Bab 66"Kamu mengurus perceraian kita tanpa sepengetahuanku?!" Rahang pria itu seketika mengeras. Dengan cepat dia membuka amplop itu, lalu membentangkan isinya. "Aku tidak akan tanda tangan!""Mau tanda tangan atau enggak, yang jelas putusan hakim telah jatuh. Kita sudah bercerai secara resmi," ujarku."Sebegitunya kamu ingin menikah dengan dokter Aariz?!" Bibirnya bergetar. Aku tahu ia marah besar. Namun hanya tangan yang terkepal. Dia tidak mengangkatnya ke atas dan mendaratkan di bagian tubuhku."Jangan bawa-bawa orang lain, Mas!""Kenyataannya kamu memilih pria yang lebih kaya dariku!"Tuduhan ini sangat menyakitkan dan membuatku harus meraup udara sebanyak-banyaknya, menghempaskannya dalam-dalam untuk meredakan sesak di dadaku. "Kamu selalu berpikir bahwa semua hal bisa diselesaikan dengan materi. Kenyataannya kamu tidak bisa membeli cintaku, Mas. Begitu juga dengan orang lain.""Nggak usah berbelit-belit, Alifa!" Pria itu melemparkan amplop itu ke sembarang arah, lalu berdiri
Bab 67 ( Mengapa tak ada jalan untuk kembali, Nak?)Pria itu menangis seperti anak kecil. Meratapi waktu yang baginya tak adil. Andai waktu bisa kembali, maka ia pasti akan menjadi pria yang paling bahagia karena mendapatkan seorang anak laki-laki. Tanpa harus tes DNA pun ia percaya jika bayi yang dilahirkan oleh Alifa memang darah dagingnya, mengingat bagaimana baiknya keluarga El Fata memperlakukan Alifa. Tidak mungkin keluarga terhormat itu tidak menyelidiki latar belakang Alifa, kan? Kalau memang Alifa terbukti menjadi seorang pelacur, apa mungkin keluarga El Fata masih mau menampungnya?Kecuali ya, jika dokter Aariz begitu tergila-gila dengan Alifa dan tak peduli dengan apapun.Akhirnya ia menyadari jika semua yang dituduhkan oleh ibu dan kakak perempuannya, termasuk Eliana hanyalah sekedar fitnah. Mereka memang sengaja menjebak Alifa dan ibunya berpura-pura akan bunuh diri jika ia tidak menceraikan perempuan itu.Kenapa keluarganya begitu kejam? Dan kenapa ia harus dilahirkan
Bab 68Tawaran yang menggiurkan, dan sepertinya Donita bersungguh-sungguh. Pria itu memegang tangan Donita yang dibalas oleh perempuan muda itu. Mereka saling menggenggam untuk beberapa lama dengan beradu tatap penuh arti seolah menyelami isi pikiran masing-masing. Keenan menghela nafas. Dia sudah terlanjur mengarungi pusaran ini. Mereka sudah seringkali tidur bersama, meski hanya dengan tangan saling menggenggam. Sebuah guling menjadi pembatas area tidur masing-masing.Dia pria normal. Namun Donita adalah sekretarisnya. Cukuplah ia menjadikan Donita sebagai sekretaris dan tempat curhat. Akan beda cerita kalau ia tidur dengan seorang wanita bayaran.Dia memang menginginkan, tapi tak tega menjadikan Donita sebagai pemuas nafsu syahwatnya."Kamu serius?" uji Keenan."Memangnya Bapak juga serius?" kerling mata perempuan muda ini. Tubuh Donita seketika merapat saat tanpa sadar tangan Keenan tertarik ke samping."Jangan mencoba menggoda saya, Donita. Saya ini laki-laki normal." Nafasnya s
Bab 69"Stop! Mas nggak menerima alasan apapun. Pokoknya sebutin nomor rekening kamu. Mas mau transfer sekarang!""Nggak usah, Mas. Masa iddahku sudah lewat. Ini kan cuma legalitas doang, jadi nggak ada tuh urusannya sama masa iddah," ujarku kesal. Kenapa sih mas Keenan jadi memaksa?Kemarin kemana saja? Boro-boro uang iddah, yang ada dia membiarkanku keluar dari rumah hanya dengan pakaian yang melekat di badan."Kalau kamu nggak mau menerima uang iddah, gimana kalau kamu menerima bagi hasil dari perusahaan saja? Sebelum nikah sama kamu, perusahaan Mas masih kecil, nggak berkembang seperti sekarang. Semua itu terjadi berkat kerja keras kamu yang pintar mengelola keuangan. Jadi please, mau ya.""Enggak, Mas. Enggak usah. Aku takut Mama, Mbak Rosa atau Mbak Yuna yang protes. Nanti ribet lagi. Aku nggak mau berurusan sama mereka," ujarku."Tapi ini hak kamu. Kamu jangan bikin Mas menjadi seseorang yang serakah. Mas hanya ingin memperbaiki keadaan, meskipun tidak bisa kembali seperti dulu
Bab 70Kakinya terus melangkah mengikuti Donita. Ah, di mana-mana perempuan sama saja. Keenan tersenyum kecil saat Donita menunjuk sebuah tas yang dengan segera diambilkan oleh seorang pramuniaga. Tas selempang berukuran kecil, baling-baling hanya muat ponsel dan dompet. Namun dari tag price tertera 4 juta lebih.Keenan sama sekali tidak terkejut. Dia hanya kagum. Ternyata selera belanja perempuan itu bagus juga. Dia pun mengambil kartu saktinya dari dalam dompet dan segera melakukan transaksi."Mau makan dulu atau mau lanjut belanja?" tawar Keenan. Dia menjejeri langkah perempuan itu sembari membawa paper bag. Keenan menolak Donita yang ingin membawa sendiri barang belanjaannya, karena dia merasa laki-laki lah yang seharusnya membawa barang belanjaan, bukan perempuan.Dia terbiasa memperlakukan Alifa seperti itu. Dulu, saat mereka masih bersama."Makan dulu, Pak. Nanti lanjut belanja. Tapi budget makannya di luar yang voucher 10 juta ya." Bibir perempuan itu full senyum tak lepas mem
Bab 71"Jelaskan, El. Siapa pria ini? Apa dia selingkuhanmu?!" bentak Keenan sembari melemparkan foto-foto itu ke ranjang tempat tidur perempuan itu. Sementara untuk video, dia sudah mentransfer filenya lebih dulu ke ponsel perempuan itu.Tidak mungkin kan, dia membiarkan ponsel mahalnya diberikan kepada Eliana hanya untuk menyuruhnya melihat video?Bisa-bisa ponsel mahal dengan gunungan data penting perusahaan itu remuk tak berbentuk lantaran di amuk oleh perempuan itu."Apa maksudmu, Mas? Ini foto apa?!" Perempuan yang baru saja memejamkan matanya itu tergagap. Kaget dengan sesuatu yang tiba-tiba saja mengenai tubuhnya.Dia bangkit dan mengucek matanya. Eliana sangat mengantuk, karena ia baru pulang menjelang subuh. Dia dan Roger bercinta sampai beronde-ronde. Dia mengantuk dan juga lelah.Mengantuk dan lelah yang terbayar lunas dengan kenikmatan terlarang dan uang yang dia dapatkan. Tak perlu lagi mengemis uang bulanan dari Keenan. Sekali mengangkang saja ia sudah mendapatkan lebih
Bab 72Eliana menatap pria itu dengan tubuh gemetar. Hilang sudah semua rasa percaya diri dan kesombongannya. Sorot mata Keenan yang berkilat-kilat memancarkan amarah dan dendam. Dia tidak pernah menemui keadaan Keenan seperti ini sebelumnya. Semarah-marahnya suaminya, paling-paling hanya melontarkan kalimat yang sedikit kasar, lalu setelah itu pergi menjauh.Eliana begitu takut. Apalagi di kamar ini mereka hanya berdua. Bagaimana kalau Keenan hilang kendali?"Kamu tidak bisa seperti ini, Mas. Kenapa kamu begitu kejam padaku?""Kamu yang membuatku seperti ini. Kamu yang sudah membuatku kehilangan Alifa," ucap pria itu berapi-api. Tadi malam adalah malam yang menegangkan untuknya. Keenan bukan cuma mendapatkan bukti-bukti perselingkuhan Eliana, tetapi juga bukti bahwa Eliana, Rosa, dan Yuna terlibat di dalam makar yang dibuat untuk menyingkirkan Alifa. Dan makar itu direstui oleh ibunya.Jika dulu semua itu hanya sekedar dugaan, asumsi, dan prasangkanya saja, tetapi sekarang dia sudah
Bab 73 Beberapa hari kemudian, akhirnya hasil pun ia dapatkan. Ternyata benar prediksi Aryan, jika Sherina bukanlah anak kandungnya. Keenan memerintahkan Aryan untuk menemui Roger dan mengambil sampel dari pria itu untuk kemudian ia kirim bersama dengan sampel Sherina ke laboratorium. "Serius, Bos?" Pria itu memberikan satu pouch berukuran kecil yang berisi dengan rambut dan kuku Roger kepada Keenan. "Ya, Aryan. Aku hanya ingin tahu apakah dia anak Roger atau bukan. Tapi meskipun dia anak Roger, saya akan tetap merawatnya dengan alasan kemanusiaan. Kasihan juga kalau dia sampai terlantar. Memangnya Eliana bisa merawat anaknya sendiri?" Tawa hambar Keenan berderai, memecah suasana pagi ini. Dia menerima pemberian Aryan dan menyimpan di dalam tas kerjanya. Sejak Eliana pergi dari rumahnya, akhirnya Keenan pun kembali menginap di rumahnya. "Saya salut dengan Bapak yang mau berbesar hati merawat seorang anak yang bukan anak kandung Bapak, bahkan ia adalah buah dari selingkuhan m
Bab 181"Daripada dia tantrum, tambah repot lagi. Kasihan Maya. Mbak Alifa kan sibuk, lagi pula Mbak Alifa harus fokus dengan kandungan Mbak." Pria itu berucap dengan nada yang datar, nyaris tanpa ekspresi apapun. Dia mendekap Anindita dalam gendongannya. Tubuh mungil itu tampak damai dalam tidur, mungkin dia tengah bermimpi indah, sehingga tak perlu mendengarkan pembicaraan tiga orang dewasa yang tengah membahas dirinya."Ya udah, nggak apa-apa. Yang penting putri kamu itu baik-baik saja, Ta." Aariz menengahi. Dia sudah memprediksi bakal terjadi keributan jika meneruskan meladeni tingkah Atta. Pembicaraan ini sangat sensitif. Jangan sampai Atta dan Alifa merasa tidak enak hati, apalagi Alifa. Jangan sampai istrinya merasa bersalah karena merasa menomor duakan anak susuan yang merupakan putri angkat Atta itu.Sebenarnya Aariz tidak pernah membedakan anak-anaknya, hanya saja memang akhir-akhir ini sejak Anindita disapih, perhatian Alifa memang berkurang, karena lebih sering mengurung
Bab 180"Mas...." Alifa mendesah. Dia menggenggam tangan sang suami, lalu mengecup ujung jemari Aariz sekilas. "Kalau aku nggak bisa melahirkan anak laki-laki kayak Mama Wardah, apa Mas Aariz akan menceraikanku atau berpoligami?"Pertanyaan yang membuat Aariz seketika membeku. "Hei... Mas kenapa diam?" Alifa mengibaskan tangannya persis di depan mata sang suami."Apa Mas ingin menjawab jika di dalam keluarga El Fata, setiap generasi wajib memiliki anak laki-laki?" Alifa tentu saja berpikir karena Hasyim El Fata berasal dari negara timur tengah, sama seperti syekh Ishak yang garis keturunannya menginduk ke syekh Sulaiman Al-Qurthubi. Pertemuan singkat dengan Zara sedikit banyaknya mempengaruhi jalan pikiran Alifa saat ini.Soal anak. Dia tidak pernah berpikir jika ada keluarga yang begitu mengagungkan anak laki-laki, terutama bagi keluarga-keluarga yang garis keturunannya ditarik dari pihak laki-laki.Baru ia menyadari sekarang jika bukan tidak mungkin keluarga El Fata akan mengungki
Bab 179 Barulah Alifa maklum. Dia memang benar pernah mendengar tentang tokoh besar yang sangat terkenal di negeri ini. Dan ternyata suaminya Zara adalah salah satu keturunan dari tokoh itu. Keharusan memiliki anak laki-laki yang membuat pria itu memaksa istrinya untuk hamil lagi anak ke-4 dan berharap jika anak keempat adalah laki-laki, padahal kondisi rahim Zara sudah tidak memungkinkan. "Kita tidak bisa memaksakan takdir, Bu. Anak laki-laki atau anak perempuan mutlak ketentuan Tuhan." "Tapi masih ada jalan, kan? Setidaknya itu menurut versi mereka." Zara tersenyum kecut. "Setiap ikhtiar tentu diperbolehkan, tapi bukan berarti harus mengabaikan keselamatan nyawa istri sendiri." "Asal Ibu tahu, saat ini ada seorang perempuan yang berasal dari keturunan mereka siap untuk menjadi istri kedua suami saya." Mata perempuan itu mengerjap. Zara sudah tidak lagi menangis, bahkan ia menghapus sisa-sisa lembab di wajahnya dengan tisu yang disodorkan oleh Alifa. "Bagaimana jika wanita itu
Bab 178Keenan bukan pria yang pelit. Jika kepada keluarganya sendiri terkesan hitung-hitungan, dia hanya sekedar memberikan pelajaran. Mencari uang bukan hal yang gampang, dan dia bukan ATM berjalan.Meski ada beberapa orang yang bergantung hidup kepadanya, dan ia biayai selama ini. Dia sengaja membiarkan ibu dan kedua kakak perempuannya bertahan dengan uang bulanan pas-pasan, agar mereka mau belajar menghargai pemberiannya. Jangan mentang-mentang Keenan adalah anggota keluarga mereka, mereka bisa seenaknya.Itulah kenapa dia terlihat begitu royal dengan Alifa. Alifa diratukan saat menjadi istrinya, bahkan sebelum itu, karena Alifa itu perempuan yang tulus. Bukan cuma sekedar tulus, tapi dia juga berjuang untuk keberlangsungan perusahaan. Rasanya wajar jika Keenan memberikan timbal balik. Alifa tidak sekedar cuma bisa menadahkan tangan, tetapi dia berjuang dan terjun langsung mengurus perusahaan. Para karyawannya hafal betul siapa Alifa.Alifa berbeda dengan ibu dan kedua kakak pere
Bab 177"Yeah.... Yang mau ketemuan sama duda plus papanya anak asuh...." Maya mengerjap gemas melihat tingkah Naira yang kedapatan berkali-kali mengecek penampilannya di cermin yang ada di kamar anak-anak.Maya dan Naira memang tinggal sekamar dengan anak-anak, karena mereka full menjaga anak-anak itu. Gibran dan Anindita yang sedang aktif-aktifnya."Siapa bilang? Ikatan pada rambutku kendor nanti kalau lepas malah kelihatannya nggak rapi. Kamu kayak nggak tahu gimana aktifnya Gibran kalau sudah di luar ruangan," balas Naira. Gadis itu terlihat salah tingkah. Berkali-kali ia malah melirik arlojinya. Gibran sudah ia siapkan sejak pagi sekali. Dan seperti mendukung keinginan papa dan pengasuhnya untuk bertemu, ia sama sekali tidak rewel untuk dibangunkan. Mandi dan berpakaian rapi. Semua perlengkapan Gibran juga sudah siap. Naira pun sudah menyuapi Gibran untuk sarapan."Bentar lagi," gumam gadis itu tak sadar jika suaranya bisa didengarkan oleh Maya."Iya, sabar dikit kenapa sih?" go
Bab 176"Kasihan gimana? Memangnya kamu pikir Mas akan mempermainkan Naira?!"Setiap akhir pekan Naira rutin mendampingi Gibran untuk bertemu dengannya, berakhir dengan menginap di apartemen. Meski gadis itu sering terlihat tidak nyaman saat bersamanya, tetapi Keenan berhasil membuat suasana kembali mencair, sehingga tak ada kecanggungan yang kentara, apalagi saat mereka berada di hadapan ibunya Ina yang bernama Rima itu, bahkan perempuan setengah baya itu benar-benar mengira jika Naira adalah calon istri Keenan. Kebersamaannya dengan Gibran perlahan mulai menumbuhkan rasa keterikatan dalam diri bocah kecil itu. Meski sampai saat ini Keenan masih tetap mengajarkan kepada Gibran untuk memanggilnya Om, demi memenuhi janjinya kepada Alifa. Namun itu tidak mengurangi keakraban di antara mereka. Entah sampai kapan. Mungkin sampai putranya dewasa, barulah bisa mengerti alasan dibalik perpisahan kedua orang tuanya. Tapi meski begitu, Keenan juga tidak bisa menjamin apakah Gibran bisa mener
Bab 175Plak plak plak!Tiga tamparan keras cukup membuat tubuh Tanti terjengkang. Wanita paruh baya itu malah berguling-guling di lantai. Untung saja lantai ruang dilapisi oleh karpet tebal, sehingga tidak membuat Tanti menderita cedera otak."Mama!" pekik Winda. Perempuan itu berlari dan langsung meraih ibunya. Tak lupa dia menangkap kaki sang ayah, agar kaki itu urung mendaratkan tendangan di tubuh ibunya.Lelaki paruh baya itu langsung terjengkang, lantaran tidak memiliki kewaspadaan. Dia tidak menyangka jika Winda muncul dari dalam dan mencegah tindakannya.Kemunculan putrinya membuatnya melupakan keinginannya untuk menghajar Tanti barang sejenak.Winda membantu ibunya untuk bangkit, sehingga perempuan itu kini bisa duduk, meskipun kepalanya terasa berputar-putar. Dia memejamkan mata sejenak, lalu kembali menatap sang suami yang juga sudah kembali berdiri, sembari berkacak pinggang."Itu pelajaran bagi seorang wanita yang mau enaknya saja. Dari dulu aku sudah terlalu sabar mengha
Bab 174"Setidaknya beri mereka pelajaran. Bukan soal Mbak Winda, tapi juga keluarganya yang sejak dulu selalu merongrong keluarga ini." Alifa angkat bicara setelah mereka terdiam beberapa saat."Balasan setiap perbuatan adalah hal yang setimpal, tapi tidak mungkin juga kan kita balas dengan melakukan percobaan pembunuhan kepada Winda, misalnya," ujar Atta blak-blakan yang disambut pelototan mata oleh kakaknya.Bagaimanapun, Winda adalah mantan istrinya, orang yang pernah ia cintai setengah mati. Walaupun sedikit, masih tersisa rasa cinta kepada perempuan yang pernah singgah di hatinya dan pernah menjadi ibu dari mendiang putranya, Zaid. Dia masih merasa berat hati jika Winda harus berakhir di tangan keluarganya sendiri, walaupun Winda sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan baginya tidak bisa termaafkan."Atta," tegur ibunya."Nggak, Ma. Mana mungkin aku tega membunuh mantan ayang." Pria itu nyengir yang disambut tabokan keras oleh Aariz di bahu kirinya."Sudah, sudah, jangan
Bab 173"Tolong kasih saya penjelasan. Kalian ini sebenarnya siapa, dan disuruh siapa? Kenapa mau menolong saya? Saya perlu alasan yang logis. Tidak mungkin kalian mau bertaruh nyawa untuk menyelamatkan seseorang yang tidak kalian kenal seperti saya."Akhirnya setelah mendaftarkan ibunya untuk dirawat di sebuah rumah sakit, Lisa kembali mendekati salah seorang diantara mereka, seseorang yang memboncengnya saat dari lokasi penculikan sampai ke kampung halamannya.Pria itu menghela nafas. Dia sejenak merapikan kemejanya yang kusut. Mungkin tak sadar, karena perjalanan mereka yang menegangkan barusan, di tambah lagi harus mengantar ibunya Lisa ke rumah sakit."Kenalkan, nama saya Abi. Sebenarnya kami diperintahkan oleh Mas Atta untuk mengawal Mbak Lisa sampai ke kampung halaman." "Mas Atta?! Mas Atta yang menyuruh kalian?" Lisa malah menepuk jidat, lalu menutup telinga dengan kedua telapak tangannya."Nggak usah segitunya juga kagetnya, Mbak," tegur pria itu. Abi menarik dengan lembut t