Share

Garis dua

Pagi ini rasanya badanku tidak enak, mual yang tiba-tiba datang membuat rasa tidak nyaman. Badan terasa lemas tidak bertenaga, karena beberapa kali harus bolak-balik ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perut yang masih kosong. 

Kegiatan pagi ini dikerjakan oleh suami dan anak-anak. Kepala yang berdenyut dengan mual yang tidak berangsur pergi. Alhamdulillah mereka memahami kondisi tubuh ibunya yang sedang tidak baik-baik saja. 

"Kita periksa saja ya Dik," ucap Mas Adam dengan membelaiku dengan lembut. 

Aku hanya mengangguk tanpa bersuara. Kemudian Mas Adam membantuku bersiap-siap. Dia juga menitipkan anak-anak kepada ibu terlebih dahulu. 

"Bagaimana kondisimu Nduk, Adam bilang badanmu tidak enak?" tanya ibu yang baru saja sampai rumah. 

"Begini ini Bu, rasanya pusing dan mual," terangku. 

"Apa kamu hamil Nduk?" ucapnya lagi. 

"Tidak tahu Bu," jawabku. 

"Ya sudah hati-hati di jalan, wajahmu pucat sekali."

"Iya Bu, nitip anak-anak dulu, Assalamualaikum." ucapku sambil mencium punggung tangannya. 

"Waalaikumsalam, iya jangan pikirkan mereka yang penting kamu sehat nantinya."

"Iya bu, terima kasih."

Aku segera menuju ke depan setelah berpamitan dengan ibu dan anak-anak. Alhamdulillah anak-anak tidak ada drama saat ibu dan bapaknya pergi. Mereka seperti memahami kondisi ibunya yang sedang sakit. 

Badan yang semakin lemah, kaki yang mulai bergetar. Namun harus kupaksakan untuk tetap melangkah. Mendekatkan diri untuk naik ke atas motor metic, dengan siaga suami membantu untuk naik ke motor. Berpegangan pada bahunya untuk naik. 

Sebuah pernyataan yang ibu lontarkan tadi selalu terngingang dalam pikiran. Sesuatu yang tidak pernah terlintas dari benakku karena anak-anak yang masih kecil. Bahkan saat ini aku masih mengikuti KB. Selama perjalanan kami tidak mengobrol hanya berada dengan pikiran masing-masing.

Akhirnya kami sampai ke tempat tujuan. Jarak yang tidak terlalu jauh sebenarnya, tetapi rasanya sangat lama. 

Mas Adam segera membantuku duduk dan segera mendaftar. Alhamdulillah belum banyak pasien yang datang sehingga hanya satu antrian kemudian namaku dipanggil. 

"Ibu Asma," panggil seorang perawat yang bertubuh tinggi, kemudian mengantarku ke ruangan periksa. 

Aku dan Mas Adam berjalan beriringan menuju ruang periksa. Membuka knop pintu perlahan, sehingga terlihat seorang dokter paruh baya yang tersenyum ramah dan mempersilahkan kami untuk masuk. 

"Silahkan duduk," ucapnya ramah dengan senyum yang terus mengembang. 

"Terima kasih," jawab kami berbarengan. 

"Ada keluhan apa Bu?" ucap dokter wanita yang mengenakan jilbab hijau muda. Parasnya yang penuh senyum menambah kecantikan meskipun usianya sudah tidak muda. 

"sejak bangun tidur tadi kepala saya terasa pusing dan mual yang berulang dok," jawabku. 

"Coba kita periksa dulu ya Bu, silahkan berbaring di sana." ucap dokter Hindun Prameswari tertera dari nametag yang menempel di bajunya. 

"Ya Dok," jawabku. 

Mas Adam memapahku untuk berjalan ke sebuah kasur berukuran kecil yang terletak di sudut ruangan. Menaiki tangga kecil untuk berbaring dengan hati-hati. 

Dokter memeriksa dengan teliti dari hasil keluhanku. Bertanya sesekali kemudian tersenyum setelah selesai kami pun diberi penjelasan. 

"Ibu, Bapak setelah ini kami rujuk ke poli kandungan ya," ucapnya dengan tetap menampilkan senyum yang indah, memperlihatkan dua lesung pipi. 

"Maksud dokter saya hamil?" tanyaku dengan ekspresi terkejut. 

"Saya belum yakin betul, tetapi dari tanda-tandanya mengarah kesitu Bu," jelasnya. 

"Ta.. tapi Dok, saat ini saya masih KB, apa mungkin bisa hamil?" tanyaku yang semakin membuat kepala semakin berdenyut. 

"Ada kemungkinan Bu, nanti dari poli kandungan ada alat USG, sehingga bisa kita ketahui lebih jelasnya."

"Baik Dok, terima kasih."

Kami pun keluar dan menuju poli kandungan. Antara percaya dan tidak tetapi aku hanya pasrah dengan ketentuan Allah. Mas Adam segera mengumpulkan berkas rujukan ke meja perawat dan menyusulku duduk di ruang tunggu. Alhamdulillah hari ini tidak banyak pasien, sehingga kami tidak perlu menunggu lama antrian. 

***

"Ibu Asma," panggil perawat yang kemudian mempersilahkan kami masuk. 

Di ruangan ini kembali menjelaskan keluhan yang kurasakan. Dokter memperhatikan dengan seksama dan melakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui kebenaran dari dugaan dokter sebelumnya. 

Dokter Widya yang saat ini menangani. Menyuruhku untuk berbaring di sebuah kasur yang dekat dengan sebuah monitor. Seorang perawat kemudian menyemprotkan cairan khusus di atas perut. 

Dokter Widya mendekatkan alat kemudian menggeser ke bagian perut yang akan memperlihatkan bagian dalam. 

"Ibu, Bapak memang saat ini ibu sedang mengandung. Nah, ini terlihat janinnya," ucapnya sambil menggeser-geser alat. 

"Ini kepalanya, punggung janinnya ya. Baik, kita lihat ya berapa usia janin Ibu," Dokter Widya memencet alat itu dengan menerangkan pada kami. 

"Alhamdulillah," ucap Mas Adam dengan lirih, tetapi masih dapat kudengar. 

Aku tidak bisa berkata apa-apa, ada perasaan bahagia dan sedih terasa secara bersamaan. Berita yang membuat rasa sesak tetapi bersamaan ada hembusan angin yang menerpa. Rasa yang saling bertolak belakang, tetapi datang dalam satu waktu. 

"Nah ini usia janinnya ya Bu, sudah memasuki usia sembilan minggu." ucapnya, tetapi semakin tidak terdengar olehku. Meskipun ragaku di sana, tetapi jiwaku seolah pergi entah kemana. 

"Bagaimana kondisinya dok? Air ketubannya cukup atau tidak?" tanyaku beruntun. 

"Alhamdulillah kondisi janin sehat Bu bisa dilihat gerakannya ini, ketuban juga cukup. Ada yang mau ditanyakan lagi Bu?" terangnya dengan senyuman yang tidak pernah lepas darinya. 

Aku hanya menggeleng dan dokter membersihkan bagian perutku dengan tissue. Kami kembali ke tempat duduk. Perasaanku yang tiba-tiba bercampur aduk antara percaya dan tidak.

 Kenapa rasanya seperti ini? Padahal dari keempat anakku perasaan bahagia selalu muncul. Aku bermonolog sendiri. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status