagaimana cara berbisnis dan menghadapi tantangan. Hari ini Bryan ikut andil memberikan ide dan gagasan, bahkan banyak peserta rapat yang terdiri dari rekan bisnis setuju dengan ide cemerlang Bryan. Pria muda yang sering melanglang buana bersama teman-temannya itu lebih tahu apa yang sedang tren saat ini, daripada mereka yang banyak menghabiskan waktu di balik meja kantor.Aksi Bryan pun tak luput dari pantauan Bagas. Selain ikut andil dari belakang, ia juga meminta para rekan bisnis dan petinggi perusahaan membantu putranya belajar. Sosok Bryan yang cerdas, sangat mudah menyerap ilmu di lapangan.“Minggu depan saya enggak bisa bergabung dalam proyek ini,” ungkap Bryan ketika rapat usai.“Kenapa, Bryan?” tanya Pandu yang juga ikut dalam rapat tersebut dan duduk di sebelahnya.“Saya ujian, Om.”Pandu ter
Alina terkejut ketika membukan pintu. Sesosok pria muda tampan telah berdiri di hadapannya. Mata wanita itu menatap sekeliling, memastikan apa yang dilihatnya tak salah. “Bryan, sama siapa ke sini?”“Sendiri, Bu.”“Mari masuk,” ajak Alina membukakan pintu utama. Dengan sigap, Alina menggelar tikar plastik yang ada di sudut ruangan. Ia merasa tak enak, ketika putra majikannya itu terlihat kesusahan duduk di lantai, apalagi kakinya yang panjang tak terbiasa duduk bersila. “Tahu dari mana rumah Ibu?” tanya Alina sambil meletakkan beberapa bungkus roti goreng dan donat. Tak lupa wanita itu menyuguhkan sebuah air mineral cup kepada Bryan.“Mama yang ngasih tahu.”Alina tak menyangka Bryan menemukan tempatnya tinggal, padahal ia tak menceritakan dengan detail alamatnya pada Regina.Zea yang dari tadi belajar di kamar menjadi terusik dengan suara yang ia kenal. Gadis itu segera menutup buku pelajaran, lalu berjalan ke luar. “Hi, Zee,” sapa Bryan menatap gadis yang memandangnya heran.“Lo n
Dengan langkah gontai, Pandu kembali ke rumah. Suara mobilnya yang menderu membuat sang istri menyambutnya di luar. Sejenak Pandu terdiam, menatap wanita yang telah berusaha menjadi istri yang baik untuknya, tetapi kesalahan yang ia lakukan tak cukup bagi Pandu untuk memaafkan.“Shanum, itu Papa, Sayang.”Seorang bocah kecil berlari menghampiri. “Papa!” Pandu meraih gadis berusia lima tahun itu ke dalam gendongannya.Rosa tersenyum senang, ketika pria itu berjalan masuk dan ia mengikuti dari belakang. Shanum sangat bahagia, karena telah lama Pandu tak bermain dengan putrinya. Kejadian ini jarang terjadi di antara mereka. Rengekan Shanum untuk menemaninya bermain tak bisa ditolak Pandu. Keduanya tampak akrab dan makin dekat. Momen ini dimanfaatkan Rosa dengan mengambil beberapa foto mereka dan selfie dengan latar keduanya yang sedang bermain. Tak lama, Rosa meng-upload ke media sosial dan menuliskan sebuah kalimat ....‘Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Pria yang paling tul
Bryan menunggu Zea di parkiran. Hari ini mereka akan pulang bersama. Sejenak Zea bingung menghadapinya, apalagi melihat senyum Bryan yang tak putus menatapnya.“Duduk di depan, dong. Gue bukan sopir lo,” protes Bryan, ketika gadis itu membuka pintu belakang.“Gue duduk di depan atau di belakang, sama aja. Sama-sama bisa sampai ke rumah, kan?”“Lo nurut aja, apa susahnya, sih?” gerutu Bryan. Zea menurut, ia duduk di sebelah Bryan. Pria muda itu mengemudi dengan santai. Sekali-kali ia menoleh pada Zea yang diam tak bersuara. “Kita ke mana?” tanya Zea, ketika menyadari mobil melaju pada arah yang berbeda.“Beliin lo pakaian.”“Enggak usah, gue masih punya pakaian layak pakai.”“Ini bukan kemauan gue, tetapi perintah Mama.”Gadis itu terdiam. Kalau sudah menyebut nama Regina, ia tak bisa menolak permintaan wanita yang sangat baik dan perhatian itu. Mobil berhenti tepat di sebuah butik ternama. Bryan mengajak Zea turun dan membawa gadis itu menuju deretan gaun mewah yang terpajang. “Ini
Pandu duduk terpaku di sudut masjid. Suara ceramah seorang ustaz terdengar mempermalukan dirinya. Pria tak pandai bersyukur, ketika Allah memberinya nikmat yang banyak, ia malah menggunakannya untuk berbuat maksiat. Nasi telah menjadi bubur, kata talak telah terucap, dan penyesalan datang mentertawakan kebodohannya. Sorot mata Pandu tertuju pada sebuah tulisan kaligrafi yang terdapat di atas mimbar. Setiap kali sujud menghadap Sang Khalik, ia merasa malu. Dosanya begitu banyak, hingga Pandu tak yakin bisa mendapatkan maaf dari-Nya. Egoiskah dia jika memohon pada Sang Pencipta untuk mengembalikan Alina-nya? Kepergian Alina menyadarkannya, begitu berarti wanita itu. Ia tak bisa digantikan oleh Rosa, meski wanita itu lebih muda dan cantik. “Bapak Pandu,” sapa Ustaz Ahmad mengagetkan, pria itu duduk di sebelah.Pandu menegakkan punggung, kemudian menyalami Ustaz Ahmad. “Saya gagal untuk kedua kalinya, Ustaz,” lirih Pandu menekuri lantai marmer yang terasa dingin menyentuh kulit. Setetes
Alina menggeleng dan meneruskan pembicaraan. “Suatu ketika, saya bertanya pada selingkuhan suami. Kenapa ia mau dengan pria beristri dan sudah punya anak. Ia menjawab, karena suami saya kaya, hebat, dan jago di ranjang. Seketika kemarahan saya memuncak. Tanpa terkendali, saya menjambak rambutnya dan menendangnya hingga jatuh. Teriakkannya mengagetkan seisi rumah, termasuk suami saya yang sedang berganti pakaian. Wanita itu menangis histeris, apalagi ketika darah mengalir di kedua sela kakinya. Suami saya marah, untuk pertama kalinya ia menampar saya.”“Astagfirullah.”“Zyan dan Zea yang melihat saya diperlakukan kasar oleh papanya, enggak terima. Mereka ikut memarahi papanya, tetapi bukannya sadar, papanya malah menghardik dan memaki mereka.” Alina mengambil selembar tisu di meja, kemudian mengusap pipinya yang bersimbah air mata. “Saya masih ingat, bagaimana wanita itu tersenyum licik ketika suami saya memarahi kami. Hari itu juga, ia menjatuhkan talak pada saya sebelum membawa wanit